Judul: Mengejar Cinta Rianti
Oleh : Naya R
#MENGEJAR_CINTA_RIANTI
#EPISODE_26
Terima kasih admin/moderator telah menyetujui tulisan.
Terima kasih pembaca setia Rianti.
“Mas.” Rianti berbisik, tubuhnya serasa melayang.
“Ya, Sayang. Kamu menggigil.” Afdi menangkup kedua pipi Rianti dengan tangannya. Rianti tersenyum. Air mata masih membasahi kedua pipinya.
“Jangan menangis lagi.” Afdi menciumi pipi Rianti yang basah oleh air mata yang bercampur dengan air hujan.
“Dingin, Mas.” Rianti kembali memeluk Afdi. Afdi pun kembali mengeratkan pelukannya. Baju Afdi ikutan basah. Tetapi Afdi tidak peduli. Dalam hati Afdi mengutuk dirinya yang telah menghukum Rianti terlalu berat. Tiba-tiba tubuh Rianti luruh, Afdi langsung mengangkat tubuh yang seperti sudah tidak bertenaga itu. Afdi membopong tubuh Rianti dan membawanya masuk ke ruangan pribadinya.
Afdi membaringkan Rianti di atas sofa bed yang terdapat di kamar pribadinya. Diambilnya selimut dan diselimuti tubuh Rianti sampai ke leher.
“Mas.” Terdengar kembali suara Rianti lirih memanggilnya. Afdi mendekat dan mencium kening Rianti. Terlihat bibir Rianti bergetar menahan dingin di tubuhnya. Lembut Afdi mencium bibir yang telah berwarna kebiruan itu. Afdi ingin menyalurkan hawa panas ke tubuh Rianti.
“Sebentar, Sayang.” Afdi melepaskan ciumannya, tetapi Rianti menahan leher Afdi dengan tangannya.
“Rianti sudah salat, Mas.” Suara Rianti makin lirih. Bening kembali mengalir dari sudut-sudut matanya. Dada Afdi seakan dihantam ribuan ton batu besar. Sakit sekali.
“Iya, Sayang. Tetapi kamu sedang tidak sehat.” Afdi tak dapat menahan isaknya. Untuk pertama kali sejak ia dewasa, Afdi menangis. Menangisi perempuan yang amat dicintainya. Afdi membaringkan tubuhnya di samping Rianti, Rianti melingkarkan tangannya ke pinggang Afdi. Afdi pun melakukan hal yang sama.
“Mas telepon bentar, ya.” Afdi mengeluarkan ponsel dari kantong celananya. Rianti menyurukkan wajahnya ke ceruk leher Afdi. Bibir Rianti menyentuh lembut kulit leher Afdi. Seketika tubuh Afdi menjadi kaku. Ada yang bergejolak di dalam tubuhnya. Tergesa Afdi mencari sebuah nomor kontak di ponselnya dan menekan tombol hijau. Satu kali dering, teleponnya langsung diangkat.
“Ya, Pak. Ada yang perlu saya bantu?” terdengar suara merdu perempuan di ujung telepon.
“Kamu sudah pulang?”
“Belum, Pak. Saya kan selalu pulang setelah Bapak pulang.”
“Tolong sekarang kamu ke mall terdekat, belikan satu stel pakaian wanita lengkap dengan hijab dan pakaian dalamnya.”
“Buat siapa, Pak?” terdengar nada tidak senang dari ujung telepon.
“Buat istri saya lah, kamu nggak lihat tadi istri saya basah kuyub?” Suara Afdi terdengar ketus dan dingin.
“Ya, Pak. Tapi di luar masih hujan, Pak. Saya juga mau langsung pulang. Ibu saya barusan nelepon.”
“Kamu mau saya pecat?” Afdi tidak dapat lagi menahan rasa kesalnya.
“Nggak, Pak.”
“Kalau gitu, pergi sekarang juga.”
“Baik, Pak. Duitnya Pak?”
“Kamu pakai aja duit kamu dulu, besok saya ganti. Nanti kalau udah sampai lagi di kantor, letakkan aja di atas meja kamu. Biar saya yang ambil.”
“Baik, Pak.” Afdi pun meletakkan kembali ponselnya di meja di samping sofa mereka berbaring. Hangat napas Rianti menyentuh pori-pori Afdi. Afdi menelan ludahnya.
“Bajunya basah, Mas bantu buka, ya?” Afdi menatap Rianti ragu. Rianti mengangguk lemah. Dengan tangan gemetar, Afdi membuka peniti hijab Rianti. Pelan Afdi melepaskan pembungkus kepala Rianti. Rambut basah Rianti pun tergerai indah. Lalu dengan tangan gemetar, Afdi mulai membuka kancing baju Rianti satu persatu. Rianti terlihat hanya diam, tak ada penolakan. Afdi langsung menutupkan selimut ke dada Rianti. Sungguh ia merasa tidak kuat untuk menyaksikan semua ini. Afdi setengah memejamkan mata. Apalagi ketika harus membuka rok Rianti. Afdi menahan napasnya.
Afdi mengumpulkan pakaian basah Rianti dan memasukkannya ke sebuah kantong. Diletakkannya kantong tersebut di sudut ruangan. Ruangan pribadi Afdi tidak terlalu besar. Hanya sebuah sofa bed, lemari kecil, kulkas kecil dan sebuah teleivisi. Beberapa hari ini Afdi menghabiskan waktunya di ruangan ini.
Afdi kembali mendekati Rianti dan duduk di samping istrinya itu. Rianti makin menggigil, rasa dingin serasa menusuk-nusuk tubuhnya.
“Sayang, Mas bikinin teh hangat, ya?” Afdi mencium pipi kiri dan kanan Rianti.
“Nggak usah Mas. Rianti hanya ingin Mas.” Suara Rianti terdengar bergetar. Dada Afdi bergemuruh mendengar kata-kata Rianti. Perlahan ia mendekatkan wajahnya pada Rianti. Rianti memejamkan mata, bibir yang sudah mulai berwarna itu sedikit terbuka. Afdi tak dapat lagi menahan diri. Kembali diciumnya bibir Rianti dengan lembut. Kali ini Rianti membalasnya dengan penuh gairah.
“Sayang, sudah. Kamu sedang sakit.” Afdi merenggangkan pelukannya dari Rianti. Napasnya terengah-engah.
“Tetapi, Rianti sudah keramas dari kemarin, Mas.” Lirih suara Rianti di telinga Afdi. Afdi tercekat. Mata laki-laki itu kembali terasa panas. Tubuh Rianti menggigil dalam pelukannya. Ada pengharapan yang teramat besar pada tatapan mata wanita di depannya ini. Afdi tak dapat lagi menolaknya. Afdi kembali mencium bibir Rianti. Meski tubuh Rianti lemah tak bertenaga, tetapi hasrat dalam dirinya menuntunnya untuk membalas ciuman dan belaian lembut namun penuh gairah dari sang suami.
Kerinduan selama beberapa hari tidak bertemu, penantian Afdi untuk membuktikan rasa kasih dan cintanya, akhirnya luruh dalam penyatuan yang suci. Afdi melakukannya dengan segenap rasa cinta. Dan Rianti pun menyerahkannya dengan rasa iklas dan rasa kasih yang ternyata telah mulai tersemai di hatinya. Tubuh Rianti yang tadi menggigil akhirnya menjadi panas dalam gelora cinta.
“Terima kasih, Sayang.” Afdi mencium bibir Rianti lembut. Rianti tersenyum. Rasa bahagia, haru, sedih, campur aduk menjadi satu. Bahagia karena akhirnya ia menyerahkan kesuciannya hanya untuk sang suami. Rasa haru karena akhirnya Afdi mau memafkannya. Meski tak ada permohonan maaf yang keluar dari mulut Rianti atau jawaban maaf dari Afdi, tetapi apa yang mereka lakukan sore ini telah lebih dari sebuah kata maaf. Rianti tersenyum bahagia.
“Sudah tidak dingin lagi kan?” Afdi mengedipkan sebelah matanya pada Rianti. Wajah Rianti langsung memerah. Dengan perasaan malu Rianti kembali menyurukkan kepalanya ke ceruk leher Afdi. Afdi tertawa geli melihat tingkah istrinya.
“Kuat mandi, kan? Mas coba lihat baju kamu di ruangan Anggi, ya. Mudah-mudahan Anggi sudah kembali.” Afdi mencium kembali keing Rianti sebelum bangkit. Rianti hanya mengangguk pelan. Begitu Afdi bangkit, Rianti langsung memalingkan wajahnya yang kembali memerah.
Setelah memakai pakaiannya, Afdi ke luar dari kamar pribadinya. Melewati ruangan kerjanya, Afdi berjalan ke luar menuju ruangan sang sekretaris. Tetapi baju yang dipesan Afdi belum ada. Afdi berdiri dengan gelisah di depan meja sekretarisnya. Dikeluarkannya ponsel dari dalam kantong celana. Afdi mencari kontak Anggi. Setelah menekan tombol hijau, tidak berapa lama terdengar suara Anggi di ujung telepon.
“Ya, Pak.”
“Kamu di mana?”
“Masih di jalan, Pak.”
“Kok lama sekali?”
“Ya, ampun, Pak. Bapak kira mallnya di samping kantor. Ini juga udah cepat, Pak.”
“Ya, udah. Saya tunggu.” Afdi mematikan teleponnya. Afdi kembali masuk ke ruangannya. Beberapa saat menunggu, akhirnya terdengar ketuka di pintu. Afdi bergegas membuka pintu. Anggi berdiri di depan Afdi dengan sebuah kantong besar. Wajah perempuan cantik itu ditekuk. Afdi heran melihatnya.
“Ini, Pak.” Anggi menyerahkan kantong besar itu pada Afdi. Afdi menerimanya.
“Berapa semuanya?”
“Ini, Pak.” Anggi menyerahkan secarik kertas kecil pada bosnya itu. Afdi menerimanya dan melihatnya sekilas. Lalu dengan tangan kanannya Afdi mengambil dompet, mengeluarkan beberap lembar uang kertas berwarna merah dan menyerahkannya pada Anggi.
“Buat saya semua, Pak?” Anggi menerima lembaran-lembaran kertas yang diberikan Afdi dengan ragu.
“Ya.” Afdi menjawab pendek.
“Makasih, ya Pak.” Anggi menjawab dengan girang. Afdi berbalik dan menutup pintu ruangannya. Anggi mengerucutkan bibirnya merasa kesal lagi dengan sikap dingin bosnya itu.
Afdi masuk kembali ke kamar pribadinya. Diletakkannya kantong berisi pakaian Rianti itu di meja di depan sofa bed. Perlahan Afdi duduk di samping Rianti. Dilihatnya Rianti telah tertidur dengan lelap. Afdi tersenyum. Disentuhnya kening Rianti dengan punggung tangannya. Sedikit hangat. Afdi benar-benar merasa terenyuh. Dalam keadaan yang tidak sehat, istrinya itu telah menunaikan kewajibannya dengan penuh keiklasan. Lembut Afdi mencium kening Rianti.
Afdi beranjak menuju lemari kecil di belakang sofa bed. Di lemari itu selalu ada dua stel pakaian gantinya. Lengkap dengan handuk dan pakaian dalamnya. Ketika masih lajang, Afdi pernah beberapa kali lembur sampai tengah malam dan tidak pulang ke rumah. Ia tidur di kamar ini. Afdi mengambil celana jeans dan kaos oblong berwarna hitam. Lalu mengambil hnaduk yang terlipat rapi di samping pakaiannya. Untuk kamar pribadinya ini, Afdi memang tidak mengizinkan cleaning servis perempuannya untuk masuk dan membersihkan. Hanya OB yang masuk dan membersihkan kamar ini dua kali seminggu.
Afdi meletakkan pakaian gantinya di atas meja. Dengan mengalungkan handuk di lehernya, ia pun masuk ke kamar mandi untuk segera mandi dan membersihkan diri. Di kamar mandi, tidak henti bibir Afdi tersenyum dan sesekali bersenandung. Bayangan kemesraannya dengan sang istri tak mau ungkai dari matanya. Ini adalah hari yang paling indah dan bersejarah untuk Afdi. Hari ini ia merasa telah utuh memiliki hati dan tubuh istrinya.
Setelah selesai mandi dan memakai pakaiannya, Afdi ke luar dari ruangan kerjanya menuju pantry. Rianti masih terlihat lelap dalam tidurnya. Afdi merasa tidak tega untuk membangunkannya. Afdi menyeduh teh untuk dirinya dan untuk Rianti. Kantor telah benar-benar sepi. Semua karyawannya telah pulang. Paling hanya tinggal sekuriti di pos depan. Afdi membawa dua cangkir teh hangat itu ke ruangannya.
Afdi meletakkan kedua cangkir teh hangat itu di meja di samping Rianti tidur. Afdi mengambil ponselnya dan membuka aplikasi gofood. Perutnya tiba-tiba merasa lapar. Rianti pasti juga kelaparan, pikirnya. Afdi memesan beberapa menu sekaligus. Tepat ketika azan magrib berkumandang, Rianti terbangun. Afdi segera mendekat.
“Enak tidurnya, Sayang?” Afdi mengusap kening Rianti lembut. Rianti tersenyum malu.
“Iya, Mas.”
“Kuat mandi sekarang? Ada air panasnya kok.” Afdi membelai rambut Rianti.
“Kuat, Mas.” Rianti bangun dan membungkus tubuhnya dengan selimut. Afdi membantu Rianti turun dari tempat tidur. Setelah mengambil handuk, Afdi mengantarkan Rianti sampai ke kamar mandi.
“Handuk Mas taruh di sini, ya. Baju ganti mau dibawa sekalian?” Afdi meletakkan handuk di belakang pintu kamar mandi.
“Iya, Mas. Bajunya mana?”
“Bentar Mas ambilkan, ya.” Afdi keluar dari kamar mandi dan mengambil baju ganti buat Rianti yang telah dibelikan oleh Anggi.
“Ini, Yang. Semoga cocok, ya.” Afdi menyerahkan kantong kertas besar itu pada Rianti. Rianti tersenyum dan mengangguk.
“Makasih, ya, Mas.” Afdi tersenyum dan mengacak rambut Rianti dengan sayang.
“Mas tunggu di luar ya. Kalau ada apa-apa, panggil Mas, ya.” Afdi menutupkan pintu kamar mandi.
“Ya, Mas.” Rianti menjawab sebelum pintu tertutup rapat.
Afdi merapikan sofa bed yang berantakan. Menegakkan sandaran sofa dan mengecilkan suhu AC ruangan. Ia tidak ingin Rianti kedinginan lagi setelah selesai mandi. Tidak berapa lama ponsel Afdi berbunyi. Ternyata pesanan makanannya telah sampai. Afdi mengambil dompet dan bergegas ke luar ruangan. Di Lobi pengantar makanan online sudah menunggu dengan seorang sekuriti, Bang Igoy. Afdi tersenyum pada keduanya.
Afdi menerima beberapa bungkus makanan dari si abang gofood. Setelah membayar, Afdi menyerahkan dua kantong pada Bang Igoy.
“Buat saya, pak?” Bang Igoy bertanya pada Afdi.
“Iya, makan berdua sama Bang Safri ya. Saya mau makan di ruangan dengan istri saya.”
“Oh, iya, Pak. Makasih, ya, Pak.” Bang Igoy menerima kantong makanan yang diberikan Afdi dengan senang hati.
“Ya, sama-sama.” Afdi tersenyum dan mengangguk. Lalu Afdi berjalan lagi menuju pantry. Mengambil beberapa mangkuk dan sendok. Dengan bernyanyi-nyanyi kecil Afdi membawa mangkuk dan sendok tersebut ke ruangannya. Begitu sampai di ruangannya ternyata Rianti telah selesai mandi dan terlihat telah rapi dengan pakaian yang dibelikan Anggi.
“Udah wudu?” Afdi meletakkan makanan dan mangkuk yang dibawanya di atas meja.
“Sudah, Mas.” Rianti mengangguk.
“Mas wudu dulu, ya.”
“Ya, Mas. Tetapi Rianti nggak ada mukena, Mas.”
“Oh, iya. Nanti Mas ambilkan di musala kantor, ya.”
“Biar Rianti aja yang ambil, Mas. Mas wudu aja.”
“Berani? Sudah sepi lho.”
“InsyaAllah berani, Mas.”
“Oke, hati-hati, ya.” Afdi masuk ke kamar mandi dan Rianti pun ke luar dari ruangan Afdi menuju musala. Tubuhnya sudah terasa sedikit enak. Ternyata obat sakitnya hanya suaminya. Rianti tersenyum sendiri membayangkan apa yang telah mereka lakukan tadi. Wajah Rianti kembali terasa panas.
Rianti membawa mukena dan sajadah ke ruangan Afdi. Ruangan-ruangan kantor telah sepi dan sedikit gelap. Tetapi karena Rianti telah mengenal keseluruhan ruangan kantor suaminya ini, Rianti tidak merasa takut. Sampai di ruangan Afdi, Afdi telah menunggu Rianti di atas sajadahnya. Rianti membentangkan sajadah yang dibawanya di belakang suaminya. Lalu Rianti memakai mukena.
“Sudah siap?” Afdi menoleh pada Rianti.
“Sudah, Mas.” Rianti mengangguk. Afdi kembali meluruskan badannya menghadap kiblat. Lalu ia mengangkat kedua tangan hingga bawah telinga, bertakbiratul ihram. Rianti mengikuti gerakan Afdi. Lalu mereka pun terlihat khusyu dalam salat tiga rakaatnya.
Selesai salat, Rianti mendekat pada Afdi. Rianti mengulurkan tangan dengan dada berdebar. Entah sejak kapan debar aneh ini datang. Rianti pun tak mengerti. Afdi menerima uluran tangan Rianti dan dengan penuh kasih mencium kening istrinya itu.
“Jadi istri yang baik ya, Sayang.” Afdi berbisik di telinga Rianti.
“Ya, Mas. InsyaAllah. Maafkan Rianti ya, Mas.” Rianti tiba-tiba kembali terisak.
“Mas juga minta maaf. Pergi begitu saja meninggalkan kamu tanpa mencoba menyelesaikan masalah secara baik-baik.” Afdi menarik tubuh Rianti dan merengkuhnya ke dalam pelukannya. Mereka berpelukan dengan erat. Sudut-sudut mata Afdi juga terasa panas. Tetapi kali ini karena rasa bahagia. Terima kasih Tuhan, Afdi berucap berulangkali dalam hatinya.
“Ayo, Mas sudah pesan makanan. Kamu pasti lapar, kita makan sekarang, ya.” Afdi merenggangkan pelukannya. Pipi Rianti terlihat basah. Afdi mengusap lembut kedua pipi istrinya.
“Sudah, jangan menangis lagi. Semua baik-baik saja. Mulai hari ini kita sama-sama berjanji untuk menjaga ikatan suci pernikahan kita. Menjaga hati dan cinta kita berdua agar tidak pernah ternoda. Kamu mau kita sama-sama berjanji?” Afdi menatap lekat mata basah Rianti. Rianti mengangguk berulang kali.
“Ya, Mas. Rianti janji.” Rianti memegang erat kedua tangan Afdi. Afdi membalas genggaman tangan Rianti. Kembali desiran aneh itu menghadirkan debara-debaran indah di dada mereka.
“Terima kasih, ya.” Afdi mencium kening Rianti sekali lagi.
“Ya, Mas. Ayo, Mas, Rianti lapar.” Rianti mengajak Afdi untuk bangkit. Kali ini Rianti benar-benar merasa lapar. Afdi pun bangkit dengan penuh semangat. Tergesa Afdi dan Rianti melipat sajadah dan kain salat mereka. Lalu seraya berpegangan tangan, mereka duduk di sofa. Afdi dan Rianti berebut mengeluarkan makanan dari kantong-kantong di atas meja.
“Banyak amat yang Mas pesan.” Rianti membuka bungkus sop yang terasa panas di tangannya.
“Habis bertarung tadi, kamu pasti kelaparan.” Afdi berbisik di telinga Rianti. Mata Rianti membulat dan pipinya memerah mendengar kata-kata Afdi.
“Mas!” Rianti tanpa sadar mencubit perut Afdi dengan geram. Afdi terbahak. Lalu mereka pun mengeluarkan makanan- makanan tersebut ke dalam mangkuk. Rianti memilih makan sop dengan nasi. Sementara Afdi makan nasi dengan ayam rica-rica. Mereka makan dengan lahap. Satu mangkuk sop dan nasi ludes dimakan Rianti.
“Tuh, kan. Kamu kelaparan.” Afdi mendekatkan wajahnya pada Rianti. Wajah Rianti kembali merona. Tetapi benar, Rianti memang merasa sangat lapar dan sangat berselera. Tiga hari tidak makan dengan baik, membuat Rianti makan seperti orang yang sudah seminggu tidak makan.
“Tambah lagi, ya?” Afdi mendekatkan mangkuk berisi udang dan cumi saus tiram.
“Iya.” Rianti mengangguk dengan malu. Afdi tersenyum.
“Kamu nggak makan ya selama Mas pergi?”
“Siapa, bilang. Rianti makan, kok.” Rianti menjawab tanpa menatap wajah Afdi. Rianti tidak ingin Afdi tahu kalau ia berbohong. Mereka kembali makan dengan lahap.
“Ini teh hangatnya, Sayang. Diminum biar tubuh kamu jadi hangat.” Afdi mendekatkan cangkir teh pada Rianti. Rianti menerimanya dan meminumnya beberapa teguk.
“Siapa yang bikinin teh ini, Mas?”
“Mas tadi yang bikin sendiri.”
“Haaa? Mas bikin sendiri?” Rianti benar-benar merasa kaget.
“Kenapa jadi kaget gitu?” Afdi tersenyum geli melihat ekspresi wajah istrinya.
“Iya, masa sih seorang direktur membuatkan teh untuk cleaning servisnya.” Rianti menatap Afdi dengan tatapan mata menggoda. Afdi mendekat pada Rianti, dengan tangan kirinya, Afdi memegang pipi kiri istrinya itu.
“Itulah kekuatan cinta. Dia mengalahkan segalanya. Mengalahkan ego, mengalahkan posisi, mengalahkan jabatan.” Afdi menatap Rianti lekat. Deg. Jantung Rianti berdetak lebih cepat dari biasanya menerima tatapan begitu dalam dari sang suami.
“Aku mencintaimu, kemarin, hari ini, esok dan selamanya.” Afdi berkata dengan mata yang terlihat berkaca-kaca. Sungguh Afdi merasa lega telah mengutarakan perasaannya dengan sejujur-jujurnya pada perempuan cantik di depannya ini. Rianti menunduk. Menatap jemari tangannya yang belum dicuci. Tak dapat ditahannya rasa sedih, haru, bahagia. Semua campur aduk menjadi satu. Ucapan yang tulus dari sang suami telah menyentuh dasar hatinya yang paling dalam. Setetes air jatuh dari pipi Rianti. Rianti terisak.
“Kenapa menangis lagi?” Afdi mengangkat dagu Rianti dan menatap istrinya itu dengan perasaan bingung. Adakah kata-katanya yang telah salah?
“Rianti bahagia, Mas. Terima kasih. Mas telah mencintai Rianti dengan tulus. Rianti janji akan membalas cinta Mas sebanyak cinta yang telah Mas berikan pada Rianti.” Rianti berkata dengan pipi basah oleh air mata. Afdi tersenyum.
“Terima kasih, Sayang. Mas akan membantu kamu untuk bisa memiliki perasaan cinta sebanyak yang Mas miliki.”
Mereka bertatapan dengan senyum bahagia.
“Mau tidur di sini atau mau pulang?” Afdi berbisik di telinga Rianti.
Bersambung ….
Cerbung mengejar cinta rianti hanya sampai part 26 atau ada lanjutannya lagi?
BalasHapusNo 27 sampe terakhir kok gak ada ya sis...
BalasHapus