CINTA DI BATAS CAKRAWALA 18

❤ *CINTA*
*di Batas  Cakrawala* 
🌅 nomor - 18 
(Kilasan Masalalu)

Sudah satu jam Hanna duduk di ruangan Dimas, sibuk dengan laptop suaminya itu. Jemarinya bergerak lincah mengendalikan kursor dan menekan keyboard, sedangkan manik cokelatnya tetap fokus menatap layar. Ia tersenyum melihat hasil bidikan terbaiknya, menampilan rupa lelakinya yang tersenyum lepas saat ada kegiatan di kantor LSM-nya beberapa hari lalu.

Hanna menopang dagu, menatap lama wajah teduh Dimas yang sengaja diperbesar memenuhi layar. Ia tidak tahu harus bagaimana menjelaskan tentang lelaki itu. Dimas bukan sosok lelaki tampan seperti pada umumnya, tetapi senyum yang ditampilkan membuatnya terlihat berbeda, tampan dalam versinya sendiri. Sebulan lebih hidup bersama, banyak perubahan yang dialami Hanna. Hidupnya lebih berwarna, lebih banyak senyum karena bahagia akan keluarga baru yang ia miliki.

Bolehkah ia bicara tentang cinta sekarang? Perlakuan Dimas yang selalu manis setiap hari membuatnya merasa ada yang tidak beres di dalam dadanya, bahkan perlahan-lahan nama Malik yang telah bertahta bertahun lamanya mulai terkikis. Jantungnya selalu berpacu tidak wajar setiap kali Dimas menyentuhnya. Ia juga tidak ingin jauh dari lelaki itu, sehingga setelah urusan rumah selesai, tanpa ragu ia akan mendatangi Dimas di kantor dan selalu mendapat sambutan baik.

"Hanna?" Hanna tersentak kaget, mengalihkan tatapannya pada Dimas yang baru masuk dan menghampirinya. "Kamu masih di sini? Ngapain?"

Hanna tersenyum polos saat Dimas mengernyit heran menatap layar laptopnya.

"Kapan itu kamu foto aku?" tanya Dimas, mengalihkan tatapannya pada Hanna.

"Hari apa, ya, itu? Waktu kamu cek pabrik di belakang. Kamu senyum waktu ada yang ngajak ngomong, ngga tahu bicarain apa," jelas Hanna sekenanya, ia juga lupa lebih tepatnya karena terlalu fokus pada objek gambarnya.

"Sepertinya laptopku full dengan fotoku sendiri," gumam Dimas tersenyum menggoda.

Hanna tertawa. "Nanti aku isi dengan fotoku juga," ujarnya lalu menutup folder foto yang telah ia pindahkan dan memutus sambungan kabel data dari laptop dengan tabletnya. Ia berdiri setelah mematikan laptop, dan merapikan meja yang dikuasainya tadi.

"Bagaimana persiapan untuk besok?" Hanna menggamit lengan Dimas sambil berjalan keluar ruangan.

"Beres. Besok pagi langsung berangkat."

"Aku boleh ikut?" Hanna menghentikan langkah di luar kantor. Menatap Dimas memelas.

"Kamu mau ikut?" Dimas balas menatap, seolah tidak percaya.

"Ya, kalau boleh, sih," gumam Hanna segan lalu menunduk, menautkan jemarinya dengan Dimas.

"Boleh kok, ngga ada larangan. Aku malah senang kalau kamu mau ikut. Itu artinya aku bisa lebih santai saat pameran berlangsung, ngga cepet-cepet pengen pulang karena kamu."

"Yakin? Minggu lalu kamu juga ke kota, tapi ngga ngajak aku." Hanna cemberut.

"Lah, perginya cuma sehari dan itupun kamu ngga minta ikut." Kali ini Dimas yang mengeratkan pegangan tangannya, tetapi Hanna dengan cepat melepaskan dan berlari ke arah pantai. "Mau ke mana?"

"Main dulu ke sana!" jawab Hanna tanpa menoleh.

"Ini sudah sore, Hanna. Besok berangkat pagi. Baju belum ada yang dikemasi!"

Hanna berbalik. "Nanti aku yang bereskan. Main sebentar ke pantai.."

"Nanti kelelahan, Hanna ...." Dimas menatap gemas Hanna yang keras kepala.

"Sebentar saja. Sunset di sini membuatku rindu, setiap hari ingin melihatnya. Kalau di kota mana bisa?" Hanna mendekati Dimas, kembali menggamit lengannya. "Sebentar saja, hanya menunggu sunset, ya, Abang?"

Di saat hubungan mereka semakin hangat, panggilan 'Abang' untuk Dimas selalu terucap dari bibir Hanna jika sedang merayu. Dan lelaki itu selalu menampilkan senyum terbaiknya untuk menanggapi, membuat Hanna semakin merasa berarti. Walaupun terkadang ia masih sering merasa kesal saat guru muda di PAUD yang juga memanggil Dimas 'Abang'.

Dimas tidak kuasa menolak, dia pasrah mengikut Hanna ke pantai. Membuat wanita semakin ceria. Berjalan berdua sepanjang pantai, lalu berdiri di tempat favorit mereka yang jauh dari keramaian dengan jemari yang kini saling bertautan.

"Malik, aku rasa ... aku mencintainya." 

Tepat di penghujung senja hari itu, Hanna menoleh pada Dimas yang masih menatap lurus ke depan. Ia mendekat, memeluk Dimas dari samping, lalu mengecup pipinya yang kaget dan langsung menoleh.

*****

Dimas duduk tenang di atas tempat tidur, memperhatikan Hanna yang sibuk memilah apa saja yang akan mereka bawa selama di kota. Ia tersenyum tanpa sadar melihat tingkah Hanna yang terkadang mengomel saat jawabannya tidak sesuai dengan wanita itu terkait apa yang harus mereka bawa.

"Beres. Satu koper saja, kan cukup. Ngga sampai satu minggu juga," gumam Hanna sambil menutup koper berukuran sedang milik Dimas.

"Aku baru tahu ada wanita sepertimu yang tidak suka bawa banyak pakaian saat berpergian," gumam Dimas menimpali.

Hanna mengernyit heran. "Memangnya, berapa wanita yang kamu kenal dekat sebelumnya? Sampai baru tahu ada yang seperti aku?" tanyanya sambil bersedekap, menatap penasaran.

"Ada dua, Ibu dan Va—" Lidah Dimas mendadak kelu saat hampir saja mengucapkan nama seseorang yang tidak seharusnya ia pikirkan.

"Siapa? Ibu dan siapa?" Hanna langsung duduk di samping Dimas, benar-benar penasaran.

"Kamu," jawab Dimas langsung. Jantungnya berpacu cepat karena Hanna diam beberapa saat lamanya. Ia akhirnya bisa bernapas lega saat Hanna tersenyum.

"Kok aneh, sih? Katanya tadi baru ada yang seperti aku?"

Dimas menghela napas pelan untuk menetralkan debar jantungnya. Diraihnya tangan Hanna, lalu mengusap punggung tangannya pelan. "Entahlah. Kamu suka bikin aku gagal fokus."

"Modus," cibir Hanna sambil terkekeh. "Sudah ya. Aku beresin tas aku dulu. Baju sedikit ngga masalah, tapi untuk perawatan diri harus utuh," lanjutnya sambil melepaskan tangan Dimas, beranjak menuju meja rias.

"Oh, aku salah. Ternyata kamu sama saja seperti wanita pada umumnya." Dimas tersenyum menyandarkan punggung di kepala tempat tidur. Perasaannya sedikit lebih tenang melihat keceriaan Hanna.

Hanna hanya mendengus tanpa menjawab, fokus mengisi tasnya dengan beberapa produk kecantikannya. Setelah semuanya beres, dia langsung naik ke tempat tidur. Menyelimuti diri dan memeluk Dimas yang sudah berbaring lebih dulu.

"Ayo tidur," bisik Hanna seraya memejamkan mata.

"Hanna ...."

"Hm?"

"Apa kamu pernah menghubungi keluargamu setelah kita menikah?" gumam Dimas tiba-tiba. Besok mereka akan ke kota bersama, walaupun untuk urusan pekerjaannya, tetapi ia tidak akan melarang jika istrinya itu ingin mengunjungi keluarganya. Ia hanya ingin Hanna bahagia bersamanya, mendapat restu sebaik mungkin dari kedua orang tua agar membuatnya tenang akan segala rasa bersalah tentang perasaannya akan masalalu.

Napas Hanna yang tadinya lembut menyapu lehernya, berubah memburu karena pertanyaannya. Dimas mengusap lembut punggung Hanna karena reaksi yang ia dapatkan.

"Aku tidak menyimpan nomor mereka," ujar Hanna dingin. 

Terasa cengkraman kuat tangan Hanna di ujung kaosnya membuat Dimas menunduk, mencari wajah istrinya itu untuk melihat reaksinya.

"Maaf kalau aku salah bicara. Aku ...."

"Keluargaku cuma di sini. Kamu, Ibu dan juga Bapak adalah keluargaku." Suara Hanna bergetar, lalu menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Dimas.

Dimas memeluk Hanna erat. Matanya terpejam dengan batin bertanya-tanya. Sudah lebih dari satu bulan mereka menikah, Hanna sama sekali tidak pernah membahas tentang keluarganya atau paling tidak kedua orang tuanya. Apalagi dia anak perempuan bungsu, seharusnya memang dekat dengan orang tua dan dimanja. Namun, yang ia lihat dari Hanna justru sebaliknya. Apalagi saat sebelum dan sesudah mereka menikah, sikap kedua orang tua istrinya itu berbeda.

"Mau cerita sesuatu padaku?" bisik Dimas tanpa menghentikan usapan tangannya. Hanna hanya menggeleng dan tetap bergeming. "Baiklah, kalau tidak mau. Tapi kalau saat kita di kota dan kamu ingin mengunjungi mereka, aku tidak akan larang."

Hanna tetap diam membuat Dimas mengerti. "Tidurlah."

Dimas menatap langit-langit kamar saat mengetahui Hanna telah terlelap tenang dalam dekapan. Setelah runtuhnya dinding keegoisan mereka hari itu, seperti inilah Hanna saat tidur. Tidak pernah mau melepaskannya, bahkan beberapa hari ini semakin berlebihan terutama setelah subuh. Hanna akan memintanya menemani untuk tidur lagi, atau malah agresif menggodanya dan mereka akan berakhir saling memuaskan.

Ia menghela napas pelan, tiada henti untuk berdoa agar bisa menghilangkan segala rasa yang masih tertinggal di hati untuk wanita lain. Ia ingin memberikan seluruh ruang kosong di hatinya hanya untuk wanita dalam dekapannya kini. Menghargai usaha wanita itu yang tampak telah melupakan masalalunya.

"Maafkan aku," bisiknya seraya mengecup pucuk kepala Hanna lembut.

*****

Tepat jam tujuh pagi, Dimas membawa Hanna meninggalkan desa. Beberapa hari ke depan, LSM yang dikelolanya akan mengikuti pameran yang diadakan oleh Pemerintah Provinsi di kota. Sebagai LSM yang dinaungi dinas perikanan, ia dan beberapa rekannya telah menyiapkan segala hal untuk ikut serta. Berbagai hasil kerajinan dan olahan makanan dari hasil laut adalah andalan mereka.

Kedua tangan Dimas memegang erat pagar pembatas, memerangkap tubuh Hanna yang berdiri di dek atas kapal feri yang membawa mereka menyeberang sejak satu jam lalu. 

"Dimas! Jangan begini!" Tubuh Hanna menegang kaget saat sadar Dimas berdiri di belakangnya.

"Kenapa?" bisik Dimas, tanpa ragu tepat di telinga Hanna.

"Malu! Kayak orang pacaran aja!" gerutu Hanna kesal.

Dimas terkekeh pelan tanpa beranjak dari posisinya. Angin laut yang berembus meniup rambut cokelat Hanna, menguarkan wangi lembut yang selalu mampu membuatnya terbuai. "Memangnya suami istri dilarang pacaran?"

Hanna mengangkat bahunya lalu berkata, "Ngga tahu."

"Justru suami istri itu dihalalkan pacaran. Malah bernilai ibadah."

"Oh, ya?"

"Iya."

"Kamu pernah pacaran sebelumnya? Sebelum menikahiku, sebelum bertemu denganku?" Pertanyaan Hanna membuat Dimas tertegun sejenak. Ia menatap kosong ke arah lautan luas.

"Tidak pernah," gumam Dimas kemudian.

"Tapi jatuh cinta pernah, kan?" tebak Hanna tepat sasaran.

"Jatuh cinta itu tidak dilarang."

"Iya. Terutama di antara sepasang suami istri, kan?" gumaman Hanna lagi-lagi membuat Dimas tertegun. Apakah ia sudah mencintai istrinya itu?

"Jangan dekat-dekat! Malu dilihat orang!" bisikan Hanna kembali menyadarkan Dimas dari kekacauan pikirannya.

"Apa kamu masih mencintai Malik?" bisik Dimas tanpa peduli ucapan Hanna tadi.

Untuk sesaat tidak ada jawaban, Dimas menanti dengan cemas. Lalu fokusnya teralihkan saat terasa sentuhan lembut jemari tangan Hanna di punggung tangannya.

"Apa kamu percaya kalau aku bilang, aku tidak mencintai Malik?"

Mata Dimas membulat kaget, lalu ia mengernyit heran. "Maksudmu?"

"Aku tidak tahu. Yang jelas, semakin lama kita bersama, aku semakin menyadari perasaanku yang sebenarnya terhadap Malik." Hanna menghela napas pelan, kedua tangannya menyentuh kedua tangan Dimas yang mencengkram pagar pembatas. "Sejak kecil dia selalu ada untukku, menjagaku. Aku membutuhkannya. Menurutmu, apa itu cinta?"

Dimas menunduk, memperhatikan raut wajah Hanna dari samping. Melihat ekspresi wanitanya itu, menerka maksud ucapannya. "Aku tidak tahu," jawabnya.

Hanna memukul pelan perut Dimas, yang malah membuat tangannya sendiri terasa sakit karena otot perut lelaki itu terlalu keras. "Sepertinya kamu memang ngga pernah pacaran. Aneh!"

"Bagiku, pacaran itu tidak penting. Di saat kedua orang tuaku berkorban dengan bekerja di kota, dan aku mendapat biaya pendidikan full sampai sarjana. Hanya akan buang-buang waktu kalau aku malah asyik dengan cinta monyet yang kesenangannya hanya sesaat saja," ujar Dimas serius.

"Aku baru tahu ada laki-laki yang punya pemikiran sepertimu," gumam Hanna.

"Memangnya selama ini, menurutmu pemikiran laki-laki itu seperti apa?"

"Seperti kamu di awal hubungan kita." Ucapan Hanna memudarkan senyum di wajah Dimas.

"Maafkan sikapku sebelumnya," bisik Dimas dengan suara berat. Jujur, ia menyesal jika mengingat bagaimana sikapnya dulu.

Hanna tertawa pelan. "Aku hampir lupa soal itu."

"Terima kasih." Dimas mengecup cepat pipi Hanna membuat wanita itu menghentikan tawanya.

"Malu, Bang!"

*****

Setelah tiba kemarin, Dimas membawa Hanna dan beberapa rekannya yang turut serta menginap di sebuah hotel bintang tiga sesuai anggaran. Ia dan Hanna langsung memilih untuk istirahat di kamar, membiarkan beberapa rekannya yang melanjutkan kegiatan untuk survei lokasi.

Pagi itu mereka sarapan di kamar bersama. Dimas memesankan nasi goreng seafood kesukaannya, sedangkan Hanna meminta salad buah.

"Nasi gorengnya dimakan juga." Dimas mengacak rambut Hanna yang setengah kering. Wanita itu sibuk mengunyah buah-buahan yang dicampur mayonaise dan susu.

"Bentar. Aku habisin ini dulu," ujar Hanna tanpa mengalihkan fokus sedikitpun dari saladnya.

Dimas mengangguk, lalu menghabiskan makanannya sendiri.

"Hueekk!"

Dimas tersentak, menatap heran pada Hanna yang berlari ke kamar mandi. Lalu terdengar suara istrinya itu muntah di dalam sana.

"Kamu kenapa?" Dimas menghampiri Hanna yang sedang mencuci mulutnya.

"Kok aku mual, ya cium nasi gorengnya? Bau," gumam Hanna.

"Masa sih? Nasi gorengnya biasa aja, deh." Dimas mengernyit bingung. Ia membawa Hanna keluar, kembali mendudukkannya di kursi tempat mereka makan.

"Tuh, bau banget!" Hanna menutup mulut dan hidungnya.

Dimas semakin kebingungan. Ia mengambil satu sendok nasi goreng di piring Hanna yang masih utuh, memakannya dengan dahi mengernyit. "Rasanya sama dengan punyaku."

"Kamu aja yang makan." Hanna mendorong piringnya menjauh.

"Jangan begitu, Hanna. Masa kamu makan buah aja? Mana kenyang?" Dimas mengusap pelan rambut Hanna, berusah membujuk.

"Ngga ah. Baunya ngga enak." Hanna menggeleng keras.

"Tapi kamu harus makan nasi, Hanna ...."

"Belikan yang lain aja, ya? Jangan nasi goreng, ada cuminya lagi."

"Memangnya kamu alergi cumi?"

"Ngga juga sih. Tapi bau cuminya bikin mual!" jawab Hanna kesal.

Dimas menghela napas pelan,  memilih untuk mengalah. Ia mengambil ponsel di nakas, lalu menelpon seorang rekannya.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam. Ded, bisa minta tolong. Belikan makanan?"

"Belikan makanan? Bukannya sarapan sudah diantar ke kamar, Bang? Masa makan lagi?" sahutan dari seberang sambil terkekeh pelan.

"Iya sudah. Tapi istriku ngga mau makan nasi gorengnya, bikin mual katanya."

"Mual? Lagi ngidam, ya?" celetukan itu membuat Dimas terdiam, lalu melirik Hanna yang sudah berpindah duduk di tempat tidur. Ngidam? Hamil? Ia menggeleng cepat, merasa tidak yakin karena kesalahan yang pernah mereka lakukan sebelum menikah tidak membuat Hanna hamil. Dan ini baru satu bulan, ia pikir tidak mungkin secepat itu.

"Ngga kok." Dimas menghela napas pelan, matanya masih tidak lepas menatap Hanna. "Bisa, kan, Ded? Carikan nasi apa kek—"

"Aku mau nasi uduk!" sela Hanna tiba-tiba.

"Nasi uduk aja, Ded."

"Beneran kayak orang ngidam aja istrinya, Bang."

"Sok tahu! Memang kamu sudah nikah?"

"Yaelah! Ngga perlu nikah untuk tahu hal seperti itu, Bang ...."

"Sudah, ah! Buruan sana belikan. Istriku sudah lapar!" sela Dimas cepat, tidak ingin ucapan rekannya itu merecoki pikirannya.

"Ya sudah. Tunggu, semoga ada di dekat sini. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam." Dimas menyimpan ponsel di sakunya lalu mendekati Hanna. "Nanti setelah Dedi datang bawa makanannya, aku mau langsung keluar lihat persiapan di lokasi. Mau ikut?"

Hanna tampak berpikir. "Aku di sini aja. Tiba-tiba aja malas, nih."

"Yakin?" Dimas memastikan.

"Iya. Tapi nanti pas makan siang, kamu balik, ya? Aku ngga mau makan sendiri." Hanna mulai berbaring.

"Ya sudah." Dimas kembali duduk di kursi, menatap Hanna yang tampak sibuk mengotak atik tabletnya. Kata-kata rekannya tadi kembali mengganggu pikirannya, tetapi dengan cepat ia menghalaunya.

*****

Hanna menatap bosan acara televisi yang ditontonnya sejak Dimas pergi satu jam lalu. Tayangan pagi hampir di semua channel tidak ada yang menarik minat, hanya ada acara gosip dan berita. Ia menguap beberapa kali, lalu bangun duduk. Rasa malasnya saat diajak Dimas memudar entah ke mana, berganti dengan rasa lapar. Padahal tadi ia sudah makan nasi uduk dan sebelumnya makan salad.

Ia mengambil ponsel, lalu mencoba menghubungi Dimas. Beberapa detik kemudian terdengar salam dari seberang.

"Assalamu'alaikum. Ada apa, Na?"

"Wa'alaikumsalam. Bang, aku bosan di sini," gumam Hanna tanpa ragu.

"Bosan gimana?"

"Ya bosan. Aku mau keluar, boleh, ya?"

"Mau ikut ke sini? Aku jemput, ya?"

"Malas ah, nyusul kamu. Aku mau beli cemilan, lapar. Boleh, ya? Bentar aja, kok. Beli di mini market terdekat. Ya, Bang?" Hanna mengeluarkan rayuan andalannya.

Terdengar helaan napas berat dari seberang, lalu menjawab, "Baiklah. Tapi jangan lama-lama, naik taksi aja. Ada apa-apa, langsung telepon aku."

"Siap, Abang!" Hanna terkekeh karena ucapannya sendiri, lalu terdengar kekehan yang sama dari seberang. "Sudah dulu, ya? Kamu sibuk, kan?"

"Iya sudah, Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam." Hanna meletakkan ponselnya di tempat tidur, lalu bergegas masuk ke kamar mandi untuk bersiap-siap.

*****

Beberapa mini market terdekat dari hotel telah dikunjunginya, tetapi tidak ada yang dibeli Hanna di sana. Akhirnya ia masuk di sebuah super market lengkap yang juga menjual buah darn sayuran segar.

Ia melangkah cepat menuju rak buah-buahan di bagian belakang. Mata cokelatnya menatap jeli, memindai buah-buahan yang ada sesuai seleranya.

"Mangga," gumam Hanna dengan mata berbinar saat mengambil satu buah mangga yang sayangnya setengah matang. "Yah ...."

"Sini biar Hafiz sama aku aja, Mi. Makin besar, Hafiz makin berat. Nanti Mami kepayahan gendongnya."

Tubuh Hanna menegang seketika saat mendengar suara seseorang yang tidak asing, terlebih menyebut nama bayi laki-laki. Perlahan, ia meletakkan kembali buah mangga dalam genggaman.

"Iya juga, ya? Hafiz cepat sekali besarnya. Cucu kesayangan Oma ini."

Suara itu terdengar begitu dekat dengannya. Hanna meremas tangannya sendiri, lalu menyeret langkahnya susah payah tanpa menoleh sedikit pun. Ia berdiri di balik sebuah rak, mengatur napas susah payah. Seketika teringat kembali ucapan Dimas semalam tentang orang tuanya.

Hanna menoleh ke belakang, di rak buah mangga tadi, tampak Vania yang menggendong bayinya sedang memilih buah-buahan bersama ibu Rossa ditemari seorang ART. Matanya berkaca-kaca melihat pemandangan itu. Entah mengapa, ada sebuah rasa yang sangat ingin ditepisnya, yang membuat hatinya berdenyut nyeri menyadarinya. Sebuah rasa bernama Rindu.

Hanna menutup mulutnya sendiri saat melihat bagaimana maminya sangat menyayangi Hafiz, anak dari kakaknya. Batinnya mulai bertanya-tanya, bagaimana kalau ia punya anak. Apakah akan sama perlakuannya? Akan di sayang juga oleh kedua orang tuanya, seperti mereka menyayangi Hafiz?

Matanya masih memperhatikan maminya dan Vania yang akhirnya berlalu pergi menuju rak sayuran. Hanna tersenyum miris, rasa pesimis mendominasi. Ia saja anak kandung, tidak diperlakukan baik. Bagaimana dengan anaknya kelak yang harus bersaing dengan Hafiz, si cucu kesayangan? 

Tangannya bergerak cepat mengusap air mata yang telah membasahi pipi. Rasa lapar dan seleranya yang menggebu berburu buah tadi langsung hilang seketika. Hanna memilih pergi dari sana tanpa membawa apapun. 

*****

Dimas memilih kembali ke hotel sebelum zuhur. Berada di lokasi pusat kota tadi tidak membuatnya tenang karena memikirkan Hanna. Ia melangkah cepat menuju kamarnya setelah beberapa kali mencoba menghubungi istrinya itu, tetapi tidak ada jawaban.

Ia mengernyit saat tidak menemukan Hanna di dalam kamar. Jantungnya berdetak cepat tidak menentu ketika membuka pintu kamar mandi, dan di dalam sana juga kosong. Dimas berbalik, kembali membuka pintu kamar lalu menemukan Hanna sudah berdiri di sana.

"Hanna!" Dimas langsung menarik tangan istrinya itu dan langsung memeluknya erat. "Kamu perginya ke mana? Kenapa lama sekali? Aku telepon juga ngga dijawab!"

Tidak ada jawaban, hanya balasan dari Hanna yang memeluk pinggang Dimas dan bersandar di dadanya.

"Bikin khawatir saja," gumam Dimas akhirnya.

"Aku senang kamu khawatir padaku."

"Ck, tentu saja aku khawatir padamu. Kamu istriku!" ujar Dimas tegas.

Hanna mengangkat wajahnya tanpa melepaskan pelukan, menatap Dimas dengan pandangan yang sulit diartikan. "Itu artinya, sejak hari aku jadi istrimu, kamu memang selalu khawatir padaku?"

Dimas mengecup pucuk kepala Hanna lalu berkata mantap, "Iya."

"Dimas ...."

"Ya?"

Hanna menatap Dimas lekat. "Aku mencintaimu."

Bersambung .....

0 comments:

Posting Komentar