❤ *CINTA*
*di Batas Cakrawala*
🌅 nomor - 23
(Kilasan Masalalu)
Ketika jarak memisahkan raga,
kamu tidak lagi bisa kurengkuh
Hanya lewat do'a, aku akan menjagamu
***
Sudah satu minggu Hanna dirawat di rumah sakit. Selama itu pula, Vania selalu datang pagi hari dan Haris akan datang di sore hari, dan akan bertahan sampai setelah isya', memastikan keadaan adiknya itu baik-baik saja. Hanna yang mulai terbiasa dengan keberadaan mereka dan malas mempermasalahkannya. Ia malah semakin merasa tenang karena mereka tidak pernah membahas tentang Dimas dan alasan mengapa ia pergi. Mungkin hal itu pula yang membuat keadaan Hanna semakin membaik hingga akhirnya diizinkan pulang oleh dokter.
"Kita mau ke mana?" tanya Hanna cemas, menatap Haris yang fokus menyetir bersama Vania yang duduk di samping kemudi. Ia khawatir mereka akan membawanya ke rumah orang tuanya, karena ia tidak yakin, hidup bersama mereka akan lebih baik dari pada saat bersama Dimas.
"Tenanglah. Kamu akan tinggal di rumahku," jawab Haris tanpa mengalihkan fokus.
"Rumahmu?" Hanna tampak bingung, ia beralih menatap Vania yang tersenyum menoleh ke arahnya.
"Iya. Tinggal di rumah pribadinya Mas Haris. Kamu belum tahu, ya?" Hanna langsung tersenyum kecut karena memang tidak tahu apapun perihal kehidupan kakaknya, apalagi rumah pribadinya. "Oh, maaf," gumam Vania tidak enak akan reaksi Hanna.
Hening, perjalanan terus berlanjut hingga tiba di kompleks perumahan elit yang sebagian besar rumah di sana bergaya modern yang minimalis. Mobil Haris mengarah ke salah satu rumah dengan halaman tidak terlalu luas yang ditumbuhi rumput jepang, di samping teras rumah terdapat kolam ikan dengan tanaman hias di sekelilingnya.
Hanna terpana menatap pemandangan rumah kakaknya itu. Entah bagaimana wujud di dalam sana, yang pasti ia sudah merasa nyaman hanya dengan melihat di luarnya saja.
"Ayo, Hanna," ajak Vania yang telah membuka pintu mobil. Hanna mendadak canggung, keluar dari mobil dan langsung digandeng Vania dengan akrab. "Ayo kita lihat di dalam."
Tanpa kata, Hanna membiarkan Vania mengajaknya masuk ke dalam rumah minimalis tersebut. Sementara si pemilik rumah, sibuk mengeluarkan dua koper besar Hanna dari bagasi mobil dan menyeretnya masuk rumah.
"Ini rumahku. Tapi sejak pulang dari desa bersama Vania yang masih mengandung Hafiz, rumah ini kosong dan hanya dibersihkan Ibu Asih saja setiap pagi. Jadi mulai sekarang, kamu tinggallah disini," ujar Haris.
"Aku tinggal di sini?" gumam Hanna ragu.
"Iya. Tapi kamu tidak tinggal sendiri. Ada dua perawat yang akan disewa Mas Haris buat jagain kamu, terus ada Ibu Asih yang tiap hari bersih-bersih rumah sama masak," ujar Vania menimpali.
Hanna menatap Vania dan Haris bergantian. "Aku ngga sakit, cuma hamil. Kenapa harus ada perawat segala?"
"Tapi orang hamil itu harus dijaga Hanna. Sekarang kamu pilih saja, mau tinggal di sini atau kembali sama Dimas!" ucap Haris tegas.
Hanna langsung menunduk, jemari tangannya saling meremas takut. Satu minggu tidak mendengar nama Dimas disebut, dan kini nama itu kembali terdengar membuatnya tidak kuasa menahan tangis.
"Mas!" Vania menegur Haris, lalu mendekati Hanna yang sudah terisak. "Jangan kasar ngomongnya sama Hanna, ingat kata dokter, kan?"
"Ya baiklah," sahut Haris jengah, lalu menarik dua koper Hanna menuju sebuah kamar tamu di samping ruang kerjanya.
"Jangan dengerin kata Mas Haris tadi, dia cuma khawatir. Tapi dia tidak tahu bagaimana ngomongnya karena kalian selama ini, kan tidak akrab." Vania mengusap pelan tangan Hanna, lalu menuntunnya duduk di sofa ruang tamu. "Kamu sedang hamil. Dan wanita hamil itu tidak bisa ditinggal sendiri, setidaknya kalau kamu butuh apa-apa, ada yang membantu. Kamu juga tidak boleh terlalu lelah, demi calon bayimu."
Hanna mengusap air matanya, lalu menatap Vania lekat. Menimbang ragu, memikirkan sikap baik wanita itu seminggu ini. "Aku membencimu, Van. Tapi kenapa kamu terus bersikap baik padaku?"
Vania tersentak mendengar ucapan Hanna. "Kamu masih membenciku?" lirihnya tercekat.
"Ucapan Kakakku tadi mengingatkanku kalau Dimas itu mencintaimu. Aku ... membencimu!"
Vania langsung memeluk Hanna dan menangis bersama. "Jangan membenciku, Hanna. Aku mohon ...."
Hanna tidak bisa menjawab karena suaranya tertelan tangis yang menyayat. Tanpa ragu ia balas memeluk teman kecilnya itu, teman yang telah menjadi istri dari kakaknya, tetapi malah dicintai suaminya. Takdirnya terlalu rumit.
"Aku tidak akan memaksamu untuk menghilangkan rasa bencimu padaku karena perasaan Dimas yang salah. Sesungguhnya, sebagai manusia kita tidak bisa menentukan pada siapa hati akan mencinta karena ada Allah yang lebih berhak membolak balikan hati setiap umatnya." Vania melepaskan pelukannya. Seperti seorang kakakz dengan penuh perhatian ia mengusap air mata Hanna dan tersenyum lembut. "Tinggalah di sini sampai kamu melahirkan jika itu membuatmu lebih baik. Tapi aku mohon, biarkan aku sama Mas Haris mengurusmu. Lalu setelah itu, semua terserah sama kamu."
Hanna hanya diam mendengarkan, tetapi berusaha mencerna maksud ucapan Vania dengan baik. Tanpa menjawab, ia menunduk dengan jemari yang kembali saling meremas. Ia benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukan, karena sebelumnya ia tidak berpikir akan tinggal di mana. Yang ada dipikirannya saat itu hanyalah pergi dari desa dan kehidupan Dimas. Namun yang terjadi, takdir membawanya harus tinggal bersama kakaknya dan Vania, teman yang ia sayangi tetapi juga ia benci.
*****
Dimas turun dari tempat tidur, menatap nyalang bayangan dirinya di cermin meja rias. Cermin yang biasanya digunakan Hanna untuk mematut diri dikesehariannya, terutama aktivitas yang sering terpantau olehnya adalah saat malam.
Satu minggu berada di kota, setiap pagi Dimas selalu mendatangi kediaman orang tua Hanna. Namun yang ditemui hanyalah satpam penjaga rumah seperti awal kedatangannya, dan selalu jawaban yang sama bahwa Hanna tidak berada di sana. Bayangan Haris yang kemarin terlihat berbicara dengan satpam lalu melemparkan tatapan penuh permusuhan membuatnya tidak sanggup untuk terus mendatangi kediaman itu dan mendapatkan hasil yang sama.
Dengan penuh emosi, sekuat tenaga Dimas meninju kaca meja yang seakan mengejeknya. Belum puas melihat kaca yang retak, ia menarik kasar benda yang terbuat dari kayu tersebut dan membenturkannya di lemari milik Hanna yang kosong isinya.
"Dimas?" Tanpa menghiraukan suara bapaknya yang masuk kamar, Dimas terus menghancurkan meja rias itu dengan membenturkannya di lemari sekuat tenaga.
"Dimas! Hei!" hardik Pak Budi, menarik kerah baju Dimas yang dilanda emosi tidak terkendali. Karena tidak kunjung menghentikan aksinya, lelaki paruh baya itu melayangkan tinju ke rahang sang anak yang berpostur tubuh lebih tinggi dari pada dirinya.
"Apa yang kamu lakukan? Merusak barang, apa kamu pikir akan menyelesaikan masalah?" Sekali lagi Pak Budi melayangkan tinjunya yang langsung merobek sudut bibir Dimas.
Pukulan itu terasa perih, tetapi ucapan bapaknya yang membuat sekujur tubuh Dimas melemas dan cukup efektif menyadarkannya. "Argh! Istri macam apa yang pergi meninggalkan suaminya tanpa sebab!"
Pak Budi mendengus kasar, lalu menampar kuat pipi Dimas, membuat anaknya terhuyung ke belakang. "Buka pikiranmu dengan baik, jangan hanya bisa emosi saja! Jangan egois dan selalu merasa benar. Sebelum kamu menyalahkannya, Apa kamu yakin kamu sudah benar? Apa kamu pernah memikirkan perasaan istrimu? Kamu tidak cukup mengenalnya kalau kamu berpikir dia pergi tanpa tanpa alasan yang pasti!"
Dimas menunduk, mengatur napas yang tersengal dengan isakan tertahan. Kehilangan Hanna benar-benar membuatnya terpuruk sehingga tidak bisa berpikir dengan baik. Urusan LSM-nya saja ia serahkan seminggu ini pada rekan-rekannya karena pikirannya yang kacau selama di kota.
"Aku tidak tahu apa salahku, Pak. Kalau hanya karena dia belum hamil, bukankah itu alasan yang konyol sampai dia memilih pergi?"
"Bukankah itu keinginanmu? Kamu tidak ingin istrimu hamil dulu?" Dimas diam tidak menjawab, " Bagi pasangan suami istri, kehadiran seorang anak itu sangat dinantikan. Tapi kamu malah merusaknya dengan alasan tidak siap karena masih mencintai wanita lain. Apa kamu tidak berpikir, kalau mungkin Hanna tahu soal itu?"
Dimas langsung menggeleng ragu. "Tidak, Pak. Hanna tidak tahu soal itu! Aku yakin, lagipula ... aku mencintainya!"
"Itu menurutmu, kamu tidak pernah tahu alasannya pergi, kan? Itu karena keegoisanmu memikirkan perasaanmu sendiri tanpa mau cari tahu apa yang dirasakan istrimu!" Pak Budi mengembuskan napas lelah. "Bapak pikir kamu sudah dewasa, tapi ternyata hanya usiamu saja yang terlewat dewasa sedangkan pola pikirmu masih kekanakan!"
"Pak ...," Suara Dimas ragu, menghentikan langkah Pak Budi yang akan keluar kamar. "Aku harus bagaimana, Pak? Mencari Hanna ke mana?"
Pak Budi hanya menoleh tanpa membalik badannya. "Semua yang kamu miliki di dunia ini hanya titipan, termasuk istri kamu. Sewaktu-waktu Allah bisa mengambilnya bahkan tanpa sebab. Masih beruntung Allah hanya memisahkan jarak kalian. Jadi mintalah pada pemiliknya sebelum terlambat, jika dia memang jodohmu, akan selalu ada jalan agar kalian bersama. Entah kamu yang menemukannya atau dia yang datang sendiri padamu."
Dimas mengusap kasar wajahnya diiringi helaan napas panjang.
"Salatlah. Sudah dua minggu ini istrimu pergi, kamu meninggalkan kewajibanmu pada Sang Pencipta. Jangan sampai kamu melakukan kesalahan yang sama seperti dulu hanya karena patah hati."
Dimas meringis tertahan, antara rasa sakit di sudur bibirnya yang robek dan sakit di hatinya. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar yang berantakan. Betapa besar pengaruh Hanna terhadap dirinya, dan ia sungguh menyesal telah menyianyiakan kesempatan dan cinta tulus wanita itu. Seandainya ia bisa memutar waktu, menyingkirkan bayangan wanita lain dan membiarkan Hanna menghuni seluruh ruang dalam hatinya.
Seandainya ....
Semoga mereka memang berjodoh ....
*****
Tanpa terasa waktu berlalu begitu cepat. Sudah lima bulan Hanna meninggalkan Dimas dan tinggal di rumah pribadi Haris di temani dua perawat bergantian sesuai instruksi kakaknya itu. Hal membuat hubungan mereka mengalami kemajuan walaupun tidak bisa dikatakan membaik, begitupun hubungan Hanna dengan Vania. Terkadang rasa cemburu masih mengganggu, mempengaruhi moodnya yang labil ketika sendiri dan akan bersikap sinis ketika Vania berkunjung. Namun perubahan sikap Hanna yang tergantung mood itu sama sekali tidak mengganggu Vania, dia tetap memperlalukan adik iparnya itu sebaik mungkin. Mengurus segala keperluannya, mengatur menu makanan sehat yang harus dikonsumsi Hanna sehari-hari sampai memenuhi ngidamnya.
Tiada henti Hanna mengelus perutnya, berjalan keluar dari ruang praktek dokter obgyn yang menangani kehamilannya. Hari itu ia ditemani Vania seperti biasanya ketika periksa kandungan setiap bulan.
"Aku, kan sudah sering ingatin kamu, jangan terlalu banyak pikiran. Fokus sama kesehatan kamu dan bayimu aja," omel Vania penuh perhatian, menggamit lengan Hanna, menyusuri koridor rumah sakit ibu dan anak yang juga dulu menjadi langganannya semasa hamil.
Hanna hanya diam, lalu duduk di salah satu kursi ruang tunggu ketika Vania menebus vitamin yang diresepkan dokter untuknya. Ada rasa takut saat mendengar penjelasan dokter tadi. Keadaannya selama lima bulan konsultasi pasca perdarahan waktu itu selalu terpantau baik, tetapi hari ini tensinya tiba-tiba naik. Ia tidak sanggup jujur karena beberapa hari terakhir ia selalu teringat Dimas dan membuatnya stress, apalagi saat kesendiriannya merasakan pergerakan janin dalam kandungannya.
Ia mengusap sudut mata yang tiba-tiba saja mengembun ketika netranya memperhatikan sekeliling, terdapat banyak pasangan suami istri yang tampak antusias menanti calon bayi mereka. Sedangkan ia hanya sendiri tanpa ditemani suami yang seharusnya menjadi tempatnya berbagi dan saling menguatkan. Namun ia sadar, semua adalah pilihannya. Memilih pergi bersama bayinya jika kehadirannya tidak diinginkan.
"Maafkan Mommy, Nak. Maaf kalau Mommy egois, itu karena Mommy sangat sayang sama kamu. Yang sehat, ya, sampai kita ketemu?" Hanna mengelus lembut perutnya, membiarkan genangan di pelupuk matanya mengalir. Ia tersenyum antara geli dan sesak merasakan pergerakan di dalam sana. Bayi perempuannya yang menurut prediksi dokter berusia tiga puluh minggu—jika semuanya lancar dan normal—tidak sampai dua bulan lagi akan terlahir di dunia.
Hanna sudah tidak sabar menanti saat itu, melihat wajah cantik bayinya yang entah akan mirip siapa. Antara dirinya atau Dimas.
"Ayo kita pulang. Mas Haris sama Hafiz sudah di rumah." Vania telah kembali dengan satu tas plasti kecil berisi vitamin yang harus dikonsumsi Hanna.
"Mami sama Papi ngga pernah curiga setiap kalian datang ke rumah dan kadang nginap?" Hanna buka suara mengusir keheningan dalam mobil di perjalanan mereka.
"Ngga kok. Yang penting mereka ngga pisah sama Hafiz," jawab Vania tanpa mengalihkan fokus pada kemudi mobilnya.
Hanna membuang pandangan keluar, menatap sendu sepanjang jalanan yang terlewati. Tangannya tiada henti mengelus perutnya, dengan pikiran berkecamuk karena apa yang diucapan Vania. Ketika bayinya lahir nanti dan orang tuanya tahu, apakah mereka akan memperlakukannya sama sama seperti Hafiz? Apa mereka akan menyayanginya sebagai cucu dari anak dan menantu yang tidak dianggap?
"Oh, iya. Habis ini aku sama Mas Haris langsung belanja kebutuhan Si cantik, ya? Kamu istirahat aja di rumah," ujar Vania antusias, tanpa menyadari perubahan sikap dan ekspresi Hanna.
"Ya, terserah kalian saja," sahut Hanna datar, tetap bergeming pada posisinya menatap jalan di luar.
*****
Selepas asar, mobil sedan itu melesat meninggalkan kediaman mewahnya. Wanita paruh baya berkerudung maroon yang duduk di kursi penumpang tampak gelisah setelah menginstruksikan tujuannya kepada supir pribadinya.
Ia penasaran dengan tingkah anak dan menantunya beberapa bulan terakhir. Terutama menantunya yang akan keluar di pagi hari bersama Hafiz—cucu kesayangannya—dan akan pulang malam bersama anaknya. Lalu di hari tertentu mereka akan menginap di rumah pribadi mereka, seperti hari itu sesuai izin mereka tadi pagi. Untuk menjawab rasa penasarannya, Ibu Rossa memutuskan untuk mendatangi rumah yang hampir dua tahun tidak ditempati sang anak.
Dahinya yang mengeriput, mengernyit heran ketika tiba di tujuan dan melihat sebuah mobil asing terparkir di sana. Setahunya, Vania sudah tidak pernah menyetir mobil sendiri. Lalu mobil siapa yang ada di sana karena tidak tampak pula mobil Haris.
Ibu Rossa keluar dari mobil, gerakan tangannya menutup pintu menimbulkan suara keras, mengagetkan seseorang yang entah sudah berapa lama duduk memperhatikan ikan di kolam samping teras.
"Ma-mi?"
Manik cokelat terangnya terbelalak kaget melihat sosok anak perempuannya yang entah sudah berapa lama tidak pernah ia lihat, berdiri kepayahan hanya berjarak beberapa langkah darinya.
"Hanna?" gumam Ibu Rossa, masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Perut besar Hanna yang di balik dress kuning longgar itu tidak bisa tampak jelas terlihat. "Hanna, kamu ...."
Hanna tampak gugup, kedua jemari tangannya saling meremas. Dia menyeret langkah yang tampak berat ke arah pintu rumah, bersiap menghindari maminya.
"Kamu sedang apa di sini, Hanna? Dan ...." Lagi-lagi Ibu Rossa tidak mampu melanjutkan ucapannya. Matanya masih bergerak memindai wajah dan perut Hanna bergantian dengan segala macam pertanyaan berputar memenuhi otaknya.
Raut wajah Hanna berubah panik, tanpa mengatakan apapun dia mempercepat langkah untuk segera masuk rumah. Namun, naasnya, dia tersandung karena kaki kanannya menginjak sandal di kaki kirinya yang hampir terlepas.
Kejadiannya begitu cepat, hanya dalam satu kerjapan mata, Hanna sudah tersungkur di lantai dengan posisi pinggulnya yang berbenturan langsung dengan kerasnya lantai teras.
"Ya Allah! Hanna!" teriak Ibu Rossa kaget. Keringat dingin mengucur di sekujur tubuhnya ketika melihat darah yang keluar dari sela paha Hanna. Bagai dejavu, apa yang ada di depan mata kembali menyeretkan ke masalalu. Saat di mana ia mengalami perdarahan sebelum melahirkan Hanna tiga puluh tahun silam.
*****
Sudah setengah jam berlalu. Ruang tunggu depan ruangan operasi itu sunyi senyap walaupun terdapat beberapa orang di sana. Raut wajah cemas dan khawatir tampak jelas di wajah mereka, menunggu seseorang yang sedang bertaruh nyawa untuk melahirkan nyawa lain dalam tubuhnya.
Di salah satu kursi, Haris duduk tanpa melepaskan rangkulan dari bahu Ibu Rossa. Menguatkan maminya itu yang duduk lemas dengan wajah pucat karena kebanyakan menangis. Saat kejadian, Haris dan Vania bersama anak mereka sedang pergi membeli perlengkapan untuk bayi Hanna. Saking paniknya ketika mendapat kabar tentang Hanna, mereka langsung menyusul ke rumah sakit dengan membawa Hafiz yang baru berusia satu tahun.
"Haris, sebenarnya apa yang terjadi?" Tergopoh-gopoh Pak Heru melangkah didampingi supirnya, menghampiri istri dan anaknya tersebut dengan raut cemas.
Haris mengembuskan napas pelan tanpa melepaskan rangkulan dari bahu maminya. "Maaf, selama ini aku dan Vania menyembunyikan Hanna di rumahku."
"Kenapa?" lirih Ibu Rossa parau. "Memangnya kenapa Hanna harus disembunyikan?"
"Keadaannya kacau lima bulan lalu saat meninggalkan desa, Mi."
"Apa Hanna meninggalkan suaminya? Kenapa? Apa yang dilakukan suaminya padanya?" cecar Pak Heru tidak sabar.
Haris melirik Vania yang memeluk erat anaknya dalam gendongan, menunduk tanpa mau menatapnya. Lalu ia kembali menatap papinya. "Hanya Hanna yang tahu pasti soal itu. Yang jelas, aku menyembunyikannya dari Mami dan Papi demi kebaikan Hanna, karena selama ini dia merasa hubungan kita semua tidak baik dengannya."
Ibu Rossa menangis pilu dalam pelukan Haris, seakan meluapkan beban berat yang disembunyikan selama ini.
"Ma-maaf," gumam Ibu Rossa dengan suara tercekat.
"Sudahlah, Mi. Jangan minta maaf sekarang, lagipula semua yang terjadi selama ini salah kita juga, bukan Mami saja," ujar Haris menenangkan, tiada henti mengusap bahu maminya.
"Hanna itu ...," ucapan Ibu Rossa terhenti ketika mendengar tangisan bayi yang melemah dari dalam ruang operasi.
"Alhamdulillah. Bayinya sudah lahir," gumam Haris diikuti semua yang ada di sana. Mereka semua langsung berdiri serempak, tidak adalagi yang fokus dengan apa yang akan dikatakan Ibu Rossa tadi.
*****
Sosoknya berdiri tegak di sana, di depan kantor LSM yang tiga tahun ini dijalankan dibawah kepemimpinannya. Tangannya bersedekap, menatap lurus pada pekerja bangunan yang sedang menyelesaikan pekerjaannya dikala senja menjelang.
"Bang."
Dimas menoleh ketika seseorang menyentuh bahunya. "Ya?"
"Bagaimana laporan pembangunannya? Abang mau antar sendiri ke kota, atau bagaimana?"
Dimas mengalihkan pandangannya kembali ke gedung kantor yang sudah mengalami perluasan dan sedang dalam tahap penyelesaian akhir. Ia menghela napas berat, karena dadanya terasa sesak jika seseorang membahas tentang urusan ke kota. Hal itu selalu mengingatkannya pada Hanna yang sudah lima bulan meninggalkannya tanpa kabar.
"Kamu saja yang pergi, Ded. Seperti biasa," kata Dimas akhirnya.
Sejak dua minggu kepergian Hanna, sebisa mungkin Dimas selalu menghindari segala urusan yang mengharuskannya kembali ke kota. Ia akan menyuruh rekan-rekannya yang sama-sama mengelola PKBM ketika ada urusan mendesak ke sana.
Katakanlah ia pengecut, karena memang demikianlah adanya. Dimas terlalu takut kecewa untuk kesekian kalinya karena tidak bisa menemukan Hanna dan membuatnya bertindak atau berkata kasar yang hanya akan disesalinya nanti. Ia merasa telah cukup berusaha, sisanya ia akan terus berdoa. Jika memang mereka berjodoh, Hanna pasti akan kembali padanya. Bagaimana pun caranya.
Dimas berbalik, melangkah perlahan menuju rumah. Lalu sejenak berhenti menatap ke arah pantai, menggali ingatannya tentang Hanna.
"Kalau kamu memang mencintaiku, kamu pasti akan kembali padaku, Hanna."
0 comments:
Posting Komentar