#Mengejar_Cinta_Rianti
#Episode_15
Terma kasih admin/moderator telah menyetujui tulisan ini.
Terima kasih pembaca setia Rianti.
Tepat pukul 10.00 Pak Didi telah sampai di rumah Rianti untuk menjemput calon istri majikannya itu. Rianti telah siap untuk berangkat. Ia mengajak Siska untuk ikut menemani. Siska sudah sedikit santai karena tinggal menunggu waktu wisuda. Setelah pamit dengan sang mama, Rianti dan Siska pun berangkat menuju kantor Afdi. Rianti dan Siska sampai di kantor Afdi pukul 11.30. Seperti ucapan Rianti kemarin, ia hanya menunggu Afdi di mobil.
Rianti mengirimkan pesan melalui whatshapp kepada Afdi kalau ia telah sampai dan menunggu di parkiran. Tidak berapa lama, terdengar pintu depan diketuk dan sosok Afdi telah berdiri di samping mobil. Pak Didi menurunkan kaca depan dan membuka kunci otomatis mobil. Afdi masuk dan duduk di samping Pak Didi. Sebelum memasang sabuk pengaman, Afdi menoleh pada Rianti dan Siska.
“Langsung berangkat?” Tanya Afdi pada Rianti. Rianti mengangguk.
“Iya, Mas,” jawab Rianti.
“Tapi sebelum nyari cincin, kita makan siang dulu, ya. Siska pasti sudah lapar.” Afdi berkata seraya melirik Siska. Siska hanya tersenyum mendengar kata-kayta Afdi.
“Kami ngikut apa kata Bos aja. Ya, kan, Siska?” Rianti memeluk pundak adeknya dengan penuh kasih.
“Iya, Kak.” Siska mengangguk.
“Cari tempat makan yang enak, ya, Pak Didi.” Afdi memasang sabuk pengamannya.
“Baik, Pak.” Pak Didi mengangguk seraya menjalankan mobil meninggalkan halaman parkir kantor.
Cuaca kota Jakarta yang panas dan keruwetan jalan raya yang tak pernah kenal waktu, selalu saja membuat hati bersyukur jika masih bisa menikmatinya dari dalam mobil dengan pendingin yang sejuk. Rianti menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi. Bagi Rianti segala sesuatu jika dinikmati tidak ada yang menjadi membosankan. Kemacetan juga terasa menyenangkan jika dinikmati dengan perasaan senang.
Sementara Afdi sibuk dengan ponselnya, membuka beberapa email yang belum sempat dibalasnya. Hanya Pak Didi yang terlihat fokus ke jalan raya.
“Mau makan di tempat biasa, Pak?” Pak Didi menoleh pada majikannya yang terlihat masih sibuk dengan pekerjaannya. Afdi mengangkat wajahnya dan memperhatikan jalanan yang mereka lewati.
“Boleh, Pak. Kita berhenti makan siang dulu,” ujar Afdi seraya menutup ponselnya. Tidak berapa lama mobil memasuki sebuah restoran dengan menu hidangan berbagai macam seafood. Setelah mendapatkan tempat parkir, Afdi bergegas turun dan membukakan pintu untuk Rianti. Sementara Pak Didi juga membukakan pintu mobil untuk Siska.
“Nggak apa-apa makan di sini?” Afdi menatap Rianti lembut dan menutupkan pintu mobil kembali.
“Nggak apa-apa, Mas. Saya dan Siska penyuka segalanya, Mas.” Rianti tertawa kecil mengingat ia dan adik-adiknya memang orang yang tak pernah pilih-pilih makanan.
“Syukurlah, jadi Mas nggak perlu bingung-bingun kalau mau ngajak kamu makan.” Afdi tersenyum dan menjajari langkah Rianti. Sementara Siska juga sudah berjalan di samping kiri kakaknya. Afdi sadar Pak Didi tidak ada bersama mereka.
“Bentar, ya. Mas panggil Pak Didi dulu.” Afdi pun berbalik dan berjalan kembali ke mobil. Rianti ikut menghentikan langkahnya dan berniat menunggu Afdi dan Pak Didi. Dalam hati Rianti tak bisa menyembunyikan rasa kagumnya, masih ada seorang bos di zaman sekarang ini yang bersikap seperti Afdi. Mau mengajak supirnya untuk makan bersama. Laki-laki yang baik, Rianti berbisik dalam hati.
Tidak berapa lama, Afdi pun datang dengan Pak Didi.
“Kok nggak langsung masuk?” Afdi menatap Rianti yang masih berdiri menunggunya.
“Bareng Mas aja.” Rianti menjawab seraya tersenyum.
“Ayo!” Afdi mengajak semuanya untuk masuk ke dalam. Restoran dengan dekorasi modern itu terlihat cukup ramai. Sebab pilihan menunya tidak hanya seafood, tetapi juga ada menu-menu lainnya.
Mereka mendapatkan tempat duduk yang menghadap ke taman belakang. Rianti, Siska mengambil tempat duduk yang langsung menghadap ke taman. Afdi dan Pak Didi duduk di depan mereka. Tidak berapa lama pelayan pun datang memberikan daftar menu. Rianti dan Siska memilih tumis asam pedas kepiting dan udang. Afdi memesan cumi goreng tepung, ikan rica kuning, sop kerang dan capcai untuk dirinya dan Pak Didi.
Tidak berapa lama pesanan datang dan dihidangkan di hadapan mereka. Berempat mereka makan tanpa banyak bicara. Hanya sesekali terlihat Afdi mencuri pandang pada Rianti. Rianti pura-pura tidak tahu. Gadsi itu terlihat makan dengan berselera. Setelah lebih sebulan sejak kepergian sang papa, Rianti mencoba ikhlas menerima semuanya. Sehingga selera makannya pun mulai membaik.
“Tambah lagi, ya?” Afdi mendekatkan bakul nasi pada Rianti. Rianti menatap Afdi dan menggeleng.
“Sudah, Mas. Sudah kenyang.”
“Harus makan banyak-banyak, biar pas make baju pengantin.”
“Ih, aku kan nggak kurus-kurus amat, Mas.”
“Iya, sih. Udah pas. Tapi kalau berisi sedikit lagi, makin cantik.”
“Nggak boleh ngomongin fisik.” Rianti mendelik pada Afdi. Afdi terbahak. Sementara Siska dan Pak Didi hanya senyum-senyum mendengar dialog kedua calon pengantin.
Setelah menyelesaikan makan siang mereka, Afdi bangkit menuju kasir. Rianti, Siska dan Pak Didi pun ikut berdiri dan berjalan ke luar dari restoran. Rianti dan Siska menunggu Afdi di samping pintu restoran. Tidak berapa lama Afdi datang dan mereka bertiga berjalan menuju mobil. Pak Didi segera membukakan pintu mobil begitu melihat majikannya datang. Afdi, Rianti, dan Siska bergegas naik ke mobil.
“Kita mau ke mana, Pak?” Pak Didi bertanya setelah duduk di belakang kemudi.
“Kita cari masjid aja dulu, ya, Pak.” Afdi menjawab seraya memakai sabuk pengamannya.
“Baik, Pak.” Pak Didi mengangguk. Mobil perlahan meninggalkan parkiran restoran, memasuki jalan raya yang selalu padat.
****
Setelah salat zuhur berjamah di masjid, Rianti dan Afdi pun sampai di sebuah mall di Jakarta Selatan. Bertiga mereka memasuki mall yang tidak terlalu ramai. Barangkali karena hari kerja dan masih siang juga. Pak Didi menunggu di mobil. Afdo membawa Rianti ke salah satu toko perhiasan yang ada di mall tersebut. Siska dengan setia menemani sang kakak.
Sampai di toko perhiasan yang menyediakan berbagai macam perhiasan emas dan logam mulia lainnya, pelayan toko mempersilakan mereka untuk melihat-lihat dan memilih mana yang dirasa cocok.
“Kamu sukanya yang seperti apa?” Afdi memperhatikan puluhan pasang cincin yang terdapat di dalam etalase kaca.
“Yang simpel aja ya, Mas.” Rianti juga ikut memperhatikan cincin-cincin cantik di bawah tangannya.
“Ya, boleh. Apapun pilihan kamu, Mas setuju aja.” Afdi berkata lembut dan tersenyum pada Rianti. Rianti ikut tersenyum mendengar ucapan Afdi. Lalu Rianti menunjuk sepasang cincin berhiaskan sebuah permata. Logamnya perpaduan emas 22 karat dengan emas putih. Sederhana namun terlihat elegan. Pelayan toko langsung mengambilkan cincin yang ditunjuk oleh Rianti. Rianti memasangkan cincin itu di jari manisnya, begitu juga dengan Afdi. Mereka tanpa sadar mendekatkan kedua jari manis mereka.
“Cantik,” ujar Rianti dengan mata berbinar.
“Kamu suka?” Afdi menoleh pada Rianti. Rianti mengangguk. Afdi pun menanyakan harga kedua cincin tersebut kepada pelayan toko. Pelayan yang memakai seragam hijau pupus itu menyebutkan angka untuk kedua cincin yang masih berada di jari manis Afdi dan Rianti. Mendengar jumlah angka yang disebutkan oleh sang pelayan, Rianti buru-buru membuka cincin di jarinya dan meletakknannya kembali di kotak beludru berwarna hitam.
“Yang lain aja, Mas.” Rianti berbisik pada Afdi.
“Kenapa?” Afdi menatap Rianti dengan heran.
“Terlalu mahal.” Rianti menatap Afdi dengan wajah meringis. Tak ayal Afdi tersenyum juga mendengar ucapan Rianti.
“Tapi kita insyaAllah hanya menikah sekali seumur hidup. Cincin ini akan menjadi kenangan yang abadi. Menurut Mas, cincin itu pantas untuk kita pakai.” Afdi berkata dengan lembut dan kali ini ia tak dapan menahan diri untuk tidak mengusap puncak kepala Rianti yang berbalut hijab.
“Iya, Mas, tapi ….” Rianti merasa bingung. Dalam hati ia merasa sayang jika Afdi harus mengeluarkan uang sebanyak itu hanya untuk sepasang cincin kawin. Setelah berada pada kondisi yang sekarang, dalam keadaan ekonomi yang sedang tidak baik, uang sebesar apapun terasa sangat berarti bagi Rianti.
“Itu saja, Kak. Cantik. Mas Afdi benar, Kakak nggak akan beli cincin kawin setiap tahun.” Siska ikut berbisik di telinga kakaknya.
“Kami ambil yang ini, ya, Mba.” Afdi menyerahkan kotak cincin itu kepada pelayan toko.
“Baik, Pak. Diukur dulu jarinya, ya, Pak.” Pelayan toko menyimpan kembali kotak cincin tersebut ke dalam etalase. Lalu diambilnya beberapa ring kecil untuk mengukur jari. Masih dengan perasaan sedikit galau karena memikirkan harga cincin, Rianti pun mengukur jari manisnya pada pelayan toko cantik di depannya. Setelah mengukur jari Rianti, giliran jari Afdi yang diukur. Kemudian pelayan yang lainnya datang membawa nota penjualan.
“Mau bayar tunai atau dengan kartu kredit, Pak?” Pelayan dengan lesung pipit itu bertanya pada Afdi.
“Pakai kartu aja, ya.” Afdi mengeluarkan dompetnya dari kantong celananya dan mengambil sebuah kartu dari dalamnya. Afdi pun menyelesaikan pembayaran dan menerima bukti transaksi mereka. Cincin akan selesai dalam waktu satu minggu. Bertiga mereka meninggalkan toko perhiasan dan berjalan beriringan menuju parkiran.
“Ada yang mau dibeli nggak?” Afdi berhenti sebelum langkah mereka mencapai pintu ke luar.
“Nggak, Mas.” Rianti menggeleng seraya ikut menghentikan langkahnya. Terlihat Afdi seperti sedang berpikir.
“Temani sebentar ya, kita ke lantas dasar.” Afdi berbalik lagi dan berjalan menuju escalator di tengah-tengah mall. Rianti dan Siska ikut berbalik dan mengikuti langkah Afdi. Mereka turun ke lantai bawah dengan eskalator. Afdi menuju swalayan yang berada tepat di depan eskalator. Meski merasa heran, Rianti dan Siska tetap mengikuti Afdi. Afdi mengambil sebuah trolli dan mendorongnya menuju rak-rak kebutuhan harian rumah tangga.
“Ambil kebutuhan bulanan kamu dan mama, ya.” Afdi berkata pada Rianti yang telah berjalan di sampingnya. Rianti menoleh dan menatap Afdi dengan bingung.
“Sejak Papa pergi, pasti kamu belum sempat belanja bulanan, kan?” Afdi membalas tatapan Rianti dengan lembut. Rianti meneguk ludahnya. Mengapa laki-laki ini begitu baik padanya. Tiba-tiba ada yang terasa panas di sudut-sudut mata Rianti. Rianti merasa memiliki seseorang yang begitu mengerti dirinya, begitu menyayanginya, dan bertanggung jawab atas dirinya. Afdi memalingkan wajahnya melihat mata Rianti yang berkaca-kaca. Laki-laki itu takut kilaf lalu memeluk gadis di sampingnya ini karena merasa tidak tega melihat wajah sedihnya. Afdi berpaling pada Siska.
“Siska, ayo ambilkan kebutuhan di rumah untuk mama, Amelia, dan kamu juga.” Afdi mengajak Siska untuk mengambil barang-barang kebutuhan harian di rumah. Siska menatap kakaknya meminta persetujuan. Yang ditatap malah masih merasa bingung. Jujur mereka memang sudah lama tidak belanja. Banyak sekali barang-barang yang mereka butuhkan yang telah habis. Tetapi Rianti merasa tidak pantas juga Afdi membelanjakan kebutuhan mereka. Ia dan Afdi belum terikat hubungan yang sah.
“Ayo!” Afdi menggamit tangan Siska. Siska mengikuti langkah calon kakak iparnya itu dan mulai mengambil beberapa barang kebutuhan rumah tangga. Rianti hanya mengikuti dari belakang tanpa melakukan apa-apa. Afdi seraya mendorong troli juga mengambil beberapa barang untuk dirinya sendiri. Dan begitu menyadari Rianti hanya berjalan dalam diam, Afdi menoleh dan menghentikan langkahnya. Ditatapnya gadis yang masih dalam ekspresi sama seperti pertama mereka memasuki swalayan. Sendu.
“Kenapa sepertinya kamu begitu sungkan untuk menerima perhatianku? Tidak kah aku pantas untuk mulai mengurus segala kebutuhan dan keperluanmu dan juga keluargamu yang sebentar lagi akan menjadi keluargaku juga?” Afdi berkata dengan suara pelan dan menatap Rianti begitu dalam. Ingin dicarainya sendiri jawaban atas pertanyaannya. Tetapi gadis di depannya ini telah lebih dulu menundukkan wajahnya menghindari tatapan Afdi. Afdi menghela napas panjang.
“Tiga minggu lagi kita akan menikah. Mulailah belajar untuk tidak menganggap aku orang lain lagi.” Suara Afdi bernada memohon. Hati Rianti tersentuh dan rasa panas di sudut matanya mulai berdesakan ingin ke luar. Lalu setetes butiran bening itu benar-benar jatuh dan membasahi pipinya. Rianti juga tidak tahu mengapa sejak papanya pergi ia menjadi gadis yang amat sensitif. Begitu gampang terharu dan mengeluarkan air mata. Hati Afdi ikut terasa perih melihat kesedihan gadis di depannya ini. Tuhan, tidak boleh kah ia memeluk gadis yang amat disayanginya ini, mengusap kepalanya , dan mengatakan bahwa ia sangat menyayanginya.
“Ayo, kamu lihat Siska bersemangat kan? Setidaknya imbangilah rasa gembira adikmu hari ini dengan sikap gembira juga. Jika kakaknya bersedih, dia pasti juga akan ikut sedih.” Afdi pun berbalik dan menyusul Siska yang telah menggantikan Afdi mendorong troli belanja mereka. Rianti mengikuti langkah Afdi dan mengambil satu dua barang keperluannya agar tidak mengecewakan laki-laki di depannya ini. Afdi ikut memasukkan beberapa barang rumah tangga yang dirasa perlu untuk Rianti dan keluarganya. Afdi sering juga menemani mamanya belanja dan selalu memperhatikan barang-barang apa saja yang diambil oleh mamanya.
Setelah isi troli penuh, Afdi pun mendorongnya ke kasir. Mereka tidak perlu antri karena pengunjung memang tidak ramai. Ternyata lumayan banyak juga kantong belanjaan mereka. Sebagian besar adalah hasil kutipan Afdi. Afdi menyerahkan kartu kreditnya kepada kasir. Rianti ikut melirik nominal yang tertera di layar monitor. Lumayan besar juga, Rianti bergumam dalam hati. Selesai membayar semua belanjaan mereka, Afdi kembali mendorong troli ke luar swalayan. Lalu mereka naik kembali ke lantai atas. Bertiga mereka berjalan ke luar mall dan menuju parkiran. Melihat kedatangan Afdi, Pak Didi yang menunggu di dalam mobil, bergegas turun. Laki-laki paruh baya itu membukakan bagasi mobil lalu membantu Afdi memasukkan kantong-kantong belanjaan.
Begitu masuk ke dalam mobil dan duduk di samping Pak Didi, Afdi menyerahkan kartu nama WO yang akan mereka datangi. Sebelumnya Afdi telah membuat janji dengan pihak WO bahwa mereka akan datang hari ini setelah zuhur. Pak Didi membaca alamat yang tertera di kartu nama, lalu mengembalikan kartu nama itu ke Afdi. Pak Didi menjalankan mobil ke luar dari parkiran mall. Rianti menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi. Sikap baik dan perhatian Afdi mulai mengisi rongga dadanya. Ternyata masih ada laki-laki baik dan tulus di zaman sekarang ini. Di kota besar seperti Jakarta ini lagi. Rianti memejamkan matanya, ingin beristirahat sejenak. Entah berapa lama Rianti dalam posisi seperti itu, ketika ia merasakan tepukan lembut di bahunya.
“Kak bangun, Kak.” Siska memanggil Rianti yang sepertinya tertidur lelap. Rianti membuka matanya dan mengerjap begitu sinar masuk ke retinanya.
“Sudah sampai, ya?” Rianti menatap adiknya. Siska mengangguk.
“Itu sudah dibukakan pintu sama Mas Afdi.” Siska menunjuk ke samping Rianti dengan dagunya. Rianti berpaling dan melihat Afdi telah berdiri di samping pintu mobil yang terbuka.
“Capek, ya?” Afdi tersenyum melihat ekspresi wajah bangun tidur gadis di depannya ini.
“Nggak kok, Mas.” Rianti menggeleng dan membalas senyum Afdi dengan perasaan malu, karena ketahuan habis bangun tidur. Kayak yang perjalanan ke mana aja, Rianti berdecik dalam hati. Siska menyusul Rianti turun. Bertiga mereka memasuki gedung tempat WO yang akan menangani pernikahan Rianti dan Afdi. Setelah menanyakan ke bagian informasi, Afdi, Rianti, dan Siska menuju lantai tiga. Tepat di samping kiri lift, mereka langsung menemukan kantor WO yang akan mereka temui. Memasuki ruangan kantor, mereka disambut oleh seorang pegawai wanita. Setelah menyampaikan maksud kedatangan mereka, pegawai wanita tersebut mengantarkan mereka menuju sebuah ruangan.
Dan di sinilah mereka sekarang. Duduk sofa sebuah ruangan yang lumayan besar dengan dekorasi kantor yang terlihat sangat nyaman. Dua orang pegawai WO melayani Rianti dan Afdi dengan ramah. Niko dan Salsa. Salsa menerangkan apa saja yang akan diurus oleh WO untuk pesta pernikahan Rianti dan Afdi. Mendengar semua penjelasan dari Salsa, Rianti menarik napas lega. Ternyata semua telah diselesaikan oleh WO. Rianti dan Afdi hanya perlu memilih konsep, gedung, baju pengantin, menu katering, dan hal-hal lainnya. Tugas mereka berdua hanya menentukan pilihan untuk konsep pesta pernikahan yang mereka inginkan. Berlima mereka terlibat diskusi yang seru. Rianti menyampaikan beberapa keinginannya, ia menginginkan pesta pernikahan yang tidak terlalu glamour. Meski untuk hal yang satu ini Afdi agak keberatan, tetapi laki-laki itu tetap ingin menghargai pilihan Rianti. Walau bagaimanapun, Rianti pasti masih dalam kondisi berkabung.
Diskusi mereka terhenti ketika mendengar suara azan. Afdi mengajak Rianti dan Siska untuk salat asar dulu. Salsa menunjukkan ruang salat yang berada di samping ruangan kantor mereka. Bertiga, mereka menunaikan salat asyar. Setelah itu, Afdi, Rianti dan Siska kembali ke kantor WO. Niko dan Salsa telah duduk menunggu di sofa tamu. Mereka pun kembali melanjutkan diskusi yang sempat terhenti. hampir dua jam mereka membicarakan semua detail pesta dan perlengkapan serta konsepnya. Dan ternyata itupun belum selesai. Masih ada beberapa pertemuan lagi yang harus dilakukan oleh Rianti dan Afdi dengan pihak WO. Dan besok pagi Rianti dan Afdi harus ke butik milik WO ini juga untuk memilih gaun pengantin. akhirnya tepat pukul 05.00 sore, Afdi dan Rianti pamit pada Niko dan Salsa. Siska dengan setia menemani sang kakak memilih dan mendiskusikan konsep pestanya.
Sampai di parkiran, ternyata Pak Didi telah tertidur sembari menunggu mereka. Afdi mengetuk kaca mobil dengan pelan. Pak Didi terbangun dan segera membuka pintu mobil.
“Maaf, Pak. Saya ketiduran.” Pak Didi ke luar dari mobil. Afdi tersenyum.
“Iya, Pak. Nggak apa-apa. Bapak sudah salat asyar?” Afdi kembali berjalan memutar ke tempat duduknya.
“Sudah, Pak.” Pak Didi mengangguk dan kembali masuk ke dalam mobil.
“Kita langsung ke rumah Rianti, ya, Pak.” Afdi memasang sabuk pengamannya.
“Baik, Pak.” Pak Didi melakukan hal yang sama. Mobil pun meninggalkan halaman parkir gedung. Begitu memasuki jalan raya, kemacetan langsung menyambut mereka. Tetapi bukankah macet sudah menjadi teman sehari-hari masyarakat ibu kota ini? Jadi ya harus dinikmati dengan sabar dan bahagia.
****
Setelah azan isya, mereka baru sampai di rumah. Di jalan tadi mereka berhenti dulu pas salat magrib. Lalu Afdi masih mengajak untuk makan malam. Tetapi karena Rianti menolak dengan alasan sudah lelah, akhirnya Afdi meminta Pak Didi untuk berhenti di sebuah restoran yang mereka lewati dan membungkuskan beberapa makanan untuk Rianti dan keluarganya.
Rianti dan Siska turun dari mobil setelah mengucapkan terima kasih kepada Pak Didi. Afdi yang ikut turun, berdua dengan Pak Didi Afdi mengeluarkan kantong belanjaan dari bagasi mobil. Rianti dan Siska mengangkat kantong belanja itu ke dalam rumah. Bu Winda yang membukakan pintu menatap heran pada Rianti.
“Belanja banyak, Sayang?” Bu Winda berdiri di samping pintu masuk. Pak Didi dan Afdi pun ikut masuk membawakan kantong belanjaan lainnya.
“Iya, nih, Ma. Mas Afdi tuh borong.” Rianti menjawab seraya melirik Afdi dengan matanya.
“Oh, kenapa banyak amat, Nak Afdi?” Bu Winda menatap Afdi merasa tak enak hati.
“Nggak apa-apa, Ma. Kebetulan tadi mampir ke swalayan.” Afdi menjawab dengan santun. Sementara Pak Didi telah ke luar rumah dan berniat menunggu majikannya di mobil saja.
“Duduklah dulu.” Bu Winda mempersilakan calon menantunya untuk duduk.
“Makasih, Ma.” Afdi duduk di salah satu sofa.
“Masuk dulu, ya, Mas.” Siska pamit pada Afdi.
“Makasih, ya, Siska. Sudah menemani Mas dan Kak Rianti seharian ini.” Afdi tersenyum pada Siska.
“Iya, Mas. Nanti kalau masih butuh jasa tepok nyamuk, hubungi aja Siska, Mas.” Siska berkata seraya mengedipkan matanya. Afdi ikut tertawa mendengar kata-kata Siska. Tinggal Rianti yang monyong mendengar ucapan adiknya itu. Sementara Bu Winda mendelik pada Siska.
“Yang sopan ngomong sama Masmu.” Bu Winda menepuk pundak Siska dengan geram. Siska malah tertawa ngikik dimarahain mamanya.
“Mama panggil Mbok Uun dulu, ya. Biar bantu membereskan barang belanjaan.” Bu Winda ikut pamit ke dalam.
“Ya, Ma.” Afdi mengangguk. Tinggallah mereka berdua di ruang tamu. Afdi menatap Rianti yang terlihat menyandarkan kepalanya ke sandaran sofa.
“Capek banget, ya? Seharian mengurus urusan pernikahan kita.”
“Nggak kok, Mas. Rianti kan sudah biasa capek-capek seperti ini. Jadi cleaning servis malah lebih capek lho, Mas.”
“Oh, ya? Kenapa dulu kamu nggak pernah cerita sama saya?”
“Ish, Mas kan dulu orangnya sombong banget, dingin, angkuh.” Bibir Rianti mengerucut membayangkan bagaimana arogannya laki-laki di hadapannya ini dulunya ketika masih menjadi bosnya.
“Ya, Allah. Lengkap semua predikatnya ya. Nggak ada yang bagusnya apa?” Afdi terbahak mendengar rentetan predikat buruk yang diucapkan Rianti untuknya.
“Ya, memang begitu adanya. Masa nggak nyadar, sih?” Rianti mencibir pada Afdi.
“Trus kenapa kamu mau menerima lamaran saya?” Afdi menatap Rianti lekat. Rianti terdiam. Gadis itu membuang pandangannya ke samping.
“Apa yang kamu rasakan sekarang? Apa kamu bahagia?” Afdi masih tak mengalihkan tatapannya dari gadis cantik di depannya ini. Melihat Rianti yang resah, Afdi mengulum senyumnya.
“Tidak usah dijawab sekarang. Jawabnya nanti aja ketika kita telah sah.” Afdi berkata lembit lalu bangkit dari duduknya.
“Mas pamit, ya. Kamu istirahat. Salat isya lalu tidur.” Afdi berpesan dan melangkah ke pintu. Rianti ikut berdiri dan berjalan di belakang Afdi menuju pintu depan.
“Bilang sama Mama, Mas pamit, ya.” Afdi berkata begitu sampai di samping pintu mobil.
“Ya, Mas.” Rianti tersenyum dan mengangguk. Afdi membuka pintu mobil dan bersiap untuk segera naik.
“Mas ….” Rianti menghentikan gerakan Afdi.
“Ya?” Afdi menoleh dan melihat Rianti yang berdiri di bawah lampu teras.
“Makasih, ya.” Rianti tersenyum pada Afdi.
“Untuk?” Afdi menatap Rianti dengan binar mata bahagia.
“Untuk hari ini.” Suara Rianti terdengar begitu merdu di telinga Afdi. Adakah yang lebih membahagiakan selain bisa membuat orang yang kita cintai merasa bahagia?
“Ya, sama-sama. Makasih juga kamu telah menemani Mas hari ini.” Afdi tersenyum dengan perasaan sayang yang tak bisa disembunyikannya. Rianti mengangguk. Afdi lalu masuk ke mobil dan menutup pintu mobil. Rianti masih berdiri di depan pintu rumah memandang kepergian Afdi. Ah .... bagaimanakah dengan hatinya? Bahagia kah ia? Rianti juga ingin menanyai hati kecilnya.
Bersambung …..
Maaf sepertinya episode ini terlalu bertele-tele ya. Terlalu lamban menuju epiosode pernikahan. InsyaAllah minggu depan, sudah masuk episode pernikahan ya.
0 comments:
Posting Komentar