*Aku Bukan Wanita Bodoh*
*Jilid......2*
Menangis dan meratapi nasib hanya sebuah kesia-siaan.
Aku harus kuat demi kedua buah hatiku. Aku akui cintaku untuk suamiku tak bisa diungkapkan lagi. Sekian lama aku mendampinginya melewati kesulitan hidup, dan saat senangpun aku ingin tetap bersama. Tapi apa mau di kata, cinta buta sudah menutup mata hati Mas Amin. Di hatinya sekarang lagi bersemi bunga asmara, bisa jadi Mas Amin sedang mengalami puber kedua atau apalah itu, yang jelas cinta terlarangnya sudah menutup akal dan logika Mas Amin.
Ku pandang wajah teduh kedua anakku yang lagi terlelap di buai mimpi. Dalam hati aku bimbang, apa jadinya mereka kalau sampai kedua orangtuanya bercerai. Aku sadar aku tak punya penghasilan sendiri, selama ini aku bergantung pada penghasilan suami. Andai aku dan Mas Amin cerai bagaimana nasib kedua anakku nanti. Antara bimbang dan ragu aku mulai memutar otak. Untuk balik lagi berdampingan seperti dulu rasanya tak.mungkin. Terlalu banyak luka yang menganga akibat ulah Mas Amin dan pelakor itu. Apalagi saat mengingat ucapan Mas Amin agar aku mau menerima Karin sebagai maduku. Bukan rasa penyesalan dan permintaan maaf yang ku dengar saat tau perselingkuhannya terbongkar, malah sebaliknya Mas Amin meminta hal yang tak mungkin bisa aku penuhi.
Tak terasa air mataku menetes. Periiih...sakit. Itu yang ku rasa. Dalam relung hati yang paling dalam sejujurnya aku menginginkan kehadiran Mas Amin. Aku ingin menumpahkan semua kesedihan dan luka ini di pelukannya. Aku mendamba belaian lembut suamiku saat tahu aku marah. Memeluk, mengecupku mesra dan menghujaniku dengan sejuta kata maaf, dan berbisik penuh harap memintaku tetap bersamanya, melupakan semua yang terjadi, dan berjanji tak akan mengulangi kesalahan yang sama. Tapi apa yang terjadi, Mas Amin malah meninggalkan aku dengan setumpuk amarah yang terpendam, emosi yang meluap-luap tanpa mau memberiku kesempatan mengeluarkan semua sesak yang ada.
Aku menghapus air mataku dengan gusar. Aku tak boleh begini terus. Bagaimanapun aku istri sahnya Mas Amin. Penuh perjuangan aku lalui untuk bisa masuk menjadi bagian dari keluarga besar Persit. Teringat masa-masa sulit saat pengajuan nikah militer. Capek dan sangat melelahkan. Di mulai dari menghadap ke senior sampai ke komandan, tidaklah mudah. Butuh mental baja untuk mau di tempa sebagai istri seorang prajurit. Sempat aku menyerah dan berniat mengundurkan diri. Tapi Mas Amin selalu menguatkanku.
"Bertahanlah, sedikit lagi semua selesai dan kamu akan segera menyandang gelar nyonya Amin." Sambil tertawa Mas Amin menggodaku, berharap aku terhibur dan tetap semangat menjalani semua aturan dan tradisi pengajuan bagi calon istri prajurit. .
Sekarang semua perjuangan itu meluap begitu saja. Gara-gara pelakor jahanam semua impian yang sudah ku rajut harus terurai lagi.
Aku berniat menelpon Mas Amin ketika terdengar pintu gerbang rumah Karin terbuka. Iseng aku melongok. Dadaku bergemuruh, pemandangan depan rumah itu sungguh membuatku murka.
Tanpa sungkan lagi Mas Amin dan pelakor itu berpelukan tanpa takut kepergok. Emosikui membuncah. Tanpa pikir panjang aku melangkah menuju rumah janda gatal itu.
Plaakkk...plaakk
Tamparan keras mendarat di pipi Mas Amin dan Karin. Entah kekuatan darimana tanpa sadar aku menampar kedua manusia tak tau diri itu.
"Keterlaluan kamu Mas, gak punya malu udah tua tingkahnya kayak abege lagi kasmaran. Kamu juga perempuan gak tau malu Karin, kamu tahu Mas Amin suamiku tapi tega kamu mau merebutnya dariku." Sungguh aku tak.tahan lagi menahan gejolak amarah.
"Beraninya kamu Bun kamu gak menghargai aku sebagai suami,"
Mas Amin malah nyolot. Di.elus pipinya sambil meringis sama seperti Karin. Mukanya merah menahan tangis. Aku menatapnya tajam. Mas Amin malah balik melotot marah ke arahku.
Aku tak peduli. Saat melihatnya berpelukan tadi luruh sudah rasa hormatku pada laki-laki yang masih bergelar suamiku itu.
"Kamu yang sudah menjatuhkan harga dirimu Mas. Ingat ya Mas aku akan melaporkanmu ke komandan."Aku masih berapi-api,sesak rasanya dada ini.
"Kamu berani?suamiku makin melotot.
"Kamu mau laporan aku trus anak-anakmu sanggup kamu kasih makan?Kalau aku di pecat aku masih punya Karin tapi kamu? Anak-anak?."
Ya Tuhan, benar-benar laki-laki tak tahu malu dan tak punya harga diri. Dalam situasi seperti ini dia malah memanfaatkan kelemahanku. Dalam hati aku membenarkan ucapannya. Kalau dia di pecat trus anak-anak gimana. Tapi kalau terus bertahan lalu aku? Gimana perasaanku. Apa aku kuat hidup selamanya dengan situasi seperti ini.
Aku bingung. Dengan gontai aku melangkah pulang ke rumah kami. Kejadian barusan benar benar sudah menghapus separuh hatiku untuk Mas Amin. Rasanya tak ada gunanya lagi kalau aku memaksanya terus bersama apalagi kembali mencintaiku seperti dulu. Ibarat benang yang putus meski bisa di sambung lagi tapi akan menyisakan bekas yang tak sempurna lagi.
Baiklah Mas aku akan membiarkanmu terus terbang bersama janda gatal itu tanpa harus melepasmu. Aku akan melepasmu saat waktunya tiba. Jangan pikir aku bodoh dan pasrah menerima nasib....
Bersambung.
0 comments:
Posting Komentar