#Masih_Adakah_Surga_Untukku
#Laila
#Episode_21
Terima kasih admin/moderator telah berkenan approve.
Terima kasih pembaca setia Tama dan Laila.
Ternyata aku pun belum bisa berpisah dengan Tama dan Laila. Hehe.
Payakumbuh, pukul 03.30, Laila terbangun dan merasakan tubuhnya dalam pelukan seseorang. Laila membuka matanya dan melihat wajah suaminya yang begitu dekat dengan wajahnya. Laila tersenyum. Pelan dikecupnya pipi Tama. Tama menggeliat dan membuka matanya. Wajah cantik di depannya ternyata nyata. Tama tersenyum dan balas mengecup pipi Laila lembut.
"Gimana kondisi, Uda?" Laila menyentuh kening Tama.
"Sangat sehat." Tama menempelkan hidungnya pada hidung Laila.
"Ga perlu ke dokter nanti pagi?"
"Hei, aku sudah mendapatkan dokter terbaik tadi malam." Tama menatap Laila dengan tatapan menggoda.
Laila kembali merona dan menyurukkan wajahnya ke ceruk leher Tama.
"Kenapa, Sayang? Mau lagi?" Tama mengeratkan pelukannya di tubuh Laila. Laila mencubit Tama saking gemasnya.
"Aduh, sakit, Yang." Tama mengaduh.
"Awas kalau ngomong ga sopan lagi." Laila mengancam.
Tama terbahak.
"Nggak sopannya itu di mana coba." Tama mencowel pipi Laila. Laila makin salah tingkah.
"Sudah, ah. Laila mau mandi, mau salat." Laila melepaskan pelukan Tama.
"Uda mau mandi juga." Tama ikut membuka selimutnya.
"Nanti Laila panaskan dulu airnya, Da. Uda belum terlalu sehat, nanti menggigil lagi. Airnya dingin banget." Laila turun dari tempat tidur.
Laila ke luar kamar dan menuju dapur. Diambilnya dandang ukuran sedang, diisinya dengan air, lalu dipanaskannya di atas kompor. Laila kembali masuk ke kamar. Tama terlihat telah duduk bersandar di kepala tempat tidur.
"Laila mandi duluan ya, Da. Uda nunggu air panas bentar, ya."
"Ga boleh bareng, ya?" Tama menatap Laila penuh harap.
Laila tak mengacuhkan ucapan Tama. Ia malah bergegas masuk ke kamar mandi dan mengunci pintunya dari dalam.
Tama tersenyum sendiri. Tidak berapa lama, Laila ke luar dengan kimono handuknya. Rambut sepunggungnya terlihat basah.
"Akhirnya keramas juga." Tama menatap Laila dengan senyum menggoda.
"Biasanya juga keramas, tiga kali seminggu." Laila menjawab santai.
"Tapi nggak dini hari seperti ini kan?"
"Mandi dan keramas sebelum salat tahajud itu baik untuk kesehatan, Da."
"Wah, berarti harus sering-sering nih kita keramas sebelum tahajud." Wajah Tama berbinar.
Ya ampun, Laila merasa pusing sendiri menghadapi suaminya ini. Kenapa jadi nggak waras seperti ini. Laila meninggalkan Tama yang masih senyum-senyum sendiri. Sepertinya Tama memang menjadi gila sekarang. Gila karena istrinya ini. Buktinya, sering kali Tama sekarang senyum-senyum sendiri.
Laila ke luar kamar. Mematikan kompor dan mengangkat dandang ke kamar mandi. Laila memasukkan air panas tersebut ke dalam baskom besar, lalu menambahkannya dengan air dingin. Laila memasukkan tangannya ke dalam air di baskom, setelah merasa hangatnya pas untuk mandi, Laila ke luar kamar mandi dan mengambil handuk yang masih baru dari dalam lemari pakaiannya. Tama memperhatikan setiap gerak istrinya dengan hati bahagia.
"Ayo, mandi sekarang, Da." Laila menyerahkan handuk pada Tama.
"Makasih ya, Sayang." Tama bangkit dan masuk ke kamar mandi. Laila membuka koper Tama dan mengambil pakaian yang ada di dalamnya. Diletakkannya semua perlengkapan Tama di atas kasur. Lalu Laila pun segera berganti pakaian.
Laila memakai pakaian tidur setelan celana panjang dengan lengan yang juga panjang. Ia membungkus rambutnya denagn handuk. Tak berapa lama Tama ke luar dari kamar mandi, dengan memakai handuk yang melilit di pinggangnya. Laila memalingkan wajahnya begitu melihat tubuh bagian atas Tama yang polos. Wajahnya terasa hangat dan dadanya kembali berdebar tak menentu.
"Ini pakaian, Uda." Laila menunjuk pakaian Tama yang diletakkannya di atas kasur. Lalu Laila mengambil perlengkapan salatnya.
"Ya, makasih, ya." Tama mengambil pakaiannya dan mulai memakainya di hadapan Laila dengan santai.
Ya Tuhan, tubuh Laila kembali terasa kaku. Kenapa laki-laki ini seperti tak punya rasa malu. Laila membentangkan sajadah tanpa berani mengangkat wajahnya.
"Uda mau ikut tahajud?" Laila masih tak berani menoleh pada Tama.
"Ya, Uda sudah berwudu tadi. Kita salat sama-sama, ya." Tama telah selesai berpakaian.
"Ada sarung? Uda nggak bawa sarung. Lupa karena kemarin buru-buru." Tama berjalan menuju sajadah yang telah dibentangkan oleh Laila. Laila beranjak ke lemari. Diambilnya sebuah sarung yang terlipat rapi di dalam lemari.
"Ini, Da." Laila mengulurkan sarung tersebut pada Tama.
"Makasih, ya." Tama menerimanya dan segera memakainya.
"Mau menjadi makmum, Uda?" Tama menoleh pada Laila yang telah berdiri di belakangnya. Laila mengangguk senang.
"Tapi bacaan Uda belum terlalu bagus. Dimaklumi, ya. InsyaAllah Uda akan terus belajar." Tama menatap Laila dan tersenyum lembut. Duh, Tuhan, damainya melihat senyum suaminya ini, Laila berbisik dalam hati.
"Iya, Da. Nggak apa-apa. yang penting Laila bisa ikut salat di belakang, Uda." Mata Laila membalas tatapan mata Tama dengan penuh binar. Tama mengangguk bahagia mendengar ucapan Laila.
"Kita salat sekarang, ya." Tama pun mengambil posisi sempurnanya untuk bertakbiratul ikhram. Laila mengikuti dari belakang. Dalam dingin di sepertiga malam, suara lirih Tama terdengar begitu indah di telinga Laila. Mereka pun khusuk dalam penghambaan kepada Sang Pencipta.
Empat rakaat dengan dua salam, Tama pun memimpin Laila untuk memanjatkan doa dan pengharapan kepada Sang Khalik. Laila mengaminkan semua doa yang dimunajatkan oleh Tama. Tama dan Laila menutupnya dengan mengucapkan aamiin dan mengusapkan kedua telapak tangan ke wajah mereka.
Tama berbalik dan memandang wajah cantik istrinya yang terlihat begitu anggun dalam balutan mukena berwarna putih gading itu. Laila mendekat, mengambil tangan Tama dan menciumnya dengan lembut. Tama mengusap puncak kepala Laila dengan penuh kasih.
Tama bersandar di lemari pakaian. Diraihnya tubuh Laila untuk mendekat. Tama memeluk tubuh Laila dari samping.
"Kita tunggu waktu subuh di sini, ya?" Tama mengecup kening Laila kembali. Laila mengangguk. Entahlah, Laila serasa tak sanggup banyak bicara. Semua serasa seperti mimpi. Tak pernah ia membayangkan ia akan mencintai laki-laki di sampingnya ini dengan begitu dalamnya. Tak pernah ia bayangkan, ia akan merasakan kebahagiaan seperti ini dengan laki-laki pilihan orang tuanya ini.
"Kamu bahagia?" Tama menatap Laila lembut. Laila mengangguk.
"Uda tak mendengar jawabanmu." Tama protes melihat Laila sudah beberapa kali hanya mengangguk.
"Laila sangat bahagia, Da." Laila menyandarkan kepalanya ke dada Tama. Tama tersenyum mendengarnya.
"Terima kasih ya, untuk semua yang telah kamu berikan pada Uda."
"Laila yang harusnya berterima kasih, Da. Uda telah mengajarkan Laila bagaimana cara mencintai." Laila mencium tangan Tama yang menggegam erat jemari tangannya.
Tama kembali tersenyum. Tuhan boleh kah aku meminta, berhenti saja waktu di sini, di bahagia yang ia rasakan utuh saat ini.
*****
Laila sibuk menbantu bundo di dapur. Mereka membuat gado-gado untuk sarapan. Tama sedang ikut ayah melihat kolam ikan yang berjarak 200 meter dari rumah. Tiba-tiba terdengar seseorang mengucapkan salam dari pintu depan. Ternyata Uni Feni yang datang.
"Wah, sibuk benar yang kedatangan suami." Uni Feni telah ikut bergabung di dapur. Laila hanya senyum-senyum menanggapi ucapan Uni Feni.
"Eh, tumben kamu pake jilbab di rumah, nggak ada siapa-siapa juga." Uni Feni menatap Laila dengan curiga.
"Rambutnya basah, ya." Uni Feni berbisik di telinga Laila. Mata Laila membulat.
"Uni, apaan sih?" Wajah Laila telah merah seperti tomat.
"Hahaha." Unu Feni terbahak.
"Feni, nggak baik becanda untuk hal-hal yang seperti itu." bundo menegur Feni dengan tatapan tajam.
"Maaf Bundo." Uni Feni menjadi masem-masem. Laila tersenyum senang.
"Rasain." Laila meleletkan lidahnya pada Uni Feni. Uni Feni mendelik pada Laila.
Pada waktu bersamaan, ayah dan Tama masuk ke dalam rumah dari pintu belakang. Tama langsung melihat istrinya dan kakaknya sedang perang mata. Tama tersenyum melihat tingkah istrinya yang kadang masih seperti anak kecil.
"Wah, ada Adek Ipar." Uni Feni mengangguk pada Tama seraya menangkupkan tangannya di dada. Tama membalas sikap Uni Feni dengan hormat.
"Ya, Uni. Apak kabar, Ni?"
"Alhamdulillah, baik, Tama." ayah dan Tama menuju meja makan.
Laila dan bundo menghidangkan sarapan di depan ayah dan Tama. Uni Feni ikut membantu. Laila meletakkan kopi di depan ayahnya, dan teh di depan Tama.
"Minum, Da." Laila mempersilakan.
"Iya, Yang. Makasih ya." Tama pun meraih cangkir teh di depannya dan menyeruputnya dengan nikmat.
"Ya, Da." Laila mengangguk dan tersenyum manis.
"Ye, romantis bana (benar)." Uni Feni menyenggol lengan Laila. Laila mendelikkan matanya pada Uni Feni. Uni Feni cekikikan.
"Feni!" bundo kembali menegur Uni Feni.
"Ya, Bundo." Uni Feni tersenyum manis pada bundo.
"Ikut sarapan sama-sama." Bundo telah duduk di samping ayah dan Laila di samping Tama. Uni Feni pun mengambil tempat di ujung meja makan.
Laila meletakkan gado-gado di depan Tama.
"Nggak mau sayurnya." Tama berbisik di telinga Laila. Laila mendelik.
"Harus dimakan semua." Suara Laila terdengar tegas. Tama meringis.
"Laila, kalau Tama nggak suka jangan dipaksa. Pisahin aja sayur-sayurnya." Bundo menyerahkan piring kecil pada Laila.
"Nggak apa-apa Bundo, dia kalau nggak dipaksa nggak akan pernah makan sayuran segar seperti ini." Laila tak mengambil piring kecil yang diberikan bundo. Bundo tersenyum melihat tingkah anaknya. Sementara Tama terpaksa harus mencoba sayuran mentah yang biasanya memang tak dimakannya. Uni Feni senyum-senyum sendiri melihat adik bungsunya itu.
"Bundo, nanti siang mau ajak Laila ke rumah Ibu Tama, ya." Tama menyampaikan niatnya untuk pulang ke rumah orang tuanya dengan Laila. Laila menoleh pada Tama. Tiba-tiba badan Laila menjadi panas dingin. Waduh, bagaimana ia akan menghadapi kedua orang tua Tama? Apa mereka mau menerima dirinya yang pernah berbuat jahat pada anaknya ini? Laila menajdi resah.
"Ya, Nak. Pergilah dan bermalamlah di sana sebelum kembali ke Jakarta." Bundo merasa senang anaknya akan mengunjungi mertuanya. Sejak menikah, Laila belum pernah bersilaturahmi ke rumah orang tua Tama.
"Feni, buatkan kue bolu gulung untuk dibawa Laila nanti ke rumah mertuanya." Bundo menoleh pada Uni Feni.
"Siap, Bundo." Uni Feni mengangkat jempolnya. Sementara Laila semakin deg-degan membayangkan akan menginap pula di rumah mertuanya.
****
Dengan meminjam motor Uni Feni, Laila berboncengan dengan Tama ke rumah mertuanya. Laila telah membawa kue bolu gulung yang dibuatkan oleh Uni Feni. Bundo berpesan, agar Laila bersikap baik di rumah mertunya. Laila hanya mengangguk paham.
Di atas motor, Tama mengambil tangan Laila dan meletakkannya di pinggangnya.
"Pegangan yang erat," ucap Tama seraya menoleh sekilas pada Laila. Laila tersenyum dan merasakan hatinya kembali menghangat. Ternyata berboncengan naik motor seperti ini sensasinya terasa beda. Tubuh mereka menempel begitu dekat.
"Uda, Laila takut kalau nanti Ibu nggak bisa menerima Laila." Laila menjatuhkan wajahnya di punggung Tama. Tama memegang tangan Laila yang berada di pinggangnya.
"Tenang, kan ada Uda." Tama mencoba menenangkan Laila yang benar-benar galau membayangkan bagaimana sikap mertuanya nanti.
Mereka melewati persawahan dan barisan bukit barisan yang terlihat memanjang nun jauh di hadapan mereka. Pemandangan yang begitu indah. Ditambah lagi dengan udara yang terasa begitu sejuk. Melewati jalan yang tidak terlalu ramai, akhirnya mereka pun sampai di kampung Tama. Jarak antara kampung Laila dan tama tidak begitu jauh. Hanya 20 menit perjalanan menggunakan motor.
Tama memarkir motornya di halaman rumahnya. Lalu menggandeng tangan Laila menuju pintu depan.
"Assalammualaikum." Tama mengucapkan salam.
Tak berapa lama terdengar langkah kaki mendekat.
"Waalaikumsalam." Pintu terbuka, nampaklah sesosok laki-laki 60 tahunan berdiri di ambang pintu.
"Tama?" Bapak menatap Tama tidak percaya.
"Bapak." Tama mengambil tangan bapak dan menciumnya dnegan hormat. Laila melakukan hal yang sama.
"Ayo, masuk .. masuk.." Bapak mempersilakan anak menantunya masuk.
"Ibu mana, Pak." Tama mengedarkan pandangannya ke seluruh rumah.
"Ada tadi di halaman belakang, lagi ngurus tanaman bunganya."
"Kamu duduk dulu, ya. Uda panggil Ibu ke belakang." Tama melepaskan genggaman tangan Laila. Laila melepaskannya dengan berat hati. Tama bergegas menuju belakang rumahnya.
"Bagaimana kabar Nak Laila?" Bapak tersenyum ramah pada Laila.
"Baik, Pak." Laila mengangguk dengan debaran di dada yang belum juga reda.
"Kerasan di Jakarta?" Tama memang telah menelpon kedua orang tuanya dan mengatakan jika Laila telah berada di rumahnya di Jakarta.
"Alhamdulillah kerasan, Pak." Laila kembali mengangguk.
"Syukurlah." Bapak kembali tersenyum. Laki-laki tua itu bisa melihat kegelisahan menantunya ini.
Terdengar langkah kaki mendekat. Laila semakin resah. Debaran di dadanya semakin kuat. Kalau Bapak Tama alhmadulillah sambutannya baik. Tapi bagaimana dengan Ibu Tama?
"Lihat, Bu. Siapa yang datang." Tama memeluk bahu ibunya dan menuntunnya menuju ruang tamu. Laila bangkit dari duduknya mendengar suara Tama. Tama dan ibunya telah berddiri di samping kursi tamu. Laila berjalan mendekat dan mengulurkan tangannya pada Ibu Mertuanya.
Tapi wanita tua yang masih terlihat cantik itu hanya bergeming. Ia tak menerima uluran tangan Laila. Mata Laila terasa panas. Apa yang ditakutkannya ternyata benar-benar terjadi.
bersambung ....
Ternyata author sendiri yang tak kuat menahan rindu pada Tama dan Laila.
0 comments:
Posting Komentar