Cerbung 8 - Masih Adakah Surga Untukku

#Masih_Adakah_Surga_Untukku
#Laila
#Episode_8

Terima kasih Bunda Asma Nadya yang telah berkenan approve

Setelah sholat subuh, Laila, mak Eti dan Anita sibuk menyiapkan sarapan di dapur. Menu sarapan hari ini lontong gulai nangka. Serasa mau lebaran aja melihat menu yang mereka siapkan. Kata mak Eti, Tama lebih suka makan sarapan yang dibikin sendiri daripada yang dibeli di luar.

Dan seperti biasa, tepat pukul 06.00, Laila pun membawakan teh hangat ke kamar Tama. Laila mengetuk pintu, lalu terdengar suara Tama dari dalam.
"Masuk." Laila membuka handel pintu dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya memegang cangkir teh.
"Tehnya, Da." Laila langsung menuju meja kerja Tama dan meletakkan cangkir teh itu di sana. 

Tama terlihat masih memakai sarung dan baju kokonya. Apa dia terlambat sholat subuh ya? tanya Laila dalam hati.

"Makasih, ya." Tama beranjak menuju meja kerjanya. Laila hanya mengangguk.
"Besok kalau bisa tolong bangunkan saya sebelum azan subuh, ya. Kadang karena terlalu lelah, saya kebablasan sampai pagi," Tama lalu menyeruput teh hangatnya.
"Baik, Da." Laila lagi-lagi mengangguk paham.

"Oh, iya. Ini laptop yang kamu pesan kemaren." Tama mengambil sebuah kotak yang berisi laptop. Laila yang hampir berlalu meninggalkan kamar berbalik kembali ke arah meja kerja Tama. Mata Laila seketika berbinar. Diterimanya kotak yang lumayan besar itu dari tangan Tama.

"Ini laptop baru, Da? tanya Laila dengan suara terdengar riang.
"Kamu pikir saya pernah beli barang seken?" Tama merasa heran dengan pertanyaan perempuan di depannya ini. 
"Bukan gitu Da, siapa tahu Uda ngasih laptop Uda pada Laila." Laila cengengesan merasa salah bicara. 

"Kalau bisa memberikan sesuatu pada orang lain itu adalah yang terbaik. Kalau bisa juga jangan yang bekas. Apalagi sama istri sendiri." ups .... Tama kaget mendengar ucapannya sendiri. Kenapa mulutnya bisa bicara seringan itu. Laila apalagi. Lagi-lagi mata indah itu membulat. Wajah cantiknya bersemu merah dibalut hijab warna salam.

"Makasih, ya Da. Nanti kalau udah dapat honor menerjemah, uang Laptopnya Laila ganti ya, Da" Laila memeluk kota laptop itu ke dadanya lalu segera berlalu ke luar kamar.
"Kamu itu ya, kamu pikir saya butuh uangmu?" tiba-tiba Tama menjadi emosi mendengar ucapan Laila.

Ya Allah, aku salah bicara lagi. Laila mengetuk mulutnya dengan jari tangannya. 
"Maaf, Da. Bukan maksud Laila seperti itu." suara Laila terdengar begitu lirih. Mendadak matanya terasa panas. Entah mengapa Laila ingin menangis. Laila tergesa ke luar dari kamar dan menutup pintu. Dituruninya anak tangga satu persatu lalu bergegas masuk ke kamarnya.

Akhirnya air matanya jatuh juga. Kenapa sikap laki-laki itu sedetik baik sedetik jahat ya? Laila merasa bingung sendiri. Tapi Laila sudah tak sabar juga ingin melihat laptop barunya. Dibukanya kotak laptop itu dengan tergesa. Wow, mulut Laila kembali menganga. Ada gambar apple yang sudah tak utuh di bingkai latopnya. Laila mengusap laptop berwarna hitam itu dengan suka cita. Mimpipun ga pernah Laila bisa mendapatkan laptop sebagus ini.

Laila membuka laptop itu dan menghidupkan tombol powernya. Tak berapa lama, laptop pun menyala. Kali ini mata dan mulut Laila membulat sempurna. Wow, wallpapernya telah diatur dan itu foto ia dan Tama yang sedang bersanding di pelaminan. Kok laki-laki itu suka sekali ya memasang foto pernikahan mereka berdua?

Apa ia terlihat begitu cantik dengan suntiang di kepalanya itu? Laila tersenyum sendiri. Laila melihat beberapa aplikasi yang ada dalam latop tersebut. Setelah puas, Laila pun ke luar dari kamar dan membawa kembali laptopnya. Laila berniat kerja di ruang keluarga aja nanti setelah Tama berangkat kerja. Dan laptopnya tentu harus dicas dulu 4 atau 5 jam seperti peraturan pada barang-barang elektronik baru.

Setelah meletakkan dan mencas laptopnya di ruang keluarga, Laila kembali ke dapur. Ternyata mak Eti dan Anita telah menata sarapan di meja makan. Bau khas lontong dan gulai nangka begitu menggugah selera. Tapi Laila biasanya sarapan setelah Tama selesai sarapan dan berangkat kerja. Barulah Laila sarapan dengan mak Eti, Anita, dan mba Susi. Terkadang juga dengan pak Udin.

*****

Minggu pagi yang cerah. Hari telah menunjukkan pukul 11.00. Laila dan mak Eti telah menata meja makan dengan rapi. Sebentar lagi mamak (paman) Tama akan datang. Tama telah duduk di ruang keluarga menunggu kedatangan mamaknya. Tadi Tama menyuruh pak Udin untuk menjemput ke bandara. 

Tak berapa lama terdengarlah ucapan salam dari arah pintu. Tama bergegas ke pintu depan dan membuka pintu.
"Assalammualaikum."
"Waalaikumsalam." Tama  menyalami dan mencium mamaknya dengan hormat. Laila dan mak Eti pun datang mendekat. Mereka ikut menyalami mamak Tama.

Tapi ternyata laki-laki paruh baya itu tidak datang sendiri. Ia bersama seorang gadis cantik yang sedari tadi tersenyum manis pada Tama, Laila dan mak Eti.

"Ayo Mak Etek, silakan masuk." Tama memberi jalan kepada mamaknya. Mak etek dan gadis cantik itu pun melangkah masuk ke dalam. Mereka lalu duduk di sofa ruang tamu. Laila dan mak Eti bergegas menuju dapur untuk membuatkan minuman. 

"Gadis itu, siapa Mak Eti?" tanya Laila penasaran.
"Itu Rani, anaknya Mak Etek Eri itu," jawab mak Eti dengan nada kurang senang.
Oh." hanya itu yang ke luar dari mulut Laila. Setelah selesai membuatkan minuman, Laila pun mengantarkannya ke ruang tamu.

"Rani telah selesai kuliahnya, Tama. Dia ingin mencari kerja di Jakarta. Kamu kan punya banyak toko dan punya kantor juga. Tolong kamu masukkan Rani di mana yang rasanya cocok. Tapi kalau bisa di kantor kamu saja," ucap Mak Etek Eri pada Tama. Laila meletakkan gelas berisi teh di depan Tama dan Rani serta meletakkan kopi di depan mak etek Eri.

"Oh, iya Mak. Rani jurusan akutansi, ya?" tanya Tama sambil melirik Rani. 
"Iya, Da," jawab Rani dengan senyum manisnya. Laila menelan ludahnya, kenapa kerongkongannya terasa sakit ya. Senyum gadis di depannya ini begitu manis.

"Silakan diminum, Mak, Rani." Laila mempersilakan mereka sebelum beranjak ke belakang. Mak etek Eri hanya terlihat mengangguk.
"Ya, Uni. Makasih," Rani kembali tersenyum, kali ini kepada Laila.
"Laila pamit ke belakang dulu, Mak." Laila pun langsung berlalu sebelum mendapatkan jawaban dari mamak kandung Tama itu.

Tak berapa lama terdengar suara azan. Laila yang masih berwudhu dari dhuha tadi langsung menuju ruang sholat. Terlihat mak etek Eri, Rani dan Tama pun beranjak dari ruang tamu. 

"Mba Susi, tolong masukkan travel bag Rani ke kamar tamu, ya dan travel bag Mak Etek ke kamar di samping kamar Mak Eti," Tama mendekati mba Susi sebelum mengambil wudhu di kamar mandi di samping dapur.
"Baik, Pak." jawab mba Susi dan segera pergi ke ruang tamu.

Laila hanya mendengarkan saja ucapan Tama. Berarti ia akan sekamar dengan Rani. Tak apalah, berarti nanti ia punya teman untuk ngobrol. Tak berapa lama, mereka pun sholat zuhur berjamaah. Mak etek Eri menjadi imamnya. Laila dan Rani berdiri di belakang Tama. 

Setelah selesai sholat zuhur, Laila dan mak Eti mempersilakan tamu mereka untuk makan siang. Laila menuangkan air ke dalam semua gelas yang telah disediakan. Mereka pun mulai makan dengan lahap.  Laila mengambil laptopnya dan beranjak ke taman belakang. Ia ingin mengerjakan terjemahannya di kursi taman. Terlihat mba Susi sedang menjemur pakaian. Mba Susi tersenyum ke arah Laila.

Setelah para tamu selesai makan, Laila, mak Eti dan mba Susi pun makan bersama. Tama terlihat duduk di ruang keluarga dengan mamak dan Rani. Terdengar mamak menanyakan perkembangan usaha  dan toko-toko Tama. Tama dengan senang hati menceritakan kemajuan usaha dan toko-tokonya.

Laila, mak Eti dan mba Susi telah selesai dengan makan siang mereka, Laila bermaksud masuk ke kamarnya. Tapi, sebelum Laila sampai di pintu kamarnya, Laila mendengar namanya disebut. Laila mundur beberapa langkah dan berdiri di tembok pembatas ruang sholat dan ruang keluarga.

"Mamak tak menuruh kamu menceraikan istrimu itu. Cukup kamu nikahi saja Rani. Jadi istri kedua pun tak masalah." suara mamak terdengar begitu tegas. Deg. Jantung Laila serasa berhenti berdetak. Ia memang belum mencintai Tama. Mereka juga belum terlalu dekat. Tapi mendengar kata-kata mak Eri itu mengapa ada yang terasa perih di hati Laila.

"Mak, Tama menghormati ikatan suci pernikahan Tama. Tama ga akan mengotorinya, Mak." suara Tama pun terdengar amat tegas.
"Mamak tak menyuruh kamu mengotorinya. Mamak suruh kamu menghalalkannya. Toh, Mamak lihat hubungan kamu dan istrimu juga tidak terlalu baik."
"Kami baik-baik saja, Mak. Dan Tama menghormati dia sebagai istri Tama."
"Setelah apa yang dilakukannya padamu?"
"Mak, tak ada orang yang tak pernah berbuat salah. Dan tak ada hak kita untuk tidak memaafkan orang yang telah ingin memperbaiki dirinya."

"Apa sulitnya bagimu untuk menikahi Rani? Sudah biasa di kampung kita laki-laki Minang pulang ka Bako. Dan tak ada larangan juga bagi seorang laki-laki untuk beristri dua, tiga atau empat."
"Tapi tidak untuk Tama, Mak."
"Kamu perjuangkan wanita yang telah meninggalkanmu di malam pertamamu itu Tama. Kamu tahu, itu aib buat keluarga kita." suara mamak terdengar penuh emosi.

"Laila memang pernah berbuat salah, Mak. Tapi sekarang ia telah menebusnya. Ia seorang wanita sholeha yang Tama butuhkan untuk mendidik anak-anak Tama kelak."  Tama lalu bangkit dan meninggalkan mamaknya dengan wajah merah. Entah mengapa hati Tama menjadi sakit ketika mamaknya mengungkit-ungkit kesalahan Laila.

Tama tertegun mendapati Laila yang tengah bersandar sambil memegangi dadanya di samping ruang keluarga. Tama tidak menyangka Laila berada di sana. Berarti wanita ini telah mendengar semua ucapan mamaknya tadi. Tama mendekati Laila. Dilihatnya wajah perempuan di hadapannya ini telah basah oleh air mata.

"Laila." panggil Tama lembut. Laila membuka matanya. Tergesa Laila menghapus kedua pipinya yang telah basah oleh air mata. Laila mencoba tersenyyum.
"Uda, Mamak benar. Uda berhak mendapatkan perempuan yang lebih baik dari Laila. Laila tak pantas untuk Uda," suara Laila bergetar. Tama menggelengkan kepalanya. Ingin sekali rasanya ia merengkuh tubuh wanita di depannya ini. Memeluknya dengan erat dan mengusap lembut kepalanya.

"Tidak Laila. Saya laki-laki. Saya tak akan pernah mengkhianati janji saya di hadapan Allah dan ayahmu. Ketika ijab kabul, saya telah berjanji untuk menjaga ikatan suci kita. Percayalah, saya akan menghargaimu sebagai istri saya." Tama menyentuh bahu Laila lembut. Hanya itu yang mampu dilakukannya. Tama tak berani untuk memeluk Laila. Tama takut Laila belum siap dengan perlakukannya.

"Naiklah ke atas. Istirahatlah di kamar Uda," Laila menatap tama tak percaya. Tiba-tiba air mata Laila berhenti mengalir. Tama tersenyum dan mengangguk.
"Ayo." ujar Tama seraya menarik tangan Laila. Meski merasa malu, tapi Laila mengikuti langkah kaki Tama. Mamak dan Rani hanya menatap Tama dan Laila yang lewat di samping ruang keluarga dengan tatapan tak senang. Sementara mak Eti dan mba Susi tersenyum bahagia melihat kedua nak manusia itu.

"Istirahatlah dulu di kamar, Mak, Rani." Tama berhenti sejenak. Emosi di dadanya telah luruh begitu melihat Laila tadi menangisinya. Apa itu artinya, wanita ini merasa takut kehilangannya? Tama tersenyum sendiri ketika menaiki anak tangga. Tangannya masih menggenggam erat tangan Laila. Ada debar di dada mereka yang sulit untuk dijelaskan. Ini kali pertama bagi mereka bersentuhan. Sampai di atas, Tama mendudukkan Laila di atas tempat tidur.

"Mau istirahat di sini atau di ruang sebelah?" Tama melirik Laila yang sudah berhenti mennagis.
"Ayo, kamu di ruangan teather aja ya," tiba-tiba Tama kembali menarik tangan Laila. Lagi-lagi Laila hanya menurut.
Tama membawa Laila ke ruangan di sebelah kamar tidurnya. Ruangan itu dihubungkan oleh sebuah pintu. Di dalam ruangan tersebut ada sebuah sofa warna orange, sebuah meja warna abu-abu, televisi ukuran amat besar, Ac, kulkas, dan karper bulu tebal warna abu-abu tua juga di lantainya. Nuansanya sama dengan kamar Tama. Didominasi warna abu-abu dan orange. 

"Duduk di sini," ajak Tama pada Laila. 
"Mau nonton apa?" Tama telah melepaskan pegangan tangannya dan mengambil remot di atas meja di depannya. Tiga buat toples berisi cemilan terletak di atas meja. Ruangan yang nyaman, bisik hati Laila.

"Eh, ditanya diam aja. Kamu mau nonton apa?" tanya Tama lagi.
"Maaf...."  Laila menatap layar besar di depannya yang telah menyala.
"Upin Ipin ada?" Laila menatap Tama dengan mata berbinar.
"Upin Ipin?" Tama menatap Laila dengan bingung. Apa masih ada orang dewasa yang tontonannya Upin Ipin? Kalau ibu dan kakak-kakak perempuannya biasanya kan tontonannya infotaiment, sinteron, relaty show.
"Iya, Upin Ipin. Laila ga suka tontonan yang berat-berat Uda. Sukanya yang ringan-ringan. Yang menimbulkan rasa senang dan gembira. Soalnya hidup kita kan udah berat, Da" ujar Laila dengan mimik lucu. Tama benar-benar gemas melihat perempuan di sampingnya ini.

"Hidup kamu berat?" tanya Tama asal. 
"Ih, bukan gitu juga maksudnya, Da. Laila ga suka nonton yang bikin kita sedih, nangis, trus jadi kesal, marah. Buat apa Da, kita nonton kan buat dapat hiburan. Bukan buat nambah masalah di hati," 
"Hati kamu banyak masalah?" tanya Tama lagi. Laila gregetan. Rasanya ia ingin nyubit laki-laki di sampingnya ini keras-keras.
"Tau ah, Da. Ayo mana Upin Ipinnya." mulut Laila mengerucut kesal. Tama ingin tertawa. Tidak, ingin nyium bibir indah di sampingnya ini sebenarnya. Uh, Tama memukul keningnya sendiri.

"Kenapa, da?" Laila menoleh ke arah Tama dengan heran.
"Ada nyamuk." jawab Tama kembali asal.
"Oh, nanti malam Laila semprot pakai baygon ya, Da," 
Ya ampun, perempuan satu ini ya, lugunya kebangetan. Dicium juga nanti nih, bisik hati Tama.

"Ya, udah kamu nonton dulu ya. Uda mau lihat Mamak ke bawah?"
"Mau lihat Mamak atau mau lihat Rani?" goda Laila berani. Entah mengapa Laila merasa hubungan ia dan Tama telah mulai mencair. 
"Kalau lihat Rani gimana?"  tantang Tama.
"Ga pa pa, baguslah." jawab Laila terdengar ketus. Tapi akhirnya Laila tersadar sendiri. Kenapa juga dia jadi ketus begitu.

"Nanti nangis lagi lho." ujar Tama seraya berlalu meninggalkan Laila. Tinggallah Laila yang merasa kesal sendiri mendengar ucapan Tama. Ish ... ingin rasanya nimpuk laki-laki itu pake bantal.

bersambung ....

0 comments:

Posting Komentar