❤ *CINTA*
*di Batas Cakrawala*
🌅 nomor - 19
(Kilasan Masalalu)
Sinar matahari yang menerpa kulit, serta hawa panas yang terasa semakin membuat Hanna merasa sesak. Ia menghirup udara dalam-dalam saat keluar dari super market tersebut. Mendadak ia seperti orang linglung, tidak tahu harus ke mana.
Panas semakin menyengat karena ia berdiri terlalu lama di bawah matahari langsung. Hanna menyeret langkahnya menuju ke arah kanan, terdapat sebuah halte yang sepi. Ia mendudukan diri di sana seraya menghela napas yang terasa berat.
Seharusnya ia biasa saja melihat maminya tadi, seharusnya ia tidak apa-apa dan bisa bersikap santai seperti biasa. Namun, ia tidak paham apa yang terjadi pada dirinya sehingga begitu sedih melihat keakraban maminya dengan Vania tadi.
Kedua tangannya yang mengepal di atas lutut tampak bergetar. Hanna menatap kosong pada kendaraan yang berlalu lalang di hadapannya. Suara ponsel yang berdering nyaring di dalam tas, sama sekali tidak dihiraukannya. Ia masih saja mengingat maminya tadi, ia ingin bisa sedekat Vania dengan maminya. Namun semua pemikirannya buyar seketika saat wajah teduh dan tulus ibu mertuanya terlintas bergantian dengan wajah Dimas.
Tanpa terasa, air matanya kembali mengalir. Hanna tidak peduli dengan tatapan orang sekitar padanya, karena ia tidak mengenal mereka begitupun sebaliknya. Ia memilih berdiri setelah beberapa menit duduk di sana, lalu menyusuri trotoar dan menghentikan sebuah taksi yang melintas pelan.
"Mau ke mana, Mbak?" tanya si supir.
Hanna mengerjap bingung, pikirannya mendadak kosong. Ia tidak tahu harus ke mana.
"Mbak?"
"Se-sebentar, Pak." Hanna membuka tasnya, mencari sesuatu tetapi ia sendiri bingung apa yang diinginkan. Ia mengambil ponsel, lalu melihat beberapa panggilan tidak terjawab dari Dimas.
"Abang ....," gumam Hanna, seketika tersadar dari kebingungannya. "Ke hotel, Pak. Hotel ... yang dekat dengan taman kota," ujarnya ragu pada si supir.
Lelaki paruh baya yang duduk di balik kemudi itu mengangguk dengan tatapan heran, lalu tanpa kata mulai melajukan mobil perlahan.
*****
"Di sini, Mbak?" Suara supir taksi itu membuyarkan lamunan Hanna yang hanya menatap kosong keluar sepanjang perjalanan.
Ia mengamati hotel berbintang tiga itu dengan dahi berkerut selama beberapa saat, lalu menghembuskan napas pelan setelah kesadarannya terkumpul dan wajah Dimas yang kembali teringat olehnya. Hanna membuka dompetnya, menyerahkan satu lembar uang pecahan seratus ribu pada supir taksi.
"Tidak usah dikembalikan, Pak. Terima kasih sudah antar saya," ujar Hanna lalu keluar.
Ia melangkah gontai menuju kamar yang ditempatinya dengan perasaan tidak menentu. Baru saja ia sampai di depan kamar, pintu langsung terbuka dan menampilkan wajah cemas Dimas.
"Hanna!" Dimas langsung menarik tangannya dan langsung memeluknya erat. "Kamu perginya ke mana? Kenapa lama sekali? Aku telepon juga ngga dijawab!"
Tidak ada jawaban, yang dilakukan Hanna hanya memeluk pinggang Dimas dan bersandar di dadanya, mencari ketenangan.
"Bikin khawatir saja," gumam Dimas akhirnya.
Hanna tersenyum mendengar nada khawatir itu. "Aku senang kamu khawatir padaku," ujarnya, tetap bergeming dalam pelukan sang suami.
"Ck, tentu saja aku khawatir padamu. Kamu istriku!" ujar Dimas tegas.
Hanna mengangkat wajahnya tanpa melepaskan pelukan, lalu menatap Dimas. Semua yang terjadi pada mereka lebih dari satu bulan lalu, berputar rapi di otaknya. "Itu artinya, sejak hari aku jadi istrimu, kamu memang selalu khawatir padaku?"
Dimas mengecup pucuk kepala Hanna lalu berkata mantap, "Iya."
"Dimas ...."
"Ya?"
Hanna menatap Dimas lekat. Berharap apa yang ia rasakan satu bulan ini pada suaminya tidaklah salah. Berharap suaminya itu juga merasakan hal yang sama dengannya, sehingga ia yakin bahwa hidupnya bersama lelaki itu adalah pilihan yang tetap. Dan bisa membuatnya melupakan keluarganya yang jelas bahagia tanpa dirinya.
"Aku mencintaimu," gumam Hanna tanpa memutus tatapan matanya. Debar jantungnya tiba-tiba meningkat, harap-harap cemas akan apa yang akan dikatakan atau dilakukan Dimas.
Beberapa saat hening, terdengar helaan napas Dimas yang dilanjutkan dengan gerakan tangannya kembali menarik Hanna dalam dekapan. Hanna kebingungan, tetapi membiarkan dirinya dalam pelukan yang kini malah jadi menegangkan.
"Maaf."
Tubuh Hanna terasa membeku. Kedua tangannya di belakang punggung Dimas langsung mengepal. Ia memejamkan mata, menunggu kelanjutan dari kata maaf itu. Namun, tidak ada yang terucap selain kecupan lembut yang lama di pucuk kepalanya.
Mata Hanna terpejam semakin rapat dengan napas yang memburu. Apakah ia telah salah berharap? Ataukah ia salah mengartikan sikap baik Dimas sebulan ini? Hanya sebatas status kepemilikan bukan cinta, termasuk rasa khawatir tadi. Atau karena wanita itu? Siapa dia?
Segala macam pertanyaan berputar kuat di otaknya, membuat Hanna merasa sakit kepala. Ia memilih melepaskan pelukan Dimas perlahan tanpa mau menatapnya.
"Hanna—"
"Sudah azan. Abang mau salat di mana?" sela Hanna cepat, sekuat tenaga menahan diri karena kepalanya semakin berdenyut nyeri.
"Kita salat sama-sama, habis lanjut makan siang sama-sama."
Hanna mengangguk kaku. Masih tidak mau menatap, ia melangkah gontai ke kamar mandi untuk wudhu lebih dulu.
*****
Hanna duduk diam mengunyah rujak sambil nonton film di salah satu channel televisi berlangganan di kamar yang mereka tempati. Dimas duduk tepat di sampingnya, tetapi sama sekali tidak fokus pada apa yang ada di layar datar dua puluh sembilan inci di hadapan mereka. Ia lebih asyik memperhatikan setiap gerak-gerik Hanna yang jadi berbeda sejak ungkapan cintanya tadi siang. Istrinya itu jadi pendiam, hanya bersuara ketika ditanya dan akan mengeluh ketika lapar. Bahkan tidak protes saat ia meninggalkannya setelah makan siang dan baru kembali menjelang magrib.
Ketika waktu menunjukkan jam sembilan malam, mereka baru kembali ke hotel karena sempat berkeliling mencari penjual rujak setelah makan malam.
"Hanna," gumam Dimas ragu. Ia tidak suka dengan perubahan sikap Hanna yang seakan mendiamkannya. Namun ia juga bingung bagaimana mengatakannya jika itu semua karena ungkapan cinta yang tidak bisa ia balas. Dimas tidak ingin berbohong karena hatinya masih belum yakin akan rasa yang ia miliki pada Hanna.
"Ya?" Hanna menoleh sekilas, lalu kembali fokus ke televisi dan menyuapkan potongan buah pepaya yang terakhir.
"Hm, maaf."
"Kenapa Abang minta maaf terus?" Hanna menoleh, menatapnya heran seakan tidak ada masalah.
"Itu, tadi siang—"
"Oh, itu? Lupakan saja, ngga usah dipikirkan."
Dimas mengernyit heran. "Kamu tidak serius dengan ucapanmu tadi? Kamu ...." Lidahnya terasa kelu untuk mengatakan kalimat sakral itu.
"Aku serius dengan ucapanku. Aku mencintaimu." Hanna menatapnya lurus dan datar, membuat Dimas tercekat. "Tapi santai saja. Aku percaya sama kamu. Di saat aku bisa mencintaimu, aku yakin kamu juga bisa cinta sama aku. Kita sudah komitmen, kan?"
Dimas menatap raut wajah datar Hanna yang tampak biasa. Ia menghela napas pelan seraya mengangguk mengingat komitmen mereka sore itu. Ia berusaha sebisa mungkin untuk menepatinya, walaupun terkadang hatinya berkhianat saat tanpa sengaja bayangan wanita lain terlintas di pikirannya.
Ia menatap Hanna yang beranjak membersihkan meja televisi dari bekas camilan dan rujak yang di santapnya. Lalu wanita itu masuk ke kamar mandi dan kembali keluar dengan wajah basah.
"Abang masih mau nonton?" Suara Hanna memutus tatapan Dimas yang terus memperhatikan.
"Eh? Kamu sudah?"
"Filmnya sudah habis. Abang ngga nonton?" tanya Hanna balik.
Dimas menggaruk tengkuknya tanpa menjawab, lalu melirik jam di dinding. Sudah hampir jam sebelas malam. "Kamu mau tidur?"
Hanna mengangguk ragu. "Kenyang, pengen langsung tidur," gumamnya sambil duduk di tempat tidur.
"Tapi kamu habis makan, ngga boleh langsung tidur." Dimas menyusul duduk di samping Hanna.
"Lalu?"
"Kita nonton lagi."
"Aku capek, Bang. Ngantuk!"
"Nonton dari sini saja, sambil sandaran, ya?" Hanna hanya mengangguk tanpa menjawab, menyandarkan punggungnya di kepala tempat tidur. Menatap malas pada layar televisi yang kini sudah di ganti Dimas dengan film action.
Dimas melirik Hanna yang menguap berkali-kali dengan mata terpejam. Istrinya itu sudah tertidur sambil duduk. Perlahan ia membaringkan tubuh Hanna, lalu mematikan televisi. Ditatapnya wajah Hanna lekat, menyusuri setiap inci wajah yang sudah terekam jelas di otak dan seharusnya hanya wajah ini yang halal untuk ia pikirkan.
Ia mengecup pucuk kepala Hanna lama, lalu berpindah ke pipinya seraya berbisik. "Maafkan aku. Aku harap kamu selalu setia di sisiku sampai aku benar-benar mencintaimu."
*****
Baru saja akan menyuapkan sepotong roti, Hanna harus berlari ke kamar mandi karena rasa mual yang tidak kuasa ia tahan. Hari ini hari ketiga mereka di kota, dan setiap pagi ia harus merasa mual hanya karena aroma nasi goreng seafood favorit Dimas.
"Muntah lagi?" tanya Dimas heran, menyusul masuk.
"Ngga muntah sih, lendir doang ini." Hanna membersihkan mulutnya dan menahan rasa pahit di lidah.
Tangan Dimas terulur menyentuh dahi Hanna, yang sama seperti hari sebelumnya. Tidak panas.
"Kita ke dokter aja, ya?"
Hanna menggeleng pelan. "Aku mau pulang, Bang."
"Pulang?" Dimas menatap kaget. "Tapi kegiatannya masih dua hari lagi."
"Aku pulang sendiri aja, ngga apa-apa," ujar Hanna lemah. "Aku kangen Ibu."
Sejujurnya dalam hati, Hanna bukan hanya merindukan ibu mertuanya tetapi ia juga merindukan maminya sejak melihatnya hari itu. Dan hal itu sangat menyiksanya tiga hari ini. Ia berharap kembali bertemu dengan ibu mertuanya bisa mengobati perasaan itu.
"Kita pulang sama-sama. Siang ini juga kalau gitu," putus Dimas akhirnya.
"Lho, Bang?"
"Ngga usah pikirkan kegiatan di sini. Yang penting itu kamu, kalau memang kamu ngga enak badan karena kangen Ibu, kita pulang siang ini." Dimas mengusap dahi Hanna yang berkeringat. "Sekarang lanjut makan lagi, ya?"
"Aku makan duluan. Nasi gorengnya, Abang simpan dulu di nakas. Aku ngga mau muntah nanti."
Dimas menurut, memindahkan makanannya di atas nakas lalu membawa Hanna kembali duduk di kursi yang mereka gunakan di depan televisi. Akhirnya Hanna bisa menghabiskan sarapannya yang hanya terdiri dari dua potong roti dan segelas jusi setelah dijauhkan dari nasi goreng yang membuatnya mual.
Tiga hari berlalu sejak ungkapan cintanya itu, Hanna mencoba untuk bersikap biasa saja. Terlebih karena perlakuan Dimas yang selalu membuatnya terlena. Ia masih berharap saat itu akan segera tiba, Dimas akan membalas cintanya.
*****
Siangnya setelah makan dan salat, Dimas membawa Hanna meninggalkan kota menuju pelabuhan. Meninggalkan kegiatannya yang belum selesai, dan menyerahkan semua urusan pada rekan-rekannya yang turut serta.
Hari itu cuaca mendung menemani perjalanan mereka. Dimas membuka kaca jendela agar angin alami masuk untuk menyegarkan Hanna yang tampak kegerahan.
"Kamu tidur aja, nanti kalau sudah sampai, aku bangunkan," ujar Dimas sambil menyalakan radio mobilnya tanpa mengalihkan fokus dari jalanan di depan.
Hanna mengangguk, memejamkan mata saat sebuah musik mengalun pelan sebagai pembuka lagu.
Saat kulepas semua keinginan, bersama kamu dalam keheningan...
K
upertanyakan apa arti cinta, begitu saja kau hanya terdiam ...
Sungguh sakit, hati ini, kau permainkan aku ....
Sepintar apapun engkau menutupi, tentang dia Simpanan Hatimu ...
Sebodoh apapun aku akan tahu, karena hati cuma satu, dan jangan pernah kau bagi-bagi ....
Tiba-tiba Dimas langsung mematikan radio saat lagu itu belum selesai. Entah mengapa, ia merasa tersindir dengan lagu tersebut.
"Kenapa dimatikan, Bang?" Hanna yang tadi sudah memejamkan mata, kini menatap Dimas heran.
"Ngga apa-apa, takut ganggu kamu tidur," ujar Dimas beralasan. Ia bingung pada dirinya sendiri yang ketakutan hanya karena sebuah lagu.
"Ngga ganggu kok. Lagunya enak," gumam Hanna kembali memejamkan mata.
Dimas menghela napas pelan setelah melihat Hanna kembali tenang. Ia merutuki dirinya yang merasa seakan sedang selingkuh. Padahal ini hanya masalah hatinya yang belum yakin tentang apa yang sedang ia rasakan pada Hanna bukan seperti yang dimaksud lagu itu.
"Na ... Hanna!" Dimas menepuk pelan pipi Hanna, membangunkannya saat mobil mereka telah parkir dalam kapal.
"Ya?" gumam Hanna, matanya mengerjap malas.
"Ayo kita ke atas." Dimas langsung keluar dan membuka pintu untuk Hanna. Lalu menggandeng tangannya naik di dek atas.
"Aku masih ngantuk, Bang," gumam Hanna menyandarkan kepalanya di bahu Dimas saat mereka duduk di kursi penumpang.
"Ya, tidurlah." Tanpa ragu, Dimas merangkul bahu Hanna, agar istrinya itu lebih nyaman bersandar padanya.
Ia mengalihkan pandangan menatap hamparan laut biru yang berombak cukup kencang karena angin dan gerimis. Lalu menikmati angin laut yang berembus kencang saat kapal mulai meninggalkan pelabuhan. Tangannya memeluk erat bahu Hanna, seakan menegaskan miliknya.
*****
Lewat jam delapan malam, akhirnya baru Hanna dan Dimas tiba di rumah. Bik Minah dan Pak Budi bingung menyambut anak serta menantunya yang pulang tidak sesuai jadwal yang mereka katakan sebelumnya.
"Kenapa sudah pulang? Katanya sampai minggu, kan kegiatannya?" tanya Bik Minah pada Dimas. Sementara Hanna langsung memeluk wanita paruh baya itu setelah mencium punggung tangannya.
"Hanna minta pulang, ngga enak badan dia di sana. Katanya kangen Ibu," jawab Dimas.
"Benar, kah?" Bik Minah meraba dahi lalu berpindah di dahi Hanna yang terasa dingin dan basah karena keringat. "Wajahmu pucat, Ibu buatin teh hangat, ya?"
Hanna menggeleng pelan. "Air hangat aja, Bu. Jangan teh, bikin eneg."
"Ya sudah." Bik Minah mengajak Hanna ke dapur, menuangkan segelas air putih hangat dan langsung diberikan pada menantunya itu. "Kalau sakit, kenapa tidak ke dokter saja di kota? Kan sebentar bisa."
Hanna memijat pangkal hidungnya, setelah meminum air hangat yang sedikit bisa mengurangi sakit kepalanya. "Ngga ah, Bu. Nanti dibilang sakitnya aneh."
"Aneh kenapa?"
"Aku mual kalau Abang makan nasi goreng yang ada cuminya. Tiap pagi dia makannya itu, aku langsung pengen muntah, Bu," ujar Hanna polos.
Bik Minah menyentuh tangan Hanna dan tersenyum lembut. "Mungkin kamu hamil ...."
Hanna tersentak kaget, wajah putihnya yang pucat tiba-tiba memerah. "Ha-hami?" gumamnya ragu sambil mengingat jadwal bulanannya yang terakhir, satu hari sebelum menikah dengan Dimas. Itu artinya sudah lewat seminggu? Apa benar ia hamil? Sementara bulan lalu, ia juga terlambat tetapi tidak hamil. Lalu sekarang?
"Hanna?"
"I-iya, Bu." Hanna tersadar dari pikirannya.
"Besok kita periksa, ya?" Bik Minah mengusap punggung tangan Hanna untuk menenangkan.
"Tapi, Bu. Aku memang sudah terlambat, tapi bulan lalu juga begitu dan aku tidak hamil. Aku belum yakin."
"Iya, makanya periksa. Kan, tidak ada salahnya. Apalagi ada gejala seperti yang kamu jelaskan tadi." Tangan Bik Minah beralih mengusap rambut Hanna yang akhirnya mengangguk lemah.
"Kalau sudah enakan, kamu tidur, istirahat, ya?"
Hanna mengangguk sekali lagi, matanya terasa panas saat kembali teringat maminya karena perlakuan baik mertuanya ini. Ia melangkah ke kamar dengan langkah yang tidak tahu mengapa jadi terasa berat.
*****
Dimas membiarkan Hanna dan ibunya ke dapur. Ia memilih membawa tas Hanna dan koper mereka ke kamar. Perjalanan tadi membuatnya juga merasa lelah, sehingga ia langsung ganti baju dan berbaring.
Sambil menunggu Hanna, Dimas memeriksa ponselnya, membalas pesan maupun chatting dari rekan-rekannya yang ia tinggalkan di kota. Sampai setengah jam Hanna belum kembali, ia memilih untuk memejamkan mata setelah menyimpan ponsel di nakas.
"Abang ...." Dimas memaksa untuk mengerjap. Matanya terasa berat dan kepalanya sedikit pusing karena dipaksa untuk sadar saat hampir saja tertidur. Terasa kulit halus Hanna di perutnya, memeluk seperti biasa.
"Ya?" Tangannya merapatkan Hanna dalam dekapan.
"Kata Ibu, mungkin aku lagi hamil." Gumaman Hanna membuat Dimas tersentak. Mata yang tadinya akan terpejam, langsung terbuka lebar. Kepalanya semakin berputar dan tubuhnya menegang.
"Ke-kenapa Ibu bisa bilang begitu?" Dimas menelan ludah susah payah. Teringat ucapan rekannya pagi itu saat ia meminta tolong untuk dibelikan makanan.
"Aku cerita kalau aku suka mual selama di kota, dan Ibu curiga kalau itu gejala hamil. Lagipula aku juga sudah telat lebih dari satu minggu."
Dimas menghela napas berat. Tangannya yang tadinya menegang di balik punggung Hanna, perlahan mengusap kulit halus itu untuk menenangkan dirinya sendiri. Rasanya ia belum siap kalau Hanna hamil. Belum di saat ia masih saja ragu dengan perasaannya.
"Apa yang dikatakan Ibu, jangan terlalu dipikirkan," gumam Dimas akhirnya. Ia tetap menahan Hanna dalam pelukan agar wanita itu tidak melihat ekspresinya.
"Memangnya kenapa, Bang?"
"Maaf," Dimas mengecup pucuk kepala Hanna dengan helaan napas berat, "Bulan lalu sebelum kita menikah, kita melakukannya sekali dan kamu tidak hamil. Ini baru satu bulan, aku rasa terlalu cepat."
"Iya, sebelum menikah kita melakukannya cuma sekali. Tapi setelah menikah?" Suara Hanna terdengar sinis.
Dimas memejamkan mata, dalam hati membenarkan ucapan Hanna.
"Kamu tidak ingin punya anak dariku?" Suara Hanna berubah kaku.
"Ssstt ... bukan begitu." Dimas kembali mengeratkan pelukannya, dalam hati mengucap maaf berkali-kali. "Aku hanya ngga mau kamu terlalu berharap dan terbebani dengan ucapan Ibu untuk segera hamil. Apalagi kalau hasilnya kamu belum hamil."
"Bagaimana kalau hasilnya sebaliknya?"
Dimas terdiam, lidahnya mendadak terasa kelu.
"Kamu tidak akan meninggalkanku kalau aku hamil, kan, Bang?"
"Bicara apa kamu? Yang aku takutkan kamu malah pergi dariku."
"Kenapa begiru?" Hanna berusaha melepaskan diri dari pelukan Dimas dan menatapnya heran.
"Apapun hasilnya itu adalah takdir yang terbaik untuk kita. Dan aku selalu bersamamu." Dimas mengalihkan pertanyaan tanpa menjawab. Diraihnya kembali tubuh Hanna dalam pelukan. Walaupun dalam hati, berharap ia diberi kesempatan untuk mencintai Hanna terlebih dulu sebelum kehadiran anak di antara mereka.
Dimas tahu dirinya egois, lebih mementingkan dirinya dan perasaannya sendiri. Namun menurutnya itulah yang terbaik untuk saat ini. Ia lupa, bahwa manusia hanya bisa berencana. Apa yang ia inginkan dan anggap baik, belum tentu itulah yang terbaik. Begitupun sebaliknya.
*****
Belum sempat melepas mukenanya, rasa mual kembali menyerang. Hanna langsung berlari keluar kamar menuju belakang rumah, belum sempat sampai kamar mandi ia langsung jongkok di tempat cuci piring. Sama seperti kemarin, hanya lendir yang keluar.
"Hanna?"
Hanna tidak menghiraukan panggilan ibu mertuanya. Ia masih berusaha memuntahkan entaj apa yang terasa mengaduk aduk perutnya.
"Muntah lagi?" Bik Minah mengusap tengkuk Hanna.
"Iya, Bu. Aneh, aku habis salat dan ngga cium bau apapun tapi mual banget," gumam Hanna sambil membasuh mulutnya.
"Pokoknya nanti kita ke Bidan, ya?"
Hanna diam, teringat semua yang dikatakan Dimas semalam. Satu kesimpulan yang terpikirkan olehnya adalah, suaminya itu tidak ingin ia hamil untuk saat ini.
"Bu ...." Hanna berdiri, menatap ragu Bik Minah.
"Ya?"
"Abang bilang, katanya ... jangan terlalu berharap." Hanna langsung menunduk saat mendapat tatapan menelisik dari ibu mertuanya.
"Dimas bilang bagaimana?"
Hanna menggigit bibirnya pelan. Ragu, antara ingin menceritakan maksud ucapan Dimas yang dipahaminya atau tidak. Jujur dalam hatinya, ia ingin segera hamil dan punya anak seperti Vania. Ia ingin kedua mertuanya bahagia karena cucu yang kelak ia lahirkan dan Dimas pun bahagia karenanya. Ia ingin merasakan kebahagiaan keluarga utuh seperti orang lain, walaupun harus ia rasakan dari keluarga lelaki yang menikahinya.
"Hanna?"
"Sepertinya, Abang tidak setuju kalau aku hamil untuk saat ini."
"Apa?!" Suara Bik Minah tiba-tiba meninggi. Wanita paruh baya itu langsung beristigfar pelan. "Dimas bilang begitu?"
Hanna menggeleng cepat. "Bukan, Bu. Abang bilang, dia ngga mau aku terlalu memikirkan kata-kata Ibu semalam yang mengira kalau aku hamil. Hanya itu, ya itu cuma pemikiranku, Bu."
Bik Minah langsung mengusap kepala Hanna yang masih tertutupi mukena. "Ya sudah. Nanti Ibu yang bicara sama dia, tanya maksudnya apa. Tapi nanti kita tetap harus periksa, ya?"
Hanna hanya mengangguk pelan, lalu kembali ke kamar. Ia melepas mukena dan melipatnya lalu memilih berbaring, hingga tanpa sadar ia tertidur.
*****
Cahaya matahari yang masuk bebas dari jendela kamar yang terbuka lebar memaksa Hanna untuk mengerjapkan matanya. Badannya terasa berat walau sekedar bangun untuk duduk. Ia meraih ponsel di nakas, melihat jam hampir jam tujuh pagi. Ia sendirian di kamar, dan Dimas mungkin sedang sarapan saat ini.
Hanna memaksa dirinya untuk bangun lalu keluar kamar. Ia tidak ingin melewatkan sarapan bersama suami dan keluarganya. Samar suara Dimas terdengar bersahutan dengan Bik Minah dari ruang makan saat ia semakin mendekat. Lalu langkahnya terhenti di balik dinding ruang makan saat suara Dimas terdengar.
"Aku belum mencintainya, Bu."
Hanna memejamkan mata, tangannya mendadak gemetar seraya meremas ujung kaosnya. Jantungnya berpacu tidak beraturan, napasnya memburu susah payah menanti apa yang akan ia dengar selanjutnya.
"Apa karena Vania?"
Vania? Hanna mengernyit heran, menajamkan pendengarannya. Apa hubungannya Dimas dengan Vania?
"Kenapa diam? Kamu belum bisa mencintai istrimu karena kamu masih mencintai Vania?" Suara Bik Minah terdengar pelan tetapi menuntut.
Hanna langsung menyandarkan punggungnya di dinding karena kedua kakinya terasa lemas dan matanya memanas. Dimas mencintai Vania?
Vania?
Vania teman kecilnya dan sekarang menjadi istri kakaknya. Menantu kesayangan maminya. Dimas mencintai Vania, bukan guru PAUD yang selama ini ia kira? Kenapa ia baru tahu? Bagaimana bisa?
Segala macam pertanyaan berputar di otak membuat Hanna meringis dan terisak pelan. Dugaanya tidak salah, Dimas tidak ingin punya anak darinya jadi karena Vania. Hanna merasa segala hal yang telah terjadi di antara mereka satu bulan ini sia-sia. Seharusnya ia sadar, Dimas menikahinya karena terpaksa dan tidak mungkin bisa mencintainya. Seharusnya ia tidak terlena akan sikap manisnya dan menjadi murahan lalu menyerahkan dirinya begitu saja.
Dimas hanya menginginkannya untuk menyalurkan hasrat lelakinya walaupun tanpa cinta. Dia sama saja seperti laki-laki pada umumnya! Dia brengksek, tidak seperti Malik yang selalu tulus padanya! Batin Hanna terus berteriak tidak terima.
Bersambung ....
Satu kata untuk Abang Dimas.
0 comments:
Posting Komentar