CINTA DI BATAS CAKRAWALA 28

❤ *CINTA*
*di Batas Cakrawala*
🌅 nomor - 28

(18+)

Hari libur itu Dimas menghabiskan waktunya bersama Naura. Nonton kartun di pagi hari, salat di masjid, tidur siang dan main di pantai sore harinya. Ia benar-benar bahagia dengan peran barunya sebagai seorang ayah. Namun di tengah rasa bahagianya, timbul rasa sesal yang amat mendalam. Seandainya saat itu ia lebih peka dan tahu Hanna sedang hamil, tentu ia tidak akan menyerah dan pasrah begitu saja. Sehingga tidak menyianyiakan waktu lima tahun dan bisa berperan penting sebagai seorang suami dan ayah.

Ia mengusap rambut hitam Naura yang menyandarkan kepala di dadanya. Mata bening si kecil berbinar menatap layar ponsel yang menampilkan serial kartun spongebob kesukaannya. Sudah hampir setengah jam mereka bersantai di kamar menunggu Hanna yang sibuk menata pakaian di kamar sebelah.

Dimas menatap penasaran pada Naura yang masih asyik dengan dialog konyol tokoh kartun berwarna kuning itu. "Belum selesai, ya Spongebobnya?"

"Belum," jawab Naura.

Dimas menghela napasnya, memutar otak mencari cara agar malam ini bisa menuntaskan misinya terhadap Hanna. Sudah beberapa hari terlewati sejak ancamannya pagi itu, rencananya selalu saja gagal. Setiap kali ia ingin memulai, Naura tidak pernah mau menjauh dari dirinya maupun Hanna. Jika tidak menempel padanya, gadis kecil itu akan sangat manja pada ibunya.

"Naura mau bobok sama Kakek dan Nenek?" bisik Dimas kembali mengusap rambut panjang sang anak.

Tanpa menjawab serta mengalihkan fokusnya, Naura menggeleng. Dimas mendesah pelan, namun belum menyerah.

"Nontonnya dilanjut aja di kamar Nenek sama Kakek terus tidur di sana. Nanti kalau Mommy datang, Naura langsung disuruh tidur, lho ngga boleh nonton lagi."

"Ngga mau, Abi! Naula mau tidul di cini!" bibir kecil Naura langsung mengerucut dengan kedua pipi mengembung. Dimas yang belum benar-benar memahami sifat manja sang anak, terus membujuknya tanpa lelah.

"Kok ngga mau? Masa Naura ngga mau bobok sama Kakek dan Nenek? Naura kan anak pintar."

Naura langsung menatapnya. Dimas terkejut mendapati bulir bening telah menggenangi pelupuk mata bulat gadis kecilnya yang sangat mirip dengan Hanna.

"Naula mau bobok di cini cama Mommy!" Seketika tangis Naura pecah membuat Dimas kaget.

"Yah, kok nangis?" Dimas bergerak cepat, berdiri sambil menggendong Naura untuk menenangkannya. "Iya deh, Naura bobok di sini sama Mommy dan Abi. Tapi jangan nangis dong," bujuknya panik.

Tangis Naura belum kunjung berhenti walaupun telah dibujuk dengan segala cara. Hingga pintu kamar terbuka, sosok Hanna yang muncul membuat wajah Dimas berubah pias. Rencananya gagal, dan kini tangisan Naura sudah pasti membuat masalah baru baginya.

"Naura kenapa nangis?" Hanna mendekat, tiba-tiba Naura mengulurkan kedua tangannya sambil terisak. Tanpa kata, Dimas menyerahkan Naura pada Hanna yang menatapnya curiga.

"Naula mau bobok cama Mommy! Abi jahat, Naula diculuh bobok di kamal Nenek cama Kakek," adu Naura seraya memeluk erat mommynya.

Dimas menggaruk tengkuknya dan mengalihkan pandangan ke sembarang arah untuk menghindari tatapan tajam Hanna.

"Ya sudah, kita tidur di kamar sebelah aja, ya?" Hanna langsung melangkah bersama Naura yang mengangguk pelan dalam gendongannya.

"Lho, masa Naura sama Mommy tinggalin Abi bobok sendiri?" Dimas menghadang langkah Hanna di depan pintu.

"Abi jahat!" Naura merajuk kesal.

"Ngga kok, sayang. Sini, Naura sama Abi, ya? Kita nonton lagi?" bujuk Dimas seraya mengulurkan tangan.

"Ngga usah!" Kali ini Hanna yang mendelik.

Dimas langsung menutup pintu kamar dan menguncinya. "Sudah malam, ayo kita tidur!" ujarnya tegas, dalam hati pasrah jika malam ini ia gagal lagi. Dari pada kedua wanita kesayangannya itu merajuk dan meninggalkannya sendiri, lebih baik ia mengalah.

Hanna menghela napasnya, menatap Dimas sejenak. Lalu berbalik duduk di tempat tidur bersama Naura. "Kita tidur di sini, Naura ngga usah nangis lagi, ya?"

Tidak tega melihat wajah Naura yang memerah dan terus memeluk Hanna erat, Dimas mendekat. "Sini, bobok sama Abi. Naura sayang Abi kan?"

Perlahan Naura menyembulkan wajahnya dari pelukan Hanna. Dimas tersenyum melihatnya seraya mengulurkan tangan. "Sini ...."

Naura menatap Hanna seakan meminta persetujuan, lalu pelukan mommynya terlepas. Gadis kecil itu kembali berpindah pada Dimas yang langsung memeluknya.

"Naula mau bobok cini," gumam Naura dengan suara parau.

"Iya." Dimas mengusap wajah Naura yang masih basah lalu membaringkannya di tempat tidur yang sudah ditata Hanna. "Bisa ngga, kamu tidurnya di sini, di sampingku?" lirih Dimas menghentikan gerakan Hanna yang akan berbaring.

Hanna tampak berpikir, lalu menggeleng, membaringkan badan sepenuhnya di samping Naura. Tangannya mulai menepuk pelan punggung sang anak. "Ngga bisa."

"Kenapa?"

"Nanti Naura nangis!"

"Dia ngga akan nangis kalau sudah tidur dan tetap di sini," bujuk Dimas tanpa lelah.

"Kamu mau ngapain kalau aku pindah di situ?"

Dimas memperhatikan Naura yang menyusupkan wajah mungilnya dalam pelukan Hanna. Tangannya terulur menggenggam tangan Hanna di punggung sang anak, menautkan jemari mereka.

"Memelukmu," lirihnya.

"Aku tidak percaya kalau kamu hanya akan memelukku."

Dimas menyugar rambutnya melihat Hanna yang mulai memejamkan mata tanpa melepas tautan jemari mereka. Ia mulai berbaring, meremas lembut tangan Hanna dalam genggaman.

"Waktumu berpikir hanya tinggal malam ini. Aku janji," lirih Dimas. Senyum tipis tersungging di wajah Hanna tanpa membuka matanya, membuat keyakinan Dimas semakin bertambah.

*****

Sudah satu minggu Hanna dan Naura berada di desa, itu artinya sudah beberapa hari berlalu setelah ancaman konyol Dimas pagi itu di pantai untuk Hanna. Walaupun baginya terdengar konyol, namun ia tidak bisa tenang dan mengabaikannya begitu saja. Karena di malam-malam sebelumnya, sama seperti tadi malam, di mana Dimas tanpa lelah berusaha melancarkan misinya untuk mewujudkan ancamannya.

"Kamu makin pintar masak sekarang. Belajar sama siapa?" Suara Bik Minah membuyarkan lamunan Hanna.

"Eh, Ibu," gumam Hanna salah tingkah, lalu mengangkat nasi goreng seafood kesukaan Dimas dari wajan.

"Kamu belajar masak sama siapa? Sejak kamu datang, semua yang kamu masak selalu enak." Bik Minah mengusap bahu Hanna.

"Belajar dari Ibu Ratna, Bu. Ibu tahu, kan, Ibu tirinya Vania," jawab Hanna.

Bik Minah mengangguk pelan, raut wajahnya berubah sendu. "Lima tahun benar-benar mengubah kamu, Nak. Ibu senang dengan perubahan kamu yang jadi lebih baik sekarang."

Hanna hanya tersenyum, berusaha menahan diri untuk tidak ikut menitikan air mata seperti mertuanya.

"Bagaimana kamu sama Dimas?"

Hanna menunduk menatap jemarinya yang saling meremas. Ia bingung harus menjawab apa, karena sejak pembicaraannya pagi itu dengan Dimas, mereka tidak pernah terlibat pembicaraan yang serius karena ia sibuk menjaga jarak.

"Kamu dan Naura tidak akan pergi lagi, kan?"

Hanna tersentak kaget, menatap Bik Minah yang sedang mengusap air matanya.

"Bu ...."

"Ibu harap kamu tidak akan pergi lagi. Tetap jadi istrinya Dimas, satu-satunya menantu Ibu."

"Kenapa Ibu tidak membenciku setelah apa yang telah aku lakukan? Aku bukan wanita baik, karena meninggalkan suamiku yaitu Dimas, anak ibu, begitu saja bahkan selama lima tahun lamanya," ujar Hanna dengan napas berat.

"Walaupun apa yang kamu lakukan dulu itu memang tidak dapat dibenarkan, tapi Ibu tahu kamu punya alasan yang kuat mengapa kamu memilih pergi. Dan Ibu tidak punya hak untuk menghakimimu, terlebih sekarang kamu sudah kembali. Ibu hanya berharap yang terbaik untuk kamu dan Dimas serta Naura. Karena Ibu paham bagaimana menderitanya kalian selama terpisah lima tahun ini."

Hanna mengangguk pelan tanpa menjawab, mengusap sudut matanya sendiri agar bulir beningnya tidak meluap. Ia sangat bersyukur ibu mertuanya tidak berubah, tetap berhati lembut dan menyayanginya seperti dulu layaknya anak sendiri.

"Ah, sudahlah. Ayo kita siapkan sarapan. Naura pasti sudah lapar," ujar Bik Minah mencairkan suasana haru di antara mereka.

Hanna menurut, membawa nasi goreng buatannya ke ruang makan. Ternyata di sana sudah ada Naura yang sudah kembali ceria bersama abi serta kakeknya.

"Naura makan sendiri, ya?" Hanna menyendokkan nasi goreng ke piring Naura yang duduk di samping Dimas.

"Buat aku mana?" Pertanyaan Dimas dengan tatapan polos membuat Hanna salah tingkah. Tanpa kata ia menyiapkan makanan pertama kalinya untuk Dimas sejak ia tiba di sana. "Terima kasih."

Hanna hanya mengangguk, mengambil tempat duduk di samping Naura.

"Enak," gumam Dimas setelah melahap satu sendok nasi goreng seafood kesukaannya.

"Itu buatan istri kamu, lho," gumam Bik Minah sambil menyantap sarapannya.

Hanna menunduk ketika Dimas menoleh padanya. Tangannya malah mengacak nasi goreng di piring karena gugup.

"Dia masih ingat makanan kesukaannku, bahkan buatannya ini lebih enak dari yang dijual di luar, Bu."

Hanna semakin menunduk dalam karena pujian Dimas. Pujian yang terdengar tulus membuat hatinya menghangat. Dimas yang dulu sangatlah datar, tidak semanis saat ini yang membuatnya salah tingkah. Ia melepaskan sendok lalu menyembunyikan tangannya yang gemetar menahan gugup yang semakin menjadi.

"Karena istrimu semakin pintar masak, nanti badanmu bisa kembali seperti dulu, tidak kurus lagi," goda Bik Minah.

Seketika raut wajah Hanna berubah, ia mengernyit heran menatap Dimas yang masih setia memandanginya. Terbersit rasa bersalah memandangi tubuh lelaki itu yang memang tidak sekekar dulu. Benarkah itu karena dirinya?

"Kenapa?" Dimas malah menghadapnya sambil tersenyum membuat Hanna langsung tersadar.

"Ti-dak. Ma-kanlah," gumam Hanna terbata.

"Iya, kamu juga makanlah. Jangan terus memandangiku."

Hanna mendengus kesal langsung memalingkan wajahnya.

"Abi, kalau makan jangan cambil ngomong," tegur Naura, sontak membuat tawa Pak Budi dan Bik Minah berderai. Sementara Dimas tersenyum mengusap rambut sang anak dengan tatapan masih tertuju pada Hanna yang terus menunduk, menyembunyikan senyumannya.

"Iya sayang, ayo lanjut makannya. Mommy juga," bisik Dimas.

Senyum Hanna semakin lebar, ia mulai menyantap sarapannya tanpa peduli tingkah Dimas yang masih terus memandanginya.

*****

Hari berlalu seperti sebelumnya, si kecil Naura yang ceria selalu mendominasi perhatian Abinya. Hanna? Ia mulai meragukan pendiriannya sendiri setiap kali melihat ayah dan anak itu. Seperti malam ini, kebersamaan mereka membuatnya kembali memikirkan permintaan Dimas untuk kembali padanya.

"Assalamu'alaikum. " Hanna keluar dari kamar Dimas, masuk kamar sebelah untuk menjawab telepon dari Haris yang tiba-tiba. Ia meninggalkan Dimas yang masih menemani Naura dengan tontonannya.

"Wa'alaikumsalam. Bagaimana keadaanmu dan Naura? Sudah satu minggu kalian di sana tidak pernah kasih kabar," gumam Haris dari seberang.

Hanna menepuk jidatnya seraya mendudukkan diri di tempat tidur. Satu minggu di desa, Dimas benar-benar menjungkir balikan hidupnya sehingga tidak ada waktu baginya untuk memikirkan hal lain termasuk berkirim kabar, sekedar menelepon kakaknya atau Vania.

"Maaf, Kak. Aku belum sempat mengabari. Tapi alhamdulillah aku dan Naura di sini baik-baik saja," kata Hanna tidak enak.

"Syukurlah kalau kalian baik-baik saja," terdengar helaan napas dari seberang, "Bagaimana dengan laki-laki itu?"

"Dimas?" tanya Hanna ragu, namun paham mengapa kakaknya itu enggan menyebut nama Dimas.

"Ya, siapa lagi?"

"Dia baik, Kak."

"Dia tidak menyakitimu, kan?"

Hanna tersenyum, senang masih mendapat perhatian kecil dari kakaknya. Walaupun terlambat, namun baginya itu lebih baik dari pada tidak sama sekali.

"Baik."

"Jadi, kamu yakin untuk kembali padanya?"

"Naura bahagia di sini. Jadi aku pun begitu, Kak."

"Kamu tahu itu, bukan itu maksud pertanyaanku. Aku menanyakan bagaimana hubunganmu dengan dia. Tidak mungkin kamu tetap di sana tanpa kejelasan masa depan kalian!"

"Aku ...."

"Sudahlah, nanti hubungi aku kalau kamu sudah memutuskan. Jangan terlalu lama, aku tidak ingin dia menggantung hubungan kalian."

Hanna menghela napasnya, tidak tahu harus menjelaskan bagaimana tentangnya dengan Dimas. Padahal ia sendiri yang masih menggantung lelaki itu bukan sebaliknya.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam." Hanna menunduk lesu setelah sambungan telepon terputus. Mendapat tekanan dari kakaknya yang tiba-tiba membuatnya kebingungan. Apa yang harus ia putuskan?

Ia melangkah kembali ke kamar sebelah mendapati ruangan berukuran empat kali tiga meter itu tidak berpenghuni. Tidak ada Dimas dan Naura yang tadi masih asyik bercengkrama sambil nonton kartun di tempat tidur. Terngiang kembali kata Haris tadi, membuatnya menatap sekeliling kamar yang tidak banyak berubah. Pandangannya tertuju pada lemari yang dulu menyimpan pakaiannya lima tahun lalu. Namun ada yang berubah dan baru di sadarinya setelah beberapa malam tidur di sana. Tidak ada meja riasnya dulu. Kemana meja tersebut? Namun, di tengah kekacauan pikirannya, pintu kamar terbuka lebar.

"Naura mana?" Hanna menatap heran Dimas yang masuk kamar sendirian. Alisnya bertaut bingung ketika lelaki itu malah menutup pintu kamar dengan santai, bahkan menguncinya.

"Naura mana? Kenapa dikunci pintunya?"

"Naura tidur sama Ibu dan Bapak. Jadi malam ini kita tidur berdua saja," jawab Dimas lalu mendekat ke tempat tidur.

Hanna menggeser posisi duduknya. "Dia mau gitu aja?" tanyanya tidak percaya.

Dimas mengangguk tanpa kata, membuka kaos oblong hitam yang menampakkan dada bidang dan otot perutnya yang mulai kembali seperti dulu. 

Hanna memalingkan wajahnya yang terasa panas, menghindari pemandangan menggoda yang disuguhkan Dimas. Ia mencoba menenangkan diri, agar tidak terpancing ulah lelaki itu.

"Kamu apain Naura sampai dia mau pisah tidur sama kita?" tanya Hanna curiga, menggeser duduknya sampai di ujung tempat tidur.

"Aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Kalau dia mau punya adik, dia harus memberikan waktu untuk kita berdua," ujar Dimas santai seraya mendekatkan dirinya.

"Kamu bilang apa?" Hanna berdiri kaget.

Dimas tersenyum miring menarik tangan Hanna, memaksa untuk duduk di pangkuannya. "Santai saja."

"Dimas!" Hanna menahan gugup, ketika lengan Dimas melingkari perutnya, menyerukkan wajah di lehernya. Bodohnya, lagi-lagi ia diam membiarkan malah cenderung menikmati.

"Sudah cukup aku menahan diri. Kali ini tidak lagi," bisik Dimas parau.

Hanna menelan ludah susah payah. Matanya terpejam menahan gugup yang semakin menjadi serta jantungnya yang berdetak dua kali lebih cepat ketika Dimas mencium setiap inci lehernya tanpa henti.

"Lagi pula, menolak suami itu dosa. Dan aku rasa kamu sudah paham itu," bisik Dimas lagi disela ciumannya yang beranjak naik.

Hanna mengerjap kaget, tiba-tiba merasakan ciuman kasar di bibirnya. Ia tidak mampu menolak, hanya bisa membalas ciuman Dimas yang membuatnya hampir kehabisan napas.

"Kenapa kamu jadi begini?" lirih Hanna dengan napas tersengal ketika Dimas melepas tautan bibir mereka. Ia menghirup udara sebanyak-banyaknya, menyatukan dahi dan hidung mereka, menatap tepat di manik hitam lelakinya itu.

"Karena kamu." Embusan napas hangat Dimas menyapu wajahnya. Hanna kembali memejamkan mata menahan hasratnya yang tiba-tiba bergejolak. "Karena kamu tidak seagresif dulu, mungkin ... karena sudah lama tidak pernah ...."

Hanna merasa amat malu, berusaha menjauhkan diri namun Dimas memeluknya erat.

"Jangan pergi lagi. Tetaplah bersamaku, jadi istriku. Mommynya Naura dengan adik-adiknya kelak?" ujar Dimas seraya mengecup sudut bibir Hanna.

Hanna menunduk tidak berani membalas tatapan Dimas yang berkabut gairah. Namun kedua tangan yang tadinya bertahan di bahu kokoh lelaki itu, perlahan melingkari lehernya. Reaksi tubuhnya selalu saja berlawanan dengan otaknya.

"Aku memang terlambat mengatakannya. Tapi percayalah, aku mencintaimu, Hanna."

Debar jantungnya semakin menggila mendengar ungkapan cinta Dimas di suasana intim mereka malam itu. Hal yang sangat ia harapkan dari dulu, akhirnya terwujud setelah berbagai cobaan yang dilaluinya selama lima tahun ini. Satu bulir bening lolos dari pelupuk mata ketika Dimas kembali menciumnya.

Hanna menikmati ciuman itu, membalasnya tanpa paksaan, dan membiarkan Dimas membawanya berbaring di tempat tidur.

"Kamu percaya padaku?" bisik Dimas sambil menyeka kedua sudut mata Hanna lembut. Hanna mengangguk pelan tanpa perlu berpikir panjang. "Terima kasih, sayang."

Hanna tidak tahu bagaimana mengungkapkan perasaannya mendengar kata sayang itu. Sejujurnya, hanya sepenggal kata cinta sederhana yang ingin didengarnya sejak dulu dari lelaki yang ia cintai itu. Kini, hatinya membuncah bahagia. 

*****

Waktu berlalu begitu cepat ketika bahagia, itu memang benar adanya dan Dimas merasakannya. Menghabiskan waktu semalaman rasanya belum cukup untuk mengobati rindu yang tertahan lima tahun lamanya pada Hanna. 

Ia mengerjap malas, mengusap punggung polos Hanna dalam pelukan. Semua bagaikan mimpi, Dimas tersenyum samar menatap si pemilik surai cokelat panjang yang berantakan di atas dadanya. Waktu subuh semakin dekat, namun rasanya ia malas untuk beranjak dari suasana indah dini hari itu.

Dimas merapikan rambut Hanna dan memperbaiki selimut mereka, karena udara pagi yang dingin membuat kulit putih wanitanya itu memerah. Namun anehnya, Hanna sama sekali tidak terganggu. Tetap nyaman terlelap dalam pelukan hangat Dimas.

Baru akan kembali melanjutkan tidurnya, azan subuh telah berkumandang. Dimas terdiam sejenak, lalu mengucek matanya yang berat.

"Hanna, sudah subuh," bisik Dimas sambil mengusap pipi Hanna yang kemerahan. Bukannya bangun, istrinya itu malah menyerukkan wajah di lehernya membuat Dimas mengeram gemas. "Hanna, bangunlah. Jangan begini."

"Ngantuk," gumam Hanna tanpa membuka mata.

"Aku tahu. Aku juga ngantuk. Tapi kita punya kewajiban sebagai manusia kepada Tuhannya, bukan hanya kewajiban kita sebagai suami istri." Ucapan Dimas sukses membuat Hanna membuka matanya. Wajahnya semakin memerah dan langsung menyerukkannya di bantal. "Kenapa tidur lagi?"

"Aku sudah bangun!" Hanna menarik selimut sampai sebatas leher lalu menjauhkan dirinya.

"Tingkahmu aneh sekali. Padahal tadi malam tidak begini," goda Dimas.

"Sudah mandi duluan sana! Dan pergilah ke masjid!" Hanna menepis tangan Dimas yang bergerak menyentuh selimut di dadanya.

Dimas tergelak, tanpa peduli ekspresi lucu Hanna—antara takut dan malu—menatapnya. Ia mendekat mencium lembut bibir wanita itu. "Biarkan aku mengingatkanmu setiap moment bahagia kita dulu," bisiknya.

"Ish, apaan sih. Mandi sana!"

"Iya aku mandi. Tapi urusan kita belum selesai, karena aku ingin segera memenuhi keinginan Naura." Dikecupnya pucuk kepala Hanna yang akan protes. Dimas tersenyum, lalu bangun memakai boxernya dan keluar kamar.

*****

Wajahnya tampak berseri, secerah mentari pagi yang memantulkan cahayanya di lautan biru yang terhampar luas. Dimas duduk memangku Naura yang semakin manja di teras rumah, menikmati segarnya angin laut yang berembus lembut.

"Abi, nanti adiknya Naula dibeliin boneka spongebob, ya? Bonekanya Naula ditinggal di lumah buat Oma," ujar Naura tiba-tiba.

Dimas tersenyum. "Tentu mau beli berapa?"

"Tiga. Catu buat Naula, dua buat adik." Dimas tertawa mendengarnya.

"Jadi Naura kan mau punya adik, gimana kalau Abi panggilnya Kakak saja?"

Naura mengangguk. "Naula kan Kakaknya adik Ila, Kakaknya adik bayi juga."

Dimas memeluk gemas sang anak. Semua usahanya semalam berjalan lancar, tinggal menunggu hasilnya saja dari Hanna.

"Naura lagi nonton apa?" Tiba-tiba Pak Budi muncul dari dalam rumah, mendudukan diri di hadapan anak dan cucunya.

"Spongbob, Kek. Ini ada yang balu." Naura menunjukkan ponsel milik Dimas.

"Katanya Nenek juga nonton tuh. Tadi malam nontonnya cuma sebentar aja karena Naura sudah ngantuk," ujar Pak Budi sambil tersenyum.

"Nenek mana?" Naura langsung menegakkan tubuhnya.

"Ada di dalam."

Naura beralih menatap Dimas. "Abi, Kakak mau nonton cama Nenek."

Dimas mengangguk. "Ya sudah sana, ngga apa-apa." Ia menurunkan Naura dari pangkuan yang langsung berlari masuk dalam rumah.

"Ada apa, Pak?" tanya Dimas mengalihkan fokus pada bapaknya.

"Bagaimana kamu sama Hanna?"

"Alhamdulillah, baik, Pak," jawab Dimas tersenyum.

Pak Budi mengangguk pelan dengan wajah serius. "Jadi, dia mau kembali sama kamu?"

"Tentu, Pak. Tadi malam kami sudah bicara. Dan dia setuju."

"Begitu saja?"

Kedua alis Dimas bertaut bingung. "Maksud Bapak?"

Pak Budi menghela napasnya, menyandarkan punggung di kursi yang terbuat dari kayu. "Jika Hanna adalah anaknya Bapak, Bapak tidak akan menginzinkanya kembali sama kamu."

Dimas tersentak tidak terima. "Kenapa Bapak bicara begitu? Memangnya salahku apa, Pak?"

"Salahmu sebagai laki-laki. Apa kamu tidak memikirkan bagaimana pandangan keluarga besar Hanna terhadapmu? Kedua orang tuanya, juga Pak Haris yang selama ini bertanggungjawab untuk anakmu. Bapak tahu apa yang kamu lewati lima tahun ini, tapi apa kamu tahu apa yang dilewati istrimu? Jangan egois karena kamu yang ditinggalkan, sehingga bagimu sudah cukup Hanna dan Naura kembali padamu."

Ucapan bapaknya bagaikan tamparan keras tidak kasat mata menyadarkannya. Dimas menunduk, tidak berani melawan.

"Bapak tahu selama ini kamu sudah berusaha, tapi kurang maksimal. Kamu hanya berusaha menjaga diri untuk tetap setia pada istrimu. Tapi apa itu cukup? Bagaimana kalau ternyata mereka tidak pernah kembali? Kamu tidak akan pernah tahu tentang anakmu, dan mungkin nanti dia akan datang hanya untuk meminta izin nikah."

Dimas masih tetap menunduk, membenarkan ucapan bapaknya yang pendiam namun ketika berbicara selalu tepat sasaran.

"Kamu sekarang adalah seorang Ayah dari seorang anak perempuan, jadi Bapak tidak perlu mengarahkanmu lagi. Tapi satu hal yang perlu kamu pertimbangkan, perbaharui pernikahanmu dengan Hanna. Lima tahun berpisah walaupun tanpa talak, tapi hati manusia itu tidak mungkin selalu bersih. Ada saat-saat tertentu kamu merasa tidak ridho atas kepergiaannya, itu bisa berpengaruh terhadap kehalalan pernikahan secara agama. Pikirkanlah, tidak ada salahnya memulai semuanya kembali dari awal dengan niat baik agar ke depannya rumah tanggamu semakin baik."

Dimas baru bisa mengembuskan napasnya ketika bapaknya kembali masuk dalam rumah. Dikiranya, semua yang ia lakukan memang benar. Namun otak yang sudah dikuasi nafsu membuatnya tidak bisa berpikir dengan baik.

Apa yang harus dikatakannya pada Hanna? Perbaharui pernikahan dengan ijab kabul ulang? Lalu bagaimana dengan yang tadi malam? Bagaimana kalau Hanna marah dan merasa dijebak? Dimas mengacak kasar rambutnya karena pusing tiba-tiba. 

Bersambung .....

Pusing deh, Babang "D"

0 comments:

Posting Komentar