*❤ CINTA*
*di Batas Cakrawala*
nomor 1... 🌅
Dimas melangkah gontai keluar kamar, menyusuri tiap ruangan sampai tiba di teras rumahnya yang sepi. Terdiam di sana sejenak, menatap gulungan ombak yang menyapu bibir pantai tidak jauh dari rumah. Merasakan angin laut yang berembus pelan menerpa kulitnya yang sawo matang.
Senja sore itu sudah lima tahun berlalu, tetapi Dimas masih setia dengan kesendiriannya. Menikmati kebiasaan yang entah sejak kapan ia lakukan. Meninggalkan kebiasaan lamanya berenang saat pagi dan sore hari.
Pandangan matanya beralih pada semburat jingga yang telah mengiasi cakrawala. Cantik, suatu ciptaan Tuhan yang ia sadari sejak sendiri. Ah, bukankah dari dulu ia memang sendirian?
Sebuah mobil berhenti tepat di depan rumah menyadarkan Dimas dari lamunan. Memperhatikan sosok wanita berkerudung yang terlihat jelas duduk di balik kemudi karena kaca mobil yang transparant. Dimas terpaku, jantungnya bertalu cepat saat bertemu tatap dengan sepasang mata cokelat wanita itu. Mengingatkannya pada mata seorang wanita yang selalu menggoda saat menatapnya, dulu.
"Abi!"
Pintu mobil terbuka diiring suara nyaring seorang gadis kecil berkerudung merah muda yang berlari ke arahnya. Dimas mengernyit bingung saat tanpa canggung, anak itu memeluk kakinya sambil mendongakan wajahnya, tersenyum riang. Mata bulat dengan iris hitam yang bening, alis tebal dan hidung mancungnya membuat si kecil itu terlihat cantik menggemaskan. Tanpa sadar, Dimas tersenyum.
"Yeeii! Naula ketemu Abi!" pekik gadis kecil itu riang, melompat-lompat dengan kedua tangan yang terulur.
"Siapa namamu?" Dimas menunduk, membawa tubuh mungil itu dalam gendongan.
"Naura."
Deg!
Dimas mengalihkan pandangan pada asal suara. Wanita si pengemudi itu keluar, mendekat ke arahnya. Ia bisa melihat dengan jelas siapa wanita itu. Sepasang mata cokelat itu miliknya. Hanna.
"Hanna?" gumam Dimas tanpa sadar.
"Itu Mommy, ini Naula." Gadis kecil dalam gendongannya bergumam riang, tetapi tidak mampu mengalihkan perhatian Dimas pada wanita yang secara tidak langsung telah merusak kehidupannya. Datang seenaknya dan pergi begitu saja, meninggalkan sesuatu yang ia sebut dengan luka.
"Hanna, kamu—"
"Iya, ini aku. Hanna."
Dimas menggeleng tidak percaya, mengalihkan tatapan pada gadis kecil dalam gendongan yang memeluk lehernya erat.
Seakan paham arti tatapan Dimas, Hanna berkata, "Dia Naura, anak kamu!"
*****
"Mommy, Abi mana? Naula ngantuk."
Hanna mengusap rambut panjang Naura yang duduk di pangkuannya. Menunggu Dimas kembali dari masjid usai salat magrib. Karena berhalangan, wanita itu tidak salat dan duduk di ruang tamu rumah yang pernah ditempatinya selama beberapa bulan, lima tahun lalu.
"Abi masih salat. Naura tunggu ya?"
Tidak ada jawaban, Naura memeluk erat pinggangnya. Menyandarkan kepala di dada Hanna seraya memejamkan mata. Gadis kecil itu kelelahan akibat perjalanan jauh dan tidak tidur siang, membuatnya tidak kuasa menahan kantuk dan langsung tidur.
Hanna memperhatikan ruang tamu rumah sederhana itu. Tata letak perabotan masih sama, hanya cat dinding yang sudah berganti warna. Tersenyum sendu, Hanna mengingat kisahnya dengan Dimas dulu tidak seindah yang ia harapkan.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam." Hanna mengusap jejak air mata di pipinya cepat saat melihat Dimas masuk ke dalam rumah. Lelaki itu membawa satu kantong plastik berukuran sedang yang diletakkan di atas meja, lalu duduk di seberangnya.
Kegugupan kembali melandanya. Hanna tidak berani menatap Dimas seperti tadi saat Naura belum tidur. Di rumah itu tidak ada siapapun, kedua orang tua Dimas sedang mengunjungi keluarga mereka di desa tetangga. Jadi hanya mereka berdua, serta Naura yang tertidur.
"Sekarang kita harus bicara." Suara Dimas terdengar rendah. Lelaki itu menyandarkan punggung di badan kursi, menatap Hanna penasaran.
Hanna masih enggan menatap, kedua tangannya memeluk Naura karena gugup. "Iya."
"Apa benar Naura anakku?"
Hanna mengangkat wajahnya, menatap Dimas kaget. Sedetik kemudian, mata cokelatnya menajam. "Bukannya aku sudah bilang tadi? Naura anak kamu!" ujarnya kesal. Sungguh demi apapun, Hanna ingin sekali menampar Dimas karena berani meragukan Naura. Hal yang ia takutkan benar-benar jadi nyata.
"Lalu, kenapa kamu pergi? Kenapa sudah selama ini baru kembali?" tanya Dimas, suaranya berubah dingin.
Hanna kembali menunduk agar kaca-kaca di pelupuk mata tidak terlihat oleh Dimas. Bibirnya yang bergetar mengecup pucuk kepala Naura. "Maaf," lirihnya.
"Kenapa hanya minta maaf? Tidak ada penjelasan untuk waktu lima tahun ini? Kamu pikir bagaimana perasaanku? Lima tahun kamu kabur tanpa kabar, lalu kembali dengan anak yang sudah sebesar ini?" ujar Dimas frustrasi.
Hanna masih menunduk, bulir bening telah membasahi kedua pipinya.
"Kamu tentu tidak lupa siapa yang menginginkan ikatan di antara kita dan bagaimana perlakuan keluargamu padaku. Lalu kamu pergi begitu saja dan sekarang kembali. Kamu pikir semudah itu?"
Hanna mengangguk kaku. Air matanya tidak terbendung hingga membasahi rambut hitam Naura.
"Ak-aku ... aku tidak berniat memperbaiki hubungan kita jika memang kamu tidak mau," ujar Hanna tercekat.
"Apa maksudmu?"
Hanna menghela napas pelan, mengisi paru-parunya yang terasa sesak. Mengangkat wajahnya, memberanikan diri menatap Dimas. "Aku hanya kembali demi Naura. Dia sangat ingin bertemu denganmu, Abinya."
"Hanya itu?" tanya Dimas, terdengar tidak percaya.
Hanna mengangguk yakin.
Dimas mengembuskan napas kasar, lalu berdiri. "Bangunkan dia lalu makan. Setelah itu istirahatlah di kamar tamu. Dan besok, kalian bisa pergi dari sini." Ia melangkah menuju pintu rumah.
Mata Hanna membulat sempurna, kaget karena ucapan Dimas. Berdiri cepat dengan Naura digendongannya. "Kamu mengusirku?" Ia memejamkan mata sejenak, meralat ucapannya, "Kamu mengusir anakmu?!"
Dimas menghentikan langkahnya lalu berbalik. "Tempat kalian bukan di sini. Lima tahun kamu pergi membawanya dan dia baik-baik saja tanpa aku. Dan sekarang dia sudah bertemu denganku, aku rasa itu sudah cukup." Setelah mengatakan itu, Dimas kembali melangkah keluar rumah tanpa berbalik lagi.
"Ternyata apa yang aku pikirkan dulu tentangmu memang benar," lirih Hanna tidak kuasa menahan tangis.
*****
Hanna membawa Naura masuk dalam sebuah kamar di samping kamar Dimas. Kamar yang dulu pernah dia tempati saat pertama kali datang ke desa itu bersama keluarga kecil kakaknya. Kamar sempit dengan tempat tidur kayu serta kasur kapuk di tengahnya.
"Mommy ...." Naura merengek karena tidurnya terganggu saat Hanna membaringkannya di tempat tidur.
"Naura bangun dulu, makan sayang. Mommy suap, setelah itu baru tidur lagi."
Naura membuka mata malas, mata beningnya melirik seisi kamar. "Abi mana?"
"Abi lagi salat sayang."
"Calat lagi? Abi calat kok lama?"
Hanna tersenyum mengusap rambut Naura. "Makan dulu, ya?"
"Naula mau makan cama Abi ...."
Hanna menghela napas, tersenyum getir. "Abi lanjut salat isya' di masjid. Kata Abi, Naura makan dulu sama Mommy. Ya?"
Naura mengangguk malas, bangun dari tidurnya lalu beringsut duduk di atas pangkuan Hanna. "Nanti Abi tidul di cini juga?"
Hanna menghentikan gerakan tangannya menyuapi Naura. Saat itu dia merasa menyesal telah membuat Naura tahu siapa Abinya sejak kecil dan dengan bodohnya membawa anaknya itu ke tempat di mana mereka berada sekarang. Seharusnya hanya ada dia dan Naura tanpa Dimas lagi. Lelaki itu tidak menginginkan Naura, tidak menginginkan anak yang ia lahirkan.
"Mommy! Abi tidul di cinikan?" Naura mengulangi pertanyaannya.
Hanna menggeleng pelan sambil tersenyum lembut. "Ngga sayang. Abi punya kamar sendiri."
"Tapi Abang Hafiz cama Adek Ila bobok cama Mama Papanya. Kenapa Naula ngga boleh bobok cama Abi cama Mommy?"
Pertanyaan polos Naura membuat Hanna meringis menahan nyeri di hati. Tidak ada yang bisa dijelaskan untuk anak sekecil itu tentang permasalahan yang menimpanya dan Dimas.
"Naura boboknya sama Mommy aja, ya? Kan biasanya juga gitu," bujuk Hanna lembut.
Wajah Naura berubah murung. "Abi ngga cayang Naula ya, Mi?"
"Hei, kata siapa?"
"Abi malah kalena Naula pelgi cama Mommy lama tinggalin Abi?"
Hanna menggigit bibirnya tidak mampu menjawab pertanyaan anaknya. Ia tidak tahu kalau keadaan akan serumit ini. Sungguh ia menyesal membawa Naura bertemu Dimas jika penolakanlah yang diterima anaknya.
"Naura lanjut makan lagi, ya? Ingat kata Mama Nia, kan?"
"Mama bilang, Naula halus makan yang banyak. Nanti Naula kalau cudah besar mau kayak Mama jadi doktel."
Hanna tersenyum mengusap rambut Naura lalu menciumnya lama. Menguatkan hati agar tidak menangis. Ia bertekad akan menuruti apa kata Dimas tadi. Besok, ia akan membawa Naura kembali ke kota, melanjutkan hidup berdua saja dengan anaknya itu. Melupakan Dimas yang selama ini menjadi bayangan di antara mereka.
0 comments:
Posting Komentar