Judul: Mengejar Cinta Rianti
Oleh : Naya R
#MENGEJAR_CINTA_RIANTI
#EPISODE_25
Terima kasih admin/moderator telah menyetujui tulisan.
Terima kasih pembaca setia Rianti.
Rianti sampai di rumah pukul 22.00. Rianti membaringkan tubuhnya di kasur. Air matanya kembali mengalir. Bayangan Afdi tak mau ungkai dari mata dan hatinya. Terbayang Afdi yang memeluknya, mencuri cium bibirnya. Rianti ingin sekali bertemu. Rianti ingin meminta maaf. Rianti ingin mengatakan kalau ia memang bersalah. Besok Rianti akan mendatangi kantor suaminya. Apapun yang akan terjadi nanti di sana, Rianti tidak peduli. Rianti hanya ingin bertemu.
“Non.” Terdengar ketukan di pintu kamarnya.
“Ya, Bi. Masuk aja, Bi.” Rianti menjawab lemah dari atas kasur. Pintu dibuka dan Bi Ina masuk
dengan langkah pelan.
“Sopnya sudah saya panaskan Non. Non makan, ya?”
“Nggak, Bi. Saya nggak lapar.”
“Ya Allah, Non. Jangan begini. Sudah dua hari Non nggak makan. Apapun masalahnya, kita harus
tetap kuat.”
“Iya, Bi. Tetapi Mas Afdi pergi, Bi. Dan saya tidak diberi kesempatan untuk menjelaskan semua
permasalahan yang ada.” Rianti terisak. Bi Ina duduk di pinggir kasur.
“Sabar, Non. Mas Afdi itu hatinya lembut. Tidak akan sulit untuk meluluhkan hatinya.”
“Iya, Bi.”
“Bibi bawain nasi dan sopnya ke kamar ya, Non?”
“Nggak usah, Bi. Rianti minta teh hangat aja, Bi.”
“Baik, Non. Bibi tinggal dulu, ya.”
“Ya, Bi.”
Bi Ina ke luar kamar dan segera ke dapur untuk membuatkan Rianti teh hangat. Dalam hati, Bi Ina merasa amat kasihan melihat kondisi Rianti. Wajahnya pucat seperti tak berdarah. Matanya redup seperti tak memiliki semangat hidup. Seraya menyeduh teh, Bi Ina bertanya-tanya dalam hati, apa yang sebenarnya terjadi pada Afdi dan Rianti.
Bi Ina masuk ke kamar Rianti dengan membawa teh hangat. Terlihat Rianti telah memejamkan mata. Tubuhnya terbungkus selimut sampai ke leher. Bi Ina meletakkan cangkir teh di nakas.
“Non, ini tehnya.”
“Iya, Bi. Makasih, ya.” Rianti membuka matanya dan tersenyum pada Bi Ina.
“Iya, Non. Bibi tinggal ya. Nggak apa-apa Non tidur sendiri?”
“Nggak apa-apa, Bi.” Rianti bangun dan duduk bersandar di kepala tempat tidur. Bi Ina melangkah ke luar kamar. Dengan tangan gemetar, diambilnya cangkir di samping tempat tidur dan meminum isinya seteguk dua teguk.rasa hangat memasuki rongga mulut dan bermuara di dadanya. Rianti merasa sedikit bertenaga.
Setelah merasa sedikit enak, Rianti kembali membaringkan tubuhnya di kasur. Ia ingin segera tidur agar besok bisa bangun dengan tubuh lebih segar dan lebih kuat. Rianti menyelimuti seluruh tubuhnya hingga ke leher. Entah mengapa beberapa hari ini ia merasa udara sedikit dingin. Badannya pun terasa amat lelah. Tidak berapa lama ia pun lelap dalam tidurnya.
Pagi ini Rianti bangun dengan penuh semangat. Meski tubuhnya makin terasa tidak enak, tetapi bayangan dirinya akan segera bertemu dengan sang suami menghadirkan getaran dan debaran aneh yang membuat Rianti seperti mendapatkan energi baru di tubuhnya. Tetapi Rianti tidak ingin datang di pagi atau siang hari. Rianti akan datang ke kantor di waktu sore, ketika Afdi telah selesai dengan pekerjaannya, dan para pegawai telah meninggalkan kantor.
Rianti telah bertekad, akan mendatangi kantor Afdi. Ia tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Apapun hasilnya nanti, Rianti harus menyelesaikan masalahnya hari ini dengan suaminya itu. Dia yang membuat masalah, dan dia juga yang harus menyelesaikannya.
Rianti turun menuju dapur mencari Bi Ina. Ia telah selesai mandi dan memakai baju tidur warna kuning pupus selutut. Apapun yang dipakainya selalu terlihat cantik.
“Masak apa, Bi?” Rianti telah berdiri tepat di samping Bi Ina.
“Astagfirullah, Non. Bikin kaget aja.” Bi Ina memegang dadanya, sepertinya memang kaget
dengan kehadiran Rianti. Rianti tertawa pelan dan mengusap punggung wanita berhati lembut itu.
“Maaf, Bi. Nggak sengaja.”
“Iya, Non. Nggak apa-apa. Bibi aja yang orangnya kagetan.”
“Bibi bikin soto? Waduh enak kayaknya nih.” Rianti menatap ke panci yang berisi kuah soto yang
tengah mendidih.
“Iya, Non. Kalau lagi nggak berselera seperti Non, enaknya itu makan yang berkuah-kuah, yang
seger-seger.”
“Wah, Bibi tahu aja. Jadi lapar, Bi.”
“Ya, udah, Non tunggu di meja makan, ya. Bibi ambilkan sotonya.”
“Oke, Bi. Makasih ya.” Rianti pun beranjak menuju meja makan.
Rianti memang berniat untuk sarapan pagi ini. Agar nanti ia memiliki tenaga untuk menemui Afdi ke kantornya. Karena badannya mulai terasa makin lemah. Badannya pun makin terasa panas. Tetapi Rianti mencoba bersikap seakan-akan sedang baik-baik saja. Rianti tidak ingin Bi Ina curiga dengan keadaannya, lalu menelepon Papa dan Mama Afdi. Rianti ingin masalahnya dengan Afdi selesai sebelum kedua mertuanya itu balik ke rumah.
Bi Ina meletakkan soto yang masih mengepulkan asap panas di depan Rianti. Lalu mendekatkan saos, sambel, dan kecap. Rianti memberikan sedikit sambel dan kecap ke dalam mangkuk sotonya. Setelah mengaduknya beberapa saat, Rianti pun mulai menyantap sarapan paginya. Tetapi, apa yang masuk ke mulutnya terasa pahit. Rianti mencoba menelannya. Tetapi kerongkongannya pun ikut terasa sakit. Rianti menyudahi sarapannya setelah mencoba menyendoknya beberapa suap. Lalu diminumnya teh hangat yang telah disediakn Bi Ina beberapa teguk.
“Nggak enak, ya Non?” Bi Ina telah berdiri di samping Rianti.
“Enak, kok, Bi. Cuma kerongkongan Rianti sakit banget. Kayaknya mau radang deh, Bi. Maaf, ya, Bi. Sotonya nggak habis.”
“Iya, Non. Nggak apa-apa. Mungkin Non lagi kurang sehat. Nanti kalau Mas Afdi sudah pulang, minta antarin ke dokter aja Non. Siapa tahu Non sudah isi.”
“Huk.” Rianti langsung terbatuk mendengar omongan Bi Ina.
“Duh, kenapa, Non?” Bi Ina menatap Rianti dengan cemas.
“Nggak apa-apa. Bi.” Rianti menjangkau gelas di sampingnya dan meminumnya dengan cepat.
“Bibi mau lanjutkan pekerjaan dulu, ya, Non.” Bi Ina pamit pada Rianti.
“Iya, Bi. Rianti juga mau ke kamar.” Rianti bangkit dan berjalan menuju tangga.
Di kamar, Rianti duduk di depan meja riasnya. Sejak Rianti menjadi penghuni kamar ini, Afdi telah menambah beberapa perabot untuk kenyamanan Rianti. Rianti tersenyum. Suaminya lelaki yang baik. Rianti harus mensyukuri hal ini. Allah telah mengirimkan jodoh terbaik untuknya.
Rianti menatap wajahnya di cermin. Benar-benar pucat tak berwarna. Kantong matanya terlihat sedikit menghitam. Duh, benar-benar tidak layak untuk bertemu dengan suaminya. Rianti mengambil pembersih wajah sekalian toniknya. Pelan Rianti mengoleskan krem pembersih wajah. Mengusapnya dengan gerakan melingkar ke atas. Beberapa detik Rianti melakukan pemijatan pada wajahnya. Setelah merasa cukup, Rianti masuk ke kamar mandi. Rianti mencuci wajahnya dengan air dingin di wastafel. Setelah merasa bersih, Rianti balik ke kamar. Duduk kembali di kursi meja riasnya. Rianti mengusapkan toner dengan kapas pada wajahnya. Sesaat rasa segar mengaliri kulit wajah Rianti. Rianti menepuk-nepuk kedua pipinya dengan jari tangannya. Kulit wajahnya terasa lembut di jari-jari tangannya. Rianti tersenyum senang.
Selanjutnya Rianti mengambil krem khusus untuk daerah di sekitar mata dan kelopak matanya. Rianti mengoleskan krem itu tipis-tipis. Rianti mengambil ponselnya dan mencari album musik yang tersimpan di ponselnya. Lalu terdengarlah alunan lembut lagu-lagu Celine Dion. Rianti membaringkan tubuhnya di atas kasur. Ia ingin merilekskan sejenak pikirannya. Ia ingin melupakan sejenak kesedihan dan kerisauan hatinya. Ia ingin tampil cantik dan segar di hadapan suaminya nanti sore.
******
Rianti mematut dirinya di depan kaca. Kulot lebar berwarna coklat muda dipadu dengan blus simple berwarna kuning lembut. Hijab senada dengan warna kulotnya. Sedikit sapuan bedak dan lipstiks. Rianti tersenyum. Penampilannya lumayan segar sore ini. Meski kepalanya makin terasa berat. Tetapi tidak terlihat sedikitpun kalau dirinya sedang tidak baik. Setelah mengambil tas selempang warna coklat tuanya, Rianti pun bergegas ke laur kamar. Seraya menuruni anak tangga, Rianti memesan taksi online.
Rianti pamit pada Bi Ina. Bi Ina mengantar Rianti sampai ke pintu.
“Kenapa nggak minta antar sama Pak Didi aja, Non?”
“Nggak usah, Bi. Karena nanti Rianti kan mau pulang sama Mas Afdi.” Rianti tersenyum pada Bi Ina. Bi Ina ikut tersenyum dan mengangguk.
“Oh, iya, Non. Kalau gitu hati-hati ya. Cuaca kelihatan kurang bersahabat.” Bi Ina yang telah membukakan pintu untuk Rianti menatap langit yang terlihat sedikit mendung.
“Iya, Bi.
Tidak berapa lama taksi online yang dipesan Rianti pun datang. Terlihat satpam membukakan pintu pagar. Rianti berjalan ke depan garasi mobil. Mobil berhenti tepat di samping Rianti. Rianti masuk dan duduk di kursi belakang. Mobil mundur kembali menuju gerbang dan berputar ke luar dari halaman. Rianti menatap ke luar jendela mobil. Mendung menggelayuti langit Jakarta. Padahal musim hujan telah lewat. Cuaca memang makin tak menentu sekarang. Hujan tidak lagi mengikuti musimnya.
Rianti menyandarkan punggungnya. Dadanya sedari tadi berdebar tak menentu. Membayangkan akan bertemu dengan Afdi, telapak tangan perempuan ini pun basah berkeringat. Sementara kepalanya masih terasa berat. Beberapa hari ini badannya memang terasa tidak enak. Mungkin karena pikiran dan pola makannya yang kacau. Bahkan seharian tidak makan, hanya minum teh. Dalam kondisi badan yang sama sekali tidak baik, yang terbayang oleh Rianti hanya wajah dan senyum Afdi. Tiga hari tidak bertemu serasa sudah setahun. Rianti tersenyum membayangkan pertemuannya nanti dengan sang suami. Tetapi sesaat kemudian, matanya kembali berkabut. Bagaimana kalau Afdi masih marah, bagaimana kalau Afdi tidak mau menemuinya?
Rianti membaca AlFatihah berulang kali untuk menenangkan hatinya. Rianti kembali melayangkan pandangannya ke luar. Terlihat gerimis sudah mulai turun. Garis-garis vertikal halus terlihat berebut turun ke bumi. Duh, hari pun seperti mengerti dengan perasaannya yang sedang basah. Rianti memejamkan mata. Kembali terbayang senyum penuh pesona suaminya. Tiba-tiba mobil terbatuk-batuk dan menepi pelan ke pinggir jalan. Rianti membuka matanya dan melihat ke sekelilingnya. Kantor Afdi masih sekitar 500 meter lagi.
“Kenapa, Pak?” Rianti bertanya pada supir taksi.
“Bentar, Mbak. Saya periksa dulu.” Si supir bergegas turun. Terlihat ia membuka kap depan mobil. Rianti menunggunya beberapa saat. Lima menit berlalu, namun supir taksi itu belum juga naik ke mobil. Rianti turun karena merasa penasaran.
“Gimana, Pak?”
“Duh, maaf, Mbak. Sepertinya belum bisa nyala. Saya harus panggil teknisi kayaknya.”
“Oh, iya, Pak. Nggak apa-apa, Pak. Kalau gitu saya jalan kaki aja, Pak. Kebetulan kantornya sudah
dekat.” Rianti mengambil uang dari dompetnya.
“Tapi lagi gerimis, Mba. Saya juga nggak ada payung.” Bapak supir taksi merasa tidak enak.
“Nggak apa-apa, Pak. Cuma gerimis aja kok. Ini uangnya, Pak.” Rianti mengangsurkan dua lembar uang lima puluh ribu dan dua puluh ribu.
“Ya, Mbak. Bentar kembaliannya, Mbak.” Pak supir taksi merogoh kantong celananya.
“Kembaliannya buat Bapak aja.”Rianti tersenyum dan segera berjalan meninggalkan sang supir yang mengucapkan terima kasih pada Rianti.
Berjalan tergesa melewati beberapa perkantoran, Rianti mengangkat tas selempangnya menutup kepalanya. Gerimis terasa makin besar. Rianti mencoba mempercepat langkahnya. Dan gerimis akhirnya benar-benar berubah menjadi hujan. Rianti berlari mendekati pagar kantor dan masuk ke pekarangan kantor. Dengan pakaian yang telah basah dari ujung kepala sampai ujung kaki, akhirnya Rianti sampai di depan kantor Afdi.
Rianti mengibaskan pakaiannya yang basah dengan telapak tangannya. Dingin air hujan menusuk pori-pori dan tulang-tulangnya. Rianti menggigil. Seorang sekuriti berlari mendekati Rianti.
“Mbak Rianti? Mbak nggak apa-apa?” Sekuriti yang telah mengenal Rianti menatap Rianti dengan tatapan khawatir. Rianti mencoba tersenyum.
“Nggak apa-apa, Bang. Saya mau ke ruangan Pak Afdi. Pak Afdinya masih di ruangan, Bang?” Rianti bertanya dengan bibir gemetar menahan dingin.
“Masih, Mbak. Pa Afdi belum pulang. Silakan, Mbak. Atau mau saya antar?”
“Tidak usah, Bang. Makasih.” Rianti tersenyum dan masuk ke dalam setelah satpam membukakan pintu lobi.
Beberapa pegawai terlihat tengah bersiap untuk pulang. Mereka menatap Rianti dengan tatapan heran. Karena melihat kondisi Rianti yang sedang basah kuyub. Rianti mencoba untuk tidak menanggapi tatapan-tatapan heran pegawai yang sebagian besar mengenalnya. Dengan langkah yang makin terasa berat, Rianti berjalan menuju ruangan Afdi. Melewati meja sekretaris yang berada di di samping ruangan Afdi, Rianti melihat seorang perempuan cantik yang sedang bersiap-siap juga untuk pulang.
Perempuan cantik itu mengangkat wajahnya mendengar suara langkah kaki mendekat. Keningnya berkerut melihat seorang perempuan yang sedang basah kuyub menuju ruang direktur. Perempuan itu bangkit dengan tergesa dan mencegat langkah Rianti.
“Mau kemana?” tanyanya pada Rianti.
“Kamu siapa?” Rianti balik bertanya dengan mata berkunang-kunang.
“Saya Anggi, sekretarisnya Pak Afdi.” Perempuan cantik itu memperkanalkan diri dengan pongah. Rianti mencoba tersenyum.
“Saya mau ketemu suami saya.” Rianti berkata dengan suara lemah dan kembali melanjutkan langkahnya. Tetapi perempuan yang bernama Anggi itu kembali mengejar Rianti.
“Eh, harus izin saya dulu kalau mau masuk.” Anggi telah berdiri di samping Rianti. Rianti diam tak memperdulikan ucapan wanita di sampingnya itu.
Rianti membuka pintu dan mereka berdua akhirnya terdorong masuk karena Anggi ternyata menahan pintu dengan badannya. Afdi yang sedang berdiri di depan jendela ruangannya, menikmati hujan yang turun membasahi kota Jakarta. Afdi berbalik mendengar suara pintu yang dibuka. Afdi terpaku melihat siapa yang berada tak jauh dari hadapannya. Wajah itu, wajah yang amat dirindukannya. Wajah yang membuat Afdi tidak bisa tidur dan tidak bisa makan selama tiga hari ini.
“Mas.” Rianti memanggil Afdi dengan suara bergetar.
“Saya sudah larang Mbak ini masuk, Pak. Tetapi dia tetap ngotot.” Anggi masuk selangkah dan berdiri di depan Rianti dengan tubuh tegak.
“Kamu ke luar.” Afdi berkata dengan suara dingin pada sekretarisnya. Anggi merenggut dan setelah menghentakkan kakinya, Anggi melangkah ke luar.
“Tutup pintunya.” Afdi kembali memberikan perintah. Rianti menatap Afdi dengan mata yang panas. Rindu, sedih, dan luka campur aduk menjadi satu.
“Mas.” Rianti kembali memanggil Afdi. Dingin makin menusuk tulang sum-sum Rianti. Rianti berdiri dengan tubuh gemetar menahan rasa dingin. Afdi berjalan mendekat. Matanya tak bisa lepas dari tubuh basah Rianti.
“Kamu basah.” Afdi berdiri tepat di hadapan Rianti. Mata Afdi juga terasa panas. Wajah pucat dan mata cekung perempuan di depannya ini menusuk-nusuk hati Afdi.
“Mas.” Rianti terisak. Afdi merengkuh tubuh Rianti. Memeluknya erat. Mereka terisak dalam diam.
Bersambung …..
Bagus...inspiratif...!!!
BalasHapus