CERBUNG JILID 11

Cerbung...


*Aku Bukan Wanita Bodoh*

*Jilid.....11*


Pak Wahyu tersenyum ramah ke arahku. Aku balas tersenyum. 

Setelah Aliya dan Tania masuk ke halaman sekolah Pak Wahyu menghampiriku.

"Apa kabar Bu Merry."
Ucapnya basa basi.

"Allhamdulilah baik Pak." Jawabku santun.

"Saya sangat berterimakasih Ibu sudah menjaga Tania. Maaf ya Bu kalau merepotkan. Saya harus buru-buru sampai gak sempat menitipkan Tania ke neneknya. Hari itu saya meninggalkan rumah malah tanpa pamit sama Tania,untung ada Ibu Dan Aliya. Maaf ya Bu."

Panjang lebar Pak Wahyu menjelaskan seakan tak enak hati.

Aku tertawa lepas, berusaha mencairkan suasana. 

"Gak perlu sungkan gitu Pak, saya malah senang ada Tania, gak merepotkan sama sekali."

"Alhamdulilah kalau begitu Bu, saya gak enak aja."

"Santai aja Pak, kapan aja Tania mau menginap di rumah silahkan aja. Apalagi kalau nanti Bapak dinas keluar kota, kan kasihan kalau Tania sendiri di rumah."

Pak Wahyu mengangguk. Wajahnya yang tadi tegang jadi sumringah. 

"Maaf Pak saya harus pamit mau meneruskan perjalanan ke kantor."

Aku pamit ke Pak Wahyu dan melemparkan senyum untuk beberapa anggota prajurit yang berdiri menunggu Pak Wahyu di samping mobil dinas.

"Silahkan Bu, saya juga sama anak buah saya mau ke daerah bojong, di jalan Meranti"

Aku mengernyitkan dahi saat mendengar nama daerah tempat tinggal aku di sebut. Apalagi menyebut nama jalan Meranti, itu persis lokasi rumahku. Tak urung menimbulkan rasa penasaran juga dalam hati.

"Mau ke siapa Pak? Itu daerah rumah saya."

Tanyaku langsung.

"Oh ya? kebetulan sekali ya Bu. Saya mau mencari istri salah satu anggota TNI yang tinggal di situ. Mungkin ibu kenal."

"Siapa nama anggota itu pak."

Tanyaku datar. Dalam hati aku berdebar. Di daerah tempat tinggal aku cuma Mas Amin yang berprofesi Tentara. Tapi semoga dugaanku salah.

"Amin Pratama."

Deg!

"Ada masalah yang harus segera di selesaikan. Makanya saya harus menemui istrinya. Istrinya harus segera menghadap ke Kodam.

Glek. Aku menelan saliva. Pasti Mas Amin sudah melakukan hal yang memalukan.

"Saya tak mau lagi berurusan dengan suami saya. Apapun keputusannya saya terima Pak, saya sudah ikhlas."

Suaraku bergetar. Bagaimanapun aku malu dengan kelakuan Mas Amin. Aku diam karena aku menjaga nama baiknya. Tapi dia sendiri tak bisa menjaga nama baiknya.

"Maksud ibu?"

Aku menoleh, mendengar pertanyaan Pak Wahyu. Wajahnya penuh tanda tanya.

"Saya orang yang bapak cari."

Pak Wahyu menatapku tajam, kemudian menarik nafas panjang. Tangannya melambai ke arah anggota prajurit yang sejak tadi menunggunya.

Salah satu anggota prajurit maju dan mengangguk hormat di depannya.

"Petunjuk Dan!"

"Kayanya kita gak perlu ke daerah Bojong. Orang yang kita cari ada di sini. Kabarin ke yang lain. Kita balik ke kantor."

"Siap Dan!"

Prajurit itu berlalu. Pak Wahyu menatapku lekat.

"Kapan ibu ada waktu. Kita harus ikut prosedur. Ibu harus ikut saya ke Kodam."

Aku berpikir sebentar. Sejujurnya hatiku berat berurusan dengan Mas Amin dan Karin. Tapi peraturan dan prosedur harus di ikuti.

"Saya ijin atasan saya dulu."

Pak Wahyu mengangguk sambil tersenyum.

"Suami ibu dan wanita itu sudah di amankan, tapi untuk sementara dua-duanya lagi di rawat di rumah sakit karena banyak luka. Mereka babak belur di gebukin warga. Telepon genggam keduanya kami sita, kalau ibu  mau bicara sama suami bisa saya hubungkan sekarang."
  
"Tidak perlu."

Cepat aku menjawab.

"Ya sudah, kabarin kalau ibu sudah siap ke Kodam. Saya permisi ya Bu."

Pak Wahyu dan anak buahnya sudah berlalu, meninggalkan aku yang masih mematung. Pantes saja sampai detik ini saat rumahnya hancur leburpun Karin tak menampakan batang hidungnya. Ternyata telepon genggamnya di sita. Dalam hati ada rasa iba untuk wanita itu. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Tapi perbuatan mereka pasti sungguh memalukan sampai bisa di amuk warga seperti itu.

======

Setelah mendapat ijin dari atasan di kantor, aku segera menghubungi Pak Wahyu.

"Asalamualaikum Pak, ijin pak, hari ini saya siap berangkat ke Kodam."

"Walaikumslaam, baik Ibu, Ibu siap-siap aja nanti anggota saya menjemput ibu."

"Terimakasih Pak asalamualaikum."

"Walaikumsalam."

Aku menutup telepon. Segera bergegas menyiapkan beberapa perlengkapan untuk ku bawa.

Aku menghampiri Aliya dan Tania yang lagi belajar. Melihatku datang Tania langsung menyalami dan mencium kedua pipiku. Kebiasaan anak itu, setiap ketemu aku anak itu sangat manja.

"Aliya dan Tania Bunda tinggal ya, kalau urusannya belum kelar sepertinya Bunda menginap. Kalian gak apa-apa?"
6
"Siap bunda."

Aliya dan Tania menjawab kompak dengan gaya ala tentara. Aku tertawa geli melihatnya.

"Tania udah kasih tau ayah belum kalau lagi di sini?"

"Sudah dong Bun, malah ayah yang ngomong mau anterin Bunda Merry ke Kodam."

Aku terkesiap mendengar ucapan Tania barusan. Sejak kapan anak itu menyebut aku dengan sebutan Bunda bukan tante lagi. 

"Bun jagain ayah Tania yaaa..."

Sambung Tania dengan senyum menggoda.

"Emang ayah Tania anak kecil ya jadi harus di jaga"

Aku balas bercanda. Kedua gadis belia itu malah tertawa cekikikan. Dasar anak jaman sekarang. 

"Aliya jagain adik kamu ya. Perlu apa-apa ngomong ke Bibik. Daaah Sayang."

Aku mengecup kedua pipi Aliya dan Tania bergantian, kemudian berlalu ke lantai bawah menghampiri anak buah Pak Wahyu yang sudah menunggu.

Bersambung...

0 comments:

Posting Komentar