CERBUNG MENGEJAR CINTA RIANTI 19

#MENGEJAR_CINTA_RIANTI
#EPISODE_19

Terima kasih admin/moderator yang telah menyetujui tulisan ini.
Terima kasih pembaca setia Rianti.

 Afdi membuka matanya. Ia merasakan sebuah tangan memeluk pinggangnya. Wajah Rianti tepat berada di bawah wajahnya. Afdi tersenyum memandang wajah cantik di depannya. Beberapa helai rambut menutupi wajah yang terlihat masih tertidur nyenyak itu. Tak dapat menahan diri, Afdi mencium lembut kening Rianti. Rianti bergerak perlahan dan membuka matanya. Mata Rianti membulat melihat siapa yang ada di depannya. Apalagi begitu menyadari tangannya yang tengah memeluk pinggang Afdi. Rianti reflek menarik tangannya, namun Afdi cepat menahan tangan Rianti. 

 “Biarkan begini sebentar saja.” Afdi menatap Rianti lekat. Rianti menahan napasnya. Jaraknya begitu dekat dengan Afdi. Ini untuk pertama kalinya Rianti merasa tidak berjarak dengan seorang laki-laki. Rianti merasakan tubuhnya kaku. Afdi tersenyum melihat ketegangan wajah istrinya itu. 

 “Sudah azan, Mas.” Rianti mencoba merenggangkan pelukan Afdi. Afdi pun melepaskan pelukannya. 

 “Ayo, kita salat subuh.” Afdi menyibakkan selimut dan bangun dari tidurnya. Rianti ikut bangun dan duduk di pinggir tempat tidur. Afdi masuk ke kamar mandi untuk mengambil wudu. Rianti pun mengambil sajadah dan membentangkannya di samping tempat tidur. Disiapkannya sarung dan baju koko Afdi di atas sajadah. Lalu setelah itu, membentangkan sajadah untuk dirinya sendiri di belakang sajadah Afdi. Tidak berapa lama, Afdi ke luar dari kamar mandi dengan wajah terlihat segar oleh air wudu. Gantian Rianti yang masuk ke kamar mandi. 

 Afdi mengganti baju kaosnya dengan baju koko yang telah disediakan oleh Rianti. Bibirnya menyunggingkan senyum melihat perlengkapan salatnya telah disiapkan oleh istrinya. Hal-hal kecil seperti ini ternyata terasa membahagiakan. Setelah Afdi rapi dengan baju koko dan sarungnya, Rianti terlihat ke luar dari kamar mandi dengan rambut yang telah diikat seadanya ke belakang lehernya. 

 “Mas, salat duluan aja, Mas.” Rianti mengambil sajadahnya yang telah terbentang di belakang sajadah Afdi. Afdi mengernyitkan keningnya.

 “Kenapa?” Afdi menatap Rianti heran.
 “Itu, Mas. Rianti kedatangan tamu bulanan.” Rianti menjawab seraya menunduk. 

 “Oh.” Suara Afdi terdengar lirih. Rianti terlihat sibuk melipat sajadah dan mukenanya. 
 “Mas salat dulu, ya. Kamu kalau mau tidur, tidur aja lagi.” Afdi berkata seraya tersenyum pada Rianti. Rianti membalas senyum suaminya.

 “Ya, Mas.” Rianti mengangguk. Lalu Afdi pun mulai salat. Rianti memilih duduk bersandar di kepala tempat tidur. Perutnya terasa tidak enak. Biasalah haid pada hari pertama. Rianti memejamkan mata dan mencoba menikmati rasa mules di perutnya. Hampir lima belas menit Rianti dalam posisi seperti itu. Afdi yang telah selesai salat melipat sajadahnya dan melihat Rianti yang sepertinya sedang tidak nyaman. Afdi naik ke atas tempat tidur dan duduk di samping Rianti.

 “Kenapa?” Afdi menyentuh pundak Rianti lembut. Rianti membuka matanya dan mencoba tersenyum melihat Afdi yang telah berada di sampingnya.
 “Perutnya nggak enak, Mas.”
 “Masuk angin?” Afdi menatap Rianti cemas. Rianti menggeleng.

 “Bukan, Mas. Biasanya kalau baru dapat, ya begini.” Rianti meringis.
 “Oh.” Afdi pun baru mengerti. 
 “Ya, udah, baring aja lagi, ya. Atau mau Mas pijit?” Afdi mengambil selimut dan menyelimuti kaki Rianti sampai ke pinggang. 

 “Nggak usah, Mas. Hidupkan televisi aja, Mas.” 
 “Oke.” Afdi mengambil remot TV dan menekan tombol power. Seperti biasa, Afdi mencari saluran Khazanah Islam di salah satu stasiun televisi. Afdi ikut bersandar di samping Rianti. Baru saja Afdi akan mengambil tangan Rianti, terdengar ketukan di pintu kamar. Afdi dan Rianti saling pandang, lalu sejurus kemudian Afdi pun bangkit dan berjalan menuju pintu. Afdi memutar kunci dan menarik handel pintu. Terlihat wajah ceria Amelia dan Siska di depan pintu kamar.

 “Boleh masuk, Mas?” Amelia tersenyum pada Afdi. Afdi membalas senyum Amelia dan mengangguk.
 “Silakan.” Afdi pun melebarkan daun pintu dan berbalik kembali ke arah Rianti. Siska dan Amelia pun masuk dan menutup pintu kembali. Mereka terlihat telah rapi dengan pakain olahraga.

 “Kak, jogging keliling hotel, yuk.” Ajak Amelia seraya mendekat pada Rianti. 
 “Perut kakak lagi nggak enak, nih. Kalian jalan berdua aja, ya.” Rianti menatap kedua adiknya dengan rasa bersalah.

 “Kenapa, Kak? Baru dapet, ya?” Siska menatap kakaknya dengan wajah khawatir. Rianti mengangguk.
 “Mau dipijitin pinggangnya?” Siska ikut duduk di dekat Rianti. Sementara Afdi telah pindah duduk ke sofa di samping jendela. 

 “Nggak usah, ini nggak lama. Paling setelah sarapan nanti sudah enakan lagi. Dan kita bisa jalan-jalan menikmati Kota Malang.” Rianti tersenyum pada kedua adiknya.
 “Kalau gitu kami jogging berdua, ya, Kak?” Siska bangkit dan menggamit tangan adiknya Amelia.

 “Ya, hati-hati, ya. Jangan terlalu jauh.” 
 “Oke, Kak.” Siska dan Amelia seperti biasa menjawab serentak. Rianti tersenyum melihat kelakuan kedua adiknya. Siska dan Amelia pun pamit pada Afdi sebelum  keluar dari kamar. Afdi tersenyum dan mengangguk pada kedua adik iparnya itu. Setelah kedua adik iparnya pergi, Afdi kembali mendekati Rianti. 

 “Ayo duduknya mutar menghadap ke sana.” Afdi telah duduk di samping Rianti. Rianti menatap Afdi dengan bingung.
 “Kenapa, Mas?”
 “Mas pijitin pinggangnya. Tadi Siska bilang mau pijitin kamu, berarti biasanya kalau lagi dapet begini, kamu biasa dipijitin kan?” 

 “Tapi, Mas …” 
 “Ayolah, setelah itu kamu mandi, lalu kita sarapan.”
 Rianti dengan ragu memutar duduknya membelakangi Afdi. Pelan tangan Afdi mulai memijat punggung Rianti sampai ke pinggangnya. Pijatan tangan Afdi terasa enak di tubuh Rianti. Rianti tersenyum, tidak menyangka mantan bos galaknya ini pintar memijit. Hampir lima belas menit Afdi memijit punggung dan pinggang Rianti. Rianti akhirnya berbalik dan menatap Afdi dengan tatapan takjud.

 “Makasih, ya, Mas. Pijitan Mas enak banget.” Rianti tersenyum.
 “Sudah enakan?”
 “Sudah, Mas.” Rianti mengangguk cepat.
 “Syukurlah. Kamu mandi duluan ya, setelah itu Mas.” 

Afdi menggeser duduknya dan turun dari tempat tidur. Laki-laki itu berjalan menuju jendela dan membuka tirai jendela lebar-lebar. Cahaya matahari pagi kota Malang masuk ke kamar hotel. Rumah-rumah penduduk yang tidak terlalu padat, terlihat di antara hijau pepohonan. Pagi yang indah

Rianti bergegas turun dari tempat tidur. Mengambil pakaian gantinya di lemari dan masuk ke kamr mandi. Afdi kembali duduk di sofa dan membuka ponselnya. Beberapa email masuk dan belum sempat dibacanya. Afdi membuka email yang masuk satu persatu. 

****  
 Berempat mereka sarapan di restoran hotel. Rianti sudah merasa lebih enak setelah minum jahe panas. Rianti memilih sarapan bubur ayam. Sementara Afdi memilih sarapan dengan mie goreng. Siska dan Amelia seperti biasa kompak memilih menu roti bakar dan segelas susu. Mereka telah berpakaian rapi untuk segera menikmati tempat-tempat indah di kota Malang. 

 Afdi terlihat keren dengan setelan celana berwarna coklat tanah dengan atasan kaos putih. Rianti memakai celana kulot berwarna senada dengan Afdi, dipadu kemeja simple warna broken white. Pasmina warna senada dengan celana kulotnya. Meski tidak merencanakan, tetapi penampilan Rianti dan Afdi terlihat begitu kompak pagi ini. Siska dan Amelia beberapa kali berbisik mengomentari penampilan kakak mereka yang terlihat begitu serasi dengan sang suami. Rianti pura-pura tidak tahu dengan kerlingan mata menggoda kedua adiknya.

 Setelah sarapan, Afdi memesan taksi online. Mereka akan mengunjungi kebun apel. Salah satu tempat agrowisata yang sayang dilewatkan kalau sedang berada di Kota Malang. 
 “Sudah enakan perutnya?” Afdi memeluk pundak Rianti lembut. 
 “Udah, Mas.” Rianti mengangguk dan tersenyum pada suaminya.

 “Kuat buat jalan? Kalau nggak kita istirahat di hotel aja.” 
 “InsyaAllah kuat, Mas. Kasihan Siska sama Amelia kalau kita Cuma di hotel.” Rianti melirik kedua adiknya yang sedang asyik teleponan dengan sang mama.
 “Nanti kalau nggak nyaman, kasih tahu ya. Kita langsung balik ke hotel.” 

 “Ya, Mas.” Rianti kembali mengangguk. Begitu baik dan perhatiannya laki-laki ini padanya, Rianti ingin membuka hatinya lebar-lebar untuk menerima semua perhatian dan kelembutan suaminya itu. Tidak berapa lama, seorang petugas hotel menghampiri mereka. 

 “Mobilnya sudah datang, Pak.” Petugas hotel itu membungkuk hormat pada Afdi.
 “Oh, iya. Makasih, ya.” Afdi tersenyum pada laki-laki muda dengan seragam warna maroon itu.
 “Ya, pak. Sama-sama.” Laki-laki muda itu kembali mengangguk dan berjalan menuju pintu depan hotel.

 “Ayo, mobilnya sudah datang.” Afdi memanggil Siska dan Amelia. Lalu dengan menggenggam tangan Rianti, Afdi berjalan ke luar hotel. Siska dan Amelia mengikuti mereka dari belakang.   Berempat mereka masuk ke dalam mobil. Afdi duduk di depan di samping supir. Rianti dan kedua adiknya duduk di belakang. 

Jalan Kota Malang yang menurun dan mendaki dengan pohon-pohon besar yang tumbuh di kiri dan kanan jalan, sebuah pemandangan kota yang begitu asri. Udara yang juga terasa sejuk, membuat suasana terasa begitu nyaman. Hampir tiga puluh lima menit mereka menikmati jalanan yang indah untuk dipandang, mereka pun sampai di kebun apel. Turun dari mobil, mereka harus melanjutkan beberap puluh meter lagi dengan berjalan kaki. Dan akhirnya, mereka pun sampai di bawah pohon-pohon apel yang sedang berbuah dengan lebatnya. 

Siska dan Amelia terlihat sangat senang begitu memetik buah-buah apel. Seraya memasukkan ke kantong yang telah disediakan, mereka berdua juga langsung memakannya. 
“Cuci dulu dek, nih air mineral.” Rianti mengambil air mineral dari dalam tasnya dan menyerahkannya pada kedua adiknya.

“Hehe, iya, Kak.” Siska nyengir seraya menerima botol air mineral dari kakaknya. Siska pun mencuci buah apel yang sudah terlanjur digigitnya. Diikuti oleh Amelia. Amelia menyerahkan botol yang masih berisi air itu kembali pada Rianti. Giliran Afdi yang mengambil botol air mineral dari tangan Rianti dan mencuci sebuah apel yang berada di genggamannya. Setelah mencucinya Afdi menggigitnya lalu Afdi mendekatkan apel yang telah digigitnya itu ke mulut Rianti.

“Ayo cobain, segar.” Afdi berada tepat di depan Rianti. Rianti mengangkat wajahnya dan matanya bertemu dengan mata Afdi yang tengah menatapnya dengan lembut. Rianti pun membuka mulutnya dan menggigit apel yang disodorkan oleh Afdi. Afdi tersenyum senang. Tiba-tiba terdengar tawa cekikikan Siska dan Amelia dari samping. Terlihat kedua adiknya itu tengah mengambil pose Rianti dan Afdi. Rianti membulatkan matanya pada kedua adiknya.

“Keren, Kak. Fotonya jadi indah. Coba deh liat.” Amelia mendekatkan ponselnya pada Rianti. Afdi ikut melirik foto yang terpampang di layar ponsel Amelia. Terlihat foto dirinya dnegan Rianti dengan posisi yang begitu dekat. Afdi sedang menyuapkan apel pada Rianti. Foto yang cantik.

“Kirim nanti ke wa, Mas, ya, Dek.” Afdi berkata pada Amelia.
“Siap, Mas.” Amelia mengangkat tangannya pada Afdi. Tinggallah Rianti dengan bibir manyunnya. Setelah itu, Amelia dan Siska kembali sibuk memetik buah apel. 

“Nggak usah banyak-banyak, Dek. Nanti nggak ada yang makan. Mubazir.” Rianti mengingatkan kedua adiknya yang terlihat begitu bersemangat memetik buah apel.
“Kita bawa pulang buat Mama dan Mbok Uun, Kak.” Siska menjawab seraya naik lagi ke tempat yang lebih tinggi. Amelia mengikuti Siska dari belakang. 

Hampir satu jam mereka menikmati kesejukan di kebun apel. Mereka pun turun untuk menimbang apel yang telah mereka petik. Petugas di pintu masuk menyebutkan harga apel yang harus dibayar. Afdi menyerahkan beberapa lembar uang lima puluh ribuan pada petugas tersebut. Setelah itu, mereka naik ke jalan raya, taksi online yang dipesan Afdi beberapa menit lalu telah menunggu mereka. Mereka pun naik ke mobil dengan dua kantong apel yang ditenteng oleh Afdi dan Siska.

Dari kebun apel, mereka melanjutkan wisata ke Museum Angkut. Museum yang memiliki lebih kurang 300 koleksi kendaraan ini merupakan museum terbesar di Asia tenggara. Ada delapan zona pameran yang masing-masing memiliki keunikan tersendiri. Dari main hall yang memajang berbagai kendaraan antik, hingga edukasional. Siska dan Amelia sibuk berselfie ria di depan mobil-mobil antik tersebut.

Seperti di BNS, kali ini Siska dan Amelia juga menata gaya berfoto Afdi dan Rianti. Afdi dengan senang hati mengikuti semua arahan kedua adik iparnya itu. Dalam hati, Afdi tersenyum sendiri. Biasanya ia paling malas kalau difoto. Tetapi kali ini, malah dia yang terlihat paling bersemangat. Hanya Rianti yang masih terlihat sedikit kaku.  

Dari Museum Angkut, mereka melanjutkan perjalanan ke Taman Langit. Taman bunga dengan berbagai patung-patung eksotik menjadi tempat yang cantik untuk berselfie. Tempatnya yang berada di ketinggian menghasilkan foto berlatar langit biru. Tepatlah jika tempat ini dinamakan Taman langit. Memandang ke bawah, terlihat pemandangan Kota Batu yang begitu indah. Kali ini Rianti pun bersemangat untuk berfoto. Afdi mengambil beberapa foto Rianti dengan berbagai pose. 

Puas menikmati keindahan Taman Langit, mereka mencari tempat makan. Taksi online yang akhirnya disewa Afdi sampai malam, telah menunggu di tempat parkir. Afdi meminta supir untuk mencari tempat makan yang enak di Kota Batu. Mobil pun bergerak perlahan membelah jalanan Kota Batu yang tidak terlalu padat. 

Tidak berapa lama, mobil memasuki parkiran rumah makan Waroeng Bamboe. Afdi mengajak supir taksi untuk ikut makan bersama mereka. Karena Afdi terlihat begitu serius mengajak, pak supir yang awalnya menolak, akhirnya bersedia ikut makan dengan mereka. Kebaikan hati Afdi yang seperti ini, yang tidak membedakan status sosial seseorang, yang membuat rasa simpati di hati Rianti.

Afdi memesan banyak menu selain yang telah dipilih oleh Siska dan Amelia. Kota Batu yang dingin menurut Afdi akan membuat selera makan mereka menjadi sangat baik. Kali ini, Afdi duduk di dekat Rianti. Afdi menggenggam erat jemari tangan Rianti. Sementara tangan kananya sibuk membuka pesan-pesan yang masuk dari para pegawai di kantornya. Siska dan Amelia juga terlihat asyik dengan ponsel masing-masing. Pak Supir yang memperkanalkan diri sebagai Pak Sabri, permisi ke belakang.

Tidak berapa lama, satu persatu pesanan mereka pun datang. Mulai dari minuman, nasi, lalapan, sambel, goreng tahu dan tempe. Terakhir baru ikan, udang, cumi dan kepiting. Afdi mempersilakan Siska dan Amelia untuk makan. Juga Pak Sabri yang telah kembali duduk di samping mereka. Mereka berlima pun makan dengan lahap. Selain karena capek juga berkeliling, udara yang sejuk juga membuat perut terasa lapar. Dan makanan menjadi begitu nikmat.

“Kok udahan?” Afdi menoleh pada Rianti yang telah menyelesaikan makannya.
“Udah kenyang, Mas.” Rianti tersenyum manis pada suaminya itu.

“Cobain cumi saus tiramnya, deh. Enak banget.” Afdi mendekatkan tangannya yang memegang cumi ke mulut Rianti. Rianti tak enak untuk menolak. Akhirnya Rianti pun membuka mulutnya. 

“Enak kan?” Afdi bertanya pada Rianti. Rianti mengangguk.
“Mas suapin lagi, ya. Ini masih banyak.” Afdi kembali mengambil sepotong cumi dan menyuapkannya pada Rianti. Rianti kembali membuka mulutnya. Siska dan Amelia terdengar cekikikan. Dan ternyata mereka kembali mengambil pose-pose Afdi dan Rianti. Rianti membesarkan matanya pada kedua adiknya yang sering jahil itu. 

Sementara Afdi hanya senyum-senyum senang dan bahagia. 
“Jangan lupa kirim semua sama Mas, ya.” Afdi berkata raing pada Siska dan Amelia.

“Tenang saja, Mas. Pulang dari Malang, kami kirim satu album foto romantis Mas dengan Kak Rianti.” Amelia berkata seraya mengedipkan matanya pada kakaknya. Rianti mendelikkan matanya pada Amelia. Amelia dan Siska tertawa senang merasa telah sukses mengerjai sang kakak.

Dari Waroeng Bamboe, mereka mencari masjid untuk salat zuhur. Setelah itu, wisata masih dilanjutkan ke Coban Rais. Menikmati alam perbukitan nan hijau dengan gemercik air terjun setinggi dua puluh meter. Sebuah pemandangan alam yang luar biasa indahnya. Rianti mengagumi semua keindahan itu sebagai bentuk keagungan Sang Pencipta. 

Dari Coban Rais mereka menikmati Gardu Pandang berbentuk lambang I Love You. Berdiri di Gardu Pandang ini mereka dinikmati pemandangan alam perbukitan yang indah. Dan ini menjadi salah satu spot berfoto yang digemari oleh pengunjung. Siska dan Amelia langsung mengambil pose dan minta difotokan sama Rianti. Setelah itu, mereka meminta Rianti dan Afdi melakukan hal yang sama. Afdi dan Rianti berdiri di papan bergambar love.

Dengan santai Afdi memeluk pinggang Rianti. Sedetik Rianti menahan napasnya. Pelukan erat Afdi di pinggangnya membuat tubuhnya terasa kaku. Mereka benar-benar seperti tidak berjarak. 

Ketika Amelia menyuruh mereka mengubah gaya, Afdi meletakkan dagunya di atas pundak Rianti. Dan harum tubuh Rianti menyeruak memenuhi rongga hidung laki-laki itu, tak dapat menahan diri, Afdi mencium lembut leher Rianti yang tertutup hijab. Bulu kuduk Rianti berdiri mendapatkan kecupan lembut dari Afdi. Rianti menoleh pada suaminya itu, dan Afdi pun tengah menatap lekat padanya. Untuk pertama kali, Rianti merasakan desiran di dadanya menerima tatapan suaminya itu. 

Sementara Siska dan Amelia tidak menyia-nyiakan moment romantis kakaknya. Mereka langsung mengabadikannya dengan kamera di tangan mereka. Berbagai ekspresi dan pose Rianti Afdi terekam di kamera mereka. Siska dan Amelia tersenyum puas melihat hasil jepretan mereka. 

Dari Coban Rais, Rianti minta langsung pulang ke hotel. Ia merasa sangat lelah, mungkin karena baru hari pertama mendapatkan haid. Afdi pun meminta supir taksi untuk pulang ke hotel. Siska meminta Afdi untuk duduk di samping kakaknya Rianti dan Siska pindah duduk ke depan. Benar saja, baru beberapa menit mobil berjalan, Rianti pun tertidur. 

Afdi memeluk pundak Rianti dan menyandarkan kepala istrinya itu ke dadanya. Dada Afdi berdebar tidak menentu merasakan tubuhnya yang begitu dekat dengan istrinya. Selalu saja begitu, setiap kali berdekatan dengan perempuan ini, jantung Afdi seperti tidak sehat. Menjadi berdetak tidak normal.

Sampai di hotel, Afdi membangunkan Rianti dengan menepuk lembut pipi Rianti. Rianti membuka matanya dan mendapati dirinya berada dalam pelukan Afdi. Buru-buru Rianti menegakkan tubuhnya dan merapikan hijabnya.
“Maaf, Mas. Rianti ketiduran, ya?” 
“Nggak apa-apa. Kamu pasti kelelahan.” 

Afdi turun dan menunggu Rianti di samping pintu mobil. Rianti pun bergegas turun diikuti oleh Amelia. Siska telah turun dari pintu depan dan menunggu mereka di depan hotel. Afdi membayar uang sewa mobil dan mengucapkan terima kasih pada Pak Subri yang telah mengantar dan menunggui mereka dengan sabar. 

Di depan pintu kamar hotel, Rianti berpisah dengan kedua adiknya.
“Istirahat ya, nanti malam kalau capek, kita makan malam di hotel aja.” Rianti memegang pundak Amelia sekilas sebelum masuk ke kamarnya mengikuti Afdi yang telah masuk duluan. 
“Ya, Kak.” Amelia dan Siska menjawab kompak. Mereka berdua pun bergegas masuk ke kamar. Ternyata lelah juga seharian mengelilingi Kota Batu. 

Afdi membaringkan tubuhnya di atas kasur. Rianti mendekat dan duduk di samping Afdi.
“Salat asar dulu, Mas.” Rianti menyentuh tangan Afdi. Afdi memegang jemari tangan Rianti. 
“Iya, bentar, lima menit.” Afdi membawa tangan Rianti dan meletakkannya di dadanya.

“Eh, nggak boleh lalai. Azan sudah dari tadi. Ayo cepat.” Rianti menarik tangan Afdi. Tetapi Afdi balas menarik tangan Rianti. Tak ayal tubuh Rianti terdorong dan menimpa tubuh Afdi. Wajah Rianti tepat berada di atas wajah Afdi. Afdi menatap lekat mata Rianti. 

Wajah Rianti mendadak terasa panas. Rianti memalingkan wajahnya ke kanan dan mencoba bangkit dari atas tubuh Afdi. Namun sebelum Rianti bangun, Afdi menahan punggung istrinya itu. Lembut Afdi mencium bibir Rianti. Rianti membeku. Bibir Afdi terasa hangat di bibirnya. Tak bisa dipungkiri Rianti, ada debaran kecil di dadanya. Ini ciuman pertama untuknya
.
“Mas, salat.” Suara Rianti terdengar parau. 
“Ya.” Afdi tersenyum. Afdi merasa gemas melihat sikap gugup wanita di hadapannya ini. Afdi pun melepaskan tangannya dari punggung Rianti. Dan Rianti menegakkan tubuhnya kembali. Mendadak Rianti merasa salah tingkah.

Duh, kenapa ia tidak bisa sedikit santai dan luwes dengan laki-laki ini. Bukankah laki-laki ini telah menjadi suaminya. Baru satu kecupan saja sudah membuatnya salah tingkah. 

“Mas salat dulu, ya.” Afdi telah bangun dari tidurnya dan mengusap puncak kepala Rianti yang masih terbungkus hijab. Rianti hanya mengangguk seraya berdiri dan berjalan menuju jendela kamar. Rumah-rumah penduduk dan pohon-pohon yang menghijau di luar sana terlihat begitu indah di sore hari. Di bawah kilauan cahaya matahari menuju sore hari. Rianti tersenyum seraya mengusap bibirnya. 

Bersambung …

0 comments:

Posting Komentar