❤ *CINTA*
*di Batas Cakrawala*
🌅 nomor - 20
(Kilasan Masalalu)
Jam enam pagi Dimas baru kembali ke rumah setelah menemui kepala desa di masjid dengan beberapa warga, membicarakan proyek perbaikan jalan desa dari dana yang telah disumbangkan Vania.
"Assalamu'alaikum." Dimas melangkah masuk rumah yang sepi. Ia terus melangkah ke kamarnya, membuka pintu dan melihat Hanna sedang terlelap tenang dengan wajah memucat.
Tanpa mengalihkan padangan dari sang istri, Dimas mengganti baju lalu turut membaringkan badannya yang masih terasa lelah karena perjalanan kemarin. Ia berusaha untuk memejamkan mata, tetapi menatap wajah Hanna malah membuat kedua matanya enggan untuk terpejam.
Direngkuhnya Hanna dalam dekapan saat teringat pembicaraan mereka semalam, dan hal itu kembali membuatnya risau. Ia dengan yakin mudah menghadapi Hanna, tetapi tidak dengan ibunya yang menurutnya memang telah menginginkan kehadiran cucu darinya.
Dimas mengembuskan napas berat. Bibirnya mengecup pucuk kepala Hanna sambil mengelus pipinya. Lima belas menit berlalu, ia melepas perlahan pelukannya agar tidak membangunkan Hanna, lalu bangun duduk. Karena selelah apapun tubuhnya, tidak akan bisa diistirahatkan jika sedang banyak pikiran.
Ia beranjak mendekati jendela, membukanya lalu menepikan gorden hijau yang tertiup angin. Udara segar masuk dengan bebas membuatnya turut menghela napas untuk menenangkan diri. Biasanya ia akan berenang untuk menghilangkan letih, tetapi tidak dengan hari ini. Dimas memutuskan keluar kamar, berjalan ke dapur berpapasan dengan ibunya yang sedang menata sarapan di meja makan.
"Hanna mana?"
"Sepertinya kurang enak badan, Bu. Masih kelelahan, itu dia tidur lagi," jawab Dimas.
Bik Minah tidak menjawab, beliau berjalan kembali ke dapur membuat Dimas mengernyit heran. Ia membatalkan niat ke dapur, lalu mendudukan diri di salah satu kursi. Mengisi gelas dengan teh hangat yang diseduh dalam teko, menyesapnya perlahan.
"Lho, sudah pulang?" Pak Budi tiba dari arah depan lalu mendudukan diri di kursi yang biasa ditempati.
"Sudah, Pak," jawab Dimas tenang.
"Bicara apa saja sama Pak Kades?"
"Nanti sore mau rapat di balai desa sebelum asar, Pak. Mau bicarakan masalah pembangunan jalan dari dana sumbangan itu."
Pak Budi mengangguk sambil menerima teh yang dihidangkan Bik Minah. Wanita paruh baya itu mengambil tempat duduk di seberang sang anak setelah sarapan pagi telah terhidang.
"Setelah beberes rumah, Ibu mau bawa Hanna ke tempat Bidan Arini." Bik Minah buka suara setelah beberapa saat ruang makan hanya diisi keheningan.
Dimas langsung menghentikan gerakan tangannya menyendok nasi. Ia menghela napas menatap sang ibu yang sesuai dugaannya. "Bu ...."
"Kenapa?" sahut Bik Minah santai.
"Jangan membebani Hanna dengan keinginan Ibu untuk segera memiliki cucu."
"Membebani Hanna dengan keinginan Ibu? Maksudnya? kamu tidak ingin punya anak?"
"Bukan begitu, Bu ...."
"Jadi katakan, kamu ingin punya anak atau tidak?" cecar Bik Minah, suaranya berubah tajam.
Dimas menghela napas panjang lalu berkata, "Iya. Tapi tidak sekarang."
Pak Budi yang tadinya diam mendengarkan, tersentak kaget akan jawaban Dimas. "Maksud kamu apa?"
"Kenapa tidak sekarang? Jadi maunya kapan? Kamu pikir, kamu bisa mengantur seenaknya kapan kamu mau punya anak? Manusia itu hanya bisa berencana, tapi Allah yang menentukan!"
Dimas menunduk tanpa bisa membantah ucapan ibunya. Apa yang ia pikirkan memang benar, ia tidak bisa melawan ibunya. Lagi pula apa yang dikatakan wanita paruh baya itu memang benar dan ia telah melupakan fakta itu.
"Sekarang katakan sama Ibu dan Bapak. Kenapa kamu belum siap punya anak sekarang? Padahal hubunganmu dengan Hanna sudah sangat baik." Bik Minah tidak sedikitpun mengalihkan pandangannya dari Dimas yang masih menunduk.
Dimas mengangkat wajahnya, menatap kedua orang tuanya bergantian. Lalu fokus pada ibunya. Mungkin ia harus jujur pada kedua orang tuanya lebih baik, karena ia tidak sanggup kalau harus mengatakan yang sebenarnya pada Hanna. Walau pun ia masih ragu akan perasaannya, tetapi satu yang pasti, ia tidak ingin kehilangan Hanna.
Sejenak Dimas melirik ke arah pintu penghubung, khawatir kalau istrinya itu tiba-tiba muncul dan mendengar semua ucapannya yang tentu saja menyakitkan. "Aku belum mencintainya, Bu," ujarnya kemudian.
Pak Budi dan Bik Minah kompak menatap tajam anak tunggal mereka itu.
"Apa karena Vania?" ujar Bik Minah dingin.
Dimas kembali menunduk, tidak sanggup mengiyakan ucapan ibunya.
"Kenapa diam? Kamu belum bisa mencintai istrimu karena kamu masih mencintai Vania?" Suara Bik Minah terdengar pelan tetapi menuntut.
"Bu-—"
"Ya Allah, Dimas!" Bik Minah langsung beranjak dari duduknya menghampiri Dimas, tanpa diduga tangannya langsung menampar keras pipi Dimas dengan napas memburu. "Sejak awal kamu sempat menolak menikahi Hanna padahal kamu sudah menidurinya. Sekarang kamu bilang, kamu belum siap punya anak karena belum bisa mencintainya dan itu karena kamu masih memikirkan istri orang. Apa selama kebersamaanmu dengan Hanna, yang ada di otakmu itu Vania?"
Dimas kembali mengangkat wajahnya, kaget karena tuduhan ibunya. "Demi Allah, Bu. Saat bersama Hanna, aku hanya memikirkannya."
"Tidak perlu bersumpah atas nama Allah! Ibu tidak percaya, bagaimana bisa kamu memperlakukan Hanna sebagai seorang istri yang sesungguhnya tapi tanpa cinta, kecuali kalau dalam otakmu itu hanya ada Vania, dan kamu menganggap Hanna itu adalah Vania!"
"Bu!" sentak Dimas tidak terima.
"Dimas!" hardik Pak Budi membuat Dimas langsung diam. "Berani kamu bentak Ibumu?!"
Bik Minah menatap nanar putranya. Tangannya yang mengeriput mengusap cepat bulir bening yang sudah mengaliri pipi. Tanpa kata, wanita paruh baya itu melangkah gontai ke dapur.
"Kamu sudah dewasa, Dimas. Dan seumur hidupmu, belum pernah sekalipun kamu membentak Ibumu hanya karena tidak terima disudutkan. Seharusnya apa yang dikatakan Ibumu itu bisa membuka pikiranmu, menyakiti istri sama saja kamu menyakiti Ibumu." Pak Budi membuang napas kasar. "Ternyata pendidikan tinggi tidak cukup untuk membuatmu bisa berpikir dengan baik untuk menghadapi masalah!" Pak Budi langsung beranjak ke dapur menyusul istrinya.
Dimas tertunduk dengan kedua tangan mengepal erat, dadanya kembang kempis dengan napas memburu. Tidak perlu tijuan atau tamparan yang membuatnya meringis, karena apa yang dikatakan bapaknya adalah pukulan telak untuknya. Hanya karena perasaan bodohnya, bukan hanya Hanna yang tersakiti tetapi kedua orang tuanyapun turut merasakan rasa sakit itu.
*****
Setelah mendengar satu kenyataan yang sangat mengejutkan tentang masalalu Dimas, Hanna memilih kembali ke kamar. Ia tidak sanggup mendengar kenyataan lainnya walaupun rasa penasaran begitu kuat.
Ia mengusap kasar kedua pipinya serta matanya yang basah sampai terasa perih. Sakit kepala tiba-tiba terasa menghantam kuat membuatnya memejamkan mata. Ia ingin tidur, dan berharap saat bangun nanti semua kenyataan tentang perasaan Dimas terhadap Vania yang ia dengar tadi hanyalah mimpi.
"Maafkan aku, Hanna."
Matanya yang perih mengerjap berat. Entah sudah berapa lama ia terpejam, terasa kecupan hangat di pucuk kepalanya serta bisikan maaf dari suara yang tidak asing di telinga. Hanna membuka matanya, langsung tertumbuk dengan mata hitam gelap yang telah menenggelamkannya dalam cinta yang menyakitkan. Lelaki yang ia cintai, tetapi tidak mencintainya.
"Kamu sudah bangun?" Suara Dimas terdengar parau. Entah karena apa, rasanya Hanna tidak ingin tahu.
Ia menatap datar suaminya itu, tanpa kata.
"Masih capek?" Dimas merapikan surai rambut cokelat itu, lalu tangannya beralih di pipi Hanna.
Hanna masih bergeming dengan tatapan yang sama.
Dimas tampak mengernyit, lalu tersenyum canggung. "Ayo kita sarapan," ajaknya.
"Aku ngga lapar," lirih Hanna.
Dimas menghela napas pelan, mendekatkan wajahnya. "Nanti sore setelah rapat dengan warga, aku akan belikan testpack, ya? Setelah kamu test besok, baru kita ketemu Bidan atau tidak."
Hanna tersenyum getir. "Kenapa kamu berubah pikiran?"
"Karena aku ... aku sayang kamu, Hanna." Direngkuhnya Hanna dalam dekapan.
Air mata Hanna kembali meluruh tidak tertahankan. Bukan sebuah pengakuan cinta walaupun sekedar untuk menyenangkan hatinya. Namun jelas hanya sebuah kata sayang yang terucap. Dimas hanya menyayanginya karena cinta lelakinya itu untuk wanita lain, tidak peduli wanita itu bahkan sudah bersuami dan memiliki anak.
"Sekarang kamu harus makan, wajahmu pucat sekali." Dimas melepaskan pelukan, menatap wajah Hanna dalam bingkai kedua tangannya yang besar.
Walau malas, Hanna diam menurut lalu bangun mengikuti Dimas yang membawanya keluar kamar. Sekuat tenaga Hanna menahan sakit yang bersumber dari hatinya, dan menjalari sekujur tubuhnya.
"Bapak dan Ibu mana?" tanya Hanna setelah menyadari kekosongan di ruang makan. Padahal tadi kedua mertuanya itu duduk bersama Dimas.
Dimas mendudukan Hanna di kursi, tangannya merapikan rambut Hanna yang berantakan. "Bapak sama Ibu sudah makan. Sekarang giliran kita. Jangan muntah lagi, ya?"
Hanna hanya diam tanpa mengalihkan pandangan dari Dimas. Bahkan hanya untuk hal sepele tentang orang tuanya, Dimas harus berbohong. Mulai detik itu, tidak ada lagi satu kata pun dari lelaki itu yang bisa dipercayai Hanna. Tidak ada, termasuk kata sayangnya.
*****
Setelah makan siang, Hanna memilih untuk tidur. Selain karena sakit kepala, ia juga tidak ingin berlama-lama berinterkasi dengan Dimas yang seakan tidak ingin jauh darinya. Sejak sarapan sampai makan siang, Dimas selalu menemaninya di kamar. Hanya satu hal lelaki itu tidak akan mengikutinya saat ia ke dapur untuk membantu Bik Minah yang entah mengapa jadi pendiam.
Hanna terbangun saat azan asar terdengar dari masjid. Kepalanya terasa berat walaupun rasa sakitnya berkurang. Ia bangun untuk segera berwudhu. Dalam salatnya yang sendiri sejak mengetahui isi hati Dimas, ia memohon ampun pada Allah. Berharap keinginan Dimas terkabul sehingga ia tidak perlu memiliki anak dari lelaki yang tidak mencintainya walaupun lelaki itu adalah suaminya sendiri.
Bahunya bergetar, menahan sesak dalam dada setelah mengakhiri doa yang sebenarnya sangat bertolak belakang dengan hatinya. Namun ia tidak punya pilihan, ia tidak ingin anaknya tidak diharapkan dan mendapat perlakuan tidak adil seperti dirinya selama ini.
Hanna menghapus jejak air mata di pipi, lalu melipat satu-satunya mukena yang ia miliki dan itu pemberian Dimas. Dulu, Malik juga pernah menghadiahkannya alat salat itu, tetapi semua barang pemberian lelaki itu ia tinggalkan setelah kepergiannya menghadap Sang Pencipta. Ia hanya membawa buku dan foto Malik yang kini sudah dibuang Dimas.
Ia tersenyum miris mengingat betapa egoisnya lelaki itu. Dimas memintanya melupakan masalalunya dan Malik, sementara dia asyik menyimpan nama wanita lain di hati dan tidak menyisakan sedikitpun ruang untuk Hanna tempati. Egois, dan sayangnya lelaki egois itulah yang ia cintai saat ini.
Hanna keluar kamar, mengedarkan pandangan pada rumah yang sepi. Ia melangkah ke depan karena pintu rumah yang terbuka lebar. Angin laut langsung menyapanya. Ia melihat Bik Minah duduk sendirian di kursi kayu panjang di teras, sorot mata tuanya menatap lurus ke arah pantai.
"Bu." Hanna langsung mendudukan diri di samping ibu mertuanya itu.
"Hanna?" Bik Minah tampak kaget, lalu tersenyum saat Hanna bersandar manja padanya. "Sudah salat, Nak?" Tangannya mengusap rambut Hanna.
"Sudah." Hanna menoleh, mengamati dari dekat wajah Bik Minah. Ia bisa melihat dengan jelas, mata wanita paruh baya dengan bulu mata lebatnyalah yang diwarisi Dimas. Sementara seluruh garis wajah Dimas menurun dari Pak Budi.
"Ibu kenapa?" tanya Hanna kemudian.
"Ibu? Tidak ada apa-apa, Nak."
"Dari pagi Ibu mendiamkanku, bahkan Ibu tidak mengajakku bertemu Bidan. Apa aku melakukan kesalahan?" Suara Hanna bergetar. Ia takut jika ibu mertuanya itu marah lalu bersikap buruk padanya.
Bik Minah langsung menggeleng. "Kamu tidak ada salah apapun, Nak. Kamu yang terbaik bagi Ibu."
"Lalu kenapa Ibu aneh sekali hari ini? Lebih banyak diam, tidak seperti biasanya akan banyak memberitahukanku ini itu saat memasak."
"Ibu lihat wajahmu pucat, Ibu pikir kamu pasti masih kecapekan. Makanya Ibu lebih banyak diam tadi, biar kamu tidak kerepotan."
Hanna menatap nanar Bik Minah, menyadari kebohongan yang sedang ditutupi wanita berdaster hitam panjang itu. Ia kembali menyandarkan kepalanya, berusaha mengontrol diri untuk tidak mencecar ibu mertuanya. "Tadi pagi Dimas bilang padaku, setelah pulang dari kegiatannya sore ini dia akan beli testpack. Ibu yang minta?"
Tidak ada lagi panggilan 'Abang' yang biasa Hanna ucapkan untuk menyebut Dimas. Bik Minah tampaknya menyadari hal itu, karena tatapannya tampak heran. Hal itu tidak disadari Hanna yang masih bersandar dengan pandangan menunduk.
"Dimas bilang begitu?" Hanna hanya mengangguk tanpa kata. "Apa lagi yang dia katakan?"
Hanna mengangkat kepalanya, menatap raut wajah Bik Minah yang masih keheranan. "Tidak ada."
"Maaf kalau memang yang Ibu katakan tentang kehamilan membebanimu. Adalah hal wajar kalau orang tua sangat menginginkan cucu dari anaknya, terlebih Dimas adalah anak tunggal Ibu dan Bapak."
Hanna mengangguk kelu, teringat doanya tadi. Entah mengapa perasaannya jadi labil sekarang. Mertuanya ingin cucu, sedangkan suaminya belum siap. Ia benar-benar bingung.
"Apa kamu mencintai Dimas, Nak?"
Hanna tertegun mendengar pertanyaan itu. Kemudian ia mengangguk tanpa mampu berkata.
"Jangan pernah tinggalkan Dimas, ya? Selamanya jadi menantu Ibu dan Bapak," ujar Bik Minah tulus.
Hanna tersenyum getir karena ucapan ibu mertuanya. Lidahnya terasa kelu untuk menjawab. Ia ... tidak bisa menjanjikan apapun terlebih untuk sesuatu yang tidak bisa ia pastikan nanti. Ia bukanlah wanita baik yang penuh kesabaran. Ia hanya wanita biasa, dan tidak tahu apakah ia bisa bertahan selama Dimas masih memikirkan wanita lain.
"Apakah setiap orang tua pasti menyayangi anaknya?" Hanna mengganti topik pembicaraan. Ia kembali bersandar pada bahu Bik Minah. Terasa usapan lembut di rambutnya.
"Tentu, tidak ada orang tua yang tidak menyayangi anaknya."
Hanna diam memejamkan matanya. Hatinya teriris mendengar ucapan tulus dan jujur dari seorang ibu. Imannya yang lemah membuatnya bertanya-tanya, mengapa ia tidak dilahirkan sebagai anak dari Pak Budi dan Bik Minah saja walaupun hidup pas-pasan? Dan menjadi saudara bagi Dimas, sehingga ia tidak perlu merasakan sedihnya diperlakukan tidak adil oleh orang tua dan menjadi istri dari lelaki yang tidak mencintainya.
*****
Tangan Hanna gemetar saat Dimas menyerahkan dua buah alat tes kehamilan. Seperti dejavu, hampir dua bulan lalu lelaki itu melakukan hal yang sama. Menyerahkan benda berbentuk stik itu untuk mengetahui keadaannya setelah mereka melakukan kesalahan satu malam yang kini menyatukan mereka dalam ikatan pernikahan.
Detak jantungnya tidak menentu, membuatnya tidak berani menatap wajah Dimas yang pasti sedang menatapnya saat ini. Semalaman ia hampir tidak bisa tidur, dan selepas subuh ini ia seakan dipaksa untuk menghadapi satu kenyataan lainnya. Rasanya hampir sama dengan saat itu, saat Dimas dengan egois memaksanya melakukan tes itu.
"Dim—" Hanna mengangkat wajahnya, tampak Dimas menatapnya heran. Hanna menggigit bibirnya lalu kembali menunduk. Ia sudah malas berbasa basi dengan panggilan Abang untuk suaminya itu. Semua terasa hambar, bahkan pelukannya sepanjang malam pun terasa dingin sampai di hatinya.
"Apa kamu senang kalau aku tidak hamil?" lirih Hanna sedatar mungkin. Sedikit saja ia menaikan volume suaranya, maka getaran akan terdengar jelas.
"Kenapa bertanya begitu?" Tangan Dimas menyentuh dagu Hanna, membuat mereka kini bertatapan.
"Semoga Allah mengabulkan inginmu," ujar Hanna, lalu bergegas masuk kamar mandi tanpa menunggu respon Dimas. Ia menutup pintu kamar mandi, lalu menyalakan keran air. Ia mulai melakukan apa yang menjadi tujuannya di dalam sana.
Lima menit berlalu, Hanna bersandar di dinding. Matanya menatap ragu pada wadah berisi air seninya serta testpack yang tercelup di dalamnya. Jantungnya semakin tidak karuan membuatnya hampir kesusahan menghela napas. Ia mendekat dan semakin ragu meraih benda itu. Matanya mengerjap pelan disertai bulir bening yang meluruh saat melihat garis merah yang tercetak jelas di sana.
*****
Dimas masih keheranan dengan perubahan sikap Hanna. Tidak ada panggilan Abang, serta sikap agresif istrinya itu tidak tampak. Ia khawatir kalau Hanna kecewa karena ucapannya semalam tentang anak yang disalah artikan. Walaupun awalnya, hatinya berkata tidak siap. Namun pembicaraannya dengan kedua orang tuanya kemarin menyadarkannya. Siap atau tidak, jika Allah sudah berkehendak ia harus menerimanya dengan ikhlas.
Ia memilih kembali masuk ke dapur, mendekati ibunya yang seperti biasa sibuk menyiapkan sarapan. "Bu ...."
Bik Minah masih bergeming tanpa menoleh sedikitpun. Dimas tahu ibunya masih marah. Ia menghela napas untuk menenangkan diri. Didekati ibunya yang duduk di kursi plastik lusuh.
"Bu, aku minta maaf."
Bik Minah menghentikan gerakan tangannya mengiris wortel, menatap datar sang anak yang kini jongkok di hadapannya dengan wajah sendu.
"Sejak kecil, aku hidup dengan nenek. Bapak dan Ibu bekerja di kota jauh dariku. Aku terbiasa dengan kemarahan dan ketegasan nenek dalam mengasuhku, tapi aku tidak terbiasa dengan kemarahan Bapak dan Ibu. Sudah sebesar ini, aku baru bisa menghabiskan waktuku bersama kalian. Aku ingin merasakan kasih sayang kalian, bukan kemarahan kalian karena salahku. Maafkan aku, Bu."
Bik Minah mengusap rambut Dimas, saat kepala putranya itu tertumpu di pangkuannya. "Perbaiki dirimu, Nak. Lupakan Vania, dan bukalah hatimu sepenuhnya untuk Hanna. Berusahalah untuk mencintainya."
Dimas mengangguk tanpa mengangkat wajahnya. Air mata tidak kuasa ditahan yang langsung diusapnya cepat saat terdengar derit pintu kamar mandi yang terbuka di luar. Ia berdiri, menatap Hanna penasaran.
"Bagaimana?" tanya Dimas seraya mendekat.
Wajah Hanna tampak basah, entah karena air mata atau karena mencuci muka. Dia menyodorkan sebuah testpack pada Dimas tanpa mau menatap lalu berkata, "Negatif."
Dimas bergeming, menatap nanar benda yang disodorkan Hanna padanya. Melihat reaksi Hanna yang tampak kecewa, ia merasa sangat bersalah. Diremasnya benda itu untuk meluapkan penyesalannya. Baru saja ia akan mendekat, Bik Minah telah lebih dahulu memeluk Hanna.
"Sabar, Nak. Mungkin bukan rezeki. In sha Allah, akan ada saatnya nanti," bisik Bik Minah pada Hanna yang langsung menangis. Mata tua Bik Minah melayangkan tatapan yang langsung dipahami Dimas. Semua karena salahnya.
*****
Gulungan ombak kecil yang mengantarkan air laut terasa hangat menyentuh kulit. Hanna terus melangkahkan kakinya sampai air laut mencapai sebatas lutut. Matanya menatap lurus pada lautan yang tiada bertepi, seakan menyatu dengan langit biru yang cerah sore itu.
Hanna mengeluarkan sebuah testpack dari saku dressnya yang dilapisi sweter rajut tipis berwarna biru. Ia menatap benda yang mencetak jelas dua garis merah, sementara satu tangannya mengelus perutnya.
"Maafkan Mommy, Nak. Mommy janji, kamu tidak akan mengalami apa yang namanya tidak diinginkan. Walaupun itu artinya, hanya ada kita berdua." Hanna mengembuskan napas yang terasa sesak di dada, lalu membuang testpack yang menjadi bukti kehamilannya.
Ya, Hanna hamil dan terpaksa melakukan kebohongan, menutupi kehamilannya dengan menyerahkan satu testpack yang tidak ia gunakan. Semua percaya saat melihat ekspresi sedih dan tangisnya, padahal yang sesungguhnya, ia sangat sedih karena harus menyembunyikan kehadiran janin yang tidak berdosa dalam kandungannya. Ia melakukan hal itu karena terlalu kecewa pada Dimas, terlalu kecewa pada sikap manis dan munafik lelaki itu.
Kedua tangan Hanna merapatkan sweternya saat angin berembus sedikit kencang, lalu ia memeluk perutnya seakan takut akan ada yang menyakiti calon bayinya. Tekadnya sudah bulat, ia akan mencari waktu yang tepat untuk meninggalkan desa itu. Meninggalkan kepalsuan yang lelaki itu berikan, dan meninggalkan kedua orang tua yang sangat ia sayangi dan juga menyayanginya. Meninggalkan tempat yang memberinya kenangan indah, sekaligus menyakitkan.
0 comments:
Posting Komentar