CERBUNG 6 - Masih Adakah Surga Untukku

#Masih_Adakah_Surga_Untukku
#Laila
#Episode_6

Terima kasih admin/moderator telah berkenan approve

Tidak berapa lama Tama turun seraya menenteng tas laptopnya. Memakai kemeja berwarna navy, membuat penampilan Tama terlihat begitu segar pagi ini. Ia meletakkan laptopnya di kursi meja makan, lalu segera mengambil tempat di kursi ia biasa duduk.

Laila mengambilkan bihun, ayam yang telah disuir, daun bawang, lalu menyiramkan kuah soto ke mangkok tersebut. Setelah menaburinya dengan bawang goreng, Laila meletakkan soto yang mengepulkan asap panas itu di depan Tama. Lalu Laila mendekatkan cabe, saos dan kecap ke dekat mangkok tersebut. Tama hanya diam dengan semua aktivitas yang dilakukan Laila.

"Silakan, Da," Laila mempersilakan Tama untuk sarapan.
"Terima kasih," jawab Tama singkat. Lalu laki-laki itu pun mulai makan dengan lahapnya. Soto padang adalah kesukaan Tama, sehingga hampir setiap minggu mak Eti membuatkan sarapan soto padang.

Laila kembali menyibukkan diri di dapur. Anita dan mak Eti pun masih terlihat membereskan dapur setelah selesai membuatkan sarapan untuk Tama dan untuk semua penghuni rumah.

"Nita, tolong ambilkan Uda air hangat, ya." suara Tama memecahkan keheningan mereka. Anita menoleh ke arah mak Eti. Mak Eti bersegera mengambil gelas dan menuangkan air hangat untuk Tama. Kebiasaan Tama di pagi hari memang sarapan dengan minum air hangat. Lalu mak Eti menyerahkannya pada Laila tanpa bersuara. Laila mengerti. Diambilnya gelas tersebut dari tangan mak Eti, lalu diantarnya pada Tama.
"Ini, Da," ujar Laila. 
"Ya, terima kasih," Laila kembali mengangguk.

Sebenarnya Laila ingin duduk di samping laki-laki itu, ikut sarapan dengannya, seperti yang dilihatnya setiap hari pada ayah dan bundonya. Tapi sepertinya laki-laki itu masih enggan berdekatan dengannya. Sabar Laila. Semua butuh waktu dan butuh proses, Laila berbisik dalam hati. Laila mencoba tersenyum pada dirinya sendiri. Akhirnya Laila  beranjak menuju kamarnya.

Sesampai di kamar, Laila meraih ponselnya. Tiba-tiba ia rindu ingin menelphon ayah dan bundonya. Tapi begitu menekan nomor ayahnya, jawaban operator membuat Laila termangu. "Pulsa anda tidak mencukupi untuk melakukan panggilan ini."
Laila kembali ke ruang makan. Dilihatnya Tama telah selesai sarapan. Sebelum Tama bangkit dari duduknya, Laila telah berada di samping laki-laki itu.

"Uda, Laila bisa pinjam ponsel Uda untuk nelphon Ayah dan Bundo?" Laila memberanikan diri meminjam ponsel Tama.
"Ponsel kamu kenapa?" tanya Tama dengan tatapan heran.
"Pulsanya ga ada, Da." pipi Laila memerah ketika mengatakannya.

Tama merogoh kantong celananya dan menyerahkan ponsel bergambar apel itu pada Laila. Laila menerimanya dengan senang hati. Tak menyangka laki-laki dingin ini mau berbaik hati meminjamkan ponselnya pada Laila.

"Terkunci, Da," Laila kembali mengangsurkan ponsel itu kepada Tama. Tama menerimanya dengan tergesa, sehingga tanpa sengaja tangan mereka bersentuhan. Dada Laila berdetak tak beraturan, begitu juga dengan Tama. Laila lagi-lagi kembali menunduk tak berani memandang laki-laki di hadapannya ini. Sesaat kemudian, Tama kembali menyerahkan ponsel itu pada Laila.

Laila menerimanya dengan dada makin berdetak kencang. Dilihatnya wallpaper Tama adalah foto pernikahan mereka yang memakai suntiang di pelaminan. Ada yang menghangat di hati Laila. Tapi secepatnya Laila menetralisir perasaannya. Tergesa Laila menekan nomor telphon ayahnya. Tak berapa lama, terdengarlah suara khas sang ayah yang amat dirindukannya. Ayah menanyakan kabar Laila. Laila mengatakan kalau ia baik-baik saja. Ayah lalu bercerita tentang kondisi bundo yang telah menunjukkan perkembangan mengembirakan. Bundo sudah mulai berlatih berjalan. Dan sudah bisa bicara satu dua kata.

Laila sangat bahagia mendengarnya. Setelah merasa cukup saling bertukar kabar, Laila pun pamit dan mengucapkan salam pada ayahnya. Tama ternyata telah menunggu di ruang tamu. Laila sungguh merasa tidak enak.

"Maaf, Da. Kelamaan, ya?" Laila menyerahkan ponsel itu kembali pada Tama.
"Ponselmu mana?" Tama menerima ponsel miliknya seraya meminta ponsel Laila. Laila merogoh kantong gamisnya dan memperlihatkan ponselnya pada Tama. Tanpa disangka Tama mengambil ponsel itu dan mengotak atik ponsel Laila sejenak. Laila memangg tidak pernah mengunci ponselnya. 

Lalu Tama menyerahkan ponsel Laila kembali. Tama beralih menekan ponsel miliknya.

"Itu pulsanya sudah saya masukkan," ucap Tama. Laila terkesima.
"Oh, iya. Makasih ya, Da," ucap Laila dengan gembira.
"Saya berangkat,"  pamit Tama tanpa menjawab ucapan terima kasih dari Laila. Laila mengangguk.
"Hati-hati, Da," ucap Laila sebelum menutup pintu. Tapi tak terdengar lagi jawaban dari laki-laki itu. Laila hanya mengangkat bahu lalu beranjak ke dalam.

Ternyata mba Susi dan pak Udin telah berada di dapur. Mereka terlihat sarapan bersama. Sementara Anita ke luar dari kamar mak Eti, bersiap untuk berangkat kuliah. 
"Eh, Uni Laila, ayo sarapan, Ni," ucap mba Susi begitu melihat kehadiran Laila.

"Iya, Mba. Ayo duduk sini, Mba, Pak Udin," ajak Laila. 
"Silakan, Uni. Kami di sini aja," tolak mba Susi halus. Laila lalu mulai menyendok sotonya yang telah diambilkan oleh mak Eti. Rasanya ternyata enak sekali. 

"Uni, Anita berangkat kuliah, ya," pamit Anita lalu menyalami Laila. Laila menerima uluran tangan Anita.
"Hati-hati di jalan, ya," pesan Laila.
"Ya, Uni." Anita pun berlalu dan Laila lembali melanjutkan sarapannya.

****

Sabtu, pukul  09.00. Tama terlihat duduk santai di ruang keluarga sambil menonton televisi. Hari Sabtu biasanya Tama memang agak siang berangkat kerja. Karena hari sabtu, kantornya libur.  Tama biasanya hanya mengecek ke toko-toko dan butiqnya. 

Tama dan tiga orang  kakaknya memiliki konveksi sweater rajutan yang produksinya telah dikirim sampai ke luar negeri. Selain itu, Tama dan ketiga kakaknya memiliki usaha sendiri-sendiri berupa toko pakaian dan butiq pakaian muslim. Tama memiliki beberapa toko di tanah abang dan mangga dua. Serta satu buah butiq pakaian muslim di Senayan Citty.

Tama masih asyik dengan tontonan di depannya. Ia berpaling begitu mendengar langkah kaki mendekat. Laila yang telah selesai mengeringkan rambutnya sehabis keramas, ke luar dari dalam kamar menuju dapur. Rambut panjangnya tergerai indah. Wajah putihnya terlihat begitu cantik dengan rambut tergerai alami seperti itu. Tapi sesampai di samping ruang sholat yang langsung menyambung dengan ruang keluarga, langkah Laila terhenti. Wajahnya bersemu merah. 

Tama sedang menatap ke arahnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Baru kali ini Tama melihat istrinya dalam keadaan polos tanpa jilbab. Ternyata perempuan yang telah menjadi istrinya itu begitu cantik dan mempesona. Tama meneguk ludahnya. Laila yang menyadari tatapan Tama langsung berbalik menuju kamar. Degup jantung Laila menjadi tak beraturan. Biasanya pukul 09.00 seperti ini Tama telah berangkat kerja. Laila lupa kalau hari ini adalah hari Sabtu.

Laila menenangkan dirinya beberapa saat di dalam kamar, lalu mengambil jilbab instannya. Setelah itu, Laila kembali ke luar kamar. Kata mak Eti hari ini mereka akan belanja karena besok ada tamu yang mau datang dari Padang. Kebetulan Laila belum sarapan dari pagi. Ia tadi bermaksud untuk sarapan dulu sebelum pergi. 

Sementara Tama tak bisa menenangkan diri. Bayangan Laila dengan rambut tergerai setengah basah masih menari-nari di matanya. Selama ini Tama memang tidak pernah dekat dengan perempuan, karena Tama begitu sibuk mengurus bisnisnya. Tama tidak pernah mengizinkan hatinya untuk jatuh cinta. Ia bertekad untuk sukses terlebih dahulu baru mencari cinta sejatinya. Tapi sebelum ia menemukan cinta sejatinya, ia telah dijodohkan dengan gadis di kampungnya.

"Sarapan lagi, Da?" Laila menegur Tama sebelum mulai memakan sarapan paginya di meja makan. 
"Udah, makasih," jawab Tama. Tama merasa sedikit heran, kenapa perempuan itu mengambil dan memakai jilbabnya kembali? Apa ia tak boleh menyaksikan perhiasan istrinya sendiri? Ck ... Tama berdecak kesal. Eh, tapi mengapa ia harus merasa kesal juga? Apa pedulinya? Tama menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri. Merasa bingung dengan pikirannya.

"Sarapan Mak, Mba," panggil Laila begitu melihat mak Eti dan mba Susi datang dari arah taman belakang. Pasti mba Susi habis menjemur pakaian.
"Udah tadi, Uni," jawab mba Susi.
"Nak Laila, bentar lagi kita belanja ya, ke pasar dulu setelah itu ke swalayan, belanja bulanan," ujar Mak Eti. 
"Iya,  Mak," Laila mengangguk.

Laila pun menyelesaikan sarapannya dengan cepat. Setelah itu Laila mencuci piring dan gelas sarapannya.
"Taruh aja di sana, Uni," ucap mba Susi.
"Ga pa pa, Mba. Nanggung cuma kotor satu ini," Laila tetap melanjutkan pekerjaannya. Mba Susi geleng-geleng kepala lihat majikannya yang baik hati ini.

Setelah selesai, Laila pun bergegas ke kamar untuk mengambil tas selempangnya. Sehabis mandi tadi ia memang telah mengganti pakaian dengan pakain untuk pergi. Jadi ia tinggal berangkat.

"Ayo, Mak," ajak Laila begitu sampai kembali ke dapur. 
"Mak panggil Pak Udin dulu untuk ngantar kita," Mak Eti menuju ke taman belakang, tempat biasanya pak Udin duduk sambil minum kopi. Pak Udin supir untuk keperluan di rumah ini, tapi terkadang jika sedang lelah, Tama juga sering mengajak pak Udin untuk menyupirinya ke kantor atau keliling ke toko-tokonya.

Melewati ruang keluarga, Laila masih melihat Tama sedang santai dengan celana pendek dan baju kaos warna putih. Tama terlihat asyik menonton acara sport di salah satu stasiun televisi.

"Uda, Laila dan Mak Eti ke pergi belanja dulu, ya," pamit Laila pada Tama. Tama bangkit dan mengeluarkan dompernya.
"Pakai ini nanti kalau belanja di swalayan," Tama menyerahkan sebuah kartu debit pada Laila. Laila merasa ragu menerimanya. Tapi mak Eti menyenggol lengan Laila. Akhirnya Laila pun menerima kartu tersebut dengan wajah merona.
"Pinnya tanggal pesta kemarin," tambah Tama lagi. Laila menoleh dengan kaget mendengar ucapan Tama. Ya Tuhan, banyak kejutan yang diberikan laki-laki ini. Laila merasa kerongkongannya mendadak kering.

"Kalau ke pasar tradisonal, pake ini," Tama kembali mengangsurkan lipatan lembaran-lembaran merah pada Laila. Laila mencoba menatap wajah laki-laki di depannya itu. Terlihat ada sedikit lekukan di bibirnya seperti sebuah senyuman. 

"Ya, Da. Makasih." akhirnya Laila kembali menerimanya. 
"Beli aja kalau ada yang kamu butuhkan," pesan Tama sebelum kembali duduk di sofa ruang keluarga. 
"Ya, Da," Laila mengangguk.
"Kami berangkat, Da," pamit Laila sekali lagi. 
"Ya," jawab Tama singkat.

Sebelum ke luar rumah, Laila tersenyum sendiri. Ada yang menghangat di hatinya. Sikap dan perlakuan Tama, seperti benar-benar sikap seorang suami kepada istrinya. Memberi uang belanja. Dan ini untuk yang pertama kalinya. Ternyata menyenangkan juga jadi seorang istri, batin Laila dengan hati berbunga indah.

bersambung .....

0 comments:

Posting Komentar