CERBUNG MENGEJAR CINTA RIANTI 8

#Mengejar_Cinta_Rianti
#Episode_8

Terima kasih admin/moderator yang telah menyetujui cerita ini.
Terima kasih pembaca setia Rianti. 

Rio duduk di warung siomay seberang kantor kakaknya Afdi. Rio janji makan siang dengan kakaknya siang ini  di restoran tak jauh dari kantor. Tetapi dari pagi, Rio telah nongkrong di sini, ia melihat kedatangan Rianti dengan motor meticnya. Susah payah ia menahan diri agar tidak mengejar Rianti. Betapa ia rindu bersama-sama lagi dengan gadis itu.

Membayangkan mulai hari ini, mereka tak akan bersama-sama lagi, ada yang terasa perih di hati Rio. Dua bulan melewatkan hari-hari yang penuh warna dengan gadis sederhana itu, membuat Rio telah terbiasa dengan kehadiran
Rianti. 

Rio mengambil  ponselnya dan membuka galeri fotonya. Ia melihat beberapa foto Rianti yang diambilnya diam-diam. Ketika Rianti sedang membersihkan kaca kantor, menyapu lantai, membawakan teh untuk para pegawai. Foto Rianti yang sedang makan, minum, memasang helm di atas motornya.

Rio tersenyum sendiri memandang foto-foto itu. Sesekali matanya memandang ke arah kantor, berharap dapat melihat Rianti. Tetapi harapannya sia-sia. Rianti tak menampakkan diri. Puas melihat foto-foto Rianti, Rio beralih membuka youtube. Ia menonton berita-berita terkini tentang gempa dan tsunami di Banten dan Lampung. Hati Rio ikut teriris melihat para korban gempa. Apalagi menyaksikan kisah tragis grup band Seventeen.

Tepat pukul 11.00, Rio pamit pada pemilik warung siomay setelah membayar makanannya. Rio menuju motor besarnya yang di parkir di samping warung. Ia akan menunggu kakaknya, Afdi, di restoran mereka janjian saja. Setelah memakai helm, Rio pun segera menstater motornya dan melaju membelah keramaian kota Jakarta. 

Tidak berapa lama Rio sampai di restoran yang menyediakan menu masakan Sunda itu. Rio mengambil tempat duduk paling pojok. Seraya menunggu kedatangan kakaknya, Rio memesan stik kentang dan jus melon. Rio kembali menenangkan diri membayangkan akan berbicara hal yang sangat penting pada kakaknya itu. 

Hampir lima belas menit Rio menunggu, akhirnya Afdi datang. Rio melambaikan tangannya begitu melihat kakaknya memasuki pintu restoran. Afdi tersenyum dari jauh dan berjalan mendekati adiknya.

"Sudah dari tadi?" Afdi bertanya seraya menghenyakkan pantatnya di kursi, di depan Rio.
"Nggak, baru habis satu gelas jus." Rio menunjuk gelas jusnya yang memang sudah hampir kosong. Tetapi bukan karena kelamaan menunggu, melainkan karena ia memang merasa haus di cuaca panas seperti ini.

"Sory." Afdi menatap Rio dengan rasa bersalah. 
Rio tertawa melihat ekspresi wajah abangnya itu. 
"Ayo, lo mau pesan apa." Rio mengangsurkan daftar menu pada Afdi. Rio memang tak pernah memanggil kakaknya itu dengan panggilan abang atau mas. Beda usia mereka hanya satu tahunan. Sehingga waktu sekolah mereka selalu duduk di tingkat yang sama. Alasan sang mama waktu itu, agar lebih gampang buat antar jemputnya.

Rio melambaikan tangan pada pelayan. Pelayan yang sedang berdiri di samping meja kasir, langsung datang mendekat dengan buku kecil di tangannya. Afdi menyebutkan pesanannya. Rio ikut memesan makanan seperti yang dipesan Afdi. Tak jarang mereka selalu kompak dalam banyak hal.

"Kenapa, sih, nggak ketemuan di kantor aja?" Afdi menatap Rio dengan tatapan penuh selidik. 
"Nggak enak gue ama teman-teman OB, Papa pakai acara buat pengumuman segala. Pastilah beritanya sudah menyebar ke mana-mana." Rio tersenyum miring.

"Nggak enak sama Rianti?" Afdi menatap Rio dengan tatapan menggoda. Meski dalam hati ada rasa panas yang berusaha ditahannya. Ya, Afdi sangat tahu bagaimana kedekatan adiknya ini dengan Rianti.

"Ya, nggak lah. Rianti kan nggak punya perasaan apa-apa sama gue." Rio mencoba menghindari tatapan kakaknya.
"Tapi yang gue lihat nggak begitu. Kalian sangat dekat." Afdi menainkan ponsel di tangannya. Rio membuang pandangannya ke luar restoran. Ada beban yang terasa begitu berat di dadanya. Dihembuskannya napasnya kuat-kuat, lalu ditariknya lagi oksigen sebanyak-banyaknya. Ia ingin sedikit melonggarkan rasa sesak itu.

"Besok gue sudah harus meninggalkan Jakarta. Mulai besok gue sudah memimpin perusahaan yang di Bandung. Selain gue mau pamit sama lo, gue juga ingin mengatakan, jika lo memang menyukai dan mencintai Rianti, berjuanglah untuk mendapatkan cintanya." Rio berkata dengan suara hampir bergetar. Susah payah laki-laki tampan ini mengumpulkan kekuatan untuk mengatakan hal ini pada kakaknya.

"Tumben lo menyerah." Afdi menetapnya dengan mengejek. Sungguh Afdi juga tidak tega jika harus menyakiti persaan adiknya ini.

"Sudah terlalu sering gue mengambil apa-apa yang menjadi kesukaan lo. Sudah terlalu sering lo mengalah pada gue. Dan gue rasa itu sudah cukup. Jangan berbelas kasih lagi pada gue." Kali ini suara Rio benar-benar serak. Ditatapnya kakaknya dengan tatapan luruh. 

"Gue ini kakak lo. Sudah seharusnya gue selalu melindungi lo, selalu ingin memberikan apa yang terbaik untuk lo. Dan sudah sepantasnya seorang kakak selalu mengalah pada adiknya." Afdi menatap adiknya dengan senyum tulus.

"Tapi tidak untuk kali ini. Untuk cinta lo yang begitu besar pada Rianti." Rio membalas senyum kakaknya dengan sudut-sudut mata yang mulai terasa panas. Afdi terdiam. Bagaimana adiknya ini bisa tahu kalau ia sangat menyukai Rianti?

Pelayan mengantarkan makanan. Mereka berdua mulai makan meski tak lagi punya selera. Tak ada lagi pembicaraan di antara keduanya. Rio dan Afdi sibuk dengan pikirannya masing-masing.

Lima belas menit berlalu. Rio dan Afdi telah sama-sama menyelesaikan makan siangnya. 
"Besok pagi-pagi, gue berangkat ke Bandung. Jaga dia baik-baik." Rio menatap Afdi dengan mimik wajah serius.
"Yakin lo nggak nyesal melepaskan Rianti untuk gue?" Afdi menatap Rio dengan tatapan tak kalah seriusnya. 

Rio tak menjawab pertanyaan kakaknya itu. Ia segera berdiri dan menyentuh pundak kakaknya.
"Lo yang traktir ya. Gaji cleaning servis nggak cukup buat bayar makan di tempat seperti ini."Rio berkata dengan tawa di ujung kalimat candaannya. 

"Dasar lo, ya." Afdi ikut berdiri dan berjalan menuju kasir. Suara tawa Rio masih terdengar sampai di pintu restoran. Afdi hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah adiknya itu. Afdi tahu, tawa adiknya itu adalah dalam rangka menyembunyikan perasaan hatinya sendiri. 

Rio bergegas menuju motornya, memakai helm, lalu menaiki motor besarnya tanpa menunggu kakaknya ke luar dari restoran. Rio ingin pergi secepatnya dari hadapan kakaknya itu. Sebelum kakaknya melihat matanya yang terluka.

Dengan kecepatan di atas rata-rata, Rio memacu sepeda motornya menuju pinggiran Jakarta. Jalanan yang padat tak menghalangi kelincahannya di jalan raya. Dan di sinilah Rio sekarang. Di pinggiran pantai kota Jakarta. Pantai terlihat sepi. Siang-siang begini tentu tak ada orang yang ingin menikmati keindahan pasir putih dan deburan ombak seperti dirinya. Hanya orang-orang yang patah hati barangkali yang ingin mendatangi tempat ini, di saat sinar terik matahari membuat kulit terasa perih.

Tapi bagi Rio, laut selau bisa membawa resahnya. Laut selalu bisa mengobati luka hatinya. Rio memarkirkan motornya tepat di depan musala. Ia ingin melaksanakan salat zuhur sebelum duduk di kafe terapung tak berapa jauh dari musala ini.

Selesai melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim, Rio pun berjalan menyusuri pantai. Rio menuju kafe terapung tempat ia biasa duduk jika hatinya sedang merasa tak baik. Pelayan kafe tersenyum menyambut kedatangan Rio. Melihat senyum patah Rio, pelayan-pelayan itu pun tak mau banyak basa basi. Mereka bisa melihat bahwa pelanggan setia mereka ini sedang tak enak hati.

Rio mengambil tempat duduk menghadap ke laut lepas. Angin laut berhembus lembut menerpa wajahnya. Tidak berapa lama, seorang pelayan datang membawakan capucino dingin untuk Rio. Minuman ini merupakan favorit Rio jika datang sendiri ke kafe ini.

"Terima kasih." Rio tersenyum dan mengangguk pada sang pelayan.
"Ya, Bang. Silakan dinikmati, Bang." Pelayan itu berkata sebelum meninggalkan Rio sendiri.

Rio meneguk minuman dingin itu dengan nikmat. Rasa dinginnya mengaliri kerongkongan dan dadanya. Rio menatap laut dengan tatapan nanar.  Kali ini ia memang harus mengalah pada kakaknya itu. Sudah cukup Rio menerima semua kebaikan Afdi sejak mereka masih kanak-kanak sampai berusia dewasa seperti sekarang ini.

Sudah tidak terhitung berapa kali Afdi membela Rio di hadapan mama dan papa mereka. Membela Rio di hadapan guru-guru semasa SMP dan SMA dulu. Karena Rio memang termasuk anak yang nakal. Berapa kali Afdi harus mengalah ketika mereka sama-sama menyukai gadis yang sama. Entah mengapa, takdir selalu memebuat mereka menyukai wanita yang sama. 

Dan Rio belum pernah membalas semua kebaikan hati kakaknya itu. Kabiakan hati Papa rahmat dan Mama Aini. Padahal Rio bukan siapa-siapa bagi Afdi. Rio bukan siapa-siapa bagi papa dan mamanya. Rio hanyalah anak seorang pembantu yang bekerja di rumah Pak Rahmat, yang katanya pernah berjasa pada keluarga itu. Ibu Rio pernah menyelamatkan nyawa mama Aini. Meski cerita pastinya Rio juga belum tahu.

Tetapi yang membuat Rio tak kan bisa membalas semua kebaikan keluarga Pak Rahmat adalah, mereka tidak pernah membeda-bedakan antara Rio dan Afdi, anak kandung mereka. Dari kecil hingga ia dewasa, Rio selalu mendapatkan perlakuan yang sama dengan Afdi. Jika dulu ia pernah dimarahi, itu semata-mata memang karena Rio yang berulah.

Perhatian, kasih sayang, maupun materi, selalu diterima Rio dengan adil. Afdi diberikan perusahaan, Rio juga sama. Rio mendapatkan jatah perusahaan yang di Bandung. Lalu apakah dengan mengorbankan cintanya pada Rianti, ia telah dapat membalas jasa dan kebaikan keluarga Pak Rahmat? Rasanya belum. Rio menggelengkan kepalanya. Dan sebulir bening tak mampu lagi ditahannya.

Ia sangat mencintai Rianti. Rianti yang seorang cleaning servis ataupun Rianti yang anak orang kaya. Rio tak memandang itu semua. Dulu ia juga pernah jatuh cinta, tapi itu hanya cinta di masa remaja. Pada Rianti, perasaannya berbeda. Belum pernah Rio merasa mencintai seseorang seperti ia mencintai Rianti. Karena gadis itu seorang gadis yang baik.  Gadis yang rendah hati, sederhana, dan peduli pada sesama. Rio tahu, Rianti sering membagi rezekinya pada Ivo dan juga Bima. Juga pada sekuriti di kantor Afdi. Sudah jarang bisa menemukan gadis berhati mulia  seperti gadis berjilbab itu, di zaman sekarang ini. 

Tapi, ia merasa tak patut lagi memperturutkan egonya seperti masa-masa masih SMA dulu. Menerima saja semua sikap mengalah Afdi, kakaknya, dengan senang hati. Sekarang ia telah menjadi laki-laki dewasa, ia harus membuktikan bahwa ia adalah laki-laki sejati.

Esok ia akan segera meninggalkan Jakarta. Ia akan hidup dan bekerja di Bandung. Kesibukannya mengelola perusahaan tentu akan membuat ia bisa melupakan gadis cantik itu. Siapa tahu, ia bisa menemukan pengganti Rianti di Kota Kembang itu. 

******

Rianti duduk sendiri di ruangan OB. Ivo dan Bima masih belum kembali dari lantai dua. Rianti merasa begitu lengang. Tak ada lagi canda Rio, kejahilan Rio, perhatian Rio. Meski sering merasa kesal pada laki-laki itu, tetapi hari ini, Rianti merasa merindukannya. Ah, kemana kah dia? Apakah dia tak ingin pamit baik-baik padanya? Hanya pamit seperti tadi malam?

Rianti merogoh ponselnya. Berharap ada pesan atau apalah dari Rio. Tapi notifikasinya kosong. Rio benar-benar telah pergi. Rianti menghapus sudut matanya yang terasa panas. Ya mereka hanya sahabat, tak memiliki hubungan apa-apa. Ia tak boleh berharap banyak. Esok mungkin Rianti juga akan mengundurkan diri dari perusahaan  ini. 

Rianti akan meminta papanya untuk memangkas sedikit waktunya sebagai seorang cleaning servis. Rianti siap dengan pekerjaan baru, mungkin staf keuangan, bagian admistrasi, staf lapangan, atau apapun lah yang akan diberikan oleh papanya, sebagai latihan bagi seorang Rianti menuju kursi pimpinan kelak di perusahaannya.

bersambung .....

1 komentar: