CERBUNG MENGEJAR CINTA RIANTI 18

#Mengejar_Cinta_Rianti
#Episode_18

Judul : Mengejar Cinta Rianti
Oleh : Naya R

Terima kasih admin/moderator telah menyetujui tulisan ini.
Terima kasih pembaca setia Rianti.
 
Setelah sarapan, Afdi mengajak Rianti untuk berkemas. Mereka akan segera berangkat menuju puncak. Afdi telah meminta izin kepada papa dan mamanya. Kedua orang tuanya tentu saja mengiyakan dengan senang hati. Kerinduan mereka untuk memiliki anak perempuan terobati sudah dengan kehadiran Rianti. 

 Sesampai di kamar, Rianti hanya duduk di pinggir tempat tidur. Sementara Afdi telah sibuk mengeluarkan beberapa pakaiannya dari dalam lemari lalu memasukkannya ke dalam koper. Afdi menoleh pada Rianti.

 “Kenapa? Kok kamu nggak ikut menyiapkan pakaian? Pakaianmu sudah dibawa sebagian kan dari rumah Mama?” Afdi menghentikan aktivitasnya sesaat dan menatap Rianti dengan tatap bertanya-tanya. Rianti menunduk dan meremas jemari tangannya. Ia ingin mengatakan sesuatu. Tapi rasanya ia masih ragu.

 “Katakan, ada apa?” Afdi ikut duduk di samping Rianti. Rianti menarik napas dalam. Lalu setelah mengumpulkan kekuatan dan keberanian, Rianti pun berucap.

 “Kalau kita nggak jadi ke puncak gimana, Mas?” Rianti menoleh dan menatap suaminya itu dengan tatapan takut-takut. Afdi terhenyak. Jadi Rianti menolak pergi dengannya? Kenapa tadi pagi perempuan ini mengatakan bersedia menemani kemana pun Afdi ingin pergi.

 “Ya, kalau kamu keberatan, nggak apa-apa. Kita batalkan saja.” Laki-laki itu tak dapat menyembunyikan rasa kecewanya.

 “Bukan keberatan, Mas. Tapi maksudnya gimana kalau kita ubah lokasinya.” Rianti menjawab dengan cepat.
 “Maksudnya?” Afdi menatap istrinya itu dengan tatapan tak mengerti.

 “Rianti pengen ke Malang, Mas. Sebenarnya tiga bulan lalu sudah bikin rencana dengan Papa, Mama, Siska, dan Amelia untuk liburan ke Malang. Tetapi, Papa keburu pergi.” Suara Rianti terdengar lirih. Afdi tercekat. Ternyata ia salah menduga. Bukan Rianti tidak mau pergi dengannya. Rupanya istrinya ini menginginkan tempat yang lebih romantis. Senyum mengembang di bibir Afdi.

 “Jangankan ke Malang, ke Paris pun kalau kamu menginginkannya, Mas akan membawamu ke sana.” Afdi berkata tanpa bisa menyembunyikan rasa gembiranya. Hati Rianti sedikit menghangat mendengar gombalan laki-laki di sampingnya ini. Ternyata laki-laki ini tidak sekaku yang dibayangkannya. 

 “Kita berdua aja, Mas?” Rianti kembali bertanya. Alis Afdi terangkat. Duh, apalagi ini. Afdi bertanya dalam hati.

 “Kamu pengennya gimana?” Afdi menatap Rianti lekat. Rianti kembali menunduk menghindari tatapan Afdi. 

 “Mau ajak Mama dan adik-adik?” Afdi menyentuh jemari tangan Rianti dan menggenggamnya erat. Rianti mendongak dan mata indahnya seketika berbinar.

 “Boleh, Mas?” Nada gembira itu tak bisa disembunyikan Rianti dari suaranya. Afdi tersenyum dan mengangguk.

 “Ya, boleh. Ajaklah Mama dan Adik-adik. Bukankah kalian sudah lama merencanakan liburan ini?” Afdi berkata dengan tulus. 

 “Ya, Allah, Mas. Makasih, ya, Mas. Siska dan Amelia pasti senang banget.” Rianti mengambil tangan Afdi dan menciumnya berkali-kali. Afdi tersenyum melihat kegembiraan dan kebahagian istrinya ini. 

 “Ayo, sebagai hadiah buat Mas, kamu yang lanjutkan packing pakaian Mas, ya.” Afdi bergeser dan menyandarkan punggungnya ke sandaran tempat tidur. 

 “Oke, Mas.” Rianti mengacungkan jempolnya dan segera bangkit. Dengan penuh semangat Rianti memeriksa koper Afdi, lalu mengambil beberapa barang yang belum ada di dalam koper tersebut. Sarung, celana pendek, pakaian dalam, dan perlengkapan mandi. Afdi memperhatikan semua gerak gerik Rianti. Afdi senang melihat istrinya begitu bersemangat. Tak apalah Afdi mengalah demi kebahagiaan istrinya itu. Bulan madu mereka masih bisa dilakukan kapan-kapan. Saat mereka sudah benar-benar dekat.

 Afdi menjangkau ponselnya dan mencari aplikasi pemesanan tiket online. Afdi mencari tiket sore ke Surabaya.

 “Mas mau pesan tiket sekarang, kamu telepon dulu Mama dan Adik-adik. Bilang kalau kita mau liburan sama-sama ke Malang, ya.” 

 “Oh, iya, Mas. Bentar, ya, Mas.” Rianti mengambil ponselnya yang terletak di meja samping lemari. Tergesa Rianti menekan nomor Siska. Tak berapa lama terdengar suara Siska di ujung telepon. Rianti menyampaikan rencana ia dan Afdi yang ingin mengajak Siska dan Amelia liburan ke Malang. Siska bersorak girang. Lalu terdengar juga suara Amelia yang tak kalah hebohnya. Rianti bahagia mendengar kegembiraan adik-adiknya. Rianti minta adiknya segera bersiap-siap. Ia dan Afdi akan segera menjemput mereka. 

 “Mama mau bicara, kak.”
 “Oke, berikan teleponnya pada Mama.”
 “Assalammualaikum, Ma.”
 “Waalaikumsalam, Sayang. Kata Bu Aini kalian mau ke 
         puncak, ya?”
 “Nggak jadi, Ma. Jadinya ke Malang. Mama sama Adik-
         adik ikut, ya?”
 “Eh, jangan. Kamu pergi berdua aja sama Afdi. Masa 
         bulan madu rombongan.”
 “Ih, ini bukan bulan madu, Mama. Ini liburan biasa.”
 “Nggak boleh gitu, Nak. Nggak enak sama Afdi.”
 “Ini Mas Afdi yang suruh, Ma. Pokoknya Rianti nggak 
         mau pergi kalau Mama dan Adik-adik nggak ikut. Kan 
         kita udah lama rencanain liburan ke Malang, Ma.”

 “Waduh, anak Mama ini, ya. Udah nikah masih juga 
         kayak anak kecil. Ya udah, kamu ajak Siska dan Amelia 
         aja, ya. Mama nggak bisa ikut. Besok Mama mau
         mengadakan pengajian di rumah sebelum kita pindah.
        Tapi ingat, ini terakhir kali kamu pergi sama suamimu 
        dengan mengajak adik-adik ya.”

 “Kita nggak jadi pindah, Ma.”
 “Nggak jadi? Kenapa?” 
 “Nanti Rianti cerita, ya, Ma. Bentar lagi Rianti dan Mas 
         Afdi ke rumah. Rianti tutup dulu, ya, Ma.   
         Assalammualaikum.”
 “Waalaikumsalam.”
  
 Rianti meletakkan ponselnya di meja lalu berjalan menuju tempat tidur. Afdi yang sedari tadi memperhatikan ekspresi Rianti yang sedang berteleponan dengan adik-adik dan mamanya tersenyum melihat wajah istrinya itu. Rianti duduk di pinggir tempat tidur. 

 “Kenapa?” Afdi menatap wajah Rianti yang tiba-tiba agak lesu. Baru juga tadi terlihat bahagia dan gembira.

 “Mama nggak mau ikut.” Rianti mendesah. Afdi menggeser duduknya dan segera bangkit.

 “Ayo, kita langsung saja ke rumah, Mama. Nanti kita bujuk Mama untuk ikut, ya.” Afdi menurunkan kopernya yang telah ditutup rapi oleh Rianti. 

 “Ya, Mas. Mas duluan turun, ya. Rianti mau ganti baju dulu.”
 “Ya, udah. Ganti aja. Mas tunggu di sini.” Afdi kembali duduk di pinggir tempat tidur. Mata Rianti membulat. 

        Wajahnya mendadak terasa panas. Tapi Rianti tak berkata apa-apa. Diambilnya pakaiannya yang masih di dalam koper di sudut kamar. Ia belum sempat memindahkannya ke lemari pakaian. Celana kulot warna coklat, kemeja polos warna putih, dan pashmina warna coklat muda. Rianti pun bergegas menuju kamar mandi.

 “Eh, mau kemana?” Afdi menatap Rianti dengan heran. Rianti menoleh.

 “Rianti ganti di kamar mandi, ya. Mas tunggu aja di sini.” Rianti berkata dengan nada tegas. Afdi terdiam, gaya Rianti barusan mengingatkan Afdi pada sosok Rianti yang seorang cleaning servis. Jutek banget. Ih … Afdi bergidik sendiri. Dan Rianti pun menghilang di balik pintu kamar mandi. Bayangan tubuh semampai Rianti masih menari-nari di pelupuk mata Afdi.

 Kulit yang putih bersih, bola mata besar namun cantik. Rambut panjang di bawah bahu yang digelung seadanya ke puncak kepalanya, memperlihatkan leher jenjangnya yang mulus. Afdi menelan ludahnya. Baru kali ini ia berada sedekat ini dengan seorang perempuan. Perempuan cantik lagi. Namun belum ada yang bisa dilakukannya untuk mengungkapkan kekaguman dan rasa cintanya pada perempuan itu.

 Tidak berapa lama, Rianti keluar dari kamar mandi. Telah berpakaian rapi lengkap dengan hijabnya. Gaya berpakaian Rianti terlihat begitu modis. Afdi tak bisa mengalihkan tatapannya dari wajah Rianti. Berpakaian seperti apapun, bagi Afdi, Rianti selalu terlihat cantik dan menarik.

 “Ayo, Mas.” Rianti menyadarkan ketermanguan Afdi. 
 “Eh, iya. Ayo.” Afdi pun bangkit dan mendorong kopernya ke luar kamar. Rianti pun mengambil kopernya dan mengikuti langkah Afdi ke luar kamar.

 “Kopernya ditinggal aja. Berat. Biar nanti Mas jemput lagi.” Afdi membuka pintu kamar.

 “Kalau segini mah enteng, Mas. Mantan cleaning servis.” Rianti mengedipkan matanya pada Afdi. Afdi kembali terpana. Ya Tuhan, udah halal juga, masa nggak bisa mencium mata indahnya itu ya? Afdi berbisik dalam hati.

 “Ayo, Mas.” Rianti kembali menyadarkan lamunan singkat Afdi. Rianti berjalan mendahului Afdi, membawa kopernya dan menuruni anak tangga satu per satu. Afdi akhirnya mengikuti langkah Rianti menuruni anak tangga. 

****

 Rianti dan Afdi sampai di rumah Rianti. Mendengar suara mobil memasuki halaman rumah, Siska dan Amelia bergegas membukakan pintu.  Begitu melihat Rianti turun dari mobil, Siska dan Amelia langsung mengejar sang kakak dan memeluknya erat.

 “Kangen, Kak.” Amelia berkata dengan rengekan manjanya. Rianti tersenyum dan mengusap lembut puncak kepala Amelia yang tertutup hijab. Ternyata kedua adiknya telah berpakaian rapi, terlihat siap untuk berangkat.

 “Baru juga pisah satu malam.” Rianti menggandenga tangan kedua adiknya dan masuk ke dalam rumah. Afdi yang telah turun dari mobil mengikuti langkah kaki Rianti dan adik-adiknya.

 “Ya, ampun, Nak. Itu Nak Afdi kalian biarkan mengekor dari belakang. Nggak sopan begitu. Persilakan dulu Mas kalian masuk.” Bu Winda telah berdiri di samping pintu masuk dan memelototi ketiga anak gadisnya dengan tatapan marah. Rianti tersadar dan menghentikan langkahnya.

 “Eh, iya, Ma. Ayo, Mas, masuk.” Rianti ikut berdiri di smaping mamanya mempersilakan suaminya itu untuk masuk. Sementara Siska dan Amelia telah duluan duduk di ruang tamu.

 “Nggak apa-apa, Ma. Afdi sekarang kan bukan tamu lagi, Ma. Afdi sekarang juga anak Mama, sama seperti Rianti.” Afdi mendekat pada mertuanya dan mengambil tangan wanita dengan hijab lebar berwarna hitam itu. Afdi mencium tangan mertuanya dengan hormat. Bu Winda mengusap kepala menantunya dengan penuh kasih. Dari dulu ia dan suaminya ingin sekali memiliki anak laki-laki. Namun Allah hanya memberi mereka anak perempuan. Dan sekarang Allah mengabulkan keinginannya. Mengirimkan anak laki-laki yang begitu baik pada mereka. Bu Winda berulang kali mengucap syukur dalam hati.

 “Duduklah, Mama ambilkan minum, ya.” Bu Winda mempersilakan Afdi duduk. Rianti mengikuti langkah Afdi menuju sofa di ruang tamu. Mereka pun duduk bersebelahan di salah satu  sofa.

 “Sudah siap semua, kan?” Rianti menatap kedua adiknya dengan tatapan penuh kerinduan juga. Mereka memang belum pernah berpisah.

 “Sudah, dong, Kak.” Siska dan Amelia menjawab serentak.
 “Mama gimana?” Rianti memandang Siska dan Amelia bergantian.

 “Mama nggak mau ikut, Kak. Mama memang udah terlanjur ngundang Ibu-Ibu pengajian di komplek ini, Kak. Besok malam pengajian di sini.” Siska menjelaskan pada kakaknya.

 “Oh, iya.” Rianti mengangguk. Tiba-tiba Rianti teringat dengan map coklat yang diberikan Afdi tadi pagi padanya. Rianti mengambil map yang digulungnya di dalam tas selempangnya. 

 “Mas, bentar, ya. Rianti mau lihatkan ini sama Mama, ya.” Rianti menyentuh tangan Afdi sekilas.

 “Ya, masuklah. Mas tunggu di sini.” Afdi mengangguk dan tersenyum. Rianti bangkit dan bergegas menuju dapur melewati ruang keluarga dan ruang makan. Sesampai di dapur, Rianti melihat mamanya tengah membuatkan minuman untuk Afdi. Sementara Mbok Uun terlihat sibuk di dekat kompor.  

 “Ma, ini.” Rianti mengulurkan map coklat di tangannya pada sang mama. Bu Winda mengangkat wajahnya dan memandang anak gadisnya dengan tatapan heran.

 “Apa, ini?” Bu Winda menerima juga map yang disodorkan oleh Rianti.

 “Bukalah, Ma.” Rianti tersenyum pada wanita yang amat dicintainya ini. Bu Winda membuka map di tangannya dan mengeluarkan isinya. Sesaat wanita paruh baya itu memperhatikan tulisan yang terdapat di kertas tersebut.

 “Ini maksudnya, apa?” Bu Winda menatap Rianti dengan bingung.

 “Maksudnya, kita nggak usah pindah, Ma. Rumah ini kembali menjadi milik kita.” Suara Rianti bergetar dan matanya mendadak terlihat kabur.

 “Bagaimana bisa?” Bu Winda terisak.
 “Mas Afdi telah membeli rumah ini, Ma. Dan mengembalikannya pada kita.” Rianti tersenyum di antara derai air mata yang membasahi pipinya.

 “Ya, Allah. Ini benar-benar nyata kan? Mama tidak sedang bermimpi kan?” Bu Winda menggenggam kedua tangan anaknya. Suaranya terdengar serak, namun kali ini nada bahagia, haru, gembira, menyatu jadi satu.

 “Benaran, Ma. Bukankan Rianti pernah berjanji akan mengembalikan rumah ini lagi pada Mama. Dan Allah telah mengabulkannya lewat Mas Afdi.” Rianti mengguncang tangan mamanya dengan gembira. Bu Winda merengkuh tubuh anaknya ke dalam pelukannya. Mereka berpelukan dengan erat dengan tangis yang masih terdengar dalam sedu sedan. Tapi kali ini tangis mereka adalah tangis kebahagiaan.

 “Terima kasih, Sayang. Terima kasih.” Bu Winda berucap lirih di telinga Rianti. Rianti mengangguk.
 “Ya, Ma. Rianti senang melihat Mama bahagia.”
 
 Di ruang makan, Afdi berdiri mematung melihat adegan mengharukan di depannya. Afdi yang ingin ke kamar mandi, menghentikan langkahnya begitu mendengar suara tangisan istrinya dan sang mertua. Ternyata istrinya sedang menyerahkan surat rumah ini kembali pada sang mama. Hati Afdi menghangat. Ternyata apa yang telah dilakukannya amat berarti buat Rianti dan mamanya. Padahal Afdi merasa baru melakukan hal kecil. Ah, ternyata tidak sulit membuat istrinya bahagia, Afdi tersenyum gembira.

Bersambung ….

0 comments:

Posting Komentar