Cerbung....
*Aku Bukan Wanita Bodoh*
*Jilid.....16*
Wanita itu melemparkan setiap benda yang ada di dekatnya, sambil terus berteriak dan menangis. Badannya sangat kotor bercampur abu sisa pembakaran.
Terselip rasa iba, aku mencoba mendekati. Berniat ingin menenangkannya. Mas Yoga ikut menyusul.
"Karin, istigfar. Sabar yaaa."
Bukannya tenang Karin makin beringas.
"Puass kamu Merry? Senang kamu melihat hartaku habis? Kenapa kamu diam saja, kenapa kamu gak ngomong kalau rumah dan tokoku habis di lalap api? Kenapa?"
Karin melotot. Matanya membulat, seakan ingin menerkamku. Aku mundur perlahan. Tak di sangka Karin meraih balok yang ada di dekatnya, secepat kilat dilemparkan ke arahku.
"Merry, nunduk!"
Bruuk.
Terdengar benda keras beradu. Balok yang tadi di lemparkan Karin membentur pintu gerbang.
"Ayo, kita pergi dari sini Mer, wanita itu mengincar kamu."
Aku seolah terpaku melihat keadaan Karin. Nampaknya Karin sangat terpukul. Mulutnya tak henti berteriak dan memaki.
"Tidaak aku gak mau miskin, ini mimpi,gak ini cuma mimpiii huhuuuu...Merry aku yakin kamu dalang di balik semua ini, ngaku!"
Aku menggeleng, tak tahu harus bicara apa.
"Siapa wanita itu?" Tanya Mas Yoga.
"Dia pemilik rumah ini dan toko di sebelah." Jawabku.
Karin mendekat. Di pungutnya sebuah batu yang ada di dekatnya. Aku tercekat. Jarak kami semakin dekat. Perlahan aku melangkah mundur.
Kulirik Mas Yoga ikutan waspada. Tangan Karin yang memegang batu terangkat, aku menutup mata dengan kedua tangan.
Bughh..
Bersamaan dengan suara itu ku rasakan ada yang menarik kepalaku dan masuk ke dalam kungkungannya.
Meski tak melihat orangnya tapi tubuh kekar itu terasa sangat ku kenal. Aku yang masih menunduk di seretnya keluar dari halaman rumah Karin. Setelah terasa aman aku berusaha melepaskan diri dari kungkungan lengan kekar itu.
Pak Wahyu. Lelaki itu entah sejak kapan berada di halaman rumah Karin.
"Ibu ngapain ke rumah wanita itu, gimana kalau tadi batu itu kena kepala ibu, lain kali hati-hati wanita itu berbahaya buat Ibu"
Aku hanya bisa mengangguk. Dada rasanya masih berdebar. Pak Wahyu terus saja menatapku, wajahnya terlihat khawatir. Walaupun sudah di luar pagar rumah Karin, rasanya aku juga masih gemetar. Karin benar-benar sudah tak waras.
Aku akan beranjak ke mobil ketika kulihat ada cairan warna merah yang membasahi kaos abu-abu yang di kenakan Pak Wahyu. Cairan kental yang makin lama makin banyak membasahi pelipis dan turun ke baju tanpa di sadari.
Aku mendekat. Tanpa sadar tanganku reflek menyeka cairan yang mengalir itu. Bau amis, darah.
Pak Wahyu terkejut, sama terkejutnya denganku.
"Darah Pak, kepala bapak..." ucapanku menggantung.
Pak Wahyu reflek meraba kepalanya. Selanjutnya wajahnya terlihat meringis menahan sakit. Aku langsung berlari ke mobil mengambil kotak P3K.
"Sini Pak, saya obatin. Masuk dulu ke mobil."
Tanpa membantah Pak Wahyu menurut.
"Maaf Pak, ini cuma tindakan darurat, setelah ini Bapak saya antar ke rumah sakit ya."
Pak Wahyu hanya diam sambil sesekali wajahnya meringis menahan sakit. Aku jadi merasa bersalah. Demi melindungi aku Pak Wahyu rela kena lemparan batu dari Karin.
"Merry, menjauh dari sini cepat!"
Suara Mas Yoga terdengar panik dari dalam pagar Karin. Aku mendongak melihat ke arah halaman, Karin makin kalap. Mulutnya terus meneriaki namaku sambil berusaha keluar dari pagar. Mas Yoga berusaha mencegah Karin dengan mencekal lengannya.
Aku menoleh ke arah Pak Wahyu yang tampak terkulai lemah. Aliya dan Radit tampak ketakutan. Tanpa pikir panjang lagi aku segera menutup pintu mobil dan segera duduk di belakang kemudi.
Mobil siap di nyalakan ketika terlihat mobil polisi berhenti tepat depan rumah Karin. Entah apa yang di omongkan kedua polisi itu. Suara mereka kalah oleh suara dan teriakan Karin. Yang jelas Karin terlihat di bawa pergi oleh kedua polisi itu tanpa perlawanan, hanya tatapan kebencian di matanya untukku.
Aku turun dari mobil, menatap mobil yang membawa Karin sampai hilang di tikungan. Tanpa ku sadari Mas Yoga sudah berdiri di sampingku.
"Siapa dia, Mer." Lirih Mas Yoga bertanya.
"Dia, wanita yang sudah merebut seorang ayah dari anak-anakku."
Mas Yoga terdiam, hanya menatapku sendu.
"Kamu benar-benar wanita hebat Merry, di saat sakitpun tak ada kebencian di matamu."
Aku tersenyum mendengar ucapan Mas Yoga.
"Dah yah, aku pamit. Semoga kamu sama anak-anak betah di sini."
Mas Yoga tak menjawab malah melihat ke dalam mobil, alisnya bertaut.
"Itu Pak Wahyu, perwira yang mengurus kasus Mas Amin." Aku menjawab sebelum Mas Yoga bertanya.
"Trimakasih ya Mas tadi udah nolong aku. Entah apa jadinya tadi kalau Mas Yoga gak ada." Ucapku lagi.
"Tak perlu mengucapkan terima kasih, aku melakukan itu karena tak mau orang yang ku sayang terluka. Kamu hati-hati ya."
Aku terkesiap mendengar ucapannya.
"Itu masa lalu Mas. Jangan di ungkit lagi."
Tanpa menunggu jawaban dari Mas Yoga aku segera berlalu dari hadapannya.
=======
"Bun, Om Wahyu kenapa?" Tanya Radit.
"Kepalanya terluka Dek." Jawabku sambil tetap fokus menyetir.
Tak butuh waktu lama kami tiba di rumah sakit. Pak Wahyu langsung di bawa ke UGD.
Aku menunggu dengan was-was sambil tak henti berdoa Takut terjadi apa-apa dengan Pak Wahyu.
"Keluarga bapak Wahyu? Tanya seorang perawat.
Aku mengangguk dan bergegas mengikuti langkah perawat tersebut.
Cepat ku temui Pak Wahyu yang masih terbaring di atas ranjang dengan kepala dibelit perban.
"Maaf Pak, gimana rasanya sekarang? saya khawatir terjadi sesuatu sama Bapak. Ini semua gara-gara saya."
Pak Wahyu tersenyum.
"Gak apa-apa ini hanya cedera kepala ringan. Yang penting kamu selamat."
Aku jadi makin merasa bersalah. Suasana hening sesaat. Kikuk jadinya.Tapi tak lama kemudian suasana kaku di antara kami segera mencair oleh kedatangan Tania.
"Ayaaah...."
Tania menghambur ke pelukan ayahnya.
"Ayah gak apa-apa sayang, udah ah jangan kaya anak kecil." Ujar Pak Wahyu sambil mencubit pipi Putri tunggalnya.
"Isshhhh," Tania manyun.
"Bun, Aliya mana?"
"Tuh di taman sama Radit."
Tania meliirk ke ayahnya. Sekilas Pak Wahyu mengangkat alisnya ke putrinya itu. Tania terlihat mengedipkan sebelah matanya.
Aku yang ada di antara mereka jadi tak enak melihat anak sama bapak saling kode-kodean.
"Tania, ada apa sih hayooo." Tak sadar aku keceplosan juga bertanya.
Tania hanya tertawa dan pamit pada ayahnya mau menemui Aliya. Pak Wahyu malah tersenyum lebar. Aku sendiri jadi Keki.
"Oh ya Pak, bapak tadi bisa ada di rumah Karin sih."
"Ehhm, iya tadinya pengen nemuin kamu sama anak-anak. Kata Tania mau pindahan, kok gak ngomong-ngomong."
"Iya nanti juga saya ngomong Pak, ngedadak soalnya. Yang belinya sudah pengen nempatin." Aku beralasan.
"Ya sudah sekarang saya yang antar kalian ke rumah baru kalian ya."
"Eh, jangan Pak." Aku buru-buru mencegah.
"Udah Bapak istirahat saja. Nanti saya nengok bapak lagi."
Tanpa menunggu jawaban Pak Wahyu aku segera keluar mencari Aliya dan Radit. Sekilas aku melirik wajah Pak Wahyu tampak kecewa.
Biarlah. Aku tak enak kalau terus melibatkan Pak Wahyu dalam setiap urusan.
Sampai di taman aku mengajak Aliya dan Radit pulang.
"Tania, kamu jagain ayah kamu ya. Bunda pulang dulu. Nanti ada waktu senggang Bunda nengok."
"Lho kok udah mau pulang sih Bun?" Tania cemberut.
Aku hanya tersenyum mengelus kepalanya.
Setelah berpamitan ke Pak Wahyu, aku dan anak-anak segera melanjutkan perjalanan.
========
Kamu hanyalah serpihan yang takkan pernah jadi utuh lagi.
Aku memandang sebuah pas foto milik Mas Amin yang terselip di dompetku. Foto beberapa tahun silam.
Aku tersenyum getir. Dulu foto itu selalu ku bawa ke mana-mana. Apalagi saat jauh dari Mas Amin. Ku remas perlahan foto itu dan membuangnya ke tong sampah. Aku menarik napas lega. Semoga selamanya sampai tanpa ada bayang-bayang Mas Amin.
Aku kembali bangkit dan mulai membersihkan seisi rumah di bantu Aliya. Di sini kami memulai kehidupan baru. Aliya terlihat riang saat memilih kamar untuknya. Radit memilih kamar sendiri di lantai atas dan memilih disain bola untuk kamarnya. Aku bahagia dengan kedua anakku. Tanpa di suruh mereka sudah tahu tugas masing-masing.
Pekerjaanku terhenti ketika gawaiku berbunyi. Nomor tak di kenal terlihat di layar.
"Hallo, selamat siang Bu Merry, ini dari kantor polisi. Apa ibu bisa ke sini sekarang?"
Belum juga menjawab suara dari seberang sudah menyapa duluan.
Pasti soal Karin, pikirku.
"Siang Pak, baik saya segera ke sana."
Segera ku tutup telepon dan bergegas menuju kantor polisi tempat Karin di tahan.
=====
Di depanku duduk wanita itu dengan wajah penuh kebencian. Napasnya terlihat memburu. Wajahnya yang biasa glowing di dempul bedak, saat ini terlihat pias tanpa riasan. Wajahnya terlihat sangat menderita tapi anehnya lemaknya tak berkurang.
Aku terus saja menatapnya. Memperhatikan setiap inci wajahnya yang sudah memikat hati Mas Amin sampai begitu tergila-gila.
"Ngapain sih kamu menatapku seperti.itu? Apa kamu berniat menarik tuntutanmu?"
"Aku kesini karena panggilan polisi, bukan buat kamu!" Jawabku tegas.
"Lalu? Ngapain kamu mau ketemu aku sekarang?" Karin makin emosi.
"Heran deh sama kamu dan Mas Amin. Musibah bertubi-tubi tapi gak bisa membuat kalian berdua bisa sadar dan bertobat. Rubah coba sifat kamu Karin, jadi lembut dan bisa menghargai orang lain."
"Gak usah ceramah." Jawab Karin ketus.
"Katakan apa maumu sekarang."
Ucapnya lagi.
"Gak ada yang ku mau Karin. Semua yang aku mau sudah ku dapatkan. Aku ke sini hanya mau bilang, aku tak serendah yang kamu tuduhkan kemarin. Aku bukanlah dalang dari musibah yang menimpamu. Jangan salahkan siapa-siapa. Instropeksi diri. Kamu ingat satu hal, sesakit apapun yang aku alami, aku tak pernah punya niat untuk merusak hak milik orang lain. Bukan seperti kamu, merebut yang bukan hak kamu, sekarang kamu rasakan sakitnya kehilangan. Permisi."
Bersambung...
0 comments:
Posting Komentar