CERBUNG MENGEJAR CINTA RIANTI 24

Judul: Mengejar Cinta Rianti 
Oleh : Naya R

#MENGEJAR_CINTA_RIANTI
#EPISODE_24

Terima kasih admin/moderator telah menyetujui tulisan ini.
Terima kasih pembaca setia Rianti.

         Rianti masih duduk di atas sajadahnya. Setelah salat magrib, Rianti melanjutkan dengan membaca Alquran. Sampai waktu salat isya.  Dan setelah salat isya, Rianti masih tidak beranjak dari atas sajadahnya. Ia memang telah berhenti menangis. Salat dan bacaan ayat-ayat suci Alquran telah menenangkan sedikit kerisauan hatinya. Sekarang Rianti hanya sedih mengingat Afdi telah salah paham padanya. 

 Rianti menatap ponsel yang diletakkannya di samping sajadahnya. Whatshapp Afdi tidak aktif. Pesan dari Rianti hanya centang satu. Ditelepon juga tidak aktif. Duh, apa memang Afdi semarah itu? Rianti mendesah dalam hati. Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu kamarnya. Rianti bergegas bangkit dan berjalan kea rah pintu. Dengan tangan gemetar, Rianti menarik gagang pintu. Pintu terbuka dan di depannya berdiri sosok Bi Ina. 

 “Ya, Bi?”
 “Makan dulu, Non.”
 “Nanti aja, Bi. Saya masih nunggu Mas Afdi.”
 “Tapi ini sudah pukul 10.00 malam, Non. Nanti kalau Mas Afdi pulang, Non kan bisa 
nemani Mas Afdi makan lagi.”
“Nggak apa-apa, Bi. Saya juga belum lapar.” Rianti mencoba tersenyum. Bi Ina menarik napas panjang.

“Atau Bibi bawain makan malamnya ke kamar ya, Non?”
“Eh, nggak usah Bi. Nanti kalau saya lapar, saya ambil sendiri.”
“Oh, baiklah Non. Tapi makan ya, Non.”
“Iya, Bi. Makasih ya, Bi.”
“Ya, Non. Sama-sama. Bibi turun dulu ya.” 
“Ya, Bi.”

  Rianti kembali menutup pintu kamar. Dibukanya mukena dan meletakkannya di atas sajadah. Rianti berjalan menuju sofa di sudur kamar. Pelan ia merebahkan tubuhnya di sana. Terbayang wajah Afdi dengan tatapan penuh cintanya. Lalu terbayang juga wajah penuh murka dan terluka suaminya itu siang tadi. Ya, Tuhan, apa yang telah dilakukannya? Rianti merintih lirih dalam hati. Ia telah membuat suaminya marah. Lalu ke manakah laki-laki itu sekarang? Rianti memejamkan matanya. Tetapi bayangan wajah tampan dan senyum mempesona suaminya malah semakin terlihat nyata. 

 Afdi laki-laki yang baik. Bertanggung jawab, penuh cinta, dan sangat mengerti dengan dirinya. Jika tadi Afdi marah, Rianti bisa mengerti. Rianti memang salah. Tidak seharusnya ia mengorbankan perasaan suaminya demi mewujudkan impian adiknya. Rianti merasakan perutnya lapar, siang tadi ia juga makan sangat sedikit. Tetapi Rianti benar-benar tidak ingin makan. Rianti ingin cepat-cepat tidur agar ia bisa melupakan sejenak keresahan dan kesedihan hatinya. Dan Rianti berharap, setelah ia terbangun nanti, Afdi sudah berada di kamar. Rianti akan mencium tangannya dan memohon maaf pada suaminya itu. 

 Rianti menghapus bening yang kembali menetes dari sudut-sudut matanya. Tuhan, bolehkah aku memohon? Lindungi dia dimana pun dia berada. Lembutkan hatinya ya Allah agar mau memaafkanku, Rianti memanjatkan doa pada Yang Maha Kuasa sebelum tertidur karena kelelahan menangis.

 Rianti terbangun ketika merasakan udara yang mendadak terasa sangat dingin. Rianti tersadar, ia tidur tanpa memakai selimut. Rianti bangkit dan memandang ke arah kasur yang kosong. Rianti melirik ke arah jam di dinding kamarnya. Pukul 02.00 dini hari. Hati Rianti berdenyut. Afdi tidak pulang. Rianti berjalan menuju  jendela kamar. Pelan disibaknya tirai jendela. Terlihat gerimis yang cukup lebat di luar sana.

 Tuhan ke manakah dia? Kenapa tidak pulang? Rianti kembali terisak. Gerimis di luar sana semakin lebat. Rianti berbalik dan berjalan menuju pintu kamar. Rianti memutar gagang pintu dan bergegas ke luar kamar. Menuruni anak tangga satu persatu, Rianti menuju ruang tamu. Dalam hati ia berharap, Afdi tertidur di sana seperti cerita-cerita yang sering dibacanya. Tetapi sampai di ruang tamu, Rianti kembali meneguk rasa kecewanya. Sofa ruang tamu juga kosong. Rianti menghapus air mata di kedua pipinya. Ia kembali menaiki tangga menuju kamarnya.

 Rianti masuk kamar mandi dan membasuh wajahnya dengan wudu. Kemana kah lagi ia akan mengadukan kegundahan dan keresahan hatinya selain kepada Tuhan penggenggam segala hati? Rianti ingin bersujud pada-Nya, memohon ampun dan memohon agar mengembalikan Afdi padanya. 

 Rianti bersujud di atas sajadah. Ia ingin berlama-lama dalam penghambaan dirinya pada Yang Maha Kuasa. Ia ingin memohonkan doa di sujud terakhirnya. Dengan air mata yang kembali tumpah, Rianti menyampaikan segala pengharapannya pada sang pemilik jiwanya. Puas menyampaikan doa-doanya, doa-doa untuk sang suami, Rianti pun bangkit dari sujudnya. Tidak berapa lama , Rianti pun mengakhiri dua rakaatnya dengan salam. 

Rianti menadahkan tangan, kembali menyampaikan isi hatinya pada Tuhan. Betapa ia merasa malu pada sang pencipta, ia sering melaksanakan salat malam hanya ketika merasa sedang memiliki masalah. Ia  sujud dan menadahkan tangan di sepertiga malam hanya ketika merasa beban hidupnya sedang berat. Rianti terisak, ampuni ya Allah. Sungguh, ia ingin memperbaiki diri, ia ingin berproses menjadi insan yang lebih baik lagi. “Ya Allah, mudahkan jalanku untuk menggapai ridho-Mu.” Rianti memohon lirih dalam hati.

Puas menyampaikan doa dan pengharapannya pada Yang Maha Kuasa, Rianti merebahkan tubuhnya di atas sajadah. Berbantal sebelah lengan, Rianti mencoba kembali memejamkan matanya. Tetapi bayangan wajah dan senyum lembut sang suami kembali hadir di pelupuk matanya. Rianti bangkit kembali. Ia mengambil ponselnya dari nakas. Seraya duduk bersandar di kepala tempat tidur, Rianti membuka whatshapp-nya. Pesan yang dikirimnya pada Afdi dari magrib tadi masih sama. Centang satu. Rianti mencoba menekan nomor Afdi. Suara operator kembali menjawab panggilan telepon Rianti.

Rianti meletakkan ponselnya kembali di samping bantal. Lalu ia mencoba memejamkan mata. Rianti ingin kembali terlelap, agar ia kembali bisa melupakan masalahnya untuk sejenak. Tetapi sampai azan subuh berkumandang, tak sedetik pun mata Rianti terpejam. Tuhan, ternyata begini rasanya mencemaskan seseorang, ternyata begini rasanya diabaikan. Rianti kembali terisak. Padahal matanya sudah terasa amat perih karena menangis semalaman. Barangkali, ia memang pantas menerima semua ini.

*****

Rianti duduk di taman belakang. Matanya menatap bunga anggrek yang sedang bermekaran. Sisa air hujan semalam masih terlihat di ujung-ujung bunga dan daunnya. 
“Non, sarapan sekarang, ya.” Tiba-tiba Bi Ina telah berada di samping Rianti.
“Nanti saja, Bi. Saya belum lapar.” Rianti mencoba tersenyum.

“Dari kemarin malam Non nggak makan. Nanti sakit.” Bi Ina menatap Rianti dengan prihatin. Wanita paruh baya itu bisa melihat kondisi Rianti yang sedang tidak baik. Kantong matanya terlihat menghitam. Entah apa yang terjadi, Bi Ina mendesah dalam hati.

“Saya minta teh panas aja, Bi. Nanti habis minum teh, saya sarapan.” Rianti menghindari tatapan Bi Ina. Ia tidak ingin wanita itu tahu kalau ia habis menangis semalaman.
“Baik, Non.” Bi Ina pun berlalu masuk ke dalam rumah. Tidak berapa lama Bi Ina kembali datang membawakan teh hangat dan sepiring kecil brownies. 

“Silakan, Non”
“Ya, Bi. Makasih, ya.” 
“Ya, Non.” 

Rianti mengambil teh hangat yang diletakkan Bi Ina di meja kecil di depan Rianti duduk. Diminumnya beberapa teguk. Dan rasa hangat menjalari rongga dadanya. Sedikit menghangatkan badannya yang merasa agak kedinginan. Rianti membuka kembali aplikasi di ponselnya. Hatinya sangat berharap ada balasan WA dari Afdi. Tetapi, Rianti harus kembali meneguk kekecewaannya. Tidak ada pesan atau pun panggilan telepon dari suaminya itu. 

Rianti menekan nomor telepon Afdi. Tetapi hasilnya sama. Hanya operator yang menjawab teleponnya. Rianti teringat, kenapa ia tidak menelpon ke nomor kantor saja. Lalu dengan tergesa, Rianti mencari nomor telepon kantor Afdi. Ia dulu sempat menyimpannya ketika masih bekerja di sana. Mata Rianti berbinar begitu menemukan nomor yang ia cari. Tergesa Rianti menekan nomor tersebut. Hanya menunggu beberapa detik, terdengar suara di ujung teleponnya.

“Dekon Utama Properti, selamat pagi.”
“Pagi. Bisa sambungkan ke Bapak Direktur?”
“Ini dari siapa?”
“Katakan saja dari Rianti.”
“Rianti?”
“Kamu pegawai baru, ya?”
“Ya, saya Anggi, sekretaris baru Bapak Afdi.”
“Oh, iya. Tidak masalah. Tolong sambungkan saja ke ruang Bapak.”
“Tapi, Bapak tadi pesan, ia tidak bisa diganggu. Ia akan segera rapat beberapa saat lagi.”
“Sekarang belum rapat kan?”
“Belum, tetapi itu pesan dari Bapak. Saya tidak berani. Maaf. Silakan menelepon lagi 
nanti. Selamat pagi. Klik.” Sambungan telepon langsung diputus. 

Rianti kaget dan menatap ponsel di tangannya. Kurang ajar juga perempuan yang mengaku sebagai sekretaris baru suaminya itu. Rianti merasa sangat geram. Lihat saja nanti, ia harus tahu siapa Rianti. Istri Bos Afdi. 

Rianti bangkit dan masuk ke dalam rumah. Terlihat Bi Ina sedang sibuk di dapur. Duh, untuk siapa lagi asisten rumah tangga mama mertuanya ini repot-repot masak. Nggak ada siapa-siapa juga di rumah. Papa dan mama Afdi masih belum pulang. Kemarin mama mertuanya itu menelepon dan mengatakan akan memperpanjang waktu liburan mereka di Semarang. Karena mereka ingin menghabiskan waktu beberapa hari lagi di kampung halaman.

“Non, sarapannya.” Bi Ina menghentikan langkah Rianti yang akan naik ke lantai dua. 
“Iya, Bi. Saya ke kamar bentar, Bi. Oh, iya, Bi, nggak usah masak banyak-banyak. Kita kan 
Cuma berdua.” Rianti melihat ke kompor yang sedang menyala.
“Iya, Non. Ini hanya bikin sop. Siapa tahu Non selera jika makan pakai sop.” 
“Oh, iya, Bi. Makasih, ya. Saya ke kamar dulu.”

Tanpa menunggu jawaban Bi Ina, Rianti bergegas menuju tangga. Rianti merasa badannya seperti melayang. Kepalanya juga agak pusing. Ia ingin membaringkan tubuhnya di kasur. Sampai di kamar, Rianti pun merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Terngiang lagi ucapan sekretaris baru suaminya tadi. Apa suaminya memang berpesan agar tidak menerima telepon dari orang yang bernama Rianti, ya? Apa sebaiknya ia mendatangi kantor suaminya aja langsung? Tetapi bagaimana jika nanti Afdi tidak mau menemuinya? Apa yang akan dikatakan oleh pegawai-pegawai suaminya itu, yang hampir semuanya mengenal dirinya sebagai istri bos mereka? Baru juga menikah dua minggu, tetapi sudah bertikai.

Ya Allah, apa yang harus hamba lakukan? Rianti mengusap wajahnya dengan gusar. Baru satu hari ia tidak bertemu dengan suaminya itu. Tetapi kenapa rasanya ada yang hilang, ada yang tidak lengkap. Kenapa rasanya ia kehilangan semangat hidup, kehilangan selera makan. Sungguh, ia malas mau melakukan apa pun. 

Dengan kepala yang mulai terasa berat, Rianti bangun dari tidurnya. Pelan ia menuju kamar mandi. Bukankah lebih baik ia mengadukan semua perasaannya pada Yang Maha Kuasa? Ya, meski tidak terlalu sering melakukannya, Rianti ingin melaksanakan salat duha. Dalam hati Rianti berjanji tidak hanya akan mengingat Allah ketika sedang ditimpa masalah atau ujian. Lalu Rianti pun mulai membasahi wajahnya dengan air wudu. Dingin dan segar menjalari kulit wajah, tangan dan kakinya. Rianti berdoa dalam hati, semoga air yang membasuh wajah, tangan dan kakinya meluruhkan juga dosa-dosa yang pernah diperbuatnya.

*****

Rianti baru saja selesai melaksanakan salat isya. Sampai saat ini masih juga belum ada kabar dari Afdi. Rianti memakai rok dan blus berwarna hitam, pashmina berwarna ping. Lalu Rianti juga melapisi pakaiannya dengan sweater rajut berwarna senda dengan hijabnya. Rianti ingin mendatangi apartemen Afdi. Barangkali suaminya itu pulang ke sana. Rianti ingin meminta maaf. Lalu setelah itu, semua keputusan ia serahkan pada Afdi. Jika laki-lai itu mau memaafkan kesalahannya, Rianti berjanji akan memperbaiki diri dan tidak akan melakukan kesalahan yang sama lagi. Tetapi, jika Afdi tidak mau memaafkan Rianti, Rianti juga telah mempersiapkan hatinya.

Sebenarnya tubuh Rianti mulai terasa tidak enak. Ada hawa sedikit panas yang menguap dari dalam tubuhnya. Kepalanya juga terasa makin berat. Tetapi Rianti tidak bisa lagi menunggu lebih lama. Rainti mengambil tas selempangnya. Pelan Rianti beranjak ke luar kamar. Menuruni anak tangga satu persatu. Rianti sampai di ruang keluarga. Rumah terlihat begitu sepi. Rianti mencari Bi Ina ke kamarnya. Setelah mengetuk beberapa kali, Bi Ina pun ke luar masih memakai mukenanya.

“Non mau ke mana?” Bi Ina menatap Rianti yang telah berpakaian rapi.
“Saya keluar sebentar, ya, Bi.”
“Non ada masalah dengan Mas Afdi?”
“Tidak, Bi. Tidak ada masalah apa-apa. Mas Afdi sedang ada pekerjaan, jadi nggak 
pulang beberapa hari ini.”
“Oh, iya, Non. Baiklah. Hati-hati di jalan, ya, Non.”
“Ya, Bi. Saya bawa kunci. Bibi tidur aja, nggak usah nunggu saya pulang.”
“Ya, Non.”
“Saya berangkat ya, Bi.”
“Ya, Non. Hati-hati.”

Rianti berbalik dan meninggalkan Bi Ina yang masih menatapnya dengan tatapan tidak mengerti. Hati perempuan paruh baya itu mengatakan, pasti ada sesuatu yang terjadi antara anak majikannya dengan istrinya ini. Tetapi entah apa itu, Bi Ina tidak tahu.

Rianti menunggu taksi online yang dipesannya di halaman depan. Tidak berapa lama, taksi yang dipesannya pun datang. Terlihat satpam membukakan pintu gerbang. Beberapa saat kemudian, Rianti telah berada di dalam mobil. Rianti menjelaskan alamat apartemen yang akan mereka tuju. Sang supir mengangguk paham. 

Sepanjang jalan, Rianti menatap ke luar jendela mobil. Pikirannya hanya tertuju pada satu nama. Afdi. Bagaimanakah tanggapan suaminya itu nanti bertemu dengannya? Apakah ia masih marah? Apakah suaminya mau menerima permohonan maafnya? Atau sebaliknya, mengacuhkan kedatangannya, mengacuhkan permohonan maafnya?

Jalanan kota Jakarta yang ramai, lampu-lampu yang bersinar terang, orang-orang yang masih ramai di halte, di pusat perbelanjaan, di angkutan umum, tetapi bagi Rianti semua terlihat lengang dan sunyi. 

“Mbak, sudah sampai.” Tiba-tiba Rianti dikagetkan oleh suara supir taksi.
“Oh, iya, Pak.” Rianti mengeluarkan dompetnya dan mengambil beberapa lembar uang 
puluhan ribu.
“Ini, Pak.”
“Ya, Mbak.” Supir taksi menerima uang Rianti dan mencari kembaliannya.
“Ini kembaliannya, Mbak.”
“Nggak usah, Pak. Buat Bapak saja. Makasih, ya Pak.” Rianti membuka pintu dan 
bergegas turun.
“Ya, Mbak. Makasih juga Mbak.”

Rianti berjalan pelan menuju apartemen. Memasuki lobby yang terlihat lengang, Rianti menuju lift. Rianti menekan tombol panah ke atas. Tidak berapa lama pintu lift terbuka. Rianti masuk dan menekan angka lima. Beberapa detik kemudian pintu lif kembali terbuka, Rianti melangkah ke luar dan berbelok ke arah kanan. 

Mendekati apartemen bernomor 512, dada Rianti berdebar kencang. Dengan tangan gemetar, Rianti menekan bel di samping pintu. Satu kali, dua kali, tiga kali, Rianti menekan bel tanpa henti. Tetapi tidak terlihat tanda-tanda pintu akan dibukakan. Rianti membalikkan tubuh dan bersandar di pintu apartemen Afdi. Tiba-tiba Rianti merasa takut, merasa putus asa. Kemana ia harus mencari Afdi?

Rianti luruh dan terduduk di depan pintu. Air mata membasahi pipinya. “Mas, apa kesalahanku sefatal itu? Apa tidak sebaiknya masalah dibicarakan dengan kepala dingin. Kenapa tidak memberiku kesempatan untuk menjelaskan semuanya? Kenapa tidak memberiku kesempatan untuk meminta maaf? Rianti terisak. 

“Maaf, Mbak. Mbak baik-baik saja?” Tiba-tiba seorang sekurit telah berada di depan Rianti. Rianti mengangkat wajahnya. Tergesa Rianti menghapus air matanya dan bangkit dari duduknya.
“Ya, Pak. Saya baik-baik saja.” Rianti mencoba tersenyum.
“Mbak mau ke kamar berapa?”
“Ke 512 ini, Pak.”
“Oh, kalau Bapak ini memang jarang pulang ke sini, Mbak. Dia lebih sering di rumah Ibunya.”
“Ya, Pak. Terima kasih infonya, Pak. Saya pamit.” 
Rianti berjalan menuju lift meninggalkan satpam yang masih menatapnya dengan sedikit heran.
“Ya, Mbak.” 

Sebelum masuk lift, Rianti memesan taksi online lagi untuk pulang ke rumah mertuanya. Rianti mencoba menguatkan tubuhnya. Tetapi ia benar-benar merasakan dunia seperti berputar. Tuhan, kuatkan. Kuatkan, setidaknya hingga ia sampai  di rumah lagi, Rianti memohon lirih dalam hati.

Bersambung ….
Yang menunggu kepulangan Mas Afdi sabar ya

0 comments:

Posting Komentar