CERBUNG MENGEJAR CINTA RIANTI 11

#Mengejar_Cinta_Rianti
#Episode_11

Terima kasih admin/moderator yang telah menyetujui tulisan ini.
Terima kasih pembaca setia Rianti.   

         Hampir dua jam mereka menunggu dengan bibir yang selalu basah merapalkan doa untuk kesembuhan sang papa. Afdi masih setia menemani, sementara Pak Rahmat izin pamit karena ditunggu di kantornya untuk rapat.

 “Keluarga Bapak Arif!” Tiba-tiba seorang tenaga medis memanggil mereka dari depan pintu UGD. Rianti, Bu Winda, Siska dan Amelia serentak berdiri. Afdi pun melakukan hal yang sama.

 “Bergantian, ya, masuknya.” Perempuan dengan seragam biru muda itu menyampaikan peraturan.
 “Mama sama kakak dulu yang masuk, ya, Nak.” Bu Winda menoleh pada Siska dan Amelia. Kedua gadisnya itu mengangguk, lalu kembali duduk di bangku depan UDG. Afdi pun kembali duduk di samping Siska dan Amelia. Rianti dan mamanya berjalan tergesa mengikuti langkah si perawat. 

 “Papa!” Rianti mendekat dan memeluk papanya dengan erat. Berbagai selang melekat di hidung dan dada laki-laki kesayangannya itu. Bu Winda melakukan hal yang sama. Memeluk suaminya dengan air mata berderai. Baru tadi pagi suaminya itu berangkat dengan tubuh tegap, tetapi kini laki-laki yang telah menemaninya selama hampir dua puluh tujuh tahun itu seperti tidak memiliki tenaga sedikit[un. Bahkan untuk bernapas pun ia kelihatan begitu kesusahan. Bu Winda terisak. Dibelainya wajah suaminya dengan penuh kasih. Wajah yang telah memberikan banyak kebahagiaan padanya, memberikan senyuman di setiap pagi ketika mereka terbangun di pagi hari. 

 “Jangan diajak banyak bicara dulu, ya, Bu.” Perawat yang mengantarkan mereka kembali mengingatkan peraturan rumah sakit. Tetapi semua itu pasti demi kebaikan pasien juga. Rianti yang sedang menggenggam erat tangan papanya mengangguk. Perawat itu pun berlalu dan meninggalkan Rianti dengan mamanya berdua di samping bed sang papa.

 “Pa, apa yang Papa rasakan?” Rianti berbisik lembut pada papanya. Pak Arif yang sudah siuman tersenyum lembut pada kedua wanita yang amat dicintainya. Pak Arif menggapai tangan Rianti, Rianti mendekatkan wajahnya pada papanya.

 “Maafkan Papa, Nak. Papa telah mengecewakanmu, mengecewakan kalian semua.” Suara Pak Arif terdengar begitu lirih. Pak Arif ingin mengatakan banyak hal, tetapi dadanya kembali terasa sesak.  Rianti menggelengkan kepalanya berulang kali.

 “Tidak, Pa. Jangan berkata seperti itu. Papa telah melakukan banyak hal untuk kami, Papa telah berbuat semua yang terbaik untuk kami. Apapun yang sedang terjadi, jangan pernah menyalahkan diri Papa.” Rianti berkata di sela isak tangisnya. Bu Winda pun tak dapat menahan segala rasa sedih dan cemasnya melihat kondisi sang suami. Pak Arif kembali tersenyum, susah payah tangannya mengelus puncak kepala anak gadisnya yang tertutup jilbab. Rianti menunduk agar papanya leluasa mengusap kepalanya.

 “Papa mengirimmu menjadi cleaning servis, mengirimmu menjadi pembantu bendahara, dengan harapan kamu akan memiliki banyak pengalaman dan kelak bisa memimpin perusahaan kita dengan baik.” Kali ini Pak Arif tak dapat menahan bening di kedua matanya. Rianti makin terisak mendengar ucapan sang papa.

 “Rianti iklas, Pa. Apa pun yang Papa inginkan dari Rianti, Rianti akan melakukannya dengan iklas Pa.” Rianti gentian mengusap rambut papanya dan tersenyum manis. Bu winda meski tidak paham dengan percakapan anak dan suaminya itu, hanya diam dalam isak tangisnya. Tangannya masih menggenggam erat tangan suaminya.

 “Tetapi sekarang, Papa tidak akan pernah bisa memberikan perusahaan itu kepadamu, Nak. Perjuanganmu sia-sia. Semuanya telah hancur.” Suara Pak Arif terdengar seperti desisan, lalu tiba-tiba laki-laki paruh baya itu memegang dadanya. Ia kembali merasakan sesak seperti yang tadi dirasakannya. Rianti terperanjat. 

 “Papa, bertahanlah Pa. Rianti akan panggilkan dokter.” Rianti menekan bel diyang terletak di atas bed papanya. Menekannya berulang kali dan tidak lama dokter serta tiga orang perawat datang dengan tergesa.

 “Bisa Ibu dan Mba tunggu di luar dulu?” Seorang perawat yang mendorong rak berisi obat dan peralatan medis berbicara pada Rianti dan mamanya. Meski mereka ingin sekali berada di samping sang papa, tetapi mereka berdua tidak ingin mengganggu pekerjaan dokter dan para perawat yang akan menangani Pak Arif. Rianti dengan langkah lemah tak bertenaga melangkah keluar meninggalkan ruang UGD. 

 Sesampai di depan pintu UGD, Siska dan Amelia serentak bangkit dan mengejar Rianti serta mama mereka. Afdi ikutan berdiri dan mendekati Rianti.
 “Bagaimana Papa, Kak, Ma?” Siska dan Amelia serentak berdiri.

 “Doakan Papa, ya Nak.” Bu Winda memeluk Siska dan Amelia lalu tangisnya kembali pecah. Rianti pun sama, air matanya masih belum berhenti mengalir. Hati dan pikirannya bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi pada papanya, pada perusahaan papanya.

 “Ayo, duduk dulu.” Afdi menyentuh tangan Rianti sekilas. Ingin sekali rasanya laki-laki itu menghapus air mata gadis cantik di hadapannya ini. Sungguh tidak tega ia melihat Rianti bersimbah air mata seperti itu. Rianti melangkahkan kakinya yang seperti tak bertenaga ke bangku panjang di depan mereka. Diikuti oleh mama dan kedua adiknya.

 “Minum dulu, ya.” Afdi menyodorkan air mineral pada Rianti. Rianti menerimanya, meski gadis itu tidak merasa haus sama sekali. Rianti hanya memegang botol air mineral itu tanpa berniat meminumnya. Afdi mengambilnya kembali, membuka tutupnya dan kembali menyerahkannya pada Rianti.

 “Minumlah seteguk atau dua teguk. Meski kamu tidak haus, setidaknya bisa sedikit menyegarkan.” Afdi berkata lembut pada Rianti. Rianti mengangguk. Diteguknya air mineral itu dengan tatapan mata menerawang. Afdi mengambil lagi botol mineral yang lain dan memberikannya pada Bu Winda. Siska menerimanya dan membukakan botol tersebut untuk mamanya. Seperti Rianti, sang mama pun merasa enggan untuk sekedar meneguk air. 

 “Minumlah sedikit, Ma. Biar tenggorokan mama nggak kering.” Siska berucap lembut. Akhirnya Bu Winda pun menuruti perkataan anak gadisnya. Meminum air dalam botol mineral itu beberapa teguk dan menyerahkannya kembali pada Siska.

 Setelah itu mereka kembali diam dengan pikiran masing-masing. Orang-orang yang berlalu lalang di hadapan mereka seperti tidak terlihat di mata mereka. Tidak berapa lama terdengar suara azan zuhur berkumandang. Rianti meminta Siska untuk menemani sang mama ke musala rumah sakit. Mereka harus salat bergantian. Karena harus ada yang berjaga di depan UGD, jika sewaktu-waktu perawat atau dokter memanggil mereka lagi.

 Siska menurut. Gadis yang memakai rok warna blue black dengan atasan kemeja warna biru muda, menuntun mamanya menuju samping UGD, menuju musala yang ditunjukkan oleh arah panah di samping mereka duduk.

 “Mas nggak kerja?” Rianti menoleh pada Afdi.
 “Hari ini agak santai.” Afdi tersenyum pada Rianti.
 “Kalau Mas mau balik ke kantor, balik saja. Papa juga belum jelas kondisinya.” Rianti ,merasa tidak enak juga ditunggui Afdi seperti ini. 
 “Ya, nanti setelah menemani kamu salat dan makan siang, aku balik ke kantor.” Afdi menjawab santai.

 “Ini ada Amelia yang nemani aku.” Rianti masih mencoba membuat Afdi untuk meninggalkan rumah sakit. Tetapi Afdi bergeming. Seolah tidak mendengar apa-apa. Akhirnya Rianti pun diam, tidak mengatakan apa-apa lagi. Setengah jam berlalu, tetapi belum juga ada tanda-tanda mereka akan dipanggil oleh dokter atau para perawat. Bu Winda dan Siska telah kembali dari menunaikan salat zuhur. Sang mama menggantikan Rianti dan Amelia menunggu di depan UGD.

 Rianti mengajak Amelia ke musala. Afdi mengikuti langkah Rianti dan Amelia dari belakang. Mereka bertiga pun menuju musala untuk melaksanakan salat zuhur. Setelah salat zuhur, Afdi mengajak Rianti dan Amelia ke kantin rumah sakit untuk makan siang.

 “Aku nggak lapar, Mas. Kamu makan sendiri aja, ya?”  Rianti menolak ajakan Afdi karena memang perutnya tidak merasakan lapar sama sekali. Padahal biasanya jam segini ia pasti telah menyantap bekal yang dibawanya jika kebetulan bawa bekal atau mencari makan di luar.

 “Tapi aku lapar, kak.” Tiba-tiba terdengar cicit Amelia dari samping Rianti. Rianti merasa kasihan juga pada adiknya ini. Amelia memang paling tidak tahan lapar.

 “Baiklah, kita makan di kantin. Tapi jangan lama-lama, ya. Mama dan Kak Siska menunggu kita.” Rianti menggandeng tangan adiknya dan berjalan menuju kantin berdasarkan arah anak panah yang mereka lihat di lorong depan musala. Afdi kembali mengikuti kakak adik itu dari belakang. Entahlah ia merasa tidak hendak jauh dari Rianti di saat gadis itu sedang rapuh seperti ini. Mereka sampai di kantin yang cukup ramai oleh pengunjung rumah sakit. Memang sudah jamnya makan siang. Meja yang kosong hanya yang di samping pintu masuk. Mereka bertiga pun duduk di sana.

 “Kamu mau makan apa?” Afdi bertanya pada Rianti.
 “Aku teh hangat aja, Mas.” Rianti benar-benar tidak ingin makan.
 “Amelia mau makan apa?” Kali ini Afdi bertanya pada gadis yang masih memakai seragam SMA itu.

 “Aku nasi sama ayam, ya Mas. Ayam pop atau ayam penyet, apa yang ada aja,” jawab Amelia. Afdi pun segera berdiri dan memesan makanan ke pelayan yang berdiri di samping kasir. Setelah memesan beberapa makanan dan minuman, Afdi kembali ke meja Rianti dan Amelia. Hanya sepuluh menit, pesanan mereka pun datang. Nasi ayam penyet dan dua mangkok soto dengan nasi putih. 

 “Kok sotonya dua, Mas?” Rianti bertanya pada Afdi. 
 “Buat aku satu dan buat kamu satu,” jawab Afdi.
 “Tetapi, aku nggak lapar, Mas.” Rianti menolak.

 “Makanlah sedikit. Kamu butuh banyak tenaga untuk mengurus Papamu. Jangan sampai kamu juga sakit dan tumbang. Siapa lagi yang akan mengurus Papa dan Mamamu.” Afdi memberikan sambel dan kecap secukupnya ke mangkok soto Rianti. Lalu meletakkannya di depan gadis itu. Rianti terpaku melihat sikap Afdi yang begitu perhatian padanya. Apa sebenarnya yang dilihat laki-laki ini pada dirinya. Rianti sendiri merasa heran.

 “Atau mau aku suapi?” Afdi menatap Rianti lekat. Rianti terkejut mendengar ucapan Afdi. Reflek gadis itu menggeleng.

 “Kalau nggak mau disuapi, ayo cepat makan.” Afdi pun mulai menyendok soto di depannya. Sementara Amelia telah khusyuk dengan makanannya. Rianti dengan malas ikut menyendok soto di hadapannya. Afdi benar, ia tidak boleh sakit. Untuk itu ia harus makan. Akhirnya Rianti berusaha untuk menghabiskan sotonya. Afdi tersenyum melihat Rianti makan dan menghabiskan bagiannya.

 Setelah mereka selesai makan, Afdi memesankan dua porsi nasi ayam penyet untuk Mama Rianti dan Siska. Afdi memberikan bungkusan makanan yang dipesannya pada Amelia. Rianti tidak bisa juga untuk tidak tersentuk melihat perhatian Afdi padanya dan pada keluarganya. Padahal laki-laki itu bukan siapa-siapa bagi mereka.
****    
 Hari ini merupakan hari kedua Pak Arif dirawat. Papa Rianti itu akhirnya dipindahkan ke ruangan ICU karena kondisinya semakin tidak baik. Rianti, mamanya dan kedua adiknya tiada henti berdoa untuk kesembuhan sang papa. Mereka berempat tidur di rumah sakit. Afdi masih setia ikut menemani. Meski pada hari kedua, Afdi hanya datang di sore hari. Kesadaran sang papa masih hilang timbul. Dari beberapa orang pegawai kantor yang datang membezuk, mereka akhirnya tahu apa yang sedang terjadi. Kondisi perusahaan benar-benar sedang tidak baik. Orang kepercayaan Pak Arif telah menggandakan rekening tabungan dan memasukkan semua keuntungan perusahaan pada rekening baru tersebut. Setelah pengkhianat yang sangat dipercayai papanya itu menguras habis isi perusahaan, laki-laki itu pun menghilang tanpa meninggalkan jejak sedikitpun. Tidak hanya sampai di situ, perusahaan pun menanggung kerugian dan hutang akibat ulah orang kepercayaan papanya itu.

 Mereka baru mengerti kenapa kondisi sang papa sampai seperti ini. Ternyata begitu berat ujian yang sedang dihadapinya. Nasib para karyawan, nasib keluarganya, semua terletak pada perusahaan yang telah dirintisnya selama bertahun-tahun. Ia memulainya dari nol, dari proyek-proyek kecil. Awalnya laki-laki itu mencoba membangun perumahan yang hanya terdiri dari beberapa unit. Sukses dengan proyek pertamanya, Pak Arif mulai berani membangun perumahan yang sedikit lebih besar. Sampai pada akhirnya laki-laki itu mampu membangun beberapa perumahan mewah.

 Dan orang yang telah melarikan seluruh asset perusahaan milik papanya adalah orang yang mengurus semua keuangan di perusahaan. Pembayaran DP Perumahan oleh konsumen, pengurusan keredit  ke bank, dan pencairan dana dari bank ke rekening perusahaan. Inilah yang telah diambil alihnya dengan memasukkan semua DP, pencairan dana dari bank atas kredit konsumen ke rekening milik pribadinya. Pengambilan bahan bangunan yang biasanya dibayar setiap bulan, ternyata telah beberapa bulan tidak dibayara. Setiap ada tagihan, semua diselesaikan laki-laki itu dengan caranya sendiri. Sehingga begitu dia kabur, perusahaan hanya tinggal ampas kosong yang memiliki hutang.

 Mendapati kenyataan seperti itu, Pak Arif benar-benar merasa tidak siap. Kekecewaannya pada pegawainya yang bernama Erwin itu, kesedihannya karena kehilangan semua harta yang dimilikinya, dan beban hutang yang harus dibayarnya juga. Itulah yang telah memicu serangan pada jantung Pak Arif.

   Rianti, mamanya dan kedua adiknya duduk bersandar di dinding ruang tunggu ICU. Afdi dan papanya juga duduk di antara Rianti dan keluarganya. Mama Rianti terlihat begitu pucat dan lemah. Mulutnya tiada henti memohon pada Allah untuk kesembuhan suaminya. Tak dapat dibayangkannya bagaimana jika suaminya pergi. Bagaimana ia akan melewatkan masa-masa pahit ini seorang diri tanpa tangan kokoh suaminya. Bu Winda kembali terisak membayangkan jika hal buruk terjadi pada laki-laki yang amat dicintainya itu. Rianti dan Siska memeluk pundak mama mereka dengan lembut. Melihat sang mama terisak, mereka bertiga pun tak dapat menahan air mata. Afdi dan papanya melihat semua itu dengan hati terenyuh.

 “Keluarga Pak Arif!” Tiba-tiba seorang perawat dengan pakaian khusus ruang ICU memanggil Rianti dan keluarganya. Serentak Rianti, Bu Winda dan kedua adiknya berdiri dari duduk mereka.

 “Silakan kalau semuanya ingin masuk.” Perawat mempersilakan Rianti dan keluarganya. Rianti dan mamanya saling berpandangan. Ada apa dengan papa mereka. Biasanya mereka hanya boleh masuk bergantian. Itupun pada jam-jam khusus.

 “Pak Arif ingin bicara.” Perawat yang melihat wajah bingung Rianti dan keluarganya memberikan penjelasan. Perawat tersebut berbalik dan kembali masuk ke dalam ruang ICU. Meski sudah puluhan kali ia menyaksikan seseorang menutup lembaran kisahnya di dunia ini, tetapi masih saja ada sudut hatinya yang terenyuh. Sejak beberapa waktu tadi, infus sudah tidak jalan di tubuh pasiennya yang bernama Pak Arif itu. Dan biasanya itu merupakan pertanda tidak baik. Apalagi laki-laki itu tadi minta dilepaskan semua alat yang melekat di tubuhnya dan meminta bertemu dengan seluruh anggota keluarganya.

 Rianti, mamanya dan kedua adiknya masuk ke ruangan ICU dengan kaki gemetar. Hati mereka rasanya tidak enak. Afdi dan papanya ikut masuk. Mereka berenam menuju bed Pak Arif. Pasien hari ini hanya ada tiga orang, tidak seperti biasanya yang selalu terisi penuh. Pak Arif melihat kedatangan istri dan ketiga anaknya. Laki-laki itu mencoba tersenyum meski rasanya semakin sulit.

 “Kemarilah.” Suaranya terdengar begitu lemah. Rianti, Siska, Amelia dan Bu Winda berjalan mendekat. Mereka memegang tangan sang papa. 
 “Maafkan Papa jika hanya meninggalkan beban untuk kalian.” Di antara rasa sesaknya Pak Arif masih mencoba bicara meski terdengar amat lirih.

 “Jangan pikirkan apapun, Pa. Saat ini yang terpenting adalah kesembuhan Papa.” Rianti mencium kening papanya dengan pipi basah. Rianti tidak ingin menangis di hadapan papanya, tetapi tak dapat ditahannya air mata yang mengalir deras di kedua pipinya. Bu Winda melakukan hal yang sama, mencium kening suaminya dengan penuh perasaan. Kemudiaan diikuti oleh Siska dan Amelia. Pak Arif tersenyum bahagia.

 “Terima kasih.” Laki-laki itu berbisik pada orang-orang terkasihnya. Rianti mengangguk dan kembali terisak. Pak Arif melambaikan tangan pada Afdi. Afdi mendekat, digenggamnya tangan laki-laki yang terlihat makin sulit menghirup oksigen itu. Pak Arif tersenyum dan mengangguk pada Afdi.

 “Andai kamu berkenan, Bapak ingin menitipkan Rianti dan adik-adiknya padamu.” Pak Arif seperti memiliki kekuatan untuk mengatakan hal tersebut. Afdi terpana, sesaat ia seperti tak sanggup untuk berkata-kata. Tetapi kemudian Afdi tersadar begitu papanya yang berdiri di belakangnya menyentuh punggungnya lembut dan mengangguk pada Afdi.

 “Baik, Pak. Saya berjanji akan menjaga dan melindungi Rianti serta adik-adiknya.” Afdi berkata dengan penuh keyakinan. Pak Arif tersenyum, sedetik terlihat binar bahagia di matanya.

 “Terima kasih.” Laki-laki itu tersenyum dan mengangguk lemah pada Afdi. Afdi juga tersenyum.  
 “Boleh Papa meminta sesuatu padamu?” Kali ini Pak Arif menoleh pada Rianti.
 “Katakan, Pa. Apa saja akan Rianti lakukan untuk Papa.” Rianti mencium kembali kening papanya.   

 “Maukah kamu menerima Afdi sebagai pendampingmu?” Meski suara papanya hanya seperti bisikan, tetapi buat Rianti kata-kata papanya itu seperti petir yang menyentakkan dadanya. Sesaat Rianti termangu. Apa yang harus dikatakannya. Semua begitu tiba-tiba. Tidak pernah terlintas di benak Rianti ia akan berada di situasi sesulit ini. Tetapi sebelum Rianti menjawab apa-apa, papanya terlihat seperti kesulitan bernapas. Mereka semua panik dan berteriak memanggil perawat. Perawat yang tadi mempersilakan mereka masuk datang dengan seorang dokter. Dokter memeriksa kondisi Pak Arif. Mata Pak Arif masih terbuka, mulutnya seperti orang yang mendengkur. Tetapi laki-laki itu seperti kehilangan kesadarannya.

 “Silakan tuntun Bapak, ya, Bu.” Dokter berkata pelan pada Bu Winda. Bu Winda tergugu. Tak pernah membayangkan akan secepat ini ia menghadapi situasi seperti ini. Rianti memeluk pundak mamabya dan mendekatkan wajah mamanya pada sang papa. 

 “Ayo, Ma, bisikkan pada Papa.” Rianti menguatkan hati untuk mengatakan hal tersebut pada sang mama. 
 “Laa Illaha IllaAllah.” Bu Winda berbisik di telinga suaminya. Terlihat lidah Pak Arif bergerak seperti mengikuti kalimat yang dibacakan oleh istrinya itu. Dan sedetik kemudian mata laki-laki itu melihat ke atas, lalu tertutup dengan tangan yang terlepas dari genggaman Rianti dan juga Afdi. 

 “Papa!” Amelia dan Siska menjerit memanggil papanya. Mereka berdua menangis seraya memeluk tubuh laki-laki yang amat mereka sayangi itu. Bu Winda hanya terisak. Laki-laki itu akhirnya pergi. Laki-laki itu akhirnya meninggalkannya sendiri. Meninggalkan tiga orang anak gadis yang masih belum tahu masa depannya seperti apa. Rianti menarik pundak Amelia dan memeluk adiknya itu dengan pandangan mata yang kabur oleh air mata. Kini tanggung jawab papanya berada di pundaknya. Ia harus kuat demi mamanya dan kedua adiknya. Afdi mengelus pundak Rianti sekilas ingin memberikan kekuatan.

Bersambung ....

0 comments:

Posting Komentar