CERBUNG JILID 10

Cerbung....


*Aku Bukan Wanita Bodoh*

*Jilid......10*


Warga berbondong-bondong mendatangi lokasi kebakaran, niat ingin membantu tapi tak ada yang bisa menerobos pintu pagar yang tinggi dan digembok. Mobil pemadam kebakaranpun tak banyak membantu. Halaman yang luas dengan posisi rumah yang jauh dari jalan raya menyulitkan proses pemadaman. Alhasil kebakaran di rumah Karin hanya jadi tontonan gratis buat warga. Hingga tanpa disadari api sudah merembet ke bangunan di sebelahnya.

Posisi rumah Karin yang bersisian dengan kedua tokonya memudahkan api menjalar dengan cepat. Api mampu dipadamkan, tapi tak ada satu pun barang yang bisa di selamatkan. Kalaupun ada yang masih utuh itu pun sudah berubah warna dan lebih pantas menjadi barang rongsokan.

Pintu pagar rumah Karin baru bisa di buka setelah di bongkar paksa. Petugas pemadam kebakaran langsung masuk menyerbu ke dalam, berharap masih ada yang bisa di selamatkan. Tapi sepertinya percuma. Dari luar pun sudah terlihat rumah megah itu tinggal jadi reruntuhan. Kalaupun ada yang masih berdiri tegak, itu hanya pilar-pilar rumah yang sudah berubah warna karena gosong.

"Itu karma buat Tante Karin ya Bun?"

Celoteh Aliya tiba-tiba.

"Hush, gak boleh ngomong gitu Kak, itu namanya musibah."

Aliya diam dan hanya memandang ke depan puing-puing tembok itu, entah apa yang di pikirkan putri sulungku itu.

"Tapi aneh ya Bun, rumah itu kan kosong kok bisa kebakaran."

Kembali Aliya bersuara.

"Udah biarin nanti juga di cari tau penyebabnya sama yang berwajib."

"Bunda gak berniat menelpon ayah?"

"Buat apa Kak?"

Aku mengernyitkan dahi, aneh dengan pertanyaan Aliya.

"Buat menceritakan keruntuhan rumah wanita pujaan Ayah." 

"Aliyaaa...."

 Aku terkejut mendengar Aliya bisa bicara seperti itu. Sepertinya dalam diamnya anakku menyimpan kemarahan untuk ayahnya.

"Jangan bilang Bunda kasihan sama Tante itu."

Aliya cemberut. Belum sempat aku menjawab anak itu sudah masuk ke dalam rumah. Aku menyusulnya di iringi rengekan Radit karena acara renangnya batal.

Aku mencoba bicara dengan Aliya. Bagaimanapun aku tak mau anakku membenci ayahnya. Hati-hati aku masuk ke kamar Aliya yang pintunya masih terbuka.

"Kak, boleh Bunda ngomong sebentar aja."

Aliya menatapku sekilas, kemudian mengangguk. Aku tersenyum duduk di sampingnya. Kubelai lembut kepala anak gadisku yang mulai beranjak remaja. Di usia belia gadisku sudah kehilangan kasih sayang seorang ayah. 

"Kak, apa selama ini Kakak membenci Ayah? "Tanyaku hati-hati.

Aliya menggeleng pelan.

Aku mengenggam tangannya. Menatapnya penuh kasih..

"Kak, jangan kotori hati kita dengan kebencian pada orang lain apalagi itu ayah, tak terkecuali Tante Karin. Sekalipun orang itu sudah berbuat jahat dan menyakiti hati kita. Serahkan semua sama Allah. Semua yang sudah terjadi sama kita itu sudah kehendak Allah. Kita ikhlasin aja, nanti juga ada balasnya. Apa yang kita tabur itu yang kita tuai. Ayah mungkin lebih bahagia dengan pilihannya, jangan kita paksa untuk pulang ke rumah ini. Buat apa ayah di sini sama kita, kita hanya memiliki raganya, tapi hatinya di luar sana."

Aliya menangis.

"Kakak kasihan sama Bunda...Huhuhu.." Tangis Aliya makin menjadi.

Kupeluk anakku. Ku cium pipinya berkali-kali.

"Jangan khwatirkan Bunda. Yang penting kalian sama Bunda itu yang selalu jadi semangat buat Bunda. Kakak belajar yang rajin dan jadi anak yang nurut sama Bunda. Buktikan sama Ayah, tanpa dia juga kalian bisa jadi anak yang sukses."

Aliya menatapku tersenyum. 

"Kakak gak akan pernah ngecewain Bunda."

Aku balas tersenyum. Kami tertawa bersama.

========

Acara liburan yang tertunda kami isi dengan membuat kue, mencoba resep baru. Aliya begitu antusias setiap kali aku ajak masak-masak di dapur. Hari ini kami mencoba resep puding biskuit.

Sebenarnya resep ini sudah lama di kasih sama teman waktu masih bertugas di Maluku Utara. Rasanya sangat lezat. Perpaduan rasa cokelat, manis, dan gurih.

Aku memasak agar-agar yang sudah di campur dengan gula dan cokelat bubuk. Sambil mengaduk rebusan agar-agar sesekali bercanda dengan Aliya yang lagi asyik mencampur telor dan mentega. Bahagia rasanya bisa menghabiskan waktu bersama anak.

Candaan kami terhenti oleh bunyi gawai milik Aliya. Sambil menjawab panggilan Aliya berjalan menjauh dan memberi kode agar aku meneruskan pekerjaannya. Aku mengiyakan. Selang beberapa menit Aliya kembali.

"Bun, teman sekolah Kakak mau nginap di sini, boleh gak?"

"Teman yang mana Kak?" Tanyaku tanpa menoleh.

"Teman baru Bun, namanya Tania. Dia baru pindah ke sekolah Kakak tiga bulan yang lalu."

Jelas Aliya lagi.

"Lho emang orangtuanya ke mana?"

"Ibunya meninggal saat melahirkan Tania. Sejak itu bapaknya gak pernah menikah lagi. Dulu Tania tinggal sama neneknya. Tapi sekarang sudah tinggal bersama bapaknya di sini."

Aliya menjelaskan panjang lebar soal teman barunya itu.

Aku tak menjawab meski dalam hati tergugah dengan cerita Aliya. 

Agar-agar sudah matang. Aku mulai mengambil biskut satu persatu dan menyusunnya satu persatu ke loyang bersama adonan agar-agar.

"Gimana Bun?"

Aku menoleh. Kulihat Aliya menunggu jawaban dengan mimik serius.

"Bapaknya Tania ke mana gitu?"

"Dinas keluar kota. Katanya dua hari, perginya mendadak ada urusan penting jadi Tania tak sempat di titipkan di rumah neneknya. Please  Bun, kasihan Tania."
Aliya memohon sambil menangkupkan tangannya di depanku.

Aku tersenyum melihat tingkah putriku.

"Baiklah, boleh."

"Makasih Bun"

Aliya mencium pipiku lalu berlari menuju kamarnya berniat memberitahu Tania kalau dia di izinkan menginap di rumah kami. Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkahnya.

===========

Pagi sedikit mendung saat aku memulai aktivitas. Setelah sarapan seperti biasa aku mengantar Aliya dulu ke sekolah. Kali ini Aliya tak sendiri. Ada Tania yang bersamanya. Gadis manis Berkulit kuning langsat dengan lesung pipi, berhidung mancung dengan alis tebal. Sikapnya sangat santun. Baru dua malam Tania menginap di rumah kami tapi aku sudah menyukainya. pribadinya yang supel dan periang membuat kami cepat dekat.

Hari ini Tania terakhir menginap di rumah kami. Katanya hari ini ayahnya akan menjemputnya. 

Melewati rumah Karin aku sempatkan menengok rumah dan tokonya lewat jendela mobil. Masih sepi, hanya terlihat puing-puing bangunan berserakan. Aku heran rumah dan tokonya sudah ludes terbakar tapi kenapa Karin belum menampakan batang hidungnya. Apa dia tak di beritahu, atau jangan-jangan tak ada jangkauan signal komunikasi sama sekali. Entahlah.

====

Suasana sekolah Aliya dan Tania masih sepi saat kami tiba di depan gedung itu. Aliya dan Tania berpamitan dan turun dari mobil. 

"Tante, makasih ya, selama Tania di rumah tante, tante sudah baik sekali sama Tania."

Gadis manis itu memelukku sebelum meninggalkan aku yang lagi berdiri di depan pintu mobil.
Aku hanya tersenyum dan balas memeluknya.

"Tania...."

Terdengar suara seseorang 
memanggil. Aku dan Tania sama-sama menoleh, mencari arah suara.

"Ayaaah..."

Tania melepaskan pelukanku dan berlari menuju orang yang di panggilnya ayah.

Aku terkejut, di depanku lelaki yang berpelukan dengan putrinya itu tak lain adalah orang yang sudah ku kenal, Pak Wahyu.

Bersambung...

0 comments:

Posting Komentar