❤ *CINTA*
*di Batas Cakrawala*
๐
nomor - 29
Senyum bahagia terus terlihat di wajah Hanna sepanjang hari, membuat Dimas selalu mengurungkan niat untuk memulai pembicaraan membahas apa yang dikatakan bapaknya tadi pagi. Kini malam semakin larut, di dalam kamar dengan lampu yang masih bercahaya terang, Dimas duduk di tempat tidur bersama Naura yang tertidur di pangkuan. Matanya sejak tadi tidak lepas memandangi Hanna yang masih sibuk menata pakaian mereka di lemari.
"Abang, itu Naura sudah tidur. Jangan dipangku terus." Suara Hanna mengagetkan Dimas dari keterpaduannya. Panggilan 'Abang' dari wanita itu setelah sekian lama kembali terdengar merdu membuatnya tertegun sesaat.
"Eh, iya." Dimas pun menurut, membaringkan Naura yang kelelahan karena aktif bermain seharian tanpa tidur siang. Menyelimuti anaknya itu lalu kembali menegakkan tubuhnya ketika Hanna mendekat.
"Bang, ini bajunya siapa?" Mata cokelat Hanna berbinar penasaran menunjukkan sebuah gamis lengkap dengan kerudung, masih rapi terbungkus plastik.
Dimas tersenyum tipis mengambil gamis tersebut. Hatinya sedikit menghangat mengingat alasannya membeli pakaian itu dulu. Ditatapnya seluruh wajah Hanna, sejenak memikirkan inilah saat yang tepat untuk berbicara dari hati ke hati dan mengutarakan niat baik untuk memperbaharui pernikahan mereka.
"Pakailah ini ...," lirih Dimas seraya mengeluarkan gamis berwarna merah muda itu. Lima tahun terbungkus rapi dan tersimpan di lemari, tidak melunturkan warnanya. Sama seperti cinta di hatinya pada Hanna yang semakin mengakar kuat.
Hanna tersenyum dengan alis bertautan menatap gamis indah itu. "Ini buat aku?" tanyanya ragu.
"Lima tahun lalu saat aku pergi ke kota untuk urusan pekerjaan, aku membelikan ini untukmu. Berharap ketika aku pulang, kamu menyambutku dan mau memakainya," ujar Dimas, meletakkan gamis itu di pangkuan Hanna yang tampak membeku.
"Abang ...," gumam Hanna dengan suara bergetar.
"Sssttt ... pakailah. Aku mau melihat kamu memakainya malam ini," bisik Dimas lalu mendaratkan kecupan lembut di pucuk kepala Hanna.
Hanna pun menurut, mengganti baju tidurnya dengan gamis indah itu serta kerudungnya. Lalu duduk tersenyum di samping Dimas yang terpana menatapnya.
"Bagaimana? Pantas tidak aku memakainya?" tanya Hanna ceria.
"Lebih dari sekedar pantas. Karena aku bahagia melihatmu, kamu cantik sekali," ujar Dimas setenang mungkin, berusaha meredam hasratnya yang selalu bergejolak ketika berdua dengan Hanna.
"Maafkan aku memilih pergi dulu ...," gumam Hanna kemudian, menautkan jemari tangannya dengan Dimas erat.
Dimas balas membawa punggung tangan Hanna di bibirnya. Dikecupnya lembut seraya berucap, "Aku sudah memaafkanmu, terlebih kamu menjaga dirimu dan Naura dengan baik. Dan kini bersedia kembali padaku."
Hanna tampak tersipu mendapat perlakuan romantis Dimas yang dulu seperti mimpi baginya.
"Malam ini, aku ingin kita bicara ...."
"Yakin ... cuma mau bicara saja, Bang?" tanya Hanna tersenyum menggoda.
Dimas menghela napas dan mengembuskannya pelan, balas tersenyum setenang mungkin. "Ya, malam ini kita bicara dulu."
"Memangnya, Abang mau bicara apa?" Hanna tersenyum merapatkan duduknya dengan Dimas dan menggamit lengannya.
"Hm, begini. Aku ingin bertemu kedua orang tuamu," kata Dimas setelah berhasil menguasai diri. Terasa tubuh Hanna yang bersandar padanya menegang, serta gamitan lengannya perlahan melonggar. Dimas menoleh ketika Hanna menjauhkan diri.
"Untuk apa kamu mau bertemu orang tuaku?" tanya Hanna dingin, tanpa mau menatap.
"Kita perlu memperbaharui pernikahan kita. Untuk itu—"
"Memperbaharui pernikahan? Bukannya katamu, aku masih istrimu? Lalu kenapa pernikahan kita harus diperbaharui?" sela Hanna dengan suara bergetar.
Dimas mengembuskan napas berat, menenangkan diri agar bisa bicara dengan baik. Ia mendekat, menangkup kedua pipi Hanna. Menatap lekat manik cokelat yang mulai berkaca-kaca itu.
"Dengarkan aku dulu, Sayang," ujar Dimas pelan. Jemarinya mengelus lembut pipi Hanna yang memerah.
"Memperbaharui pernikahan itu bukan untuk membatalkan pernikahan kita sebelumnya. Bukan juga seperti yang kamu pikirkan. Aku masih suamimu, begitu pun kamu tetap istriku, Hanna. Hanya saja waktu lima tahun kita pisah, hak dan kewajiban kita sebagai suami istri yang tidak bisa kita jalankan. Selain itu, aku takut rasa kecewa yang begitu kuat tanpa aku sadari membuatku tidak ridho setiap kali mengingatmu. Karena itulah kita perlu memperbaharui pernikahan dengan tujuan memperbaiki hubungan kita agar rumah tangga kita ke depannya bisa lebih baik dan mendapat ridho Allah."
Hanya isakan pelan yang terdengar dari bibir Hanna, membuat Dimas yakin bahwa wanita itu memahami penjelasannya.
"Kamu mau kan?" tanya Dimas meyakinkan. Hanna yang masih bungkam, hanya mengangguk lemah sebagai jawabannya. "Kalau begitu, besok aku akan bilang sama Bapak dan Ibu agar secepatnya kita ke kota temui orang tua kamu."
Tiba-tiba Hanna melepaskan kedua tangan Dimas yang masih mengelus pipinya. Mata yang tadi menatap sendu, berubah menyala.
"Aku tidak mau kembali ke kota. Kita ... kita bisa mengulang akad nikah di sini saja. Tidak perlu ke sana!" Hanna membuang pandangan tidak tentu arah menghindari tatapan Dimas yang menelisik.
“Aku perlu bertemu orang tuamu juga Kakakmu. Memintamu baik-baik kepada mereka untuk memulai kembali rumah tangga kita dengan baik, dan itu butuh restu mereka—”
“Aku mohon, jangan temui keluargaku. Aku janji, aku dan Naura tidak akan meninggalkanmu. Kita di sini saja ….” Hanna memelas, menatap Dimas penuh harap. Matanya kembali berkaca-kaca dengan bibir bergetar. Dimas mengernyit heran melihat reaksi Hanna yang seakan ketakutan.
“Kenapa kamu begini, Hanna? Apa … apa orang tuamu masih bersikap tidak baik padamu? Atau karena orang tuamu tidak pernah menerimaku sebagai suamimu?” Hanna hanya menggeleng sambil terisak. Dimas mengembuskan napasnya sepelan mungkin, lalu membawa Hanna dalam dekapan. “Bicaralah. Katakan sesuatu yang tidak aku ketahui ….”
“Jangan … aku tidak mau nantinya kamu yang memilih meninggalkan aku ….” Hanna menangis tanpa suara, membalas pelukan Dimas yang terdiam mencoba menerka maksud ucapannya.
“Aku tidak akan meninggalkanmu ...,” bisik Dimas akhirnya.
Hanna menggeleng kuat lalu melepaskan diri. “Kamu tidak mengerti ...!” Dia menepis tangan Dimas yang berusaha menjangkunya lalu naik ke tempat tidur, berbaring dan memeluk Naura.
Dimas menyugar kasar rambutnya, menatap Hanna yang tampak gusar memejamkan mata. Ia pun ikut berbaring telentang menatap langit-langit kamar, berusaha menahan diri agar tidak mencecar Hanna untuk menjawab rasa penasarannya. Namun, ia tidak akan menyerah untuk mencari tahu alasan yang membuat Hanna enggan bertemu orang tuanya. Entah karena mereka tidak pernah menerimanya sebagai menantu, atau karena ada hal lain?
*****
Tidak ada lagi raut penuh kebahagiaan yang tampak dari wajah Hanna seperti kemarin. Yang ada hanya raut wajah datarnya, jika tersenyum pun itu karena polah tingkah Naura dan senyumnya terkesan dipaksakan. Pagi ini seperti sebelumnya, Naura yang manja selalu minta ke sekolah diantar kedua orang tuanya. Hanna hanya diam mengikuti langkah Dimas keluar rumah yang menggendong Naura, mendengarkan interaksi ayah dan anak itu.
“Kakak kan sudah besar. Nanti setelah pulang dari rumah Opa di kota, Kakak sekolah di TK saja, ya?” tanya Dimas pada Naura sambil mencium gemas pipi sang anak.
Hanna menghentikan langkahnya, menatap punggung Dimas yang perlahan menjauh mendekati teras PAUD. Sejak awal rencananya kembali, hanya kebahagiaan dan masa depan Naura yang ia pikirkan. Tidak pernah sedikit pun terlintas di pikirannya kalau Dimas ingin bertemu orang tuanya lagi. Dan tentu saja, lelaki itu akan tahu statusnya yang merupakan anak hasil perselingkuhan. Ia takut kembali ditolak dan ditinggalkan. Hanna tidak sanggup menghadapi kepahitan itu lagi.
“Cekolah TK itu kayak Abang Hafiz, ya Abi?” Pertanyaan Naura masih terdengar Hanna yang kemudian melanjutkan langkahnya.
“Memangnya Abang Hafiz itu sudah TK?” balas Dimas lalu menurunkan Naura di depan kelas.
“Iya. Kakak ke cekolah cama Abang Hafiz diantal Mommy. Tapi cekalang Kakak maunya ke cekolah cama Abi dan Mommy aja.” Naura tersenyum riang memperlihatkan deretan gigi susunya yang rapi.
“Abi sama Mommy pasti akan selalu mengantar Kakak ke sekolah sampai Kakak tidak mau diantar lagi.” Dimas mencium pucuk kepala Naura setelah gadis kecil itu mencium punggung tangannya.
“Mommy, kata Abi, Kakak nanti mau cekolah di TK lagi kayak Abang Hafiz. Telus nanti kita ke lumah Opa cama ke lumah Papa juga, ya?” Naura beralih pada Hanna dan mencium punggung tangannya. Hanna hanya tersenyum dan mengangguk lalu mencium kedua pipi Naura dengan perasaan tidak menentu. Ia menegakkan tubuh memperhatikan Naura yang berlari masuk kelasnya.
“Bisa kita bicara sekarang?” Suara Dimas mengagetkannya. Hanna menggeleng pelan tanpa menoleh. “Ayolah Hanna. Jangan begini, kita harus membicarakan semuanya ....”
Hanna tidak mempedulikan permintaan Dimas, ia memilih beranjak dari sana dan kembali ke rumah. Namun, ternyata kaki panjang Dimas menyusulnya cepat dan menyamai langkannya.
“Bang ….” Panggilan Hanna tidak dihiraukan Dimas menarik tangannya cepat masuk rumah. Tanpa mempedulikan tatapan penuh tanya Pak Budi dan Bik Minah, Hanna hanya pasrah mengikuti Dimas masuk ke kamar dan mengunci pintunya.
“Sebenarnya ada apa?” Dimas berbalik seraya berkacak pinggang dengan tatapan menuntut. Hanna hanya menunduk dengan jemari saling meremas, menyembunyikan air mata yang sudah membasahi pipi. “Hanna … bicaralah. Jika memang orang tuamu masih belum bisa menerimaku, biarkan aku bicara baik-baik dengan mereka. Lagipula, bagaimana bisa kita memperbaiki hubungan kita jika tidak ada keterbukaan satu sama lainnya?”
Hanna terisak pelan ketika Dimas mengelus pipinya.
“Bicaralah. Apa yang membuatmu takut?”
Perlahan Hanna mengangkat wajahnya, menatap sorot mata hitam yang berubah melembut. Apakah ini saatnya menceritakan tentang statusnya dalam keluarganya? Lalu bagaimana jika Dimas tidak terima? Begitupun kedua mertuanya?
“Sayang?”
"Kamu tidak akan mengerti ...," gumam Hanna sambil menangis.
Kedua tangan Dimas menahan bahu Hanna dan menatapnya tegas. "Aku tidak akan mengerti kalau kamu tidak menjelaskannya!"
“Aku ….” Hanna menggigit bibirnya, berusaha meredam tangis. Ia menghela napas untuk menguatkan diri. “A-ku bukan a-nak kandung Papiku,” lanjutnya dengan suara bergetar. Memberanikan diri menatap Dimas, menunggu reaksinya.
“Maksudmu?” tanya Dimas setelah lama terdiam. Sorot matanya berubah tidak terbaca.
“Kamu paham maksudku, Bang. Aku … aku bukan anak kandung Papi. Papiku bukan Heru Wirawan, dan aku tidak tahu siapa laki-laki brengsek yang mengaliri darahnya dalam tubuhku!” ucap Hanna penuh emosi disela tangis.
Kenangan lima tahun lalu kembali berkelebat dalam ingatan, saat di mana ia tahu kenyataan tentang dirinya dan alasan mengapa ia terasingkan dalam keluarga. Hal yang membuatnya depresi dan mengabaikan Naura selama hampir enam bulan lamanya. Hanna merasa tenggorokannya tercekik, sehingga memaksanya harus menghirup udara kuat-kuat agar tubuhnya tidak meluruh karena melemah.
Sesaat berlalu, pandangannya kabur karena caira bening yang menggenangi indera penglihatannya. Hanna mengusapnya kasar, agar bisa melihat ekspresi Dimas yang berubah, kaku masih tidak terbaca. Ternyata, apa yang ia pikirkan memang benar. Dimas tidak akan menerima kenyataan tentang dirinya. Ia hanya seorang anak dari hasil perselingkuhan, bahkan tidak tahu di mana lelaki yang berbagi DNA dengannya.
Hanna berbalik, melangkah lemah ke arah pintu kamar. Berharap Dimas mengatakan sesuatu untuk menghentikan langkahnya. Namun, harapannya sia-sia karena lelaki itu tetap bungkam.
Hanna membuka pintu kamar lalu keluar dan mengurung diri kamar sebelah. Ia menatap datar koper kosong yang ia bawa ketika datang, teronggok di dinding kamar.
*****
Sambil menopang dagu, Dimas menatap kosong ke arah layar laptop di atas meja kerjanya. Setelah berbicara dengan Hanna tadi pagi, ia memilih segera ke kantor untuk menenangkan diri dari pada menemui Hanna yang mengurung diri di kamar sebelah. Memaksa otaknya untuk berpikir, namun tidak ada yang bisa ia pikirkan dengan baik.
Ia mengira masalahnya dengan Hanna hanya tinggal memperbaharui pernikahan saja, tetapi yang terjadi malah di luar dugaannya. Hanna bukan anak kandung Heru Wirawan? Lelaki paruh baya yang masih lekat dalam ingatannya, pernah memperlakukan Hanna secara kasar malam itu.
Dimas memejamkan mata diikuti embusan napas kasar dari mulut. Kini ia yakin, ada banyak hal yang tidak diketahuinya tentang Hanna. Terutama lima tahun mereka berpisah, menguatkan tekadnya untuk menemui orang tua Hanna apapun sambutan mereka nanti.
“Astagfirullah.” Dimas mengusap kasar wajahnya, lalu berdiri setelah mematikan laptop. Ia memutuskan untuk pulang dan berbicara sekali lagi dengan Hanna.
“Assalamualaikum.” Langkah Dimas terhenti ketika masuk rumah. Ada Pak Budi yang duduk di ruang tamu sambil memangku Naura.
“Waalaikumsalam.”
“Abi!” Naura melompat turun, lalu berlari menghampiri Dimas yang langsung menunduk. “Abi, kata Mommy kita mau ke lumah Papa!”
Kedua alis Dimas bertautan bingung menatap bapaknya yang bergeming di tempat. Ia menggendong Naura lalu berdiri. “Mommy di mana?” tanyanya pada sang anak.
“Ada di kamal, lagi ciapin bajunya Kakak.”
“Oh, oke. Kita ke Mommy aja.” Dimas memilih beranjak ke kamar, mendorong pintu yang tidak tertutup rapat.
Di dalam sana ada ibunya beserta Hanna yang duduk di tempat tidur dengan baju berserakan dan koper besarnya yang terbuka. Tampak Hanna mengusap air matanya cepat. Seketika Dimas merasa jantungnya berdetak cepat setelah memahami keadaan yang ada.
“Abi, Mommy dali tadi nangis telus. Katanya Mommy kangen Papa, kangen Mama cama Abang Hafiz dan Adek Ila." Gumaman Naura sama sekali tidak dihiraukan Dimas yang terus tertuju pada Hanna.
“Kakak sama Nenek dulu, ya? Abi mau bantuin Mommy siapin pakaian kita?” Dimas mengalihkan perhatiannya pada Naura yang langsung mengangguk patuh.
“Bicaralah baik-baik,” bisik Bik Minah seraya mengajak Naura keluar dan menutup pintu kamar.
Dimas mendekati Hanna yang duduk di ujung tempat tidur. Tangannya dengan sigap mengusap air mata di pipi Hanna sebelum wanita itu menjangkaunya sendiri.
“Bukannya aku sudah bilang, aku tidak akan pernah membiarkanmu pergi ke mana pun lagi tanpa aku?” Dengan lembut, Dimas memaksa Hanna menatapnya.
“Jangan menerimaku karena kasihan,” lirih Hanna menahan isak.
Dimas menggeleng tegas seraya mendekatkan wajah mereka, menempelkan kening dan hidung mereka. “Aku tidak kasihan padamu. Tapi aku mencintaimu, Hanna … dan aku tahu kamu bisa merasakannya!”
Tubuh Hanna perlahan bergetar, diikuti isakan pelan dan bulir bening yang berlomba mengaliri pipinya. Dimas menjauhkan wajahnya sesaat, lalu mendaratkan bibirnya mengecup pelan setiap inci wajah wanita yang semakin tersedu dalam tangisnya.
“Aku tidak peduli siapa kamu. Karena ketika Allah menumbuhkan rasa cinta di hatiku untukmu, maka selamanya aku akan tetap menjaga rasa itu untukmu.” Dimas mengakhiri ucapannya dengan mengecup bibir Hanna yang masih bergetar, melumatnya lembut untuk menyalurkan rasa cintanya yang begitu besar. Meyakinkan Hanna bahwa rasa yang ia miliki adalah cinta, bukan kasihan.
“Maaf kalau reaksiku tadi membuatmu salah sangka. Kaget adalah reaksi alamiah yang terjadi pada manusia mendapati suatu kenyataan di luar dugaannya, sehingga aku diam dan butuh berpikir,” bisiknya lalu mengecup pucuk kepala Hanna. “Izinkan aku untuk bertemu orang tuamu, Hanna. Meluruskan kesalahan di masalalu dan membicarakan masa depa kita yang tentunya ada Naura di dalamnya ....”
“Ya,” jawab Hanna akhirnya dengan suara parau. Dimas langsung menarik Hanna dalam pelukan.
"Jangan pernah ragu untuk menceritakan apapun padaku, lagi. Dan jangan pernah berpikir buruk tentang dirimu sendiri." Dimas mengeratkan pelukannya. Mulai kini, ia akan sungguh-sungguh menepati janjinya. Mempertahankan Hanna di sisi dan membahagiakannya.
*****
Tiga hari kemudian, keadaan Hanna mulai membaik dan bersedia mengikuti rencana Dimas untuk kembali ke kota. Pagi itu setelah sarapan, mobil yang dikendarai Dimas beranjak meninggalkan desa.
Hanna duduk di samping Dimas, berusaha untuk tersenyum mendengar celotehan Naura yang duduk di jok belakang bersama kakek dan neneknya. Namun, sepanjang jalan tidak jarang ia meremas jemarinya yang berkeringat dingin. Segala macam rasa yang sulit ia jelaskan, campur jadi satu seiring jarak tempuh yang semakin terpangkas.
Turun dari mobil yang telah terparkir dalam kapal, Hanna menyeka keringat di wajahnya berkali-kali. Bukannya ketenangan yang dirasa, namun kekalutan kian mendera. Entah apa yang dikhawatirkannya, padahal Dimas telah mengetahui statusnya dalam keluarga. Mungkin sambutan keluarganya nanti, termasuk Haris yang ia yakini menyimpan benci pada Dimas.
"Tenanglah," bisik Dimas bersamaan dengan genggaman tangannya. Hanna menoleh, melangkah bersama menyusul Pak Budi dan Bik Minah yang menuntun Naura naik ke dek atas.
"Aku takut dan ... aku tidak tahu," gumam Hanna ketika tubuhnya duduk di salah satu kursi penumpang, bersandar di bahu kokoh Dimas di samping.
Dimas mengusap-usap kedua tangan Hanna yang berkeringat, lalu mengecupnya bergantian untuk menenangkan. Lalu merangkul bahu Hanna tanpa canggung. Lama mereka terdiam di tengah keramaian para penumpang, hingga diusik kehadiran Naura yang tiba-tiba.
"Abi! Kakak mau pangku," gumam Naura seakan mencari perhatian. Bibir mungilnya mengerucut, membuat pipinya mengembung. Hanna tidak kuasa menahan senyum melihat ekspresi sang anak.
"Sini, sama Mommy." Hanna mengulurkan tangan yang ditolak Naura dengan gelengan.
"Ngga mau! Kakak maunya cama Abi." Naura melompat-lompat seraya mengulurkan kedua tangannya.
Dimas tertawa dan dengan senang hati mengangkat Naura, mendudukkan di pangkuannya.
"Mommy cemburu Kakak maunya sama Abi aja," goda Hanna pada Naura.
"Abi, cembulu itu apa?" Pertanyaan polos Naura membuat Dimas dan Hanna kompak tergelak.
"Cemburu itu artinya sayang," jawab Dimas asal.
"Sayang?" Hanna mengernyit heran.
"Itu untuk jawaban Naura," bisik Dimas. "Kalau cemburuku padamu, itu karena aku cinta."
Ungkapan cinta Dimas yang tidak langsung itu membuat hatinya menghangat. Hanna tersenyum tidak ingin mengalihkan tatapan dari mata hitam Dimas yang teduh.
"Abi, cinta itu apa?" Pertanyaan Naura kali ini membuat Hanna tertawa, sedangkan Dimas menggaruk pangkal hidungnya yang tidak gatal.
"Cinta itu, seperti Abi sama Mommy," gumam Dimas tampak ragu, mengerling pada Hanna yang hanya tersenyum.
"Kalau Kakak cama ciapa?" cecar Naura tanpa henti.
Dimas yang kehabisan akal, hanya mampu memeluk Naura dan mencium kedua pipinya gemas. "Anaknya siapa sih, ini? Pintar sekali."
"Kakak anaknya Abi cama Mommy," jawab Naura sambil tertawa.
Hanna kembali bersandar pada Dimas, tersenyum memperhatikan interaksi ayah dan anak itu tanpa berniat mengganggu.
*****
"Papa!" Naura turun dari mobil dan langsung berlari menghampiri Haris yang berdiri tegak di teras rumah keluarga Wirawan. Diikuti Pak Budi dan Bik Minah yang menyusul Naura keluar mobil, terakhir barulah Hanna dan Dimas.
"Papa kangen sama kamu. Kenapa ngga pernah telepon? Sudah lupa sama Papa, hm?" Haris menghujani pipi gembul Naura dengan kecupan gemas.
"Kakak kangen Papa," balas Naura manja.
"Kalau gitu sayang Papa dulu," kata Haris. Naura langsung mencium kedua pipi papa kesayangannya. "Sekarang Kakak masuk, Mama kangen juga sama Kakak."
Dimas termangu di samping mobil memperhatikan keakraban Naura dan Haris. Ia bisa merasakan bagaimana kasih sayang tulus lelaki itu pada Naura seperti anak sendiri. Seakan ada sesuatu yang meremas jantungnya mengingat bukan ia yang merawat Naura sebagai ayah di awal tumbuh kembangnya.
"Assalamualaikum." Pak Budi dan Bik Minah menghampiri Haris dengan sungkan.
"Wa'alaikumsalam." Haris langsung menyalami satu persatu orang tua itu. "Bapak dan Bibik silakan masuk saja. Ada Vania di dalam bersama anak-anak. Ada kedua orang tua saya juga."
Pak Budi dan Bik Minah berpamitan, lalu melangkah masuk rumah yang lima tahun lalu sama sekali tidak menyambut mereka. Entah untuk saat ini.
Terasa lembut kulit telapak tangan Hanna menyentuh jemarinya, lalu digenggam erat. Dimas menoleh, mendapati raut wajah khawatir Hanna. Ia menghela napas dan mengembuskannya pelan, membalas genggaman tangan Hanna untuk menenangkan. Kemudian mengajaknya melangkah mendekati Haris.
"Akhirnya kamu datang juga," gumam Haris dingin. Mata cokelatnya yang mirip Hanna tampak menajam bagai elang yang mengintai mangsa. Kedua tangan di sisi tubuhnya mengepal.
"Kak—"
"Bisa aku bicara dengannya saja?" tanya Haris, menyela ucapan Hanna.
"Tapi, Kak ...."
"Tidak apa-apa. Masuklah duluan." Dimas melepaskan genggamannya dan tersenyum. Hanna tampak ragu, namun akhirnya menurut karena Haris yang bergeming dengan tatapan dingin. Berjalan masuk meninggalkan dua lelaki itu.
"Maaf aku baru datang sekarang." Dimas mengulurkan tangannya sopan. Namun, bukan jabatan tangan sebagai balasan yang ia terima, melainkan kepalan tangan besar Haris mendarat kuat di rahang kanannya.
Bersambung ....
Ada typo? Tolong kasih tau ya ๐
0 comments:
Posting Komentar