#Mengejar_Cinta_Rianti
#Episode_5
Terima kasih admin/moderator yang telah menyetujui cerita ini.
Rianti sampai di parkiran kantor bersamaan dengan Rio. Tadi pagi, Rianti sengaja berangkat lebih awal agar tidak keduluan dijemput Rio. Rianti melenggang meninggalkan parkiran tanpa menunggu Rio. Rio yang merasa heran melihat sikap Rianti, buru-buru mengejar langkah Rianti.
"Kenapa sih, sombong amat." Rio menjajari langkah Rianti yang menuju ruangan mereka. Rianti hanya diam sekaan tak mendengar ucapan Rio.
"Hei, kamu kenapa?" Rio menggapai tangan Rianti. Rianti mengibaskan tangan Rio. Rianti berbalik dan menatap Rio dengan tatapan kesal.
"Masih juga nggak merasa bersalah. Kemarin lo jemput gue pagi-pagi. Sorenya lo ngilang gitu aja, padahal gara-gara lo gue udah nggak bawa motor ke kantor. Sampai hujan-hujan gue pulang kemarin." Rianti merengut. Rio menepuk jidatnya. Ya ampun, kenapa dia sampai lupa begitu kemarin. Kemarin mamanya telpon agar pulang cepat dan jemput neneknya ke bandara.
"Maaf, gue lupa kasih tahu lo, kalau kemarin gue buru-buru, nyokap kasih tugas untuk jemput nenek ke stasiun." Rio sengaja berbohong nggak bialng ke bandara agar rianti nggak curiga padanya.
Rianti tak berkata apa-apa mendengar alasan Rio. Ia berbalik dan melanjutkan langkahnya menuju ruangan CS.
"Jadi gimana lo pulang kemarin?" Rio masih mengiringi langkah Rianti. Mereka masuk ruangan berbarengan.
"Gue diantarin ama bos lo." Rianti menjawab santai. Rio melotot merasa kaget.
"Diantarin Aldi?" Rio menatap Rianti mencari kepastian. Rianti mengangguk seraya meletakkan tasnya di meja. Ivo dan Bima masih belum kelihatan.Rianti dan Rio berdua memang datang terlalu awal.
"Keren ya, seorang CS bisa diantarin sama Bos." Suara Rio terdengar sinis. Rianti mendongak dan menatap Rio dengan mata berkaca-kaca.
"Jadi seorang CS nggak pantas gitu mendapatkan pertolongan dari atasannya sendiri? Begitu rendahnya lo memandang status seorang CS. Lo nggak menghargai profesi lo sendiri." Suara Rianti terdengar bergetar. Susah payah ia menahan air matanya agar tidak tumpah.
Rio tertegun mendengar ucapan Rianti. Ya Tuhan, ia telah salah bicara pada gadis ini.
"Maaf, bukan maksud gue ingin merendahkan profesi kita, Rianti." Rio berkata dengan serba salah. Rianti menatap Rio sekilas lalu segera ke luar meninggalkan laki-laki itu. Rio berdiri mematung, ia sangat menyesal telah mengucapkan kata-kata seperti itu pada Rianti. Rio juga tidak mengerti, mengapa ia sampai sekesal itu mendengar Rianti diantar oleh Afdi. Akhirnya Rio pun ke luar ruangan untuk mulai melaksanakan tugasnya.
Di lorong ruangan divisi pemasaran menuju ruangan pimpinan, Rianti berpapasan dengan Pak Afdi.
"Rianti, tolong panggilkan Ivo. Suruh ke ruangan saya, ya." Pak Afdi menahan langkah Rianti.
"Tapi, Ivo belum datang, Pak." Rianti menghindari tatapan Pak Afdi. Matanya pasti masih merah karena menahan tangis tadi.
"Kalau gitu, kamu aja tolong bersihkan lantai ruangan saya ya. Ada tumpahan kopi. Cangkir kopi kemarin ternyata tidak dibereskan dari ruangan saya." Suara Pak Afdi terdengar kesal.
"Baik, Pak." Rianti mengangguk. Tapi sebelum ia menuju ruangan pimpinannya itu, Rio telah mendahului langkahnya.
"Biar gue aja. Lo bersihin ruangan lain aja."
Pak Aldi yang masih berada tak jauh dari mereka berbalik dan mengangkat tangannya.
"Tidak usah, tunggu saja sampai Ivo atau Bima datang," ucap Pak Afdi lalu kembali melanjutkan langkahnya menuju ruangannya. Rianti dan Rio saling bertatapan. Rio tersenyum penuh kemenangan, sementara Rianti menatap Rio dengan kebingungan.
"Ayo, bersihin yang lain aja. Da sukanya ama Ivo. Kan tadi awalnya dia nyari Ivo?" Rio mengedipkan matanya pada Rianti. Rianti hanya bergumam tak jelas. Lalu seperti biasa mereka kembali melanjutkan tugas masing-masing. Tak berapa lama Ivo dan Bima pun datang. Rio menyampaikan pesan Pak Aldi pada Ivo. Ivo bergegas menuju ruangan Pak Aldi.
****
Telah hampir dua bulan Rianti bekerja sebagai CS di perusahaan yang dipimpin oleh Aldi. Rianti dan ketiga temannya menjadi sahabat yang cukup dekat. Mereka tidak hanya melewatkan waktu selama jam kerja, terkadang mereka juga ngumpul di luar jam kerja. Mereka berempat juga selalu kompak, saling membantu jika salah satu ada yang kesusahan.
Seperti ketika Ibu Bima sakit dan dirawat di rumah sakit, Rio dan Rianti lah yang membantu biaya pengobatan Ibu Rio. Mereka berdua menyerahkan amplop gaji mereka pada Bima. Bima menolaknya. Namun Rio dan Rianti benar-benar memberikannya dengan tulus. Akhirnya Bima bersedia menerimanya dengan syarat, Bima akan mencicil setiap bulan uang Rio dan Rianti. Rio dan Rianti hanya menjawab dengan senyuman.
Esoknya, Rio membantu menguruskan kartu BPJS untuk Ibunya Bima. Mereka berempat sudah seperti saudara. Meski terkadang masing-masing bisa melihat perhatian Rio yang sedikit berlebihan pada Rianti. Tetapi Rianti mencoba menangapi sikap Rio dengan santai, sebab Rianti hanya ingin secepatnya menyelesaikan waktu tiga bulannya di kantor ini.
Hari ini, Rio mengajak Rianti, Ivo dan Bima untuk ngumpul di sebuah kafe. Rio berjanji akan mentraktir mereka bertiga makan sepuasnya. Tentu saja ketiga temannya menyambut niat Rio dengan senang hati.
Rio pamit berangkat duluan karena katanya dia ada sedikit keperluan sebelum ke kafe. Rianti, Ivo dan Bima akan menyusul, mereka akan mengendarai motor masing-masing ke sana. Ivo dan Bima telah jalan duluan, Rianti tiba-tiba kebelet ingin ke kamar mandi. Akhirnya Rianti balik lagi ke dalam kantor. Kantor telah mulai sepi. Pegawai telah banyak yang pulang.
Tidak berapa lama, Rianti ke luar lagi dan siap menaiki motornya. Tapi tiba-tiba sekuriti kantor menghampiri Rianti.
"Mbak, itu ban motornya bocor lho, Mbak." Pak Sabri, sekuriti kantor menunjuk ban depan motor Rianti. Rianti kaget dan segera turun dari jok motornya.
"Waduh, gimana ini, Pak?" Rianti meringis merasa bingung.
"Biar saya suruh Bang Ipoy untuk bawa ke tukang tambal ban, Mbak." Pak Sabri menawarkan bantuan.
"Iya, Pak. Tapi saya ada janji sekarang. Nanti kalau saya naik gojek atau grab, motor saya gimana ya. Masa saya balik lagi ambil motor ke kantor."
"Kenapa?" Tiba-tiba sosok Pak Afdi telah berada di belakang Rianti. Rianti menggeser posisi berdirinya sehingga Pak Afdi berada di sampingnya.
"Iya, nih, Pak. Ban motor saya bocor." Rianti menoleh sekilas pada Pak Afdi.
"Ya, udah. Pulang bareng saya aja." Pak Afdi menawarkan tumpangan.
"Eh, nggak usah, Pak. Saya naik gojek aja, Pak."
"Naik gojek sejauh itu ke rumahmu?" Pak Afdi menatap Rianti dengan tatapan heran.
"Saya nggak ke rumah kok, Pak. Saya ada janji sama teman-teman." Rianti mencoba tersenyum manis pada Pak Afdi. Pak Afdi melengos.
"Pak Sabri tolong urus motornya Mbak Rianti, ya. Besok aja diambilnya lagi." Pak Afdi berpesan pada Pak Sabri.
"Baik, Pak." Pak sabri mengangguk paham. Rianti jadi bingung. Kenapa laki-laki ini pula yang seibuk mengurus motornya. Akhirnya Rianti hanya mengangkat bahu. Sesuka dialah, bisik harti Rianti.
"Hei, saya menunggumu!" tiba-tiba Pak Afdi yang telah masuk ke dalam mobilnya, ke luar lagi dari mobilnya dan berdiri di sisi pintu mobil. Rianti mendongak kaget. Baru aja dia akan memesan grab.
"Eh ngapaian nunggu saya, Pak?" Rianti menatap pada laki-laki itu dengan heran. Tapi tatapan pimpinannya itu benar-benar tak enak untuk dilihat. Sebelum Rianti meninggalkan Pak Sabri, Rianti memberikan uang kertas seratus ribu pada Pak Sabri.
"Titip motornya ya, Pak. Makasih sebelumnya, Pak," ucap Rianti.
"Wah, ini kebanyakan bkalau buat nambal, Mba." Pak sabri memperlihatkan uang seratus ribu di tangannya pada Rianti.
"Nggak apa-apa, Pak. Kembaliannya buat makan malam, Bapak." Rianti tersenyum lalu bergegas menuju mobil bosnya.
Rianti masuk diikuti oleh Pak Afdi. Rianti benar-benar merasa tak enak menerima tumpangan lagi dari bosnya ini. Masih terngiang ucapan Rio beberapa waktu yang lalu, tentang CS yang bisa dinatar oleh seorang bos.
"Mau ke mana?" Pak Afdi menoleh pada Rianti sebelum mobilnya meninggalkan parkiran kantor.
Rianti menyebutkan nama kafe yang tadi sudah diinfokan sama Rio. Rianti menyesali mengapa tadi teman-temannya main kabur aja, nggak nungguin Rianti seperti biasanya.
"Janjian sama siapa?" Tiba-tiba Pak Afdi membuyarkan pikiran Rianti.
"Biasa, Pak. Sama teman-teman." Rianti menjawab sekenanya.
"Sering kamu kumpul-kumpul kayak gini?" Pak Afdi menekan tape recordernya dan mengalun lah suara merdu Once. "Dealova."
"Nggak juga , Pak." Rianti menatap lurus ke depan. Heran juga kenapa bosnya yang terkenal tak acuh dengan pegawai-pegawai perempuannya ini bisa secerewet ini padanya.
"Nanti sampai jam berapa?" Rianti menoleh pada Pak Afdi. Ada apa dengan laki-laki ini.
"Belum tahu juga, Pak."
"Oh, kalau nggak lama, saya mau ikutan nongkrong. Saya jarang banget bisa nongkrong-nongkrong kayak gitu." Suara Pak Afdi terdengar lain.
"Ya, nongkrong aja, Pak. Kafe kan milik umum, siapa aja bisa ikut duduk." Seperti biasa suara Rianti terdengar santai. Afdi meneguk ludahnya.
Hampir tiga puluh menit, akhirnya Rianti dan Afdi sampai di kafe yang disebutkan Rio. Afdi memarkir mobilnya dan matanya langsung bisa melihat sosok seseorang yang amat dikenalnya, Rio, yang sedang berdiri di samping motornya.
"Makasih, ya, Pak." Rianti mengucapkan terima kasih sebelum turun dari mobil. Pak Aldi hanya menganngguk.
"Nggak jadi ikutan nongkrong, Pak?" tanya Rianti lagi.
"Nggak deh, lain kali aja. Takut menganggu acaramu." Pak Afdi berkata tanpa menoleh pada Rianti. Rianti tersenyum.
"Kami rame kok, Pak. Ada Ivo dan Bima, juga."
"Saya nggak perlu tahu." Suara Afdi terdengar tak acuh.
"Oke, deh, Pak. Sekali lagi makasih, ya, Pak." Rianti membuka pintu dan bergegas ke luar.
Rio menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Apakah semua wanita sama? Tidak bisa menolak pesona laki-laki mapan? Rio bertanya dalam hati.
"Motor lo mana?" Rio langsung bertanya begitu Rianti ke luar dari mobil Pak Afdi.
"Bannya bocor." Rianti menjawab santai dan berjalan masuk kafe.
"Alasan." Suara Rio terdengar ketus. Rianti berbalik dan menatap Rio dengan mata menyala.
"Maksud lo apa sih, Rio?" suara Rianti terdengar keras. Ia paling benci jika tidak dipercayai padahal ia tidak pernah berbohong.
"Nggak, nggak ada apa-apa." Rio mengibaskan tangannya dan masuk ke kafe mendahului Rianti. Duh Tuhan, ingin rasanya Rianti langsung pulang aja dan tak ikut nongkrong dengan Ivo dan Bima. Tapi pastilah ia akan dianggap terlalu kekanakkan sama teman-temannya. Akhirnya dnegan menahan rasa dongkol Rianti ikutan masuk dan mendekati meja Ivo dan Bima.
Rio terlihat diam tanpa ekspresi. Ivo dan Bima berpandangan merasa heran dengan sikap Rio yang tidak seperti biasanya. Ditambah lagi dengan wajah Rianti yang jauh dari wajah ramah dan manis.
"Gue magrib dulu, ya." Rianti berdiri dan menuju ruang salat yang berada di belakang kafe. Rio ikut berdiri.
"Gantian ya, lo berdua pesan aja duluan,"
ucap rio sebelum meninggalkan meja.
"Oke Bos!" Ivo dan Bima menjawab bersamaan.
Lima belas menit kemudian, Rio dan Rianti balik dan menyuruh Ivo dan Bima untuk salat magrib juga. Ivo dan Bima pun beranjak meninggalkan kursi yang mereka duduki.
Sepeninggal Ivo dan Bima, Rio memanggil pelayan dan menyuruh Rianti untuk memilih menu.
Rianti hanya memesan jus melon dan udang saus tiram. Rio ikut memesan menu seperti Rianti. Rianti hanya diam saja melihat tingkah Rio.
"Lo marah ama gue?" Rio menyentuh tangan Rianti. Rianti reflek menarik tangannya.
"Nggak." Rianti menjawab singkat.
"Maaf." Rio menatap Rianti penuh harap.
"Kebiasaan lo ya, ngomong seenaknya, trus minta maaf." Rianti melengos kesal. Rio meneguk ludahnya. Ia pun heran, mengapa ia dan Rianti selalu seperti ini. Selalu saja ada kesalah pahaman.
Tak berapa lama Ivo dan Bima pun kembali bersamaan dengan pesanan mereka. Mereka pun makan tanpa banyak bicara. Ivo yang biasanya heboh, melihat aksi saling diam Rio dan Rianti jadi ikutan diam.
Selesai makan, tidak seperti biasa, mereka langsung beranjak ke luar dari kafe.
"Gue antar, ya." Rio menjajari langkah Rianti.
"Gue nggak bawa helm." Rianti menjawab cuek.
"Nggak apa-apa. Nanti kita beli lagi." Mata Rianti membulat. Menakjudkan ada CS yang banyak duit seperti Rio ini.
Rio menarik tali tas Rianti. Karena laki-laki ini tahu, Rianti nggak suka disentuh. Gadis cantik ini akan berubah jadi galak kalau berani-berani memegang tangannya. Akhirnya Rianti menurut juga. Ivo dan Bima hanya senyum-senyum melihat tingkah Rio dan Rianti.
Di perjalan, mereka berdua tak banyak bicara. Rianti hanya menjawab satu-satu ucapan Rio. Hampir satu jam akhirnya mereka sampai di rumah Rianti. Rianti turun dan mengucapkan terima kasih pada Rio. Sebelum Rianti masuk ke dalam pagar rumahnya, Rio menghentikan langkah Rianti.
"Besok ada acar di tempat saudara gue. Lo mau nggak temani gue besok?" Rianti berbalik dan menatap Rio sekilas.
"Maaf, Rio. Kayaknya nggak bisa deh. Besok ada saudara Mak gue datang dari kampung. Nggak enak kalau gue ninggalin dia di rumah." Rianti menolak ajakan Rio dengan halus. Rio menghela napas kecewa.
"Ya, deh. semoga lain kali lo bisa nemani gue ya." Rio mencoba tersenyum. Rianti mengangguk dan kembali berbalik, lalu segera masuk ke halaman rumahnya yang luas. Rio pun segera berlalu.
Rianti sebenarnya pusing dengan ajakan mamanya yang mengajaknya untuk ikut besok malam ke acara teman papanya. Bagaimana kalau ada orang kantornya yang juga hadir besok malam. Tentu mereka akan heran jika melihat Rianti juga hadir di acara seperti itu.
Rianti telah mencoba meminta pertolongan papanya agar mencari jalan agar ia bisa menolak ajakan mamanya. Tapi papanya angkat tangan kalau sudah berurusan dengan sang mama. Padahal kondisi seperti ini papanya lah yang menciptakan. dan sekarang papanya mau lepas tangan begitu saja.
Rianti masuk rumah dengan kepala pusing.
bersambung ...
0 comments:
Posting Komentar