CARTING PART 6

CANTING PART 6 n next

Hadi menatap Sekar lekat-lekat. Sekar mendadak kikuk, lalu menunduk. Jemarinya bergetar, hatinya semakin berdebar.

“Kanjeng Ibu sudah kondur?” tanya Hadi, berusaha mencairkan suasana setelah ia menangkap rona kebingungan dan keterkejutan di wajah Sekar.

Hadi mengambil sapu yang tergeletak di lantai, lalu menyerahkannya pada Sekar. Sekar menerimanya dengan jemari yang masih bergetar.

“Dereng, Den. Kanjeng Ibu belum pulang,” jawab Sekar. Lalu sejenak hening. Keduanya hanya diam, berkelana dengan rasa dan pikiran masing-masing di pendopo.

“Den Hadi mau saya buatkan wedang jahe? Den Hadi terlihat pucat sekali,” tawar Sekar kemudian, memecah keheningan. 

Hadi mengangguk sambil melangkahkan kaki menuju dalem ageng, atau ruang utama di rumahnya. Leher belakangnya terasa begitu nyeri. Sekar mengekornya dari belakang dan langsung berlalu menuju dapur. Hadi hampir saja merebahkan badannya yang sedikit letih di shofa ruang tamu, tapi sejurus kemudian ia memutuskan untuk mengikuti Sekar ke dapur. 

Sekar membersihkan 3 batang serai, lalu memotongnya menjadi 3 bagian. Sejurus kemudian, jemarinya lincah menusukkan sunduk ke beberapa buah jahe yang baru saja diambilnya. Sekar membakar jahe itu, lalu membersihkan bagian kulitnya dan mememarkannya. Setelahnya, ia menyimpul selembar daun pandan sebelum kemudian memasukkan ketiga bahan itu untuk direbus bersama-sama dengan campuran gula merah dan sedikit garam. Hadi mengamati itu semua dari pintu dapur, dan Sekar sama sekali tidak menyadarinya.

Sekar, mungkin tak seperti gadis-gadis yang berada di sekelilingnya. Layaknya bunga mawar, siapapun bisa langsung melihat keindahan dan pesona mereka. Bagi Hadi, Sekar ini seperti jahe. Ia tumbuh di dalam tanah, tak tampak oleh mata, tersembunyi  di dalam bumi. Namun, meski tumbuh di tempat yang gelap dan sunyi, jahe mampu memunculkan bunga, kembang jahe berwarna campuran putih dan merah muda yang juga tak kalah cantiknya, seperti halnya Sekar yang berhasil menumbuhkan bunga merah muda itu di hatinya. Karenanya, Hadi lebih memilih untuk menggali tanah, membiarkan jemarinya kotor dan kukunya menghitam demi mencari si jahe dari pada langsung memetik mawar-mawar indah nan merekah itu.

Sepuluh menit kemudian, aroma sedap campuran jahe, serai, dan daun pandan menyeruak ruangan. Hadi mengela napas perlahan sambil merasakan aromanya. Memang, belum ada wedang jahe seenak buatan Sekar. Bahkan buatan simbok saja tak seenak ini.

Sekar menyaring minuman itu dan menuangkannya ke dalam sebuah cangkir. Saat berbalik, betapa terkejutnya Sekar melihat Hadi yang sedang mesam-mesem sendiri di pintu dapur.

Jadi, dari tadi den Hadi di sini? 

Sekar menunduk malu, dan rasa malu itu semakin menghinggapi dirinya saat Hadi kemudian melangkah mendekatinya, apalagi saat tangan kekar Hadi mengambil alih cangkir yang di bawanya. Sekar semakin tak bisa berkata apa-apa.

“Kemarilah, duduklah di sini. Aku mau bicara,” kata Hadi lembut, segera setelah ia mendudukkan dirinya di sebuah kursi yang terpasang di ujung dapur.

Sekar menurut saja, dan langsung memosisikan dirinya untuk duduk bersama Hadi. Hadi memandangnya sejenak, sembari menyeruput wedang jahe hangatnya. Perkataan Ajeng kembali terngiang.

“Kenapa tidak terus memutar tombolnya? Mungkin saja kamu akan menemukan frekuensi dengan isi yang lebih bagus jika terus memutarnya, Mas.”

Hadi mendesah. Sejujurnya, bisa-bisa saja ia memutar tombol pencarian untuk menemukan frekuensi lainnya. Namun, ia tidak mau melakukannya. Ia takut saat ia kembali lagi ke frekuensi itu, acara yang klik dengan hatinya sudah tidak lagi ada, hingga ia memilih untuk tetap di sana. Begitupula rasa yang ia punya untuk Sekar. Tetiba ada rasa lain yang menghantuinya; rasa takut untuk kehilangannya.

“Ayo kita percepat tanggal pernikahan kita. Aku tidak mau menunda-nunda lagi,” katanya, sambil meletakkan cangkirnya di atas meja. 
Sekar masih menunduk sambil memainkan jarinya. Ia tak tahu harus menjawab apa.

“Kenapa diam saja? Kamu masih ragu?” tanya Hadi pada Sekar yang masih terus membisu.

“Ada apa? Jika ada ganjalan, katakan saja. Jangan pakeweuh dengan calon suamimu sendiri,” sambungnya lagi, berharap perkataannya mampu menenangkan Sekar dan membuatnya lebih terbuka.

“Saya... saya takut, Den,” kata Sekar kemudian. Hadi kembali menyeruput wedang jahenya yang masih sedikit tersisa.

“Apa yang kamu takutkan, hmm?” tanya Hadi, dengan suara khasnya yang menentramkan. “Ceritakan padaku, agar aku bisa membantumu menghilangkan rasa takut itu,” sambungnya lagi.

“Tadi pagi, waktu saya sedang berbelanja di pasar Gentan, ada kejadian yang membuat saya tidak enak hati, Den. Ada yang bilang kalau den Hadi akan menikahi saya karena...,” Sekar terdiam sejenak. Ia ragu untuk melanjutkan kalimatnya. Napasnya mendadak tersengal.

“Karena?” Hadi mendengarkan dengan seksama.

“Karena... den Hadi sudah meniduri saya,” kata Sekar sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Sejurus kemudian, ia terisak. Ia ingat kejadian tadi pagi yang membuat dadanya begitu sesak.

“Kamu rewang di rumahnya Bu Sundari kan? Yang mau dinikahi Mas Hadi?” sapa seseorang, yang bersebelahan dengannya saat sedang memilah-milah sayuran di pasar Gentan pagi tadi. Sekar mengangguk sopan.

“Injih, Bude. Kula,” jawabnya, masih dengan unggah-ungguhnya yang sempurna.

“Pantas saja Mas Hadi menaruh hati padamu, Nduk. Ayu rupane, apik unggah ungguhe." Sekar menunduk malu mendengar pujian itu.

"Mosok to segampang itu Mas Hadi menikahi rewangnya sendiri? Pasti ada sebab lain yang ditutupi," celutuk seorang perempuan berusia 40an. Gelang-gelang emas di tangannya berbunyi gemerincing saat ia menggerakkan tangannya untuk mengambil sayuran.

Sekar terhenyak mendengarnya. Beberapa pasang mata menatapnya, meminta penjelasan atas maksud perkataannya.

"Ya Mas Hadi itu kan orang terpandang. Mana mau menikahi rewangnya sendiri. Mungkin dia sudah ditiduri. Makanya Mas Hadi terpaksa menikahi," katanya, tanpa rasa berdosa.

Sekar lemas mendengarnya, dadanya mendadak sesak luar biasa. Beberapa menatapnya iba. Sekar buru-buru membayar belanjaannya dan langsung berlalu dengan perasaan yang teramat pilu. Sekeji itukah penilaian beberapa orang terhadap rencana pernikahan den Hadi dengannya?

Sekar terus terisak mengingat kejadian yang ia alami tadi pagi.

Hadi menatap gadis yang teramat dicintainya itu dengan perasaan iba. Ingin sekali ia merengkuh gadis yang tengah rapuh itu dalam pelukannya. Sayang ia belum bisa melakukannya, sebab ada garis tak terlihat yang membatasi keduanya. 

"Den Hadi pasti akan menemui banyak masalah jika Den Hadi menikahi saya. Saya takut jadi beban untuk Den Hadi." Sekar terus tergugu.

Hadi menggeser posisinya agar sedikit lebih dekat dengan posisi Sekar. Melihat Sekar tergugu seperti itu, ia merasa iba, namun juga terpana.

"Kamu takut menjadi beban untukku?" tanya Hadi. Sekar mengangguk.

"Beda kita terlalu mencolok. Den Hadi nanti akan banyak diperolok," jelasnya, masih dengan isakan yang jelas terdengar. 

"Hatimu memang terlalu baik, Sekar. Begitu khawatirnya padaku sampai-sampai kamu abai pada dirimu. Kejadian di pasar Gentan tadi pagi, mereka memperolokmu. Tapi yang kamu pikirkan justru kebahagiaanku. Kamu takut aku tidak akan bahagia denganmu, kamu takut kamu menjadi bebanku," kata Hadi. Sekar menunduk. Isakannya sedikit berkurang.

"Sekarang coba abaikan kebahagiaanku dan jawab pertanyaanku. Apa kamu akan bahagia jika bersamaku?" 

Sekar terhenyak mendengarnya, namun tak tahu harus menjawab apa. Awalnya ia memang berpikir ribuan kali untuk rencana pernikahan ini. Tapi kini, Sekar tak bisa mengelak bahwa ia memang mulai menikmati getaran-getaran hangat atas hadirnya Hadi.

"Saya... saya tidak tahu, Den. Tapi apalah arti kebahagiaan saya kalau kemudian Den Hadi akan jadi bulan-bulanan orang karena memutuskan untuk menikahi seorang rewang," katanya lagi. Sekar memang selalu merasa rendah diri. 

"Sekar, dengarkan aku. Kebahagiaanku adalah jika aku bisa menghabiskan sisa hidupku bersamamu. Aku tidak peduli dengan omongan dan anggapan orang selama aku bisa bersamamu," kata Hadi. Sekar memejamkan matanya sejenak. Serasa ada aliran embun kesejukan yang mengaliri dadanya.

"Apa kamu akan bahagia bersamaku, itu pertanyaan yang seharusnya kamu pedulikan. Karena jika kamu bertanya apa aku akan bahagia bersamamu, jawabannya adalah aku akan sangat bahagia," jelas Hadi lagi. 

"Sekar, mungkin kamu belum tahu apakah kamu akan bahagia denganku atau tidak. Akupun tidak bisa menjamin apakah kamu pasti akan bahagia bersamaku. Tapi, aku akan selalu berusaha untuk membuatmu bahagia. Maukah kamu memberiku kesempatan untuk itu?" tanya Hadi sambil menatap Sekar lekat-lekat. 

Sekar membalas tatapan Hadi sekilas, lalu mengangguk perlahan. Hadi tersenyum melihatnya. Ia sadar, sosok yang dicintainya ini memang masih belia, belum terlalu banyak makan asam garam hingga sedikit-sedikit ia kepikiran. Maka di sinilah tugas Hadi, untuk ngemong dan ngayomi, untuk menenangkan ketika ia dilanda kegelisahan hati.

"Itu baru calon istriku. Sekarang hapus airmatamu. Jangan menangis. Hatiku akan ikut teriris jika aku melihatmu menangis," katanya, sembari menyodorkan beberapa lembar tissue untuk Sekar menghapus air matanya. 

Hadi mendesah perlahan. Melihat kondisi Sekar yang masih terus merasa rendah diri, tidak mungkin ia menceritakan alasan utama yang membuatnya ingin mempercepat pernikahan ini.

"Jadi, apa kamu setuju untuk mempercepat tanggal pernikahan kita? Aku khawatir akan semakin banyak rintangan dan godaan jika kita terus menundanya." Hadi meminta pendapat Sekar. 

Sekar mengangguk perlahan. "Saya manut Den Hadi saja," begitu katanya, membuat Hadi diliputi kelegaan luar biasa. Nyeri di leher belakangnya mendadak hilang seketika. 

**********

Alunan gending kebo giro memenuhi seluruh suangan di Graha Sabha Pramana siang itu, sebuah gending yang diperuntukkan untuk mengiringi masuknya sepasang pengantin baru. Semakin membahana ketika gending kodhok ngorek menggantikannya, memenuhi seluruh ruangan, memberikan nuansa sakral pada siapapun yang mendengarkan. Gending kodhok ngorek adalah gending/gamelan yang memang khusus dimainkan untuk mengiringi prosesi panggih temanten, saat mempelai wanita didampingi oleh kedua orang tua dipertemukan dengan mempelai pria sudah menunggu di depan pintu masuk gedung resepsi. 

Sekar melangkah perlahan. Sejujurnya dadanya bergemuruh tidak karuan. Gending-gending itu membuatnya merinding dan deg-degan. Dari kejauhan, Hadi menatap Sekar dengan decak kekaguman. Ditatapnya tanpa henti istrinya yang tengah perlahan menuju ke arahnya. Hadi terus menyunggingkan senyuman.

Sekar tampak begitu anggun dengan kebaya beludru hitam khas pengantin jawa, dengan warna keemasan menghiasi beberapa bagiannya. Di berbagai daerah, warna hitam dianggap sebagai lambang kesedihan. Namun di Jawa, warna hitam dianggap sebagai lambang kebijaksanaan dan keluhuran. Sekar terus melangkah perlahan, dan Hadi terus menatap, tanpa bisa sedetikpun mengalihkan pandangan.

Meski berhijab, Sekar tetap menggunakan sanggul rambut khas pengantin Jawa yang diisi dengan irisan daun pandan dan ditutup rajut bunga melati. Perpaduannya mampu menciptakan keharuman luar biasa, melambangkan harapan bahwa kelak sepasang pengantin ini akan membawa nama harum yang berguna bagi masyarakat. Ronce bunga melati yang berbentuk panjang seperti belalai gajah yang terpasang di sisi sanggul sebelah kanan, juga membuat Sekar terlihat semakin menawan. Rangkaian bunga melati ini melambangkan kesucian diri, juga sucinya niat untuk menjalani kehidupan ini. 

Kalung susun yang terdiri dari tiga susun menambah pesona pada diri Sekar. Tiga susun kalung ini melambangkan fase utama perjalanan kehidupan manusia; lahir, menikah, dan meninggal. Sekar terus melangkahkan kakinya. Lima tangkai bunga cunduk menthul yang terpasang di bagian atas sanggulnya bergoyang-goyang karenanya. 

Sekar terus melangkahkan kaki, hingga jaraknya dan Hadi hanya tinggal beberapa langkah lagi. Degub jantungnya kian tak beraturan. Hati terlihat sangat tampan dengan baju beskap hitam dan juga blankon dengan motif batik yang sama dengan kain batik yang dipakai Sekar.

Kini keduanya tak berjarak lagi. Sekar hanya mampu menunduk, mencoba meredam gelora yang menyeruak seisi relung hati. Sedang Hadi, justru terus menatap Sekar dengan bibir yang terus mengucap syukur tanpa henti. Manis, manis sekali. 

Prosesi panggih temanten usai. Hadi meraih jemari Sekar, menggengamnya, lalu membimbingnya untuk menuju pelaminan. 

"Sekar istriku, ayo berjalan bersamaku," kata Hadi. 

Sekar tersipu, lalu melangkahkan kakinya dengan malu-malu.

**********
Opo iki sing jenenge 
Wong kang lagi ke taman asmoro 
Prasasat ra biso lali 
Esuk awan bengi tansah mbedo ati

[Apakah ini yang dinamakan 
Orang yang sedang tertambat 
asmara?
Seolah tak mungkin untuk 
melupakan. 
Pagi siang malam,
Rasa itu terus menggoda hati]

(Bersambung)
👌🐯🍥

CANTING PART 7 

Meski rasa malu masih terus menggelayuti, Sekar merasakan ada aliran hangat yang mengalir di seluruh pembuluh darahnya mendapati jemarinya digenggam seperti itu. Hangat, hangat sekali. 

Baru kali ini ada seorang lelaki yang menggenggam jemarinya dengan begitu kuat. Selama ini, hanya simbok yang selalu menggengam tangannya. Untuk membimbingnya saat ia kebingungan, untuk menguatkannya saat ia dilanda kesedihan. Bapak tak pernah melakukannya. Ah, selalu ada perih menyeruak acapkali Sekar mengingat apapun tentang bapak. Bapak yang disayanginya, namun tak pernah punya rasa sayang yang sama untuknya. 

Bapak pernah sangat terpukul ketika ketiga jagoan laki-lakinya meninggal di usia belia, dan kekecewaan itu kian bertambah saat sebelas tahun kemudian, bukan bayi laki-laki yang dilahirkan simbok, melainkan bayi perempuan. Bapak tak menyukainya, bapak menganggap anak perempuan tak akan ada gunanya, hingga Sekar tak pernah mendapatkan kasih sayang dari seorang ayah yang selayaknya. 

Namun kini, lihatlah. Bapak tampak sangat bahagia, bangga karena anak perempuan tak bergunanya berhasil menjadi permaisuri hati Hadi, sosok terpandang yang begitu disegani.

"Akhirnya kamu berguna juga. Bisa menggaet lelaki kaya," begitu kata bapak hari itu, tepat setelah bapak menerima lamaran Hadi. 

Sungguh, Sekar benci ini. Jadi yang disebut bapak sebagai berguna adalah saat ia bisa menikah dengan lelaki kaya? Jadi alasan bapak menyetujui lamaran Hadi semata-mata hanya karena kekayaan Hadi? 

Sekar menoleh, menujukan pandangan pada sosok tegap di sebelahnya. Sosok itu juga ternyata tengah menujukan manik matanya padanya. 

"Terimakasih, Sayang. Terimakasih sudah bersedia membangun cinta bersamaku," ucapnya, yang lagi-lagi mengalirkan getaran-getaran magis di tiap sisi hati Sekar. 

Sekar hanya membalasnya dengan sebuah sunggingan senyuman, lalu kembali pada angannya yang tengah berkelana, mengais lembar demi lembar kisah tentang bapak yang membuat hati kecilnya berteriak. 

Sekar tak sanggup membendung airmatanya yang tumpah ruah saat gending ketawang mijil wigaringtyas mengiringi prosesi sungkeman. Airmata itu kian mengucur deras saat ia bersimpuh di hadapan sosok yang telah melahirkannya. Terbayang segala pengorbanannya, terbayang segala kesabarannya, terbayang segala sakit dan keikhlasannya. 

Sekar meraih jemari yang sudah mulai rapuh itu dan menciumnya takzim. Tubuhnya bergetar hebat. 

"Mbok, Sekar nyuwun pangestunipun," ucapnya dengan airmata yang terus membasahi wajah ayunya. 

Perlahan, simbok membelai kepala putri semata wayangnya. ia juga tak sanggup menahan bulir-bulir hangat yang keluar dari mata keriputnya. Direngkuhnya kepala Sekar di pangkuannya, hingga suasana haru itu semakin terasa. 

"Simbok merestuimu, Nduk. Simbok ridha," ucapnya perlahan di sela sela isak tangisan.

Sekar mengangkat kepalanya dari pangkuan simbok dan sejenak menatap wajah tuanya. Kesabarannya paripurna. Itu yang Sekar lihat di sana. Wani ngalah dhuwur wekasane, itu yang selalu dipegang simbok, hingga simbok tetap sabar untuk bertahan meski bapak pernah menghianatinya, meninggalkannya untuk menjalin cinta dengan seorang janda hanya karena bapak kecewa simbok tak melahirkan anak laki-laki lagi seperti inginnya. 

"Den Hadi, titip Sekar, ya. Hanya Sekar harta paling berharga yang Simbok miliki. Tolong jaga dia, Den. Tolong bahagiakan dia. Simbok tahu selama ini dia memendam duka, baik karena perlakuan ayahnya, juga karena dia tidak memiliki kesempatan yang sama dengan kebanyakan anak-anak seusianya," pesan simbok pada Hadi.

Hadi menggenggam jemari simbok erat-erat. 

"Mbok, jangan panggil aku den lagi. Sekarang aku sudah menjadi anak lelakimu, Mbok. Aku bukan majikan simbok lagi," terangnya, sembari menatap wajah ibu dari permaisuri hatinya. Simbok membalasnya dengan airmata haru.

"Terimakasih sudah melahirkan Sekar, Mbok. Terimakasih sudah menghadirkan, mendidik, dan membesarkan separuh jiwaku," ucap Hadi lagi, sembari takzim mencium tangan simbok. 

Hadi kembali menggandeng Sekar, membimbingnya untuk menuju kursi pelaminan. Jemarinya tak pernah lepas dari jemari Sekar. Jemari ini... dulu Hadi pernah menggenggamnya saat pemilik jemari ini masih belia, merengkuhnya untuk berjalan ke rumah bersama saat si pemilik ia menangis karena terjatuh, atau karena tersesat saat berjalan pulang Kini, jemari ini digenggamnya sebagai garwa yang berarti sigaraning nyawa atau belahan jiwa. Sesuatu terpatri dalam hatinya, bahwa akan terus berusaha membahagiakan sigaraning nyawanya. 

"Sekar...," panggilnya perlahan, tanpa melepaskan genggamannya. Sekar menoleh.

"Iya?" balasnya. Jantung Hadi berdegub lebih kencang mendengar suara lembutnya. 

Hadi memandanginya. Kini kedua mata mereka beradu pandang. Masih terasa bagaimana suasana ijab kabul yang tadi pagi diucapkannya di lantai satu masjid kampus Universitas Gadjah Mada, sebuah janji suci yang setara dengan parjanjian Rabb dengan rasulNya; mitsaaqan ghalidha. 

"Aku mencintaimu," bisiknya di telinga Sekar. 

Sekar merinding. Posisi Hadi terlalu dekat hingga tanpa sengaja bibirnya menyentuh telinga Sekar. Lagi-lagi, Sekar hanya mampu membalasnya dengan seutas senyuman, karena pembawa acara meminta mereka untuk berdiri, menyambut para tamu yang hendak naik ke panggung pelaminan untuk menyalami mereka. 

Tak sedikit dari tamu yang datang yang kemudian memuji kecantikan Sekar, yang kemudian terpesona dengan segala keanggunan dan pesona yang terpancar. 

"Kalau rewangku seperti dia, aku juga tidak keberatan menikahinya," bisik salah satu teman SMA Hadi. Hadi tertawa mendengarnya dan membalas dengan satu cubitan kecil di lengan temannya itu. 

Hadi dan Sekar masih terus menyalami tamu demi tamu yang datang, hingga sejurus kemudian, Hadi terkesiap setelah melihat seseorang yang sangat dikenalnya, berjalan perlahan menuju pelaminannya. Dr. Rahajeng Sukmawati. Ajeng.

Ajeng melangkah perlahan. Pesonanya paripurna, beberapa pasang mata bahkan tak mengerjap melihatnya. Dengan balutan kebaya mewah berwarna keemasan, dan juga kain batik tulis mewah berwarna kecoklatan, Ajeng terlihat begitu bersinar. Highheels 15 cm yang ia pakai menambah lekuk tubuhnya terlihat semakin semampai. Gaya sanggul bouffant dipadu dengan poni menyamping, yang dilengkapi dengan hiasan mahkota kecil membuat pesonanya semakin menyihir siapa saja yang melihatnya. 

Hadi mendesah. Entah mengapa ia merasa Ajeng sengaja berdandan sesempurna itu untuk mengusiknya, untuk membuktikan padanya bahwa secara fisik, ia jauh lebih paripurna dari pada sosok manis yang berdiri di sebelahnya. Hadi memalingkan wajah. Benar secara fisik, Ajeng lebih paripurna. Mantan Diajeng kabupaten Sleman, mustahil jika fisiknya tak menawan. Namun sungguh, bukan itu alasan Hadi menjadikan Sekar sebagai tambatan hati. Sepertinya Ajeng masih tak memahami itu.

"Félicitations pour votre mariage. Je te souhaite du bonheur," ucap Ajeng pada Hadi, dengan bahasa Perancis yang begitu sempurna pengucapannya. 

Hadi terhenyak. Dadanya tetiba bergemuruh. Apalagi saat Ajeng mengucapkan itu sambil melirik Sekar, seolah ingin membuktikan bahwa secara intelektual, ia juga jauh lebih baik daripada Sekar, anak ingusan yang hanya lulusan SMA. Hadi melirik Sekar, khawatir sang istri jadi kembali rendah diri karenanya. 

"Merci d'être venu. Cela signifie beaucoup pour nous," kata Sekar, sambil menyunggingkan sebuah senyuman, sejenak setelah mereka bertiga terjebak dalam 3 detik keheningan. 

Hadi terkesiap, begitu juga Ajeng. Napasnya mendadak tersengal, lalu ia berlalu meninggalkan panggung pelaminan itu dengan sebuah senyuman. Senyum yang dipaksakan untuk menutupi perasaannya yang mendadak kesal.

Hadi memicingkan mata. Ia melirik istrinya yang tengah asyik bersalaman dengan tamu-tamu lainnya.

Mulut Hadi menganga, rasanya ia tak percaya pada apa yang baru saja di dengarnya. Sekar? Dia... membalas ucapan Ajeng dengan bahasa Perancis juga? 

Sebuah tepukan mengagetkan Hadi, membangunkannya dari keterpanaannya. Tepukan dari sahabat baiknya, Haryo Penangsang yang datang bersama istrinya. 

"Selamat, ya, Di, Sekar. Kami turut berbahagia," kata istri Haryo sambil menyalami Sekar. "Kamu cantik sekali. Pantas saja Hadi tergila-gila begini," sambungnya lagi.

"Yo, tadi Ajeng datang," bisik Hadi, begitu pelan, khawatir Sekar akan mendengar. 

"Iya, Di. Aku tidak bertemu dengannya, tapi sepertinya mobil kami parkir bersebelahan. Dia tidak membuat masalah, kan?" bisik Haryo, tak kalah pelan. Hadi bingung harus menjawab apa. 

"Sudah, Di. Abaikan saja. Dia datang, berarti dia sudah menerima dengan lapang. Tidak perlu kamu pikirkan," bisiknya lagi, mencoba menenangkan Hadi. 

Ah, rasanya Hadi ingi memberitahu Haryo apa yang terjadi tadi, saat Ajeng menyihir setiap mata dengan dandanannya yang begitu sempurna, saat ia menggunakan bahasa Perancis untuk mengucapkan selamat padanya dan istrinya. Sesuatu yang sangat tak wajar menurutnya. 

"Kapan-kapan, ajaklah Sekar main-main ke rumah," kata Haryo kemudian. Hadi mengangguk. Haryo kemudian memeluknya, dan membisikkan sesuatu yang membuat pipi Hadi bersemu, juga membuat Hadi menghadiahinya dengan sebuah pukulan kecil. 

"Ojo kesusu, lho, Di. Ingat, dia masih 18 tahun," begitu bisiknya. 

Hadi menghela napas. Kehadiran Ajeng tadi sungguh mengejutkannya. Perlahan, di raihnya jemari istrinya kembali. Ia lalu mendekatkan jemari itu ke wajahnya, dan memberikan sebuah kecupan di sana. Sekar hanya menurut saja, meski sejujurnya kedua kakinya lemas karenanya. Ia malu luar biasa.

Hadi kembali terus menyalami para tamu yang masih terus datang silih berganti, sambil sesekali melirik sang istri, berharap kebahagiaan ini akan berlangsung selamanya, layaknya legenda Mimi dan Mintuna, sebuah legenda cinta yang ada dalam budaya Jawa.

Konon, sejak zaman dulu orang Jawa menjadikan legenda 'Mimi dan Mintuna' sebagai simbol untuk menggambarkan kesetiaan pasangan suami istri. Sebuah kesetiaan sempurna, sebab keduanya berikrar untuk selalu bersama dalam suka maupun duka, bersama hingga hanya kematian yang memisahkan mereka, sebuah legenda yang melambangkan jalinan keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. 

Sayup-sayup tembang asmaradhana mengalun merdu memenuhi ruangan itu. 

Gegaraning wong akrami,
Dudu banda, dudu rupa,
Amung Ati pawitane,
Luput pisan kena pisan,
Yen gampang luwih gampang
Yen angel, angel kelangkung,
Tan kena tinumbas arta.

[Bekal orang berumah tangga itu,
Bukan harta bukan rupa. 
Namun hatilah bekal sesungguhnya.
Pernikahan sekali seumur hidup,
Kakau jodoh tidak akan kemana,
Namun jika bukan jodoh, maka tak akan bertemu jua.
Tak bisa dibeli dengan harta, apapun dan sebanyak apapun jumlahnya]

**********

Queen of the South Beach Resort, Parangtritis.

Sekar melihat sekelilingnya. Rasanya seperti mimpi. Ia seperti berada di Karibia, sebuah kepulauan cantik dengan pesona bahari yang teramat mengagumkan, padahal sebetulnya ia tengah berada di sebuah resort di pantai selatan Yogyakarta, tempat di mana Hadi membawanya selepas resepsi di Grha Sabha Pramana tadi. 

Sekar mendulang takjub penuh kesyukuran. Di hadapannya, terhampar pemandangan pantaiNya yang begitu luas. Semakin mempesona, ketika langit mendadak berwarna keemasan, seiring dengan matahari yang perlahan terbenam, kembali ke peraduan. 

Sekar terhenyak. Tetiba ada tangan kekar yang memeluknya dari belakang. Ia kikuk. Geletar-geletar aneh semakin merasukinya saat pemilik tangan kekar itu semakim merapatkan dirinya, dan menyandarkan dagu di pundaknya, hingga rahang kokoh itu bersentuhan dengan pipinya. 

"Ayo, Sayang, kita masuk kamar. Sebentar lagi maghrib datang," begitu bisiknya.

Bersambung.

Wis, wis, nggak usah ngebayangin 😂
Nantikan kelanjutannya di part 8 😍

**********
NOTES :
• Félicitations pour votre mariage. Je te souhaite du bonheur : selamat atas pernikahanmu. Semoga bahagia.
• Merci d'être venu. Cela signifie beaucoup pour nous : terimakasih atas kedatanganmu. Kedatanganmu sangat berarti untuk kami

(bersambung)

0 comments:

Posting Komentar