CERBUNG MENGEHAR CINTA RIANTI 20

Judul: Mengejar Cinta Rianti
Oleh : Naya R

#MENGEJAR_CINTA_RIANTI
#Episode_20

Terima kasih admin/moderator yang telah menyetujui cerita ini.
Terima kasih pembaca setia Rianti.

Kali ini saya tuliskan kisah tentang Rio, agar sahabat-sahabat Rianti bisa move on dari Rio. Semoga …

Rio berdiri di depan jendela di ruang kerjanya. Menatap ke luar gedung dari lantai lima, terlihat kota Bandung yang padat dengan segala aktivitas masyarakatnya. Beberapa bulan berada di Kota Kembang ini membuat laki-laki macho ini mulai menyukai dan mencintai kota berhawa sejuk ini. Rio berbalik begitu mendengar suara rebut-ribut di depan pintu ruang kerjanya. Sedetik kemudian pintu pun terbuka dengan kasar. Mata Rio menyipit. Sesosok gadis berkostum ala gadis desa telah berdiri tegak di depan pintu. Sementara Bima dengan seragam sekuritinya berdiri di belakang gadis tersebut.

 “Maaf, Pak. Saya sudah berusaha mencegahnya masuk. Tetapi gadis ini tetap ngotot.” Bima berkata pada Rio dengan rasa tak enak hati. Di kantor dan di hadapan para karyawan, Bima memang selalu memanggil Rio dengan sebutan bapak.

 “Nggak apa-apa, Bim. Lo keluar aja.” Bima tersenyum pada Bima. Bima pun berlalu seraya menutup pintu. Rio memperhatikan gadis di depannya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Rok bermotif bunga-bunga kecil, dipadu dengan blus warna biru pudar, jilbab yang dipasang seadanya, tas pinggang, dan sandal jepit. Barangkali seperti inilah sosok gadis desa yang sebenarnya. Tetapi tunggu dulu, mata gadis itu bulat dan indah, bibirnya tipis namun seksi. Kulit wajahnya bersih dan halus. Gadis yang cantik. Rio harus mengakui itu dalam hatinya. 

 “Ada apa? Mau melamar pekerjaan?” Rio melirik sekilas map di tangan gadis itu.

 “Saya tidak butuh pekerjaan. Saya hanya ingin mengembalikan ini kepada Bapak. Janngan pernah datang lagi merayu Ayah saya. Kami tidak akan pernah menjual tanah itu kepada siapa pun dengan harga berapa pun.” Gadis itu melemparkan map coklat di tangannya ke atas meja Rio. Suaranya terdengar berapi-berapi. Rio tersenyum. Gadis yang hebat, Rio bergumam dalam hati.

 “Tetapi Ayahmu mengatakan hal sebaliknya. Dia sedang memerlukan uang yang banyak untuk biaya pengobatannya dan untuk biaya kamu melanjutkan kuliah.” Rio bersedekap dan memandang gadis yang sedang marah itu dengan santai.

 “Dengar! Ayah saya telah berbohong. Dia tidak sedang sakit, dia sehat-sehat saja. Dan saya tidak butuh kuliah jika harus menjual dan menggadaikan tanah tersebut.” Gadis itu mengangkat jari telunjuknya ke depan wajah Rio. Reflek Rio memundurkan tubuhnya beberap centi. 

 “Kenapa kamu tidak ingin menjual tanah itu? Bukankah kata Ayahmu, kalian masih memiliki lahan di tempat yang lainnya?” Rio bersandar pada meja kerjanya.

 “Karena saya akan membangun rumah tahfiz di tanah tersebut. Saya dan teman-teman saya akan mengajari anak-anak di kampung kami mengaji dan menghapal AlQuran.” Suara gadis itu mulai melunak. Kali ini Rio yang tertegun mendengar kata-kata sang gadis. 

 “Rumah tahfiz? Apa kamu memiliki dana untuk mewujudkan impian besar kamu itu?” Rio menyipitkan matanya memperhatikan ekspresi wajah gadis di depannya.
 “Dengan izin Tuhan, insyaAllah saya akan mendapatkannya.”

 “Bagaimana caranya?”
 “Saya akan masukkan proposal ke kantor gubernur, ke kantor walikota, ke pengusaha-pengusaha, dan kepada orang-orang kaya di kota ini.” Suara gadis itu terdengar amat optimis. Rio tersenyum. Gadis yang lugu. Apa dia pikir segampang itu mendapatkan dana? Ck … ck … Rio menggelengkan kepalanya merasa takjud. Tetapi cita-citanya luar biasa, Rio merasa salut dalam hati.

 “Baiklah, Pak. Saya permisi. Terima kasih atas waktu Bapak.” Gadis itu pun berbalik dan melangkah ke arah pintu.
 “Hai, siapakah namamu?” Rio menghentikan langkah gadis itu. 

 “Putri, Pak.” Tanpa berbalik gadis itu menjawab.
 “Putri, saya akan membangunkan rumah tahfiz itu untukmu.” Rio berkata dengan lantang. Putri berbalik. Mata gadis itu membulat sempurna. Sangat indah. Rio terpana memandangnya.

 “Benarkah, Pak?” Putri kembali berjalan mendekati Rio. 
 “Ya, benar.” Rio mengangguk yakin.
 “Lalu apa yang harus saya lakukan, Pak?” 
 “Menikahlah dengan saya.” Rio berkata dengan mantap.

 Plak! Sebuah tamparan mendarat manis di pipi Rio. Rio terpana. Gadis itu menamparnya?
 “Kamu gila. Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu menampar saya?” Rio setengah berteriak.

 “Bapak yang gila, Bapak pikir cinta saya bisa dibeli. Bapak pikir dengan kekayaan Bapak, Bapak bisa berbuat seenaknya pada orang seperti kami? Dengar, Pak, saya memang miskin, saya memang tidak punya apa-apa, tetapi saya masih punya harga diri. Jangan sekali-kali Bapak …” Ucapan gadis itu terputus. Rio menarik tubuh gadis itu dan mencium bibir indahnya dengan lembut

 Plak! Tamparan kedua kembali mendarat di pipi Rio. Kali ini pipi kirinya. Rio tersenyum. Tetapi tiba-tiba gadis itu menangis sesugukan. Rio menjadi bingung.

 “Hei, jangan menangis. Maaf kalau saya telah menyakitimu.” Rio ingin memegang bahu gadis itu, tetapi gadis itu menepisnya dengan kasar. Tangis gadis itu semakin menjadi. Rio menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Laki-laki ini kehabisan akal, bagaimana lagi menghadapi gadis ini. Bagaimana cara mendiamkannya.

 Tiba-tiba gadis bernama Putri itu menghentikan tangisnya. Menghapus air matanya dengan ujung blusnya. Matanya menatap Rio dengan tajam. 

 “Bapak harus ikut saya sekarang.” Tangan Putri menarik kuat tangan Rio dan membawanya ke luar ruangan. Meski bingung, Rio mengikuti juga langkah gadis itu ke luar.

 “Pak Rio?” Dini sekretaris Rio memandang bosnya yang ditarik dengan paksa itu dengan tatapan bingung. Ri
o meletakkan jari telunjuknya di depan bibirnya. Akhirnya Dini pun diam menatap kepergian bosnya menuju lift. Putri membawa Rio turun ke lantai dasar, dimana motornya diparkir. Sampai di parkiran, Putri mengeluarkan kunci kontak motornya. 

 “Naik!” Putri memerintah Rio untuk naik ke motornya. Rio memperhatikan motor butut gadis itu. Apa motor ini masih bisa jalan? Rio bertanya-tanya dalam hati. Tetapi entah kekuatan dari mana yang dimiliki gadis itu, Rio pun menurut. Dalam hati Rio bertanya-tanya, mau dibawa kemana dia oleh gadis ini.

 Motor yang dikendarai Putri dengan membonceng Rio pun berjalan perlahan meninggalkan halaman parkir. Lalu memasuki jalanan kota Bandung yang selalu padat. Melewati Jalan Dago yang menanjak, Rio merasa deg-degan juga. Jalanan yang dilalui tidak terlalu lebar dan menanjak cukup tajam. Tetapi Putri dengan lincah mengendarai motornya. Mereka menuju daerah Lembang. Tanah ayah Putri yang ingin dibeli oleh Rio memang berada di daerah Lembang. Rio pernah menemui ayah putri satu kali diantar oleh temannya yang selalu membantunya dalam mencari lahan-lahan kosong. Perusahaan Rio bergerak di bidang properti. Tetapi kali ini Rio ingin membangun sebuah tempat wisata dengan konsep kafe di tanah Ayah Putri ini.

 Hampir dua puluh menit Putri dan Rio berboncengan. Akhirnya Putri pun menghentikan motornya di sebuah rumah papan sederhana. Di sekelilingnya terlihat berbagai pohon tumbuh tinggi dan rindang. Tekstur tanahnya memang sedikit miring. Tetapi Rio melihat prospek wisata di sangat bagus.

 “Assalammualaikum, Abah.” Putri mengucapkan salam seraya mengetuk pintu. 
 “Waalaikumsalam.” Terdengar sahutan dari dalam rumah dan beberapa detik kemudian pintu pun terbuka lebar. Terlihat wajah Abah Putri di depan pintu. Laki-laki itu mengenakan kaos oblong dan sarung. Putri langsung menyalami abahnya. Laki-laki tua itu mengusap kepala anaknya dan memandang Rio dengan heran. Sejenak kemudian laki-laki bernama Abah Syafii itu pun tersenyum begitu ingat siapa yang sedang bersama anaknya.

 “Jadi kamu sudah setuju Putri, tanah ini kita jual?” Abah berkata dengan suara riang.

 “Tetap tidak setuju, Abah.” Putri berkata dengan lantang.  
“Lalu kenapa kamu membawa Bapak ini ke sini?” Abah menatap anak gadisnya dengan bingung.
 “Laki-laki ini telah berlaku tidak senonoh pada Putri, Pak.” Putri berkata seraya menunduk. Mata Rio terbelalak mendengar ucapan gadis di sampingnya ini.

 “Tidak senonoh?” Suara Abah Syaifii terdengar penuh emosi. Matanya berkilat menahan amarah.

 “Iya, Abah. Abah harus menikahkan Putri dengan dia.” Putri masih tidak berani menatap wajah abahnya.

 “Apa yang telah dilakukannya padamu?” Laki-laki tua itu terdengar menekan suaranya sebisa mungkin agar tidak berteriak. Sementara tatapan matanya begitu tajam pada Rio. Rio meneguk ludahnya yang terasa pahit. Duh, kenapa hari ini ia mengalami banyak kesialan.

 “Dia telah mencium Putri Abah.” Suara gadis itu terdengar lirih dan takut-takut.

 “Edan!” Abah berkata kesal seraya menolak dahi Putri. Putri mengangkat wajahnya dengan kaget. Kenapa Abahnya malah mengatakannya edan. Rio yang sedari tadi telah bersiap-siap untuk digampar seperti yang dilakukan gadis itu tadi di kantornya, kali ini juga mendongak kaget menatap Abah Putri.

 “Kalau kamu diperkosa, barulah kamu boleh minta dikawinkan dengan dia. Tetapi kalau cuma dicium, kamu minta dijadiin pacar saja.” Laki-laki tua itu berkata santai dan berbalik, masuk ke dalam rumah. Wajah Putri memerah menahan malu. Tanpa melihat pada Rio. Gadis itu berjalan kea rah samping rumahnya. Tergesa, gadis itu naik ke tangga yang terdapat pada sebuah pohon di samping rumahnya itu. Rio memperhatikan apa yang dilakukan Putri. Ternyata di atas pohon itu terdapat sebuah rumah-rumahan dari kayu. Putri telah berada di rumah kayunya. 

 Rio berjalan mendekati pohon dan ikut naik ke tangganya. Tidak berapa lama Rio pun berada di dalam rumah pohon Putri. Putri duduk di depan jendela dan menumpukan dagunya di bibir jendela. Rio memandang gadis itu dengan senyum yang tak ungkai dari bibirnya. Benar-benar gadis yang unik. Cantik sih, malah lebih cantik dari Rianti. Astaghfirullah, Rio beristighfar dalam hati. Ia tidak boleh lagi memikirkan Rianti. Rianti telah menjadi istri kakaknya.

  Sementara Putri tidak habis pikir dengan Abahnya. Anak gadisnya telah dilecehkan oleh laki-laki ini, tetapi jawabannya malah santai seperti itu. Di pesantren, Putri selalu diajarkan untuk mejaga diri baik-baik. Menjaga diri dari sentuhan laki-laki, apalagi ciuman. Dan sejak mendengar akan besarnya azab bagi wanita dan laki-laki yang bersentuhan apalagi sampai berzina, Putri pun berjanji dalam hati, siapa saja kelak laki-laki yang menyentuhnya apalagi menciumnya, maka laki-laki itu harus menikahinya. Tetapi abahnya malah mengatakannya edan.

 “Kamu lucu, tadi waktu di kantor saya bilang syaratnya kamu harus menikah dengan saya, kamu marah. Kamu menampar saya dengan keras. Tetapi sekarang, kamu membawa saya menemui Abahmu dan minta dinikahkan dengan saya.” Rio berkata seraya ikut duduk di depan jendela. Mereka duduk berdampingan. Putri menggeser tubuhnya menjauh dari Rio.

 “Bapak pulanglah.” Suara Putri terdengar lirih. Kening Rio mengernyit. Gadis ini tadi yang menculiknya dan membawanya ke sini. Lalu sekarang seenaknya menyuruh dia pulang. Dia mau pulang pakai apa? Rio memperhatikan sekelilingnya yang terlihat sepi. Mana ponselnya juga tertinggal di meja kantor.

 “Menikahlah dengan saya.” Entah pikiran dari mana, Rio kembali mengucapkan hal yang sama seperti yang diucapkannya di kantor tadi. Putri berpaling dan menatap Rio dengan heran. Laki-laki aneh, bisik hati Putri.

 “Saya tidak mencintai Bapak.” 
 “Kamu pikir saya mencintaimu?”

 “Lalu kenapa Bapak ingin menikah dengan saya?”
 “Kan kamu juga minta sama Abahmu untuk menikahkan kamu dengan saya.”

 “Tidak lagi, Pak. Abah benar, mungkin kalau hanya seperti tadi, tidak harus sampai menikah.” 

 Rio tersenyum mendengar ucapan Putri. Benar-benar gadis yang lugu. Masih ada gadis seperti ini di abad milenea ini. Rio geleng-geleng kepala memikirkannya.

 “Kamu benar-benar ingin membangun rumah tahfiz di tanah ini?” Rio melirik Putri yang kini telah duduk bersandar di dinding rumah pohonnya.

 “Benar, Pak. Itu impian saya sejak masuk pesantren.” Mata Putri berbinar. 

 “Saya akan membangunkannya untukmu.”
 “Masih dengan syarat yang Bapak katakana tadi?”
 “Tidak, tidak perlu harus menikah dengan saya. Cukup kamu bersedia ikut dengan saya satu kali saja ke rumah orang tua saya di Jakarta.” 

 “Benaran hanya itu syaratnya, Pak?” Binar di mata Putri kali ini terlihat makin indah. 

 “Benar.” Rio tersenyum dan mengangguk.
 “Baik, Pak. Kalau hanya itu saya bersedia.” Putri bersorak dan segera bangkit. Tanpa permisi pada Rio gadis itu pun menuruni tangga.

 “Hai, mau ke mana?” Rio berteriak pada Putri.
 “Ayo, saya antar Bapak balik ke kantor.” Putri melambaikan tangannya dari bawah pohon. Ya Allah, anugrah ataukah petaka bertemu dengan gadis ini, Rio berkata dalam hati. Tetapi buat Rio, Putri gadis yang menarik. Gadis yang sangat berbeda dengan gadis lainnya. Berbeda juga dengan Rianti.

 Ya ampun, Rio menepuk jidatnya. Rianti lagi … Rianti lagi ….. Ini untuk yang terakhir kalinya. Rio berjanji dalam hati. Lalu Rio pun menuruni anak tangga dengan senyum yang masih tersungging di bibirnya. Putri seperti bunga kapas putih yang sedang terbang di sebuah padang rumput yang hijau. Begitu dalam pandangan mata Rio.

Bersambung …..

0 comments:

Posting Komentar