#Mengejar_Cinta_Rianti
#Episode_7
Terima kasih admin/moderator telah menyetujui cerita ini.
"Hai." Rianti menyapa Rio dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Ia seperti maling yang tertangkap basah. Tapi yang menangkapnya juga maling.
"Gue ke toilet bentar, ya." Rianti sedikit meringis menatap Rio.
"Oke, gue tunggu di sini, ya." Rio bergeser memberi jalan pada Rianti. Namun mata laki-laki itu tak lepas dari tubuh Rianti yang telah berjalan menjauh.
Rio bersandar ke dinding di depan meja hidangan yang diambil dan ditambah silih berganti oleh para tamu undangan dan pelayan catering. Rio menyilangkan kedua tangannya di dada. Bayangan wajah canti Rianti menari-nari di pelupuk matanya. Cantik, baik, dan rendah hati. Perpaduan yang sempurna, Rio berdecak dalam hati.
Rianti ke luar dari toilet seraya merapikan kerudungnya sambil jalan.
"Rianti?" sesosok laki-laki jangkung menghentikan langkah Rianti.
"Eh, iya, Pak?" Rianti tergagap.
"Kamu di sini, juga?" Pak Afdi menatap Rianti dari ujung kepala sampai ujung kaki.
"Iya, Pak. Saya diajak majikan Ibu saya untuk ikut ke sini, Pak. Kata mereka sesekali saya juga butuh hiburan ke luar rumah." Rianti tersenyum pada Pak Afdi.
"Oh, ya?" Alis laki-laki di sampingnya ini terangkat. Matanya menyipit memperhatikan Rianti. Rianti menjadi salah tingkah ditatap seperti itu.
"Kamu cantik seperti ini." Afdi yang biasanya dingin dan cuek entah mengapa kali ini tak dapat menyembunyikan perasaannya. Rianti menoleh sedikit kaget mendengar kata-kata bosnya ini. Tak percaya rasanya kata-kata seperti itu keluar dari bibir seorang Afdi Pradipta.
Sementara Rio yang melihat pemandangan yang tak begitu jauh dari hadapannya, segera berjalan meninggalkan tempat ia berdiri menunggu Rianti.
"Maaf, Pak. Saya harus kembali ke meja majikan saya. Mereka sedang menunggu." Rianti berkata pada Afdi dan segera bergegas meninggalkan Afdi yang hanya bisa berdiri mematung melihat kepergian Rianti.
Dari awal laki-laki ini bertemu dengan Rianti, ia merasakan ada sesuatu yang lain di hatinya. Entah apa lah itu namanya. Afdi, laki-laki berusia 29 tahun, sebenarnya sudah cukup matang dari segi usia ataupun kemapanan. Namun, sampai saat ini, belum juga didapatnya perempuan yang bisa mengguncang perasaannya.
Tetapi Rianti menurutnya berbeda. Gadis itu terlihat apa adanya, sederhana, dan dari cerita Ivo serta Bima, Rianti gadis yang sangat baik. Diam-diam Afdi sering mengorek informasi pada Ivo tentang Rianti. Dari Ivo, Afdi tahu kalau Rianti pernah memberikan seluruh uang gajinya untuk membantu pengobatan Ibunya Bima. Luar biasa, Afdi tak dapat menyembunyikan rasa simpatinya. Di antara rasa penasarannya tentang siapakah sebenarnya gadis ini, ketika ia mengantarkan Rianti pulang ke rumahnya beberapa waktu yang lalu.
Rianti telah kembali duduk di antara mama dan kedua adiknya.
"Lama banget, Kak? Ngapaian aja, sih?" Amelia langsung protes begitu Rianti mendudukan pantatnya di kursi.
"Ketemu hantu," jawab Rianti santai.
"Haaa, benaran Kak? Di mana?" Amelia bertanya antusias.
"Tuh, sebelum toilet. Mau lihat?" Rianti menatap adeknya dengan tersenyum geli.
"Oon amat sih, Dek. Gitu aja percaya." Siska mencibir pada Amelia.
"Ih, kali aja, Kak. Di gedung-gedung seperti ini biasanya memang ada penghuninya, Kak. Secara gedung-gedung seperti ini kan nggak dipakai setiap hari, Kak. Jadi makhluk halus senang bersarang di tempat-tempat seperti ini." Amelia menerangkan panjang lebar.
"Tapi, dia nggak akan keluar juga pas orang ramai begini." Siska membesarkan matanya pada Amelia. Amelia hanya meringis. Sementara Rianti senyum-senyum melihat kelakuan kedua adiknya itu.
Tidak berapa lama MC membuka acara. Menyampaikan beberapa hal, lalu mempersilakan Pak Rahmat untuk maju ke depan ke hadapan para tamu.
"Assalammualaikum warrahmatullah hiwabarakatuh. Terima kasih saya ucapkan kepada Bapak-Bapak, Ibu-Ibu, para tamu undangan, sahabat dan teman-teman terbaik saya, yang telah bersedia meluangkan waktu untuk menghadiri undangan saya dan keluarga pada malam hari ini. Sebenarnya acara ini saya adakan dalam rangka menjalin silaturahmi dengan Bapak/Ibu sekalian.
Selain itu, pada kesempatan berbahagia ini, saya juga ingin memperkenalkan anak laki-laki saya, yang beberapa bulan ini telah kembali dari studinya di Inggris. Akan tetapi, meski usianya telah cukup dewasa, malah telah cukup umur untuk menikah, ia masih bersikap seperti zaman dia SMP dan
SMA dulu." Pak Rahmat berhenti sejenak. Para tamu undangan memperhatikan Pak Rahmat dengan antusias. Ada senyum di ujung bibir laki-laki lima puluhan tahun itu.
"Waktu SMP, anak saya ini pernah melarikan gerobak siomay keliling yang lewat depan rumah. Seharian dia tidak pulang. Kami membiarkannya. Sebab kami ingin melihat, apakah dia bisa bertanggung jawab atas perbuatannya. Sore harinya, ia pulang dengan dagangan yang telah kosong. Ia menyerahkan seluruh uang yang diperolehnya pada Abang Siomay yang telah menunggu di depan pagar rumah seharian. Ternyata ia hanya ingin merasakan bagaimana rasanya menjadi seorang tukang siomay. Melalui pengalamnnya berjualan siomay seharian itu, ia selalu membeli daganganAbang siomay yang lewat di di depan rumah." Pak rahmat kembali berhenti. Mata para tamu undangan tak beranjak dari Pak rahmat. Mereka sangat tertarik mendengar cerita pengusaha sukses itu. Pak Rahmat kembaliterlihat tersenyum. Menarik napas sejenak, kemudian melanjutkan ceritanya kembali.
"Waktu SMA, ia pernah lagi melarikan sebuah becak. Abang tukang becaknya melapor pada kami. Kami hanya katakan, tunggu saja, nanti juga pasti kembali. Jika tidak kembali, kami yang akan bertanggung jawab. Dan benar saja, sore hari, ia pulang dengan wajah gosong dan baju basah karena keringat. Ia menyerahkan becak sekaligus uang hasil menarik becaknya pada Abang tukang becak tersebut. Di dalam rumah, dia memeluk saya dan menangis, dia berkata, berat sekali ternyata menjadi tukang becak, Pa." Pak Rahmat sedikit menunduk dan menghapus sudut-sudut matanya yang basah. Ruangan terlihat begitu hening.
"Kali ini, dia kembali melakukan sesuatu yang membuat kami merasa bangga padanya. Dia menjadi seorang pesuruh kantor, dia menjadi seorang cleaning servis. Katanya, dia ingin merasakan bagaimana rasanya menjadi seorang bawahan yang selalu disuruh-suruh dan selalu diperintah melakukan semua tetek bengek di kantor. Ternyata katanya, sangat tidak enak. Dan dia berjanji, jika kelak telah memimpin perusahaan sendiri, ia akan memperlakukan semua cleaning servisnya dengan baik." suara Pak rahmat terdengar parau. Para tamu undangan pun terdiam. Lidah mereka terasa kelu.
Masih adakah manusia baik seperti itu di dunia ini? Masih adakah manusia yang peduli pada sesama, sehingga mau langsung ikut merasakan beban dan penderitaan masyarakat bawah. Rianti ikut terdiam. Ia merasa malu pada dirinya sendiri. Betapa ia tak layak dianggap sebagai orang baik. Ia sakit hati, ia protes ketika papanya menugaskannya menjadi seorang cleaning servis. Padahal hanya untuk beberapa waktu. Bukan untuk selamanya. Bagaimana dengan orang-orang yang selama hidupnya mungkin hanya bisa menjadi seorang pesuruh kantor. Karena tak ada pilihan lain. Dalam hati, Rianti pun berjanji akan memperlakukan semua cleaning servis di kantornya kelak dengan baik.
"Inilah anak saya, Rio Rahmat Dijaya, yang telah membuat kami bangga. InsyaAllah mulai bulan depan ia akan memimpin perusahaan kami yang di Bandung." Pak Rahmat mengembangkan tangannya menyambut kehadiran anak laki-laki tercintanya.
Rianti mendongak dan menatap nanar ke depan, di mana Rio sahabat terbaiknya tengah berpelukan dengan Pak Rahmat, sahabat papanya. Tadi sewaktu bertemu Rio sebelum ke toilet, Rianti memnag bisa melihat kalau Rio sebenarnya bukanlah laki-laki biasa. Tetapi sungguh, Rianti tidak pernah menyangka anak laki-laki hebat yang diceritakan sahabat papanya itu adalah Rio.
"Terima kasih, saya ucapkan kepada Om, Tante, teman-teman, dan sahabat-sahabat saya yang telah hadir malam ini. Sebenarnya apa yang diceritakan Papa saya tadi terlalu berlebihan. Seperti anaknya ini memang anak yang teramat baik. Padahal sebenarnya saya dari kecil adalah anak yang nakal dan bandel. Dan orang yang telah berjasa menjadikan saya anak yang sedikit lebih baik adalah kakak terbaik saya, Kak Afdi."
Rio melambaikan tangannya memanggil laki-laki gagah dengan jas hitamnya. Afdi tersentak mendengar Rio memanggil namanya. Dengan berat hati, Afdi berjalan mendekat dan memeluk Rio dengan erat. Pak Rahmat tersenyum melihat kedua anak laki-lakinya.
Mata Rianti membulat. Begitu banyak kejutan hari ini. Dua laki-laki gagah itu ternayat kakak adik. Tapi kok nggak ada kemiripan ya? Sifatnya pun sangat jauh berbeda.
Acara ditutup dengan makan malam. Afdi mendekati Rianti yang sedang mengambil salad buah. Rianti merasa tak berselara untuk makan yang berat-berat malam ini. Kejutan demi kejutan yang didapatnya malam ini telah menghilangkan nafsu makanya.
"Kamu nggak makan?" Tiba-tiba Afdi telah berada tepat disampingnya. Rianti hampir terlonjak karena kaget.
"Eh, Bapak. Saya lagi pengin makan buah aja, Pak." Rianti menoleh dan tersenyum pada bosnya itu.
"Oh, nggak lagi diet, kan?" laki-laki itu tersenyum menggoda ke arah Rianti.
"Ah, nggak lah, Pak. Udah langsing begini." Rianti tertawa. Afdi terpana, wajah gadis di sampingnya ini terlihat amat mempesona dengan tawa lepas seperti itu. Baru kali ini Afdi melihat gadis ini tertawa tanpa beban , indah sekali.
"Eh, iya. Kamu sudah langsing. Cantik," untuk kedua kalinya Afdi tak dapat menahan diri untuk tidak memuji gadis ini. Rianti tersenyum dan wajahnya tak ayal merona.
Rio yang sedang mengambil minuman dingin melihat kedekatan Rianti dan Afdi dari jauh. Rio mencoba menangkan hatinya. Afdi lebih layak untuk Rianti, bisik hatinya. Lalu ia pun beranjak menuju meja sahabat-sahabatnya yang juga hadir malam ini.
Selesai acara makan malam, satu persatu tamu meninggalkan gedung. Rianti dan keluarganya juga bersiap untuk segera pulang. Mereka berpamitan pada Pak rahmat dan Bu Aini. Tetapi Rio tidak kelihatan. Padahal Rianti juga ingin pamit pada Rio. Barangkali besok, Rio sudah tidak hadir lagi di kantor.
Rianti, Pak Arif, Bu Winda, dan kedua adik Rianti berjalan keluar gedung menuju parkiran. Papanya telah membuka pintu mobil, ketika seseorang memanggil nama Rianti.
"Rianti!" Rianti menghentikan langkahnya dan berbalik. Sosok tampan Rio melangkah mendekati Rianti. Papa dan mamanya berdiri ikut memandang laki-laki yang menajdi tokoh utama dalam acara malam ini.
"Hai." Rianti tersenyum pada Rio. Rio menelan ludahnya. Senyum gadis ini selalu bisa meluluhkan hatinya.
"Besok, mungkin gue udah nggak datang lagi ke kantor. Gue sudah harus mengurus perusahaan Papa yang di Bandung. Gue hanya tidak ingin mengecewakan Papa." Rio menunduk menghindari tatapan Rianti.
"Berarti kita tidak akan bertemu lagi?"
Entah mengapa Rianti tiba-tiba merasa sedih. Padahal selama ini ia sering sekali merasa kesal pada Rio.
"Gue minta maaf, jika selama kita sama-sama bekerja di perusahaan Kak Afdi, gue sering membuat lo marah dan kecewa." Rio menatap Rianti dengan tulus. Pertanyaan Rianti tak mendapatkan jawaban. Rianti mengangguk. Ada yang terasa basah di hatinya. Dua bulan lebih melewatkan waktu sebagai cleaning servis dengan laki-laki di depannya ini, telah banyak kenangan suka maupun duka yang mereka lewati.
"Gue juga minta maaf kalau pernah berkata dan bersikap kasar pada lo." Rianti mencoba tersenyum. Namun sudut-sudut matanya terasa hangat. Rianti berbalik dan bergegas menaiki mobil. Papa, mama dan kedua adiknya menatap interaksi Rianti dan Rio dengan tertegun.Banyak yang tak mereka mengerti.
bersambung
0 comments:
Posting Komentar