Judul : Mengejar Cinta Rianti
Oleh : Naya R
#MENGEJAR_CINTA_RIANTI
#EPISODE_23
Terima kasih admin/moderator telah menyetujui tulisan ini.
Terima kasih pembaca setia Rianti.
Afdi dan Rianti sampai di apartemen Afdi setelah waktu salat isya. Afdi membuka pintu dan menghidupkan kontak lampu. Seketika ruangan di depan mereka pun terang benderang. Afdi masuk masih dengan menggandeng tangan Rianti. Rianti mengedarkan pandangannya. Apartemen Afdi cukup luas. Dominasi warna putih dan hitam membuat ruangan demi ruangan terlihat simple dan elegan.
“Bagaimana? Kamu suka?” Afdi membawa Rianti duduk di sofa di depan televisi.
“Suka. Apartemennya bagus dan nyaman.”
“Mau tinggal di sini?” Afdi melirik Rianti dengan senyum menggoda.
“Mau.” Rianti mengangguk pelan. Afdi tersenyum senang.
“Kalau lagi pengen berduaan, kita nginap di sini, ya?” Afdi mengedipkan matanya pada Rianti. Rianti memalingkan wajahnya, rasanya kulit mukanya kembali merona. Ah, Afdi akhir-akhir ini terlihat makin aneh menurut Rianti.
“Kita istirahat di kamar, yuk.” Afdi tiba-tiba berdiri dan menarik tangan Rianti. Afdi melangkah menuju kamar. Rianti mengikuti dengan langkah pelan. Afdi mendorong pintu kamar dan menghidupkan kontak lampu. Warna putih dan hitam kembali mendominasi ruangan kamar Afdi. Rianti memperhatikan sekeliling kamar, untuk ukuran kamar laki-laki, kamar suaminya tergolong sangat rapid an bersih. Tidak tercium juga bau apek atau bau tidak sedap, padahal pastilah sudah beberapa lama apartemen ini tidak dikunjungi Afdi.
“Dua kali seminggu ada Bi Sri yang datang membersihkan apartemen. Tetapi sekarang karena sudah ada istri tercinta, Bi Sri nggak perlu lagi sering-sering ke sini, ya?” Afdi melepaskan genggaman tangannya pada Rianti. Rianti duduk di pinggir tempat tidur. Terlihat Afdi membuka lemari dan mengambil sesuatu. Sebuah tas kertas dengan ukuran sedang.
“Ini untukmu.” Afdi menyerahkan tas kertas itu pada Rianti.
“Apa ini, Mas?” Rianti menerimanya dengan tatapan heran.
“Kamu nggak bawa baju ganti kan? Itu kemarin waktu nemani Mama, Mas beliin buat kamu.”
“Oh, iya, Mas.” Rianti mengeluarkan isi kantong di tangannya. Rianti langsung merasakan bahan kain yang lembut menyentuh telapak tangannya. Rianti mengembangkan kain di tangannya dan menghamparkan di pangkuannya. Dua buah baju tidur berwarna broken white dan hitam. Ada renda di dada dan di tangannya. Tidak terlalu seksi tetapi cantik dan elegan.
“Cantik, Mas. Makasih, ya.” Rianti menangkupkan kedua tangannya yang memegang baju tidur ke dada. Afdi tersenyum dan mengusap puncak kepala Rianti yang masih tertutup hijab.
“Mas mandi dulu, ya.” Afdi bangkit dan mengambil pakaian gantinya di lemari. Setelah Afdi masuk ke kamar mandi, Riant pun bergegas membuka pakaiannya dan menggantinya dengan baju tidur berwarna hitam. Kulit putihnya terlihat makin putih berpadu dengan baju tidur warna hitam berbahan satin.
Rianti berjalan menuju rak buku di samping sofa di sudut kamar. Beberapa buku ekonomi, akuntansi dan manajemen. Ternyata bidang ilmu mereka sama. Rianti tersenyum sendiri. Di rak paling bawah tersusun rapi novel-novel terjemahan, sebagian besar karya penulis lawas Sidney Sheldon. Lalu puluhan novel karya penulis-penulis hebat negeri ini, mulai dari Hamka, Pramoedya Ananta Toer, sampai Andrea Hirata dan Asma Nadia. Wah, Rianti berdecak kagum dalam hati. Tidak menyangka laki-laki yang dulu selalu terlihat kaku itu penyuka karya-karya penulis ternama.
“Kamu suka baca?” tiba-tiba Afdi telah berdiri di samping Rianti dengan jarak yang begitu dekat. Rianti menoleh. Terlihat wajah segar Afdi dengan rambut yang basah. Rianti buru-buru memalingkan wajahnya kembali ke deretan buku-buku.
“Ya, suka. Tetapi tidak sampai punya koleksi sebanyak ini.” Rianti mengambil salah satu novel karya Ahmad Tohari, “Ronggeng Dukuh Paruk”.
“Itu novel dewasa. Karena kamu sudah menikah, kamu boleh membacanya.” Afdi berbisik di telinga Rianti. Wajah Rianti seketika memerah. Buru-buru Rianti meletakkan novel itu kembali. Afdi terbahak.
“Kenapa? Jangan pura-pura kamu belum pernah baca cerita 20+.” Afdi menatap Rianti dengan tatapan mata menggoda. Rianti buru-buru menggelengkan kepalanya. Jujur, meski tinggal dan hidup di kota metropolitan, Rianti terjaga dari hal-hal seperti itu. Papanya selalu menjaga anak-anak gadisnya dengan sedikit protektif. Nonton bioskop aja, mereka seringnya rame-rame satu keluarga. Tapi, Rianti dan kedua adiknya merasa asyik-asyik aja dengan sikap dan perlakuan papa dan mamanya itu.
“Membaca, meskipun membaca sebuah cerita fiksi seperti novel, akan membuka cakrawala berpikir kita. Membaca cerita fiksi juga bisa membantu kita untuk melihat kehidupan dari sisi yang berbeda.” Afdi menarik lembut tangan Rianti dan mengajak istrinya itu untuk duduk di sofa. Afdi merentangkan tangannya dan memeluk pundak Rianti. Rianti mencoba menyamankan dirinya dalam pelukan suaminya.
“Ronggeng Dukuh Paruk, sekilas memang terlihat vulgar. Tetapi banyak nilai-nilai kehidupan yang terdapat di dalam novel tersebut. Salah satunya adalah bahwa adat, budaya, menyebabkan sesuatu yang dianggap tabu, menjadi terlihat benar. Oleh sebab itu, diperlukan agama sebagai landasan dalam menjalankan adat dan budaya tersebut.” Afdi mencium lembut rambut Rianti.
“Mas betah baca novel-novel seperti itu? Novel-novel lama yang ceritanya pun berkisah tentang kehidupan pada waktu yang lalu.” Rianti menoleh sekilas pada Afdi.Ternyata jarak mereka amat dekat. Sesaat Rianti menahan napasnya. Dadanya tiba-tiba menjadi sesak.
“Novel-novel lama itu eksotis. Kalau lagi suntuk atau bosan dengan rutinitas pekerjaan, Mas akan baca novel.” Afdi menarik kepala Rianti dan menyandarkan di dadanya. Meski merasa sedikit tegang, Rianti mengikuti saja keinginan suaminya itu. Dalam hati Rianti kembali berdecak kagum dan sedikit heran. Masih ada lelaki muda zaman sekarang yang masih mau membaca karya-karya kuno seperti itu.
“Sudah ngantuk?” Afdi mengambil jemari tangan Rianti dan menciumnya dengan lembut. Rianti hanya mampu mengangguk. Tak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya.
“Tidur sekarang?” Afdi kembali bertanya. Dan Rianti kembali mengangguk. Afdi tersenyum. Rianti kenapa jadi aneh begini. Apa istrinya ini tidak nyaman dengan pelukannya atau merasa tegang?
“Ayo.” Afdi pun berdiri dan membawa Rianti menuju tempat tidur. Lagi-lagi Rianti menurut. Rianti naik ke atas kasur dan merangkak menuju sisi sebelah kiri. Rianti membaringkan tubuhnya dengan pelan. Afdi pun mengikuti dan berbaring di samping Rianti.
“Boleh tidurnya berpelukan?” Afdi menatap Rianti penuh harap. Rianti kembali mengangguk. Duh, Tuhan, kenapa ia jadi kehilangan kata-kata begini? Rianti menggigit bibirnya merasa heran sendiri dengan sikapnya. Afdi tersenyum senang. Laki-laki itu pun makin mendekatkan tubuhnya pada sang istri. Pelan, Afdi menyurukkan tangannya ke bawah leher Rianti. Lalu membawa perempuan itu ke dalam pelukannya. Rianti kini berada amat dekat dengan Afdi. Kepalanya berada di atas dada Afdi. Dan Rianti bisa merasakan detak jantung suaminya itu yang terdengar amat kencang.
“Selamat tidur sayang. Semoga mimpi indah.” Afdi mencium kening Rianti dengan penuh rasa sayang. Rianti memejamkan matanya. Mereka pun tidur dengan berpelukan.
****
Esoknya sebelum ke kantor, Afdi mengantarkan Rianti dulu pulang ke rumah. Sebenarnya Rianti masih ingin tinggal di apartemen Afdi. Afdi pun begitu. Tetapi bu Aini meminta Afdi dan Rianti pulang dulu, karena Bu Aini dan Pak Rahmat akan ke Semarang untuk beberapa hari. Mama dan Papa Afdi akan menghadiri pesta pernikahan salah seorang anak adik sang mama.
Jadilah siang ini Rianti tinggal berdua aja dengan Bi Ina. Setelah membantu Bi Ina memasak, Rianti kembali ke kamarnya di lantai dua. Rianti mengambil ponselnya dan melihat beberapa pesan di whatshappnya. Salah satunya pesan dari Amelia. Mata Rianti terpaku membaca pesan Amelia. Senin depan, uang masuk ke universitas sudah harus dibayar. Itu berarti tinggal beberapa hari lagi. Sementara Rianti belum mendapatkan cara untuk mendapatkan uang sebanyak itu. Memintanya pada Afdi? No … no … lebih baik Rianti mengubur impian adiknya untuk menjadi seorang dokter daripada harus memintanya pada suaminya.
Baru juga nikah satu minggu, sudah dikasih rumah, dikasih uang belanja bulanan. Rianti nggak mau ngelonjak. Mentang-mentang suaminya laki-laki yang baik, lalu ia memanfaatkannya. Rianti tidak ingin menjadi wanita seperti itu.
Tetapi impian Amelia tidak boleh hancur. Amelia harus mewujudkan cita-citanya menjadi seorang dokter. Tuhan, apa yang harus dilakukannya? Di saat kebingungannya mematikan otaknya untuk berpikir, tiba-tiba masuk pesan dari Ivo. Tergesa Rianti membukanya.
[woiii, kemana aja]
[nggak kemana-mana], Rianti menjawab lesu. Tadinya Rianti berpikir ada kabar gembira dari sahabatnya itu.
[Lemes amat. Kenapa sih?]
[Masih mikirin yang kemaren]
[Apaan?]
[Amelia oon]
[Ya elah, sengak amat]
[Lagi puyeng Ivo. Harus bayar beberapa hari lagi]
[Kan tingal minta ama laki lo]
[Nggak lah Ivo. Baru juga dikasih kemaren buat belanja Mama sama adik-adik. Masa
mau minta lagi]
[Kalau ada yang mau minjamin gimana?]
[Jangan becanda. Duit sebanyak itu, siapa yang mau minjamin? Kakek lo?]
[Ih, kalau kakek gue orang kaya, lo nggak perlu repot cari pinjaman]
[Ah, nggak tau lah, pusing gue. Kemana mau cari duit segitu dalam waktu beberapa hari]
[Gue serius nih. Ada yang mau kasih pinjam]
[Siapa?]
[Bos gue]
[Nggak … nggak …]
[Cuma ini jalan satu-satunya]
[Nggak lah Ivo, nanti timbul masalah]
[Lo kasih aja surat tanah lo sebagai jaminan, jadi nggak akan ada beban kan]
[Tapi gue ngga enak lah]
[Dia membantu lo sebagai seorang teman, tetapi kalau lo mau sistemnya kayak minjam
ama orang lain, ya itu, lo kasih surat tanah lo sebagai jaminan]
[Memang lo cerita ama Rio?]
[Iya, kemarin kami ngumpul. Bima nanyain kabar lo. Gue nggak sengaja cerita]
[Duh, lo benar-benar ya. Harusnya jangan cerita ke dia]
[Maaf, tapi kita kan bersahabat. Selama ini suka duka kita bagi sama-sama]
[Oke Ivo, gue pikir-pikir dulu ya]
[Oke, kirim aja dulu nomor rekening lo]
[Mmhhh …]
[Tinggal berapa hari lagi Rianti. Jangan keras kepala. Pikirkan Amelia. Kalau tanah lo
udah terjual, lo bisa segera ganti duitnya]
[Iya]
[Kirim nomor rekening lo ya]
[Iya]
[Ya udah, gue pamit, siap-siap mau pulang nih]
[Iya]
[Lo kenapa sih, iya … iya … aja dari tadi]
[Iya]
[Riantiiiiii]
[Ivooooo]
[Udah ah, bye]
[Bye]
Rianti melemparkan ponselnya ke atas kasur. Kepalanya benar-benar pusing sekarang. Otaknya tidak bisa berpikir dengan baik. Rianti membaringkan tubuhnya di kasur. Mungkin dengan tidur pikiran kalutnya bisa sedikit berkurang. Semoga ketika bangun dari tidur, ia menemukan solusi untuk masalahnya ini.
*****
Sudah dua hari Mama dan Papa Afdi pergi ke Semarang. Rumah terasa sepi. Kegiatan Rianti hanya membantu Bi Ina, mengurus bunga-bunga Mama Aini di halaman belakang, dan membaca novel di kamar. Rianti membawa beberapa novel dari apartemen Afdi kemarin. Ternyata membaca novel bisa menghilangkan rasa suntuk Rianti.
Tepat pukul 17.00 Rianti masuk ke kamar mandi. Biasanya Afdi pulang sebelum magrib. Afdi memang selalu mengusahakan pasa waktu magrib telah berkumpul dengan keluarganya. Kalau sekarang tentu dengan istri tercintanya. Sambil berendam di bathtub, Rianti tersenyum sendiri dengan wajah merona. Ia teringat pesan Afdi tadi pagi sebelum berangkat kerja, “jangan lupa keramas ya.” Bisa aja suaminya itu menghitung masa tenggangnya yang tujuh hari.
Afdi masuk kamar dan mendapati kamar kosong. Afdi mendekat ke kamar mandi. Pintu kamar mandi dikunci dari dalam. Afdi tersenyum membayangkan istrinya sedang mandi sekarang. Afdi membuka dua kancing kemeja bagian atasnya dan merebahkan diri di tempat tidur. Ia juga ingin mandi setelah ini. Sebentar lagi istrinya pasti ke luar dengan rambut yang basah.
Afdi memiringkankan tubuhnya ke kiri. Lelah sebenarnya, tetapi bayangan wajah cantik istrinya membuat rasa lelahnya raib begitu saja. Apalagi membayangkan malam ini akan menjadi malam indah mereka, Afdi berdebar-debar tak menentu. Ia sudah cukup sabar menunggu saat ini tiba. Semoga istrinya telah bisa menerima dirinya dengan iklas. Mata Afdi menangkap ponsel Rianti yang tergeletak di samping bantal di atas kepalanya. Afdi menjangkau ponsel itu.
Iseng Afdi membuka ponsel Rianti. Ternyata ponselnya tidak dikunci. Afdi tersenyum. Kata orang, bukti pasangan kita bisa dipercaya, bukti pasangan kita tidak punya niat untuk macam adalah dengan melihat ponselnya. Apakah dikunci atau tidak. Afdi membuka beberapa aplikasi yang terdapat di layar. Ada facebook, IG, whatshapp, telegram, dan beberapa aplikasi bawaan ponselnya. Afdi melihat banyak notifikasi pada aplikasi whatshapp. Kening Afdi berkerut ketika melihat salah satu pesan yang berasal dari Rio. Dengan rasa penasaran, Afdi membuka pesan dari adiknya itu.
Seketika wajah Afdi mengeras, tubuhnya terasa kaku dan tangannya gemetar. Afdi mencengkram ponsel istrinya itu dengan erat. Sampai buku-buku jari tangannya menyembul. Afdi bangkit dari tidurnya dan duduk di pinggir tempat tidur. Matanya nyalang menatap ke arah pintu kamar mandi. Beberapa saat kemudian, pintu kamar mandi terbuka. Rianti ke luar dengan tubuh berbalut handuk. Rambutnya juga terbungkus dengan handuk. Rianti kaget melihat suaminya telah berada di kamar. Tumben suaminya pulang cepat hari ini.
“Sudah pulang, Mas?” Rianti merasa kikuk menyadari tubuhnya hanya berbalut handuk. Tetapi Afdi hanya membalas pertanyaannya dengan tatapan tajam. Rianti mengambil baju tidurnya dari dalam lemari. Lalu dengan tergesa menyorongkan baju tidurnya dari balik handuk. Handuk di kepalanya pun terlepas memperlihatkan rambut basahnya yang indah.
“Ada hubungan apa sebenarnya kamu dengan Rio? Apa yang tidak saya ketahui?” Suara Afdi terdengar bergetar. Rianti membalikkan tubuhnya menghadap pada Afdi. Tubuh Rianti seketika terasa beku melihat kilatan amarah di mata suaminya.
“Maksud Mas?” Suara Rianti seperti tercekat di kerongkongan.
“Kenapa Rio mentransfer uang ke rekeningmu dalam jumlah sebanyak itu? Ada apa di antara kalian?” Rahang Afdi mengeras. Rianti bergidik. Afdi terlihat amat berbeda dari biasanya. Rianti seperti tidak mengenalinya.
“Maaf, Mas. Itu … itu hanya pinjaman.”
“Kamu meminjam uang kepada Rio? Untuk apa?” Afdi setengah berteriak. Apa yang didengarnya dari mulut istrinya itu benar-benar meledakkan isi dadanya.
“Untuk Amelia, Mas. Amelia lulus di Fakultas Kedokteran dan harus bayar uang masuk minggu depan.” Suara Rianti bergetar. Matanya mulai terasa panas.
“Dan kamu lebih percaya pada Rio? Kamu mengadukan masalahmu pada dia, bukan pada suamimu? Kamu anggap apa aku?” Kali ini Afdi benar-benar berteriak. Rianti terlonjak kaget mendengar kata-kata suaminya itu.
“Maafkan Rianti, Mas. Bukan maksud Rianti seperti itu.” Rianti terisak. Air matanya tumpah membasahi pipi. Afdi bangkit dari kasur dengan kasar lalu berjalan dengan langkah lebar ke luar kamar. Dengan sekali sentakan, pintu kamar pun terbuka. Afdi ke luar dengan amarah yang membuncah. Apa yang dilakukan Rianti benar-benar telah melukai harga dirinya sebagai seorang laki-laki. Istrinya itu telah mempermalukan dirinya sebagai seorang suami.
“Mas, tunggu, Mas.” Rianti berlari mengejar Afdi. Perempuan itu menuruni anak tangga dengan melompati dua anak tangga sekaligus. Afdi telah ke luar lewat pintu depan. Laki-laki itu berjalan ke arah mobilnya dan naik ke mobilnya dengan tergesa.
“Mas, tunggu …” Rianti berteriak meski suaranya hilang oleh suara tangisan. Afdi memundurkan mobilnya dengan kasar, lalu setelah memutar menuju gerbang, mobil berwarna hitam itu melesat dengan kencang. Rianti luruh ke lantai. Isak tangisnya ditingkahi suara azan magrib. Rianti bangkit dengan tubuh lemah tak bertenaga. Ia masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu. Terlihat Bi Ina berjalan menuju ruang salat. Rianti menaiki tangga satu demi satu dengan kaki gemetar. Akhirnya Rianti sampai juga di kamarnya. Dengan tangis yang masih belum reda, Rianti mengambil wudu. Lalu dibentangkannya sajadah dan memakai mukenanya. Dengan air mata yang masih mengalir, Rianti pun melaksanakan salat magribnya.
Bersambung…
0 comments:
Posting Komentar