Cerbung 19 - Masih Adakah Surga Untukku

#Masih_Adakah_Surga_Untukku-Episode_19
#Laila

Terima kasih admin/moderator telah berkenan approve. 
Terima kasih pembaca setia Tama dan Laila atas apresiasinya pada cerbung ini. 

Maaf jika masih ada kesalahan EYD dan typo yang masih bertebaran.

"Siapa, Laila?" Tiba-tiba bundo telah berada di ruang tamu dengan langkah kaki yang masih belum terlalu sempurna. Tama langsung berdiri begitu mendengar suara bundo di belakangnya. 
"Wah, Menantu? Kapan datang? Cepat betul menjemput Laila." Bundo yang telah mulai lancar bicara tak dapat menyembunyikan rasa bahagianya. Tama mengambil tangan bundo dan menciumnya dengan hormat.

"Tama baru datang, Bundo." Tama berdiri di samping bundo. 
"Ayo, duduk kembali. Laila kenapa berdiri seperti itu? Ambilkan minum untuk menantu Bundo." bundo mengajak Tama duduk lagi.

Laila kaget mendengar ucapan bundo. Tanpa berkata apa-apa, Laila berlalu ke belakang menuju dapur. Dada Laila berdebar tak menentu. Bundo memang tidak tahu apa yang terjadi. Laila hanya bercerita pada ayahnya. 

Laila memanaskan air di atas kompor, lalu menyiapkan cangkir untuk Tama. Tidak berapa lama, wangi teh yang diseduhnya pun memenuhi ruangan dapur. Laila membawa cangkir teh dengan napan ke ruang tamu. Sampai di ruang tamu, diletakkannya cangkir teh itu di atas meja tanpa berkata apa-apa. Tama memperhatikan setiap gerakan istrinya tanpa berkedip. 

Terdengar bundo yang bertanya bagaimana Laila di Jakarta. Tama dengan sabar menjawab pertanyaan-pertanyaan bundo. Laila beranjak akan menuju kamarnya. Tapi suara bundo menghentikan langkahnya.

"Laila, panggil Ayahmu di belakang. Katakan Menantunya pulang." Suara Bundo terdengar begitu bersemangat. Lagi-lagi Laila hanya mengikuti perintah bundo tanpa membantah.

Laila pergi ke halaman belakang rumahnya yang luas. Ayahnya yang seorang pensiunan kepala sekolah SMA di kampungnya, sekarang menghabiskan hari-harinya dengan mengurus ayam, kolam ikan, dan berbagai sayuran yang ditanam di halaman belakang rumah mereka.

Laila mendekati ayahnya yang sedang asyik memberi makan ayam-ayamnya yang berjumlah puluhan.
"Yah, dipanggil Bundo." 
"Ada apa?"
"Ada Uda Tama, Yah." 
Ayah terlihat kaget. 
"Suamimu datang menyusul?"
"Iya, Yah." Laila mengangguk.

"Berarti dia punya niat baik padamu, Nak." Ayah menatap Laila lekat. 
"Boleh Ayah aja dulu yang berbicara dengan Uda Tama? Boleh Laila minta waktu beberapa saat sebelum bicara berdua dengan Uda Tama, Yah?" Laila menatap ayahnya dengan tatapan memohon. Dari kecil, Laila memang sangat dekat dengan ayahnya.

"Baiklah. Nanti jika kamu telah siap, bicaralah berdua. Selesaikan masalah kalian baik-baik." Ayah mengusap kepala Laila dengan penuh kasih. Meski laki-laki yang masih terlihat gagah ini merasa kecewa mendengar cerita anaknya kemarin tentang suaminya itu, tapi sebagai ayah yang telah makan asam kehidupan, ia tentu harus bersikap bijaksana.

Jauh-jauh menantunya itu datang dari Jakarta untuk menyusul anaknya, padahal baru satu hari anaknya pergi meninggalkan rumah, bukankah itu berarti  menantunya punya niat baik pada anaknya. Bukankah itu juga membuktikan bahwa anaknya telah menjadi seseorang yang penting bagi menantunya itu?

Ayah Laila pun bergegas masuk rumah. Setelah mencuci tangannya di kamar mandi, laki-laki itu bergegas menuju ruang tamu. 

"Liat Ayah, siapa yang datang." Bundo menyambut kedatangan ayah dengan mata berbinar. Tama segera berdiri dan mengambil tangan ayah mertuanya, menyalami dan menciumnya dengan hormat.

"Bagaimana perjalanannya?" Ayah berbasa basi pada Tama.
"Alhamdulillah, lancar, Yah." Tama sedikit lega melihat wajah ayah mertuanya cukup bersahabat. Tidak sedingin seperti di telpon tadi malam.

"Bundo, siapkan makan siang dengan Laila, ya." Ayah yang ingin bicara berdua saja dengan Tama mencari cara agar bundo meninggalkan ruang tamu.
"Baiklah, Yah. Tapi menantu pasti sangat lelah, Yah. Apa tidak sebaiknya menantu istirahat aja dulu di kamar."
"Tidak apa, Bundo. Tama di sini aja, ngobrol-ngobrol dulu sama Ayah," ucap Tama. Mata Tama mencari-cari di mana kah istrinya itu sekarang, kenapa tidak ikut duduk bersamanya di sini. Ah, apakah istrinya itu tidak rindu padanya? Tama merasa resah.

Bundo telah berdiri dan berjalan menuju dapur. Tinggallah Tama berdua dengan ayah mertuanya sekarang. Tama merasa akan menghadapi sidang saja. Hatinya sedikit deg-degan. Apakah yang akan dikatakan ayah mertuanya ini padanya.

"Ayah tak tahu apa sebenarnya yang terjadi di antara kalian. Ayah hanya ingin berpesan, selesaikan baik-baik masalah yang sedang kalian hadapi. Ayah tidak akan ikut campur. Kalian telah sama-sama dewasa. Tetapi memang, Laila terkadang masih memiliki sifat-sifat kekanakan. Tugas seorang suamilah untuk membimbing dan membantu proses kedewasaaan istrinya." Ayah menatap Tama tajam.

"Ya, Yah. Untuk itulah Tama datang menyusul Laila, Yah. Tama ingin menyelesaikan kesalahpahaman yang terjadi di antara kami."

"Ayah menghargai apa yang kamu lakukan. Tapi Laila minta waktu sejenak untuk mulai bicara denganmu. Istirahatlah dulu di kamar tamu. Beri dia sedikit waktu."

Tama merasa sedikit kecewa mendengar ucapan ayah mertuanya. Kenapa ia disuruh istirahat di kamar tamu. Padahal ia sudah tak sabar untuk bicara dan menjelaskan semuanya pada istrinya.

"Ya, yah. Tama di sini aja, Yah. Ayah kalau ada kerjaan, silakan dilanjutkan, Yah." Tama memposisikan tubuhnya di kursi tamu mencari posisi yang nyaman.

"Baiklah. Bersabarlah sedikit lagi. Perempuan itu memiliki hati yang lembut. Dia gampang tersentuh kalau melihat keseriusan kita. Dia akan luluh kalau melihat perjuangan kita." Ayah memberi semangat pada Tama.

"Ya, Yah. Insyaallah saya akan bersabar, karena saya mencintai Laila." Suara Tama terdengar tegas. Ayah yang sudah akan berdiri, tapi urung. Ayah menatap Tama dengan kaget. Menantunya ini mengatakan kalau ia mencintai anaknya, Laila? Lalu sebaris senyuman tersungging dari bibir tua ayah. Hatinya bahagia mendengar pengakuan menantunya ini.

"Terima kasih telah mencintai Laila." Suara ayah bergetar. Matanya berkaca-kaca. Tama mengangguk. 
"Saya juga mengucapkan terima kasih Ayah, karena Ayah telah mempercayakan Laila pada saya." Mata Tama pun berkaca-kaca. Ayah tersenyum dan mengangguk berulang kali.

"Ayah melanjutkan pekerjaan Ayah sedikit lagi. Sebentar lagi kita makan. Makan siangnya jadi sedikit terlambat ya, Nak Tama. Nak Tama duduk dulu di sini."
"Baik, Yah."

Ayah bangkit dan menuju ke dapur. Didapatinya bundo dan Laila sedang sibuk menyiapkan makan.
"Bundo, Ayah potongkan ayam, masih sempatkah dimasak?" Ayah mendekati bundo yang sedang memotong-motong sayur.

"Boleh, Yah. Kita bikin Ayam cabe hijau. Menantu pasti suka. Ya, kan Laila?" Bundo menoleh pada Laila dengan tatapan menggoda. Laila mencoba tersenyum.

"Sudah, biar bundo aja yang selesaikan. Kamu temani suamimu di depan." Bundo kembali menyuruh Laila untuk menemani Tama di ruang tamu.

"Nggak apa-apa Bundo. Biar cepat masaknya. Biar cepat juga kita makan," jawab Laila seraya menyiapkan bumbu untuk ayam cabe hijau.

"Kalau gitu, suruh dulu suamimu istirahat di kamarmu. Kasihan dia, pasti capek." Bundo mengambil bumbu yang ada di tangan Laila dan mendorong Laila untuk ke ruang tamu. Dengan langkah berat, Laila pun menuju ruang tamu. dadnya kembali brdebar tak menentu. Badannya pun terasa panas dingin.

Sementara Tama mencoba untuk memejamkan matanya. Tiba-tiba ia merasa tubuhnya begitu lelah. Laila yang berjalan pelan menuju ruang tamu, melihat Tama dengan mata terpejam. Laila berbalik lagi ke dapur.

"Uda Tama sudah tertidur, Bundo."
"Tertidur di mana?"
"Di ruang tamu, Bundo."
"Ya, ampun. Kamu ini ya, jadi istri kok seperti ini. Bangunkan dan suruh pindah ke kamar." bundo benar-benar merasa marah pada Laila yang sepertinya tidak bisa mengurus suami.

Laila kembali bergegas ke ruang tamu. Dengan kaki gemetar, Laila mendekati Tama yang sepertinya memang sudah tertidur. 

"Da, disuruh Bundo istirahat di kamar." Laila sedikit menunduk dan menepuk lembut bahu Tama. Tama yang memang belum tertidur membuka matanya. Matanya berbinar melihat perempuan yang dirindukannya sekarang berada di hadapannya.

"Laila, bisa kita bicara sekarang?" Tama mencoba meraih jemari tangan Laila. Laila mencoba menenangkan diri dan menampilkan ekspresi wajah sedatar mungkin. Padahal hatinya jangan dikata.

"Laila sedang menyiapkan makan siang, Da." Laila menarik tangannya dan menegakkan tubuhnya kembali.
"Baiklah, Uda tunggu sampai kamu selesai masak. Uda duduk di sini aja." Tama mencoba tersenyum pada Laila. Walau hatinya merasa kecewa melihat ekspresi wajah istrinya yang terlihat begitu datar.

"Nanti Bundo marah kalau Uda nggak istirahat di kamar." Laila merengut karena merasa serba salah.
"Bilang sama Bundo ya, menantu baru akan masuk kamar, kalau anak Bundo yang menginginkannya." Tama berkata dengan santai. Laila menjadi semakin keki mendengar ucapan Tama yang menyindirnya itu.

Tanpa pamit, Laila pun kembali balik ke dapur. Tinggallah Tama yang tersenyum sendiri melihat wajah Laila yang memerah karena godaannya.

"Bagaimana? Sudah istirahat di kamar?" Bundo langsung bertanya begitu melihat Laila.
"Nanti katanya Bundo, setelah makan." Laila sedikit berbohong karena bingung mau mengatakan apa pada bundonya.
"Oh." Bundo nampak sedikit kecewa.

Mereka masih asyik di dapur ketika terdengar suara adzan dari mesjid terdekat. Ayah bergegas menuju ruang tamu. Ayah mengajak Tama untuk sama-sama ke mesjid. Tama dan ayah berangkat ke mesjid untuk melaksanakan salat ashar berjamaah di mesjid.

Begitu ayah dan Tama sampai di rumah, bundo dan Laila telah selesai menghidangkan makanan di atas meja makan.
Laila bergegas masuk kamar untuk melaksanakan salat ashar. Menunggu Laila dan bundo selesai salat, ayah mengajak Tama ke halaman belakang untuk melihat ayam peliharaannya. 

Tama mengikuti ayah ke halaman belakang. Entah mengapa Tama merasa badannya kurang enak. Kepalanya sedikit pusing. Apa mungkin karena ia kurang istirahat atau mungkin juga karena pikirannya.

Beberapa saat mereka melihat ayam-ayam yang berkejaran, 
Laila datang memanggil untuk makan. Ayah dan Tama bergegas masuk ke dalam rumah. Mereka pun mengambil tempat di meja makan. Ayah telah duduk di samping bundo. Laila tentu harus duduk juga di samping Tama. 

Tama merasa senang, akhirnya bisa berdekatan kembali dengan istrinya. Bundo telah mengambilkan nasi untuk ayah. Tama pun menyerahkan piringnya pada Laila. Laila mengambil piring yang diberikan Tama dan mengisinya dengan nasi. Tama menyerahkannya kembali pada Laila. Laila menatap heran. Ada apa lagi dengan laki-laki ini, bisik hati sedikit geram.

"Lauknya belum." Tama protes. Ya ampun, Laila ingin menepuk jidatnya. Tapi karena ada ayah dan bundo yang senyum-senyum melihat tingkah anak dan menantu mereka, Laila pun terpaksa mengikuti kemauan Tama. Mengambilkan lauk dan sayur untuk Tama. Tama tersenyum senang.

"Makasih, ya, Sayang," bisik Tama tepat di samping telinga Laila. Tapi ayah dan bundo bisa ikut mendengarnya. Tinggallah Laila yang wajahnya sudah seperti kepiting rebus, merasa malu dengan sikap over Tama di depan kedua orang tuanya. Mereka mulai makan tanpa banyak bicara. 

Baru beberapa suap, Tama merasa perutnya melilit sakit. Tama mencoba menahannya. Tama yakin ini karena ia tak makan dari kemarin malam. Pelan-pelan Tama berusaha menghabiskan nasi di piringnya. Tapi badannya telah berkeringat dingin. Kepalanya terasa makin pusing. Tama masih berusaha untuk terlihat baik-baik saja.

Setelah makan, ayah mengajak Tama duduk kembali di ruang tamu. Bundo telah pamit untuk istirahat di kamarnya. Laila juga masuk kamarnya dengan alasan mau membersihkan kamar terlebih dahulu. Padahal ia sengaja ingin mengulur waktu bicara dengan Tama.

Entahlah, Laila merasa belum siap untuk mendengar penjelasan dari Tama. Bagaimana jika yang disampaikan Tama akhirnya benar-benar menyakitkan untuknya?

Laila membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. Ia juga merasa sangat lelah. Dari waktu sampai kemarin, ia juga belum bisa memejamkan mata. Mungkin ia hanya tertidur sekitar dua jam tadi malam. Tanpa disadarinya, ia pun tertidur dan terbang ke alam mimpinya. 

Laila terbangun begitu mendengar suara azan magrib. Laila bergegas bangun dan masuk kamar mandi untuk berwudhu. Tama kembali diajak ayah untuk salat di mesjid. Meski badanya makin terasa tak enak, tapi Tama tetap mengikuti langkah ayah mertuanya menuju mesjid. 

Tapi begitu sampai di rumah, dan duduk di ruang tamu, Tama benar-benar merasa tak kuat lagi. Ayah meninggalkan Tama untuk memanggil Laila agar mengajak Tama masuk ke dalam kamar. Tama membaringkan tubuhnya di sofa tamu. Tubuhnya bergelung menahan rasa dingin yang terasa sampai ke tulang sum-sumnya. Keringat dingin membasahi kening dan lehernya. Tama menggigil. 

"Laila." Ayah mengetuk pintu kamar Laila. Laila yang masih duduk di sajadah, memohon dan berdoa pada Allah atas segala harapan di dadanya, bangkit dan membuka pintu.
"Ya, Yah?" Laila berdiri di depan ayahnya masih dengan mukena yang dipakainya.

"Ajaklah suamimu istirahat di kamar. Dia pasti lelah." 
"Ya, Yah." Laila mengangguk paham. 
"Ayah mau istirahat juga, ya. Berilah kesempatan pada Tama untuk bicara. Dan berlapang dadalah dengan apapun yang akan disampaikannya." Ayah berpesan sebelum meninggalkan kamar Laila. Laila kembali mengangguk
"Baik, Yah," ucapnya dan berbalik ke dalam kamar untuk membuka mukenanya.

Sesaat Laila menatap bayangannya di kaca. Laila merapikan rambutnya, memakai sedikit bedak dan mengoleskan lipstik warna bibirnya dengan tipis.Setelah merasa sedikit cerah, Laila ke luar kamar dan menuju ruang Tamu. 

Seperti siang tadi, debaran di dadanya kembali bertalu-talu. Laila kembali menenangkan hatinya. Sampai di ruang tamu, Laila melihat Tama telah tidur bergelung di sofa panjang. Laila jongkok menepuk pundak Tama lembut. 

"Da, bangun. Pindah ke kamar." Laila berbisik di telinga Tama. Tapi Tama bergeming. Laila memperhatikan Tama dan melihat keringat membasahi kening dan lehernya. Laila menyentuh kening Tama. 

"Astaghfirullah." Laila terperanjat merasakan suhu tubuh Tama yang sangat panas. Seketika Laila merasa cemas dan khawatir. 
"Da, bangun. Badan Uda panas, pindah ke kamar, ya." Kali ini Laila menepuk lembut pipi Tama. Tama membuka matanya perlahan. Dan melihat siapa yang berada di depannya, Tama tersenyum.

"Laila." panggil Tama lembut. 
"Ayo, Da, pindah ke kamar. Badan Uda panas sekali." Laila tak dapat menyembunyikan wajah cemasnya. 
"Apa ini masih karena disuruh Bundo?" meski suara Tama terdengar makin lemah, tapi laki-laki ini masih juga berniat menggoda istrinya.

"Tidak, kali ini Laila yang meminta Uda." Meski merasa malu, tapi Laila tak ingin berbasa basi lagi. Keselamatan dan kesehatan suaminya lebih penting dari perasaan marahnya saat ini.
"Baiklah, kalau kamu yang memintanya." Tama mencoba duduk dari berbaringnya. Tapi kepalanya terasa berputar-putar. Tama kembali ingin menjatuhkan tubuhnya lagi sofa.

"Uda." Laila mendekat dan menahan tubuh Tama dengan susah payah.
"Ayo!" Laila sekuat tenaga membantu Tama berdiri. Melihat istrinya begitu kepayahan menolong dirinya, Tama menguatkan tubuhnya sekuat tenaga agar bisa bangkit dan berdiri. Tama tersenyum dalam hati. Tama mengucapkan syukur alhmadulillah atas sakitnya, karena ia baru saja menangkap mimik kecemasan dan kekhawatiran di wajah istrinya.

Laila menuntun Tama menuju kamarnya. Dengan susah payah mereka mencapai pintu kamar Laila. Laila membuka handel pintu dengan tangan kirinya lalu mendorong pintu itu dengan kakinya. Begitu pintu terbuka, Laila menuntun Tama menuju tempat tidur. Akhirnya  Laila berhasil juga membantu Tama berbaring di atas kasur. Laila menyelimutkan Tama dengan selimut yang agak tipis agar suhu tubuh tama tidak semakin naik.

Mata Tama kembali terpejam. Rasa pusing di kepalanya tak dapat ditahannya. 
"Uda, Laila ambil air sama kain untuk kompres bentar, ya." Laila berbisik di telinga Tama lalu segera beranjak ke luar kamar. 

Tak berapa lama Laila kembali masuk kamar dengan membawa baskom kecil dan handuk kecil. Diletakkannya baskom kecil itu di atas nakas di samping tempat tidur. Lalu diambilnya kursi meja rias dan duduk di atasnya.

Laila mencelupkan handuk kecil itu dalam baskom yang berisi air hangat. Setelah memerasnya, Laila menempelkan handuk tersebut ke kening Tama. Berulang kali Laila melakukan hal seperti itu. Laila mengambil satu lagi handuk kecil di lemarinya, membasahinya, lalu menyapukannya ke  leher Tama berulang kali. 

Hampir dua jam Laila mengompres kening dan leher Tama. Laila juga telah mengganti air kompres yang sudah terasa dingin beberapa kali.  Laila kemudian meraba kening Tama, panasnya sedikit berkurang. Laila mengucap syukur dalam hati. 

"Da, Laila salat isya dulu bentar, ya." Laila berbisik di telinga Tama. Laila bangkit dan hendak berjalan ke kamar mandi.

"Laila jangan pergi." Terdengar lirih suara Tama. Laila berbalik dan menatap Tama. Kening Laila berkerut. Mata Tama terpejam amat rapat. Sepertinya Tama telah tertidur dengan nyenyak. Apa laki-laki ini mengigau? Laila duduk kembali. Hati Laila terenyuh mendengar kata-kata Tama. Mata Laila terasa panas. 

"Da, Nanti kalau Laila sudah salat, Laila bantu Uda tayamum dan salat isya juga, ya." Laila kembali berbisik di telinga Tama. Melihat kondisi Tama seperti itu, sebagian rasa sakit hati dan kecewa Laila menguap. Berganti dengan rasa kasihan, rasa sayang dan rasa cemas juga tentunya. Laila kembali bangkit, namun jemari tangannya diraih. Laila kembali berbalik. Terlihat Tama telah membuka matanya. Mata yang terlihat begitu sayu. 

"Laila, terima kasih." Tama tersenyum tulus. Laila mengangguk. 
"Maukah kamu memeluk Uda sebentar saja?" suara Tama yang lirih terdengar memohon. Laila ragu, namun hatinya tak tega jika harus mengecewakan laki-laki ini. 

Dengan wajah merona dan dada berdebar kembali, Laila mengangguk.
"Uda tidak kuat bangun, kemarilah." Tama menarik tangan Laila agar mendekat.

Ya, Tuhan. Bangun saja tidak kuat, tapi masih minta dipeluk, Laila membatin dalam hati.
"Pelukanmu akan menjadi obat bagi Uda." Tama berkata seakan-akan bisa membaca pikiran Laila.  

Laila membungkuk dan merengkuh tubuh Tama yang berbaring. Tama pun mengembangkan tangannya dan memeluk tubuh Laila dengan erat.  Laila bisa merasakan hawa panas dari tubuh Tama yang seperti memasuki tubuhnya. Namun yang lebih membuat Laila merasa panas bukanlah karena suhu tubuh Tama yang mengalir ke tubuhnya. Tapi karena cara berpelukan mereka yang terasa begitu intim. Untuk pertama kalinya.

"Apa Uda boleh memintanya malam ini?" Tama berbisik di telinga Laila. Laila reflek melepaskan pelukannya karena kaget. Ya Tuhan, berdiri saja suaminya ini tidak kuat, bagaimana ia ingin meminta  haknya pula? Laila mengelengkan kepala merasa tak mengerti dan tak masuk akal dengan jalan pikiran laki-laki ini. Apa memang laki-laki seperti itu? Laila benar-benar tidak paham bagaimana laki-laki. 

Apalagi masalah mereka belum selesai. Mereka belum bicara. Marah dan sakit hati Laila juga masih banyak menumpuk di dada.

"Kamu tahu, kata orang yang telah menikah, hubungan suami istri bisa menjadi obat mujarab bagi suami atau istri yang sedang sakit. Dan hubungan suami istri juga bisa menjadi alat  pemecah masalah untuk masalah yang sedang dihadapi. Mau mencobanya?" Tama menatap Laila dengan tatapan mata menggoda.  

Laila terpana.

bersambung.....

0 comments:

Posting Komentar