CERBUNG MENGEJAR CINTA RIANTI 21

#MENGEJAR_CINTA_RIANTI
#EPISODE_21

Terima kasih admin/moderator telah berkenan menyetujui tulisan ini.
Terima kasih pembaca setia Rianti.

Ini hari terakhir Rianti dan Afdi di Malang. Hari terakhir ini mereka tutup dengan mengunjungi Bromo. Ke Malang tanpa ke Bromo rasanya belum lah lengkap. Pukul 11.00 mereka dijemput oleh supir taksi online, dari kota Malang melalui jalur Probolinggo. Sekitar pukul 02.00 dini hari mereka sampai di Desa Ngadisari untuk parkir mobil. Rasa dingin menusuk kulit dan tubuh sampai ke tulang sum-sum. Meski mereka telah mengenakan pakaian beberapa lapis, tetapi rasa dingin tetap saja membuat tubuh mereka menggigil. 

Namun demi ingin melihat keindahan matahari terbit, mereka rela merasakan semua itu. Afdi memeluk pinggang Rianti dengan erat. Melihat bibir Rianti menggigil menahan rasa dingin, Afdi rasanya benar-benar tidak tega. Sementara tangan kiri Afdi menggenggam erat jemari tangan Rianti. Siska melakukan hal yang sama pada adiknya Amelia. Siska memeluk Amelia dengan erat. 

 Mereka disuguhi teh panas oleh pemilik rumah tempat mobil taksi online akan menunggu mereka sampai pulang dari Bromo nanti siang. Dari Ngadisari mereka akan naik jeep menuju Penanjakan. Jeep ini mereka sewa melalui si pengemudi taksi online. Rianti, Siska, dan Amelia telah memakai pakaian lengkap mereka, sweater, sarung tangan, dan syal rajut tebal. Afdi juga melakukan hal yang sama. Memakai jaket dan sebo.

 Mobil jeep yang mereka tumpangi melaju dengan lincah melewati jalan sempit yang mendaki. Di depan dan di belakang mereka puluhan mobil hartop juga tengah menuju penanjakan. Iring-iringan mobil bertenaga kuda itu terlihat panjang memenuhi jalan mendaki. 

Jalan yang mereka lewati sebagian besar telah diaspal, hanya ada dua titik menurut Mang Paijo, supir hartop mereka yang belum diaspal, masing-masing sejauh 3 km saja . Namun sudah dipasang rambu-rambu, berem, dan pagar sebagai tanda di kiri kanannya ada tebing atau jurang. Titik pertama, di awal perbatasan wilayah Tengger hingga tikungan maut 345° dengan kemiringan antara 30° - 45°. Tingkungan yang amat tajam ini langsung menghadap jurang lebih dari 200m. Siapa pun yang terperosok akan jatuh di dasar Coban Pelangi. 

Meski dalam gelapnya dini hari, Rianti, Afdi, Siska dan Amelia bisa melihat kondisi jalan yang mereka lewati. Seram juga sebenarnya, tetapi supir jeepyang membawa mereka terlihat amat mahir mengendarai mobilnya. Mang Paijo benar-benar  telah hapal dengan tiap jengkal jalan yang mereka lewati.

Titik ke dua menurut Mang Paijo, yang belum diaspal adalah setelah pertigaan menuju Ngadas dan Jarak Ijo sejauh 2 km saja. Menurut saya, jalur ini memang tanahnya labil karena berpasir serta kemiringannya lebih dari 40° sehingga jalan aspal pun akan mudah terkelupas bila tergerus derasnya air hujan yang turun dari tebing di kanan jalan ( dari arah Malang ) dan  dari atas wilayah Ngadas.

 Pukul 04.00 dinihari mereka pun sampai di penanjakan. Barisan jeep di kiri jalan penjang mengular. Sementara ratusan manusia memadati kawasan menuju penanjakan. Rianti menemani Afdi dan  kedua adiknya untuk melaksanakan salat subuh di sebuah musala sederhana yang memang disediakan untuk kaum muslim yang ingin melaksanakan ibadah fardu mereka. Terlihat puluhan orang juga tengah melaksanakan ibadah salat subuh mereka. Ketika Afdi, Siska dan Amelia mengambil wudu, air yang menyentuh kulit mereka serasa seperti es. Dingin membekukan sel-sel darah mereka. Tetapi kewajiban sebagai seorang muslim tak menyurutkan semangat mereka untuk bermunajat kepada sang pencipta.

 Selesai menunaikan kewajiban fardu mereka, Rianti dan Afdi serta kedua adiknya mulai berjalan menuju penanjakan. Dari atas tangga yang cukup tinggi itu, para pendaki akan menikmati detik-detik munculnya sang fajar. Penanjakan menjadi seperti lautan manusia. Afdi masih menggenggam erat tangan Rianti.

 “Dingin banget, ya?” Afdi menatap istrinya dari samping.
 “Iya, Mas.” Bibir Rianti terlihat bergetar karena menahan hawa dingin yang mengungkung tubuhnya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Mulut Afdi dan Rianti mengeluarkan uap seperti asap ketika berbicara.

 “Sini, Mas peluk.” Afdi menarik pinggang Rianti dan kembali memeluk istrinya itu dengan erat. Rianti hanya diam tanpa bicara apa-apa. Sejak berada di Malang, entah sudah berapa kali posisi mereka terlihat begitu intim. 

 “Masih tahan, Dek?” Rianti menarik tangan Amelia sehingga jarak mereka menjadi lebih dekat.
 “InsyaAllah masih, Kak. Kan dari dulu kita pengen ke Bromo, Kak. Jadi harus kuat.” Amelia berkata dengan suara bergetar menahan dingin.

 “Ya, benar, Dek. Harus semangat.” Siska menyemangati adiknya. Berempat mereka berjalan mengikuti arus manusia yang juga tengah bergerak menuju tangga. Mereka sampai di tempat yang cukup tinggi. Jurang di samping mereka hanya dihalangi oleh pagar besi setinggi pinggang. Mereka pun berdiri menghadap ke arah matahari akan terbit. 

 Subuh yang gelap berangsur-angsur mengeluarkan warna jingga. Perlahan langit biru mulai kelihatan warnanya, awan putih beriringan terlihat tak jauh dari mereka berdiri. Semburat merah pelan-pelan, sedikit demi sedikit mulai tampak di ufuk timur. Ratusan bahkan mungkin ribuan pasang mata terpana menyaksikan fenomena alam yang begitu indahnya. Rianti dan kedua adiknya merasakan hal yang sama. Rasa takjud, rasa haru, rasa bahagia, campur aduk jadi satu. Semuanya menghadirkan rasa syukur pada sang pencipta. Rasa syukur karena mereka bisa menyaksikan langsung maha karya sang pencipta. 
 
 Ketika matahari benar-benar telah menampakkan diri dengan sempurna, lautan manusia mulai berangsur-angsur membubarkan diri. Masing-masing menuju jeep sewaan untuk segera ke kawah Gunung Bromo. Tidak butuh waktu lama untuk sampai ke bawah Gunung Bromo. Tetapi jeep hanya bisa mengantar sampai area parkir saja. Dari lokasi parkir menuju Kawah Bromo kurang lebih 1.8 km. Ada dua alternatif untuk mencapai Puncak Gunung Bromo, bisa jalan kaki atau Sewa Kuda di Bromo. Ketika Rianti, Afdi dan kedua adiknya turun dari jeep, pasukan berkuda telah siap menjemput mereka untuk menawarkan jasa sewa kuda. 

 Rianti, Afdi, Siska dan Amelia memilih untuk naik kuda. Beriringan mereka menuju pinggang Gunung Bromo. Pasir yang mereka lewati naik ke atas membuat napas terasa cukup sesak. Apalagi jika angina bertiup cukup kencang, pasir akan naik ke atas berputar-putar di udara menghalangi pandangan mata. Untung saja, mereka telah memakai masker. 

 Kuda hanya sampai di pinggang Gunung Bromo. Mereka harus menaiki tangga yang sangat curam seperti wisatawan lainnya untuk sampai ke bibir kawah Gunung Bromo. Pemandangan dari pinggang Bromo sangatlah indah. Sejauh mata memandang hanya terlihat gurun dan bukit pasir. Lagi-lagi hati merasa takjud akan keagungan ciptaan Tuhan. 

Dengan penuh semangat, Siska dan Amelia menaiki tangga menuju bibir kawah gunung berapi tersebut. Afdi dengan sabar menggandeng tangan Rianti. Mereka menaiki anak tangga satu demi satu. Napas Rianti terlihat memburu ketika mereka baru sampai setengah perjalanan. Afdi mengajak Rianti untuk beristirahat sejenak. Sementara Siska dan Amelia terus melaju mendekati bibir kawah gunung.

 Cukup menguras tenaga dan energi juga menaiki tangga curam yang penuh sesak oleh pengunjung. Siska dan Amelia seperti biasa kembali mengambil gambar-gambar Rianti dan Afdi yang terlihat sangat mesra.

 “Masih kuat?” Afdi menatap Rianti dengan rasa kasihan. Terlihat Rianti mulai kelelahan. Barangkali karena Rianti sedang datang bulan juga, sehingga kondisi tubuhnya tidak terlalu fit.

 “InsyaAllah kuat.” Rianti mengangguk dan tersenyum pada suaminya. Mereka berdua bersandar di besi pagar tangga. Sementara orang-orang masih silih berganti naik dan turun menuju bibir kawah gunung. Afdi mengelus puncak kepala Rianti denganpenuh kasih. 

 “Kalau nggak kuat Mas gendong.” Afdi berbisik di telinga Rianti. Mata Rianti membulat.
 “Gayanya, bawa badan sendiri aja Mas udah kesusahan.” Rianti mencibir. 

 “Tetapi untuk sebuah cinta semua akan terasa mudah.” Afdi mendekatkan wajahnya pada Rianti. Reflek Rianti menarik wajahnya. 

“Jangan macam-macam. Ini tempat umum.” Rianti mendelik. Afdi terkekeh melihat wajah cemas istrinya itu. 
“Siapa juga yang mau macam-macam.” Afdi mentowel hidung Rianti dengan gemas.
 
“Ayo kita jalan lagi.” Rianti beranjak menaiki tangga mendahului Afdi. Tetapi Afdi kembali mengambil tangan Rianti dan menggenggamnya denga erat. Mereka pun kembali berdesak-desakkan menaiki tangga.

Dengan napas terengah-engah, Rianti dan Afdi akhirnya sampai juga di tangga paling atas. Siska dan Amelia telah sampai duluan. Kedua gadis cantik itu asyik berselfie ria di bibir kawah Gunung Bromo. Dengan berpegangan pada pagar besi, Rianti dan Afdi berdiri menghadap ke kawah gunung. Rianti memejamkan mata, mendengar suara gemuruh dari dasar kawah, Rianti membayangkan neraka yang kondisinya tentu seribu kali lipat lebih dasyat dari bunyi gemuruh dan panas api di dalam kawah. Untuk kesekian kalinya Rianti mengucapkan syukur bisa menyaksikan tanda-tanda kebesaran Tuhan yang maha hebat.

“Yang, liat sini.” Tiba-tiba Afdi mendekatkan wajahnya pada Rianti. Rianti berpaling. ‘Yang?’ Duh manis juga kedengarannya. Rianti tersenyum. Klik! Afdi mengambil foto mereka berdua dengan mode selfie. Beberapa kali Afdi mengambil foto mereka dengan latar kawah gunung Bromo. Siska dan Amelia pun mendekat. Lalu seraya berangkulan dengan Rianti, Siska mengambil foto mereka berempat menggunakan tongsis. 

Setelah puas mengambil foto dan gambar, Rianti, Afdi, Siska dan Amelia pun menuruni anak tangga. Arus manusia yang akan menuju kawah dan yang akan turun dari bibir kawah sama padatnya. Afdi masih menggenggam erat tangan Rianti, seakan takut istrinya itu terjatuh atau tergelincir dari tangga yang sangat curam.

Kuda yang mereka tumpangi tadi masih menunggu di pinggang gunung. Berempat mereka kembali mengendarai kuda dengan dituntun oleh si pemilik kuda menuju tempat parkir mobil jeep. Setelah Afdi membayar uang sewa kuda untuk mereka berempat, mereka pun segera naik ke mobil jeep. 

“Sekarang kita menuju Pasir Berbisik, ya, Mas, Mbak.” Mang Paijo.
“Wah, namanya seperti judul film.” Amelia bersorak.
“Ya, Mbak. Film Pasir Berbisik itu memang syutingnya di sini, Mba.” Mang Paijo menjawab ucapan Amelia.

“Oh, iya, Mang? Keren, ya.” Siska ikut bersorak riang. 
Jeep pun melaju di atas lautan pasir yang seperti tak berbatas. Jeep berhenti di tengah gurun pasir. Amelia dan Siska melompat dari jeep dengan tidak sabar. Sementara Rianti turun dengan berpegangan pada Afdi. Pemandangan yang luar biasa. Jika menikmati keindahan padang rumput dengan pepohonan hijau dan bunga-bunga yang bermekaran adalah sesuatu yang sangat menyenangkan, mendamaikan hati, memandang hamparan pasir yang bak gurun sahara pun menghadirkan perasaan yang sama. Rasa takjud dan kagum akan keagungan Yang Maha Kuasa.  

Siska dan Amelia duduk di kap mobil jeep. Mereka meminta Rianti untuk mengambil foto mereka. Dengan senang hati sang kakak pun menjepret-jepret adik-adiknya. Setelah puas mengambil foto Siska dan Amelia, giliran Rianti yang menarik tangan Afdi naik ke atas jeep. Rianti juga ingin berfoto seperti kedua adiknya. Afdi tersenyum. Rianti semakin terlihat berani dan akrab denganya. Afdi membantu istrinya untuk naik ke atas jeep. Siska dan Amelia pun mengambil foto-foto kakaknya dari berbagai sudut.  

Dari pasir berbisik mereka melanjutkan ke Bukit Teletubbies. Kali ini bukit dengan rumput hijau yang menyejukkan mata terhampar di hadapan mereka. Persis seperti yang pernah mereka tonton dalam film Teletubbies semasa Amelia masih ekcil dulu. Kali ini Siska dan Amelia kembali heboh minta diambilkan foto-foto mereka. Rianti dengan sabar mengikuti keinginan adik-adiknya. Meski matahari sudah mulai naik dan terasa agak terik, tetapi hembusan angin yang menerpa kulit wajah dan tubuh mereka membuat udara terasa sejuk. 

Setelah puas menikmati Bukit Teletubbies, mereka pun naik ke jeep untuk pulang ke rumah singgah di mana mobil sewaan mereka telah menunggu. 
Perjalanan yang menyenangkan. Rianti memeluk tangan Afdi dan bersandar pada tubuh suaminya.

“Makasih, ya Mas.” Rianti berbisik pada Afdi.
“Makasih? Untuk apa?” Afdi menatap Rianti dalam.
“Untuk jalan-jalan kita beberapa hari ini.” Rianti tersenyum.
“Oh, kamu suka?” Afdi membalas senyum istrinya.
“Suka sekali, Mas.” Rianti mengangguk.
“Syukurlah.” Afdi menepuk punggung tangan Rianti dengan lembut. 

“Ehem … kita serasa numpang ya, Dek.” Siska mencolek lengan Amelia.
“Iya, Kak. Kita turun di sini aja, Kak. Hiks.” Amelia memeluk bahu kakaknya, Siska. Afdi dan Rianti tersenyum mendengar ucapan Siska dan Amelia. Afdi malah semakin mengeratkan pelukannya pada bahu Rianti.

*****
 
 Rianti dan Afdi telah kembali ke Jakarta. Mereka sampai siang kemarin. Hari ini harusnya Afdi sudah masuk kantor. Tetapi laki-laki berpenampilan cool itu masih merasa capek. Ia ingin di rumah aja hari ini untuk istirahat. Afdi duduk di sofa di kamarnya dengan laptop di depannya. Beberapa pekerjaan harus diselesaikannya hari ini. Ponselnya pun telah beberapa kali berbunyi dari pagi. Pegawai dan sekretaris di kantornya menyampaikan dan menanyakan beberapa hal. Afdi telah menjelaskan semuanya dengan detail dan mengatakan kalau besok ia telah masuk kantor.

 Rianti masuk kamar dengan membawa cangkir berisi teh hangat. Rianti meletakkan teh hangat itu di depan suaminya.
 “Duduk, sini.” Afdi menarik tangan istrinya. Rianti menurut. Ia duduk di samping suaminya.
 “Banyak kerjaan, Mas?”
 “Nggak juga, biasalah kantor kalau sudah ditinggak sekian lama.” 

 “Besok Mas sudah masuk kantor, ya?”
 “Iya, kenapa?”
 “Nggak ada, Mas.” Rianti menunduk. Ia meremas tangannya dengan resah.

 “Ada apa? Ada yang mau kamu sampaikan?” Afdi meraih tangan istrinya. Afdi menggenggam tangan Rianti. 
 “Mas, Rianti mau nanya. Tapi Mas janji, ya, nggak marah.” Rianti menoleh pada Afdi sekilas, lalu kembali menunduk.

 “Ya, katakan apa saja yang ingin kamu tanyakan.” Afdi menepuk lembut tangan Rianti. Rianti berhenti sejenak dan menarik napas panjang. Afdi menatap Rianti dari samping menunggu apa yang ingin ditanyakan oleh istrinya itu.

 “Mas, kalau seandainya Rianti kerja lagi gimana?” Suara Rianti terdengar pelan. 
 “Kerja?” Afdi tak dapat menyembunyikan rasa kagetnya.
 “Iya, Mas.” Rianti mengangguk.
 “Kenapa?” Afdi tak mengalihkan tatapannya dari wajah resah istrinya.

 “Mas, Rianti anak paling tua. Tanggung jawab dan kewajiban mengurus Mama dan Adik-adik ada pada Rianti. Rianti tidak ingin memberatkan, Mas.” Rianti akhirnya bisa menarik napas sedikit lega karena telah mengungkapkan isi hatinya.

 “Kamu tidak percaya sama Mas? Kamu tidak percaya kalau Mas akan mengambil alih semua tanggung jawab itu?” Afdi melepaskan genggaman tangan Rianti dan menyandarkan kepalanya ke sofa. 

 “Bukan begitu, Mas. Tetapi rasanya tidak enak untuk hal-hal kecil pun Rianti harus selalu minta sama Mas.”
 “Mas suami kamu kan? Tugas dan kewajiban Mas untuk menafkahi kamu.”

 “Iya, Mas. Tapi tentu tidak termasuk menafkahi keluarga Rianti juga. Bukan kewajiban Mas menafkahi Mama dan adik-adik Rianti.”

 “Kalau begitu, kamu masih menganggap Mas orang lain. Orang tau kamu adalah orang tua Mas juga. Adikmu juga menjadi adik-adik Mas. Apa yang menjadi kewajiban dan tanggung jawabmu juga akan menjadi kewajiban dan tanggung jawab Mas.” Afdi berkata tegas. Rianti mendesah resah. Sungguh ia tidak ingin keluarganya menjadi beban suaminya. Bagi Rianti, cukup dirinya sebagai istri yang menjadi tanggung jawab Afdi. Mama dan kedua adiknya jangan sampai juga menjadi beban suaminya.

 “Mas, tadi transfer ke rekening kamu. Gunakanlah uang itu untuk semua keperluan dan kebutuhanmu. Juga untuk kebutuhan Mama dan adik-adik.  Tiap bulan Mas akan transfer ke rekening kamu. Gunakan untuk apa pun yang kamu butuhkan.” Afdi kembali menekuni laptop di depannya. Rianti mengernyit. Afdi transfer ke rekeningnya? Kok ia tidak melihat ada sms banking ya? Dari mana Afdi tahu nomor rekeningnya ya? Rianti bertanya-tanya dalam hati.

 “Mas tahu dari mana rekening Rianti?” Akhirnya Rianti bertanya juga untuk mengobati rasa penasarannya.

 “Kamu lupa, Mas adalah pembeli rumah kamu?” Afdi menatap Rianti dengan tatapan mengejek. Rianti menepuk keningnya. Kenapa ia bisa lupa, bukan kah sebagian uang rumah ditransfer oleh sang pembeli dan sebagian menggunakan cek yang diantar oleh pengacaranya. Dan pembeli itu adalah Afdi suaminya. Rianti bangkit dan mengambil ponselnya. Dengan rasa penasaran, Rianti membuka pesan masuk. Terlihat notifikasi uang masuk di sms bankingnya. Mata Rianti terbelalak melihat angka yang tertera di ponselnya. Bergegas Rianti kembali ke dekat Afdi.

 “Mas, ini nggak salah transfer? Kok jumlahnya banyak amat, Mas?” Rianti menyodorkan layar ponselnya ke depan Afdi. Afdi melirik ponsel Rianti sekilas.

 “Namanya orang kaya.” Afdi berkata dengan senyum dibuat sesombong mungkin. Rianti meneguk ludahnya. 
 “Mas, makasih.” Rianti berkata lirih.

 “Itu belanja bulanan buat kamu. Tiap bulan Mas akan selalu transfer. Jika kurang bilang sama, Mas.” Afdi tersenyum lembut pada Rianti. Rianti mencoba tersenyum. Bukan ini yang diinginkan perempuan cantik ini. Ia ingin mendapatkan uang sendiri untuk kebutuhan Mama dan kedua adiknya. Tetapi mendapatkan izin dari Afdi untuk bekerja kembali sepertinya akan sulit. Rianti kembali duduk di samping Afdi.

 “Sudah, ya. Jangan pikir yang macam-macam lagi. Kamu cukup urus keperluan, Mas. Cukup tunggu Mas pulang kerja, temani Mas seperti ini, dan cukup lahirkan anak-anak kita kelak.” Afdi tersenyum nakal pada Rianti. Wajah Rianti memanas. Mendengar kata-kata melahirkan anak-anak kita membuat hati Rianti menghangat. 

 “Ya, Mas.” Rianti menjawab lirih. Tiba-tiba ponsel Rianti bergetar. Sebuah pesan  masuk ke ponsel Rianti. Rianti membuka ponselnya, ternyata  pesan dari adiknya Amelia. Deg, jantung Rianti serasa berhenti berdetak membaca pesan adiknya itu. Amelia lulus di Fakultas Kedokteran di salah satu universitas ternama di kota ini. Dan perkiraan biaya yang harus mereka sediakan membuat mata Rianti menjadi berkunang-kunang. Angka yang cukup besar untuk ukuran Rianti saat ini. Dari mana ia akan mendapatkan uang sebanyak itu? Afdi baru saja memberinya uang. Dan itu sebagian besar akan digunakan untuk kebutuhan sehari-hari Mama dan kedua adiknya.  Dada Rianti tiba-tiba terasa sesak.

 “Ada apa?” Afdi melirik Rianti yang terlihat resah.
 “Nggak ada, Mas.” Rianti menggeleng dan mencoba tersenyum semanis mungkin. Rianti cepat menghapus pesan dari Amelia. Rianti tidak ingin Afdi sampai tahu masalah ini. Rianti akan mengusahakan sendiri untuk mendapatkan uang tersebut. Ya Allah, beri hamba kemudahan, Rianti berdoa lirih dalam hati.

Bersambung ….

0 comments:

Posting Komentar