CERBUNG MENGEJAR CINTA RIANTI 22

Judul : Mengejar Cinta Rianti
Oleh : Naya R

#MENGEJAR_CINTA_RIANTI
#EPISODE_22

Terima kasih admin/moderator telah menyetujui tulisan ini.
Terima kasih pembaca setia Rianti.

Rianti baru saja menyiapkan pakaian kerja Afdi ketika Afdi ke luar dari kamar mandi. Afdi melirik pada pakaian kerjanya yang diletakkan Rianti di atas kasur. Celana berwarna coklat dan kemeja polos lengan panjang dengan warna coklat muda. 

        Duh, Afdi meringis dalam hati. Kemeja yang dipilihkan Rianti adalah kemeja yang kurang disukainya. Kemeja tersebut merupakan oleh-oleh dari karyawan kantornya yang pergi liburan ke LA tahun lalu. Baru satu kali Afdi memakai kemeja itu. Tetapi, Afdi harus menghargai pilihan istrinya. Dengan senang hati Afdi pun memakai kemeja pilihan istrinya.

 “Mas, hari ini Rianti boleh ke rumah Mama, nggak?”
 “Kangen Mama, ya?”
 “Iya, Mas. Sekalian mau mengantarkan uang belanja buat Mama. Minggu depan Siska juga wisuda Mas. Mungkin ada yang perlu dibeli atau disiapkan Mama dan Siska.”

 “Ya, boleh. Diantar Pak Didi ya?”  
 “Kalau pergi sendiri?”
 “Naik apa?”
 “Naik motor yang di garasi ya?”
 “Nggak …nggak … diantar Pak Didi aja. Nanti pulangnya Mas yang jemput.”

 “Oke, Mas. Makasih, ya Mas.” Rianti melompat girang dan reflek mencium pipi suaminya dengan perasaan senang. Afdi terpaku. Sentuhan llembut Rianti meski sekilas tetapi mampu membekukan sel-sel di tubuhnya.

 “Ya.” Afdi mengangguk pelan.
 “Kamu masih belum salat ya?” Afdi bertanya tanpa memandang wajah Rianti. Rianti yang kembali duduk di atas kasur terdiam beberapa detik.
 “Belum, Mas.” Suara Rianti terdengar lirih.
 “Biasanya berapa hari?” Afdi mengancingkan kemejanya.
 “Mmhh … biasanya seminggu sih, Mas.” Wajah Rianti mendadak terasa panas.
 “Oh, berarti masih dua hari lagi, ya?” Afdi melirik sekilas pada Rianti. Terlihat Rianti menggigit bibir bawahnya dan mengangguk pelan.  

 “Sudah rapi belum?” Afdi berdiri tepat di hadapan Rianti. Rianti mengangkat wajahnya dan berdiri. Dengan tangan sedikit bergetar, Rianti membetulkan kerah baju Afdi.
 “Sudah, Mas. Sudah ganteng.” Rianti tersenyum. Seketika dada Afdi berbunga mendengar ucapan istrinya itu. Untuk pertama kalinya Afdi mendengar kata pujian dari sang istri. Mata Afdi menatap Rianti lekat. Rianti kembali menundukkan wajahnya. 

 “Cup.” Pelan Afdi mengecup bibir Rianti. Rianti membeku. Ciuman tiba-tiba meski sesaat itu telah mampu menghentikan detak jantungnya untuk beberapa detik. Ini adalah ciuman kedua Afdi untuknya.

 “Ayo, temani Mas sarapan.” Afdi yang melihat keterpakuan istrinya mengambil tangan Rianti dan membawanya keluar kamar. Rianti mengikuti langkah Afdi tanpa berkata-kata. Bibirnya mendadak terasa kelu.

 Sampai di meja makan, Papa dan Mama Afdi telah duduk menunggu Rianti dan Afdi.
 “Ayo, Sayang. Kita sarapan.” Bu Aini tersenyum lembut pada Rianti.
 “Iya, Ma.” Rianti membalas senyum ibu mertuanya. Rianti dan Afdi duduk bersisian di depan Papa dan Mama Afdi. Di depan mereka terhidang nasi goreng dan mie goreng. 

 “Mau apa, Mas?” Rianti membuka piring di depan Afdi.
 “Mie goreng aja.” Afdi menyeruput teh hangat di depannya. Rianti pun menyendokkan mie goreng untuk Afdi. Menambahkan irisan timun dan tomat serta bawang goreng, lalu meletakkan piring yang telah berisi lengkap itu di depan suaminya.

 “Makasih, ya.” Afdi tersenyum pada Rianti. 
 “Ya, Mas.” Rianti balas tersenyum pada Afdi. 
 “Jadi iri ya, Pa, liat mereka berdua. Ayo sini, Pa. Mama ambilkan juga sarapan buat Papa. Papa mau apa?” Bu Winda melirik Rianti dan Afdi dengan tatapan mata menggoda. Wajah Rianti seketika memerah.

 “Mama kayak nggak pernah muda aja.” Afdi membalas godaan mamanya. 
 “Sampai tua tetap harus mesra seperti itu.” Pak Rahmat ikut nimbrung seraya menerima piring yang telah berisi nasi goreng dari tangan istrinya.

 “Tentu, Pak. Tidak ada kata tua untuk sebuah cinta dan kasih sayang.” Afdi berkata seraya mengambil tangan Rianti dan menggenggamnya beberapa saat. Mereka saling menoleh dan bertatapan. Afdi tersenyum penuh kasih pada Rianti. Rianti membalas senyum suaminya dengan senyuman manisnya.

 “Rio nggak pulang minggu kemarin, Ma?” Afdi yang mulai menyendok mie goreng di depannya bertanya pada sang mama.
 “Nggak, ada kerjaan katanya.” Bu Aini juga telah memulai sarapannya.
 “Belum punya calon juga anak kesayangan Mama itu?” 
 “Ah, payah adikmu itu. Terlalu pilih-pilih.” 
 “Cariin aja kalau gitu, Ma.” 
 “Iya, nanti Mama coba jodohkan sama anak teman Mama.”
 “Huk.” Rianti terbatuk. Afdi cepat-cepat memberikan gelas berisi air putih.
 “Makannya pelan-pelan, Sayang.” Afdi menepuk-nepuk punggung istrinya dengan lembut. Rianti segera meminum air putih yang diberikan oleh Afdi.

 “Makasih, Mas.” Rianti meletakkan kembali gelasnya.
 “Ya. Tambah lagi ya nasi gorengnya.” Afdi mendekatkan tempat nasi goreng pada Rianti.
 “Udah kenyang Mas.” 
 “Banyak-banyak makan biar gendut dikit. Kamu pasti seksi kalau gendut.” Afdi berbisik di telinga Rianti. Seketika wajah Rianti merona. 

 “Ayo, ada apa bisik-bisik. Lagi merencanakan untuk kasih Mama cucu, ya?” Bu Aini mengedipkan matanya pada Rianti dan Afdi. Mata Rianti membulat mendengar ucapan ibu mertuanya. Sementara Afdi terbahak mendengar ucapan sang mama.
 “Mau tahu aja urusan anak muda.” Tiba-tiba Pak Rahmat pun berbisik pada istrinya. Kali ini wajah Bu Winda yang memerah mendengar ucapan sang suami. 

Rianti menyelesaikan sarapannya dengan mengucapkan Alhamdulillah. Keluarga Afdi sama seperti keluarganya. Selalu hangat dan menyenangkan. Rianti amat bersyukur mendapatkan mertua yang begitu baik dan sayang padanya.
Selesai sarapan, Afdi pamit pada papa dan mamanya. Rianti mengantarkan Afdi sampai ke depan.

“Mas berangkat, ya. Nanti sore Mas jemput ke rumah Mama.” Afdi pamit pada Rianti.
“Ya, Mas. Hati-hati di jalan.” Rianti berkata seraya memegang daun pintu. Tetapi Afdi tidak juga beranjak. Masih berdiri di depan Rianti. 
“Kenapa, Mas?” Rianti menatap suaminya heran.
“Nggak salim dulu ama suami? Mas lihat karyawan kantor Mas, kalau diantar atau dijemput istrinya atau suaminya, pasti salaman dulu sebelum berpisah.”

“Oh.” Rianti tersenyum lalu mengulurkan tangannya pada Afdi. Afdi menyambutnya dengan rasa bahagia. Dengan wajah sedikit panas, Rianti mencium tangan suaminya. Afdi mengusap puncak kepala Rianti dengan sayang.
“Mas berangkat, ya.” Afdi kembali pamit. Rianti tertawa.
“Udah dua kali pamit lho, Mas.” Rianti berkata di antara tawa gelinya.
“Eh, iya.” Afdi menggaruk kepalanya yang tidak gatal lalu segera berlalu menuju mobilnya. Rianti menatap punggung suaminya dengan tersenyum. 

****

 Setelah berpamitan kepada bapak dan ibu mertuanya, Rianti pun berangkat ke rumah mamanya diantar oleh Pak Didi. Di mobil, Rianti kembali memikirkan tentang Amelia. Menjadi dokter adalah cita-cita adik bungsunya itu sejak dari kecil. Papa Rianti pun telah menjanjikan akan mewujudkan impian Amelia untuk menjadi seorang dokter. 

       Dan adiknya itu telah membuktikan bahwa ia memang pantas untuk menjadi seorang dokter. Nilai-nilai Amelia sejak kelas 1 SMA selalu bagus. Ia selalu masuk ke dalam tiga besar di kelas. Rianti tidak ingin mengecewakan Amelia. Bagaimanapun caranya, Rianti harus mendapatkan uang untuk biaya masuk Amelia ke Fakultas Kedokteran. 

 Rianti ingat, papanya masih punya investasi tanah di daerah Tangerang Selatan. Tetapi menjual tanah tentu tidak segampang menjual sepeda motor. Iseng Rianti mengirim pesan WA pada Bima dan Ivo. Siapa tahu mereka bisa bantu mencarikan pembeli. Pergaulan Bima dan Ivo lumayan luas juga. Ditambah lagi, orang tua Ivo memang berdomisili di Tangerang.

 “Gila, lo butuh uang sebanyak itu? Buat apa?” Ivo langsung menjawab pesan dari Rianti.
 “Tumben cepat balasnya? Lagi santai, ya?”
 “Ya, namanya bos teman sendiri, ya beginilah. Bisa santai kapan saja.”
 “Oh, enak banget.” 
“Ya, enaklah.”

 “Eh, lo udah dapat suami tajir juga, masih mau jual aset.”
 “Ish, memang mau ngandalin suami terus.”
 “Ya, apa gunanya dapat suami kaya, tapi masih jual tanah.”
 “Ini buat keperluan Amelia. Bukan buat gue.”
 “Amelia mau nikah?”
 “Enak aja. Mau kuliah Ivo.”

 “Oh. Iya deh, nanti gue bantuin nyari pembeli ama Bima. Berapa persen? Wkwkwk.”
 “Serah lo berdua deh. Sesuka lo aja.”
 “Ish, makin serem aja nih Ny. Afdi.”
 “Wek.”

 “Oke, gue dipanggil bos. Udah dulu, ya.”
 “Oke, makasih ya.”
 “Nggak titip salam sama bos gue?”
 “Huk.”
 “Songong lo ya.”

 “Udah cepat sana. Kerja yang bener. Jangan main HP mulu.”
 “Wek.”
 “Salam buat Bima, ya.”
 “Cuma buat Bima?”
 “Ivooo.”
 “Riantiiiii.”
 “Udah ah. Dag”
 “Dag.”

 Rianti menutup aplikasi whatshappnya. Terkadang sekedar berbagi dengan teman atau sahabat pun bisa mengurangi sedikit beban yang ada. Syukur-syukur Ivo dan Bima bisa mencarikan sang pembeli.

 “Mbak, sudah sampai.” Pak Didi menyadarkan Rianti dari ketermanguannya.
 “Oh, iya, Pak. Maaf ya, Pak, saya sibuka WA-an dari tadi.” Rianti tersenyum pada Pak Didi yang telah membukakan pintu mobil.

 “Iya, Mbak. Nggak apa-apa.” Pak Didi membalas senyum Rianti.
 “Makasih, ya, Pak.”
 “Ya, Mba. Oh, iya, nanti mau dijemput pukul berapa, Mbak?”

 “Nggak usah, Pak. Mas Afdi nanti yang jemput saya.”
 “Oke, Mbak. Kalau gitu, saya pamit, ya, Mba.” Pak Didi membungkuk hormat pada Rianti.
 “Ya, Pak. Hati-hati di jalan.” Rianti kembali tersenyum pada Pak Didi.

 “Baik, Mbak. Terima kasih.” Pak Didi kembali mengangguk lalu segera masuk kembali ke dalam mobil. Rianti pun berbalik dan mengetuk pintu rumahnya. Tidak berapa lama, terdengar langkah kaki mendekat. Sedetik kemudian, pintu terbuka.

 “Sayang.” Bu Winda langsung memeluk putrinya dengan penuh kerinduan.
 “Sendiri aja? Afdi mana?” Bu Winda celingukan mencari sosok menantunya.
 “Mas Afdi kerja, Ma. Nanti sore dia ke sini jemput Rianti.” Rianti menggandeng tangan mamanya masuk ke dalam rumah.

 “Oh, iya.” Bu Winda kembali memeluk Rianti dari samping. 
 “Adek-adek mana, Ma?” Rianti memperhatikan rumahnya yang terlihat sepi.
 “Siska lagi ke kampus, mengambil perlengkapan wisudanya. Amelia mengambil legalisir ijazahnya ke sekolah.” Bu Winda mengajak anaknya duduk di ruang keluarga.

 “Bagaimana kabarmu?” 
 “Alhamdulillah baik, Ma.”
 “Kerasan tinggal di rumah mertua?”

 “InsyaAllah kerasan, Ma. Mama dan Papa Mas Afdi begitu baik. Mereka memperlakukan Rianti seperti anak sendiri.”
 “Alhamdulillah. Syukurlah. Kamu juga harus melakukan hal yang sama. Anggap mereka seperti orang tua kamu sendiri.”
 “InsyaAllah, Ma.”

 Tidak berapa lama Mbok Uun datang membawakan dua cangkir teh hangat.
 “Diminum Mba.” Mbok Uun mempersilakan. 
 “Ya ampun, Mbok. Kayak tamu aja.” Rianti terkekeh.
 “Ya, sekarang kan Mba Rianti memang tamu. Rumahnya kan sudah di rumah Mas Afdi.”

 “Ih, Mbok tega deh. Saya sedih lho Mbok kalau dibilang tamu.” Kini giliran Mbok Uun yang terkekeh. Mbok Uun pun berlalu ke dapur untuk melanjutkan aktivitas memasaknya.

 “Ma, ini belanja bulanan buat Mama, ya.” Rianti menyerahkan uang yang telah dimasukkannya ke dalam amplop. Tadi begitu keluar dari rumah mertuanya, Rianti meminta Pak Didi untuk mempir dulu ke ATM. Bu Winda menerimanya dengan ragu.

 “Dari Afdi?”
 “Iya, Mama sayang.”
 “Nggak enak rasanya ya, Nak. Sudah dibelikan rumah ini, dikasih uang belanja. Rasanya Mama mau buka usaha aja biar nggak merepotkan kamu lagi.” Bu Winda menatap amplop di tangannya dengan perasaan sedih. 

 “Jangan gitu, Ma. Sudah menjadi kewajiban Rianti untuk mengurus Mama dan Adik-adik. Ini yang Rianti berikan adalah jatah belanja bulanan Rianti yang dikasih Mas Afdi. Karena Rianti masih tinggal di rumah mertua, yang apa-apa ditanggung mertua, ya uang belanja Rianti jadi utuh deh.” Rianti menerangkan panjang lebar pada sang mama.

 “Iya, Nak. Nanti kalau Siska sudah wisuda mudah-mudah bisa segera bekerja. Agar bebanmu sedikit berkurang.” Bu Winda merasakan dadanya sesak dan matanya terasa panas.
 “Iya, Ma. Rianti juga sedang mencoba nego dengan Mas Afdi agar diizinkan bekerja. Biar Rianti bisa lebih leluasa membantu Mama dan Adik-adik.” Rianti memeluk pundak mamanya dengan penuh kasih.

 “Kalau Afdi nggak mengizinkan kamu bekerja, jangan bekerja. Turuti apa kata suamimu.” Bu Winda mengelus kepala Rianti. 
 “Ya, Ma. InsyaAllah Rianti akan jadi istri yang baik seperti Mama.” Rianti tersenyum dan mencium pipi mamanya lembut.

 “Oh, iya. Mengenai Amelia, nggak usah dipaksakan jika kita tidak mampu untuk membiayainya. Amelia harus mengerti dan menerima kondisi kita saat ini.” Bu Winda memutar duduknya menghadap pada Rianti. Wanita lima puluh tahun itu menatap anaknya dengan wajah serius. Rianti tersenyum manis pada mamanya.

 “InsyaAllah bisa, Ma. Yakin aja dengan pertolongan Allah. Biarkan Amelia menggapai cita-citanya.” Rianti lalu merebahkan kepalanya di pangkuan mamanya. Bu Winda mengusap kepala anaknya dengan penuh kasih. Ah, andai suaminya masih hidup, tentu tidak akan seperti ini ceritanya. Astaghfirullah, Bu Winda beristighfar dalam hati. Tidak boleh berandai-andai. Karena hal seperti itu adalah bisikan setan.

*****

 Menjelang magrib, Afdi datang menjemput Rianti. Setelah mereka salat magrib, Afdi dan Rianti pun pamit pada sang mama dan kedua adik Rianti. 

 “Gimana kantor sejak ditinggal satu minggu, Mas?” Rianti bertanya pada Afdi setelah mereka berada di jalan menuju ke rumah Afdi.

 “Alhamdulillah, aman dan terkendali.” Afdi menjawab seraya meraih tangan Rianti dan menggenggamnya erat. Sementara tangan kanannya memegang setir.

 “Satu hari nggak jumpa, rasanya kengen banget.” Afdi membawa tangan Rianti ke dadanya, lalu dengan lembut Afdi mencium punggung tangan istrinya itu. Untuk sesaat Rianti kembali menahan napasnya. Perlakuan mesra suaminya ini tak ayal menghadirkan gelenyar-gelenyar kecil juga di sudut hatinya.

 “Kita nggak usah pulang ke rumah, ya?” Tiba-tiba Afdi berkata pada Rianti. Rianti menoleh kaget.

 “Nggak pulang ke rumah? Terus ke mana?” Rianti menatap suaminya dengan tatapan bingung.

 “Kita ke apartemen Mas aja ya malam ini. Mas pengen berduaan aja sama kamu.” Afdi kembali mencium tangan Rianti. 

 “Tapi nanti Mama nyariin, Mas.” Rianti mencoba menolak ajakan Afdi dengan halus.
 “Nanti sampai di apartemen kita telepon, Mama, ya.” Afdi meletakkan tangan Rianti di atas pahanya dan kembali fokus menyetir.

 “Tapi, Mas, Rianti masih belum salat.” Rianti berkata lirih seraya memandang ke,luar jendela mobil.

 “Kalau belum salat, kenapa?” Afdi menatap Rianti dari samping dengan tersenyum jahil.
Wajah Rianti mendadak terasa panas.

 “Eh, nggak, Mas. Nggak apa-apa.” Rianti tergagap. Afdi tak dapat lagi menahan tawanya.
Rianti menoleh dan menatap suaminya dengan tatapan heran.
 “Kenapa tertawa?”
 “Kamu lucu.”
 “Uh, Mas yang aneh.”
 “Lha, kok aneh?”
 “Iya, kenapa pengin berduaan aja?”
 “Ya, nggak apa-apa dong. Dengan istri sendiri juga.”
 “Tuh, kan.” Rianti merasa sulit bernapas mendengar ucapan suaminya. Perempuan itu kembali memandang ke luar jendela. Duh, Afdi mau ngapain ya mengajaknya ke apartemen? 
 
Bersambung ….

0 comments:

Posting Komentar