CANTING PART 18 / #cantingpart18
Oleh Fissilmi Hamida
************
Gusti paring pitedah,
Bisa lewat bungah, bisa lewat susah
Tuhan memberikan ujian,
Bisa melalui kebahagiaan, atau ujian kesusahan.
***********
Keduanya masih terus beradu pandang, dengan senyum yang masih terus terkembang.
"Mas...," panggil Sekar, tanpa sedikitpun mengalihkan pandangan.
"Ya," jawab Hadi, sambil terus menatap sang pujaan hati.
"Terimakasih, Mas. Terimakasih sudah kembali menjadi Mas Hadi yang seperti ini," ucapnya tulus. Ia memang sangat bersyukur atas kembalinya Hadi.
Masih lekat dalam ingatan segala lara hati yang ia rasakan lantaran melihat suami tercinta menjelma menjadi sosok yang tak lagi dikenalinya. Ia ingat saat ia hanya bisa menangis di balik pintu saat melihat Hadi berteriak sambil memukul kepalanya sendiri karena depresi. Ia juga ingat saat Hadi menampik uluran tangannya yang hendak memapahnya ke peraduan mereka. Hadi bersikeras bahwa ia bisa melakukannya sendiri, tak butuh bantuannya lagi. Lagi-lagi, Sekar hanya bisa terisak hingga dadanya sesak saat sejurus kemudian, ia melihat Hadi terjatuh dari kursi rodanya lantaran terlalu memaksakan diri.
Sakit, sakit sekali.
Namun ini, Hadi telah kembali. Betul-betul telah kembali.
Lembut, Hadi merengkuh kepala Sekar dan menempatkannya di pangkuannya. Ia lalu membelainya, mesra.
"Aku yang seharusnya berterima kasih, Sayang. Terimakasih sudah menuntun dan menarikku saat aku mulai lupa jalan pulang," katanya.
Hadi juga tulus mengucapkan kalimatnya. Ia sadar, ia telah melakukan kesalahan hingga selama ia lupa jalan pulang, ia lupa pada tugasnya sebagai seorang suami yang seharusnya ngayomi atau melindungi dan juga ngayemi atau menenangkan.
Bukannya ngayomi, ia justru membahayakan istrinya. Ia pernah membuat jemari Sekar terluka saat Sekar memunguti pecahan piring akibat ulahnya, ia pernah membuat Sekar kesakitan saat ia menolak uluran tulus tangannya yang ingin membantunya naik ke ranjang. Sayang, tampikannya terlalu keras hingga membuat Sekar jatuh terjengkang dan kesakitan. Ia juga pernah melempar paksa buku-buku di ruang bacanya sehingga salah satunya mengenai wajah Sekar, tepat di bibirnya hingga bibirnya berdarah.
Selain itu, alih-alih ngayemi, ia justru membuat istrinya menangis setiap hari, tergugu sepanjang waktu, terluka karena kelakuannya.
Namun istri tercintanya berhasil menuntunnya dengan segala kesabaran dan kelembutan hatinya, hingga ia bisa kembali ke jalan yang semestinya.
Keduanya kembali terhanyut dalam keheningan, dengan lantunan rasa syukur yang tak henti-henti mereka ucapkan, juga rasa cinta yang rasa-rasanya kini kian mendalam.
Benar.
Adakalanya Gusti Pangeran memberikan ujian untuk menguji kuat tidaknya sebuah ikatan pernikahan. Maka jika kedua pasangan berhasil melaluinya, seringkali mereka berasa rasa cinta di antara keduanya tumbuh berkali-kali lipat jumlahnya, seperti yang dirasakan Sekar dan Hadi acapkali satu ujian berhasil mereka lalui. Rasa cinta mereka semakin bersemi.
Hadi menegakkan kepala Sekar. Ia sedikit membungkukkan punggungnya, hingga kedua tangannya berhasil memegang kedua pipi sosok di hadapannya itu. Ditatapnya kembali wajah istrinya.
Mripate ndamar kanginan, idepe tumenga ing tawang. Begitu bisik hati Hadi acapkali memandang mata istrinya. Mata ndamar kanginan, mata yang bagaikan sumbu api menyala yang bergoyang-goyang, sebab mata Sekar selalu memunculkan cahaya, tak peduli sesulit apapun keadaan yang dilaluinya. Mata itu selalu berapi-api, menunjukkan semangat yang tak pernah mati.
"Kamu mau minta hadiah apa?" tanya Hadi. Telunjuknya menyentil dagu istrinya.
Sekar tersipu karenanya. Ia selalu merasakan aliran hangat yang menjalari sekujur tubuhnya setiap Hadi memperlakukannya seperti itu.
"Aku tidak membutuhkan hadiah apapun, Mas. Dengan kembalinya Mas Hadi seperti ini, itu sudah menjadi hadiah terindah untukku saat ini." Sekar memegang tangan kiri Hadi yang masih berada di pipinya.
"Ayolah. Mintalah apapun padaku. Aku akan memberikannya padamu," kata Hadi. Selama beberapa purnama mereka berdua mengarungi bahtera cinta, rasa-rasanya, tak pernah sekalipun sang istri meminta sesuatu padanya.
"Yakin Mas akan memberikan apapun pintaku?" tanya Sekar.
"Tentu saja. Asal jangan memintaku menggendongmu. Aku belum bisa," gurau Hadi. Sekar tertawa.
"Sungguh, Mas. Aku tidak perlu apa-apa. Aku hanya ingin Mas Hadi tetap bersemangat seperti ini untuk segera sembuh," katanya.
Hadi semakin membungkukkan punggungnya, hingga bibirnya bersentuhan dengan bibir istrinya, memberikan 10 detik kecupan penuh cinta di sana.
"Kamu pasti sudah begitu rindu dengan gendonganku, ya?" godanya.
Seperti biasa, Sekar mendaratkan sebuah cubitan mesra untuk membalas godaan suaminya. Sejujurnya, memang benar ia merindukannya. Ia selalu suka saat Hadi merengkuhnya, menggendongnya. Selalu ada rasa nyaman dan aman yang dirasakannya.
Sekar bangkit, lalu membantu suaminya untuk beralih ke peraduan mereka. Sejurus kemudian, Hadi sudah berpindah ke ranjang.
"Kemarilah. Berbaringlah di pelukanku," katanya kemudian, mengisyaratkan pada Sekar untuk segera mendekat padanya.
Sekar meredupkan lampu kamarnya, lalu beringsut, mendekatkan diri ke pelukan suaminya, menyandarkan diri di dada suaminya. Hadi mengecup ubun-ubun istrinya, lalu jemarinya bergerak memberikan belaian mesra.
"Ayolah, Sayang. Pasti ada hal yang kamu inginkan. Katakan. Aku akan membantu mewujudkan," kata Hadi lagi, sambil kembali mendaratkan kecupan mesra di ubun-ubun sang istri.
"Mas...," kata Sekar perlahan, setelah beberpa detik keheningan.
"Hmm?"
"Jika diperbolehkan, aku... aku ingin membantu membangkitkan lagi The House of Sundari," ucap Sekar perlahan.
"Ijinkan aku terlibat dalam bisnismu, Mas. Ijinkan aku membantu. Mas bilang Mas tidak tega melihat Kanjeng Ibu pontang panting sendirian, kan?" imbuhnya.
Hadi terpana mendengarnya. Benar juga. Selama ini Kanjeng Ibu harus bersusah payah sendirian untuk mengurusi pengembalian uang, hingga aktifitas di The House of Sundari sempat vakum selama 3 bulanan ini. Kerugian lebih dari 2 milyar bukanlah angka yang sedikit. Memang, jumlah tabungan di rekening Hadi lebih dari itu, hanya saja permasalahannya tak sesederhana itu, tak sesederhana mengambil uang 2 milyar di tabungan, lalu dibagi-bagikan pada para pelanggan yang sudah melakukan pembayaran. Salah satunya adalah tentang bagaimana agar para pelanggan itu tak lari karena musibah ini.
"Ajari aku, Mas. Ijinkan aku membantu."
Hadi menatap wajah istrinya yang tengah mendongak menghadapnya.
"Jadi ini permintaanmu sebagai hadiah ulang tahunmu?" tanya Hadi. Sekar mengangguk pasti.
"Apalagi sekarang keadaan Mas Hadi sudah jauh lebih baik dari pada sebelumnya, kan? Aku tahu Mas Hadi pasti merasa bosan. Mas Hadi yang biasanya petakilan, sekarang gerakannya harus tertahan. Kenapa tidak mencoba menjalankan kembali aktifitas di The House of Sundari? Mas bisa mulai dengan mengajariku. Aku yakin, ini akan mampu mengurangi rasa bosan yang Mas rasakan itu," ujar Sekar. Lagi-lagi Hadi tak bisa untuk tak membenarkan.
"Baiklah," kata Hadi kemudian.
"Benarkah?" Mata Sekar terlihat begitu berbinar.
"Tentu saja, Sayang. Aku yakin potensimu tidak hanya sebatas pada kepiawaianmu membatik saja. Aku tahu kamu bisa melakukan lebih dari itu." Sebuah kecupan mesra kembali dihadiahkannya untuk Sekar dengan mata berkilatnya.
"Oh iya, aku ingat sesuatu. Waktu kita menikah, kamu meminta kado mesin jahit, kan? Kenapa itu?" tanya Hadi kemudian, setelah sejenak keduanya kembali terhanyut dalam kehangatan.
"Itu, masih teronggok di sana," kata Sekar, menunjuk sebuah kotak besar yang berada di sudut ruangan.
Ia memang belum sempat menggunakannya, lantaran kecelakaan yang mereka alami sebulan pasca pernikahan mereka. Ia memang sengaja meminta mesin jahit sebagai salah satu mahar pernikahannya, barangkali bisa ia gunakan untuk mengusir rasa bosan yang terkadang rasakan.
"Tentu saja untuk menjahit, Mas," sambungnya.
"Lho, kamu bisa menjahit?" Hadi terkesiap. Sekar mengangguk.
"Mas Hadi pikir siapa yang selama ini menjahit baju Mas Hadi yang robek? Siapa yang memasang kancing baju Mas yang sering hilang entah kemana? Siapa yang mengecilkan kemeja Mas Hadi saat Mas membeli kemeja yang kebesaran padahal kemeja itu harus Mas pakai besoknya?" kata Sekar.
Hadi semakin terpana. Ia ingat malam itu ia membeli kemeja yang ingin ia pakai keesokan harinya untuk konferensi di yang diadakan oleh Kementerian Perindustrian yang akan ia ikuti. Sayang, kemeja itu kebesaran. Ia memang langsung ambil tanpa mencobanya, hingga akhirnya ia pasrah saja. Tak mengapa memakai kemeja kebesaran. Toh bisa ia tutupi jas juga. Begitu saat itu pikirnya. Tapi alangkah terkejutnya saat keesokan harinya, kemeja berwarna biru muda itu sudah bertengger rapi di pegangan lemarinya, dengan ukuran yang sudah mengecil sesuai ukuran tubuhnya. Hadi memang suka memakai kemeja slim fit. Ia kira Simbok atau Kanjeng Ibu yang menjahitnya. Ternyata Sekar yang melakukannya.
"Kenapa saat itu kamu mengecilkan kemejaku? Rasanya aku tidak pernah memintamu melakukan itu." Tiba-tiba saja Hadi penasaran.
"Aku tidak sengaja melihat Mas Hadi ngomel-ngomel sendiri saat mencoba kemeja itu," jelas Sekar. Hadi jadi semakin penasaran.
"Sik, sik. Seingatku, aku mencoba kemeja itu di kamarku. Kenapa kamu bisa tahu? Oh, aku tahu. Jadi selama ini kamu diam-diam suka mengintipku?" godanya.
"Ih, Mas!" Sekar kembali melayangkan sebuah cubitan. Hadi tidak bisa menghindar.
"Iya juga tidak apa-apa, kok. Aku tidak keberatan diintip sosok cantik sepertimu," guraunya lagi, membuat rasa gemas Sekar semakin menjadi-jadi. Namun di sisi lain, ia bahagia. Sikap usil Hadi semakin menegaskan bahwa Hadinya memang telah kembali sepenuhnya.
"Aku sedang membawa keranjang cucian ke belakang, Mas. Saat itu pintu kamar Mas terbuka. Jadi aku bisa melihat Mas yang sedang mengomel karena kemeja yang kebesaran. Karena aku kasihan, aku kecilkan saja kemeja itu saat aku kemudian melihatnya teronggok di ruang setrika, menggunakan mesin jahit tua milik Kanjeng Ibu," jelas Sekar. Hadi mangut-mangut mendengarkan.
"Kamu begadang semalaman hanya untuk mengecilkan kemejaku?" tanya Hadi lagi. Sekar memberikan seutas senyuman, lalu mengangguk perlahan.
Hati Hadi tiba-tiba berdesir karenanya.
"Terimakasih, ya. Dari dulu sampai sekarang kamu sudah menjadi istriku, kamu selalu ada untukku," katanya kemudian, lalu menggenggam tangan kiri Sekar yang berada di dadanya.
"Tapi, kenapa kamu bisa tahu ukuran badanku? Janga-jangan... kamu menjahitnya sambil membayangkanku, ya?" Hadi masih terus menggoda.
"Ih, Mas. Kan ada kemeja slim fit Mas yang lain di ruang setrika. Aku tinggal menyesuaikan ukurannya saja!" Sekar mbesengut. Hadi semakin tergelak karenanya.
Sungguh, benar perkiraannya bahwa sejatinya Sekar punya banyak potensi luar biasa. Yang bahkan ia sendiri tak mengetahuinya.
"Aku jadi ingat kalau aku pernah memergokimu menggambar beberapa desain baju. Lalu kamu malu-malu dan menyembunyikan bukumu." Sekar tersipu. Ia memang menyukai hal-hal berbau seni. Bahkan ia punya banyak desain baju yang dibuatnya sendiri. Hanya saja selama ini, ia masih belum percaya diri, ia belum yakin bahwa ia punya potensi.
"Aku mau menceritakan rencanaku, tapi tolong Mas jangan tertawa, ya," kata Sekar. Hadi tertawa mendengarnya, lalu mengacak-acak rambut istrinya.
"Tuh, kan. Belum apa-apa Mas sudah tertawa." Sekar mbesengut. Hadi semakin tertawa.
"Iya, iya. Ayo ceritakan. Aku akan mendengarkan," kata Hadi. Sekar menghela napas perlahan.
"Begini, Mas. Bolehkah aku juga mencoba menjalankan usaha? Umm... maksudku, aku tetap akan membantu Mas membangkitkan kembali The House of Sundari. Tapi aku juga ingin merintis usaha kita sendiri. Bolehkah?" Hadi menatapnya. Ada tatapan penuh harap di manik mata istrinya.
"Usaha apa memangnya?" tanyanya.
"Aku ingin menggunakan mesin jahit itu untuk menjahit desain baju-baju yang selama ini kubuat, Mas. Lalu aku akan mencoba memasarkannya lewat social media. Soal modalnya, Mas tidak perlu khawatir. Uang hasil endorse selama ini lumayan, kok. Boleh ya?" pintanya lagi.
Hadi masih terus menatap istrinya. Sejak video lamarannya viral, jumlah pengikut di akun social media Sekar mendadak membludak, begitu juga dengan akun social medianya. Hanya saja, Hadi tidak mempedulikannya karena ia tidak begitu suka bermain social media. Sedang Sekar ternyata selama ini memanfaatkan peluangnya, terbukti dengan banyaknya endorse yang ia terima. Ternyata selama ini Sekar menyinpan uang hasil endorse-nya.
"Aku yakin desainku bukan desain pasaran, Mas. Aku akan mencoba minat pasar dengan memasarkannya di social mediaku dulu." Sekar terlihat begitu berapi-api.
"Jika minat pasar bagus, aku akan melanjutkannya. Jika kurang, aku akan membuat desain lain yang akan sampai diterima pasar." Hadi masih terus mendengarkan mimpi istrinya.
"Nanti kalau sudah ada pasarnya, aku akan buka PO. Kalau PO-nya banyak, aku nanti minta tolong konveksi yang selama ini Mas Hadi pakai untuk produksi pakaian di The House of Sundari. Nah, untuk bahannya, mungkin aku akan memakai campuran batik dan non batik. Tapi ada juga baju yang nanti full non batik. Kenapa? Agar pelanggan yang menyukai full batik tetap akan lari ke The House of Sundari."
Hadi terus menatap istrinya kini tak lagi berbaring di lenganya. Sekar duduk tegak sambil tangannya bergerak-gerak menjelaskan rencananya.
"Terakhir, aku akan memberi nama brand sendiri untuk produk-produkku ini. Mas bisa tebak apa namanya?" tanyanya. Hadi menggelengkam kepalanya. Ia masih menikmati antusiasme yang ditunjukkan istrinya.
"Namanya...." Sekar kembali mendekatkan diri, hingga wajahnga dan wajah Hadi tak berjarak lagi.
"Namanya Sekarhadi," sambungnya. Wajahnya tampak begitu bahagia.
"Siapa tahu Gusti paring restu dan suatu saat nanti kita bisa membangun The House of Sekarhadi dan bisa besar seperti The House of Sundari. Untuk proses lebih lanjut, nanti aku akan belajar dari Mas Hadi," kata Sekar, menutup penjelasan panjangnya.
"Mas? Kenapa diam saja? Mas tidak setuju, ya?" Rona bahagia Sekar sedikit memudar.
Hadi salah tingkah. Rupanya sedari tadi ia hanya terdiam karena ia begitu menikmati keterpanaan yang ia rasakan pada istrinya.
"Melihat binar bahagia di wajahmu, bagaimana mungkin aku berkata tidak pada rencanamu?" kata Hadi kemudian, hingga wajah Sekar kembali berbinar.
"Jika kamu membutuhkan tambahan modal, katakan saja. Aku akan menambahnya," imbuh Hadi lagi. Sekar kembali merebahkan diri di dada bidang Hadi.
"Memangnya Mas punya uang?" tanya Sekar.
Hadi geli mendengarnya. Sepertinya, istri belianya mengira kebakaran gudang kemarin membuatnya jatuh miskin seketika.
"Tentu saja punya. Aku tidak sebangkrut itu, kok," katanya Hadi.
Sejenak hening.
"Sekar?"
"Ya?"
"Kamu pernah minum jamu pahitan?" tanya Hadi.
Sekar mengangguk. Tapi ia bingung, kenapa tiba-tiba suaminya membahas tentang jamu pahitan, jamu super pahit yang terbuat dari bahan beragam, mulai dari brotowali, doro putih, widoro, sampai babakan pule.
"Kenapa memang, Mas?" tanyanya.
"Kamu tahu kan, jamu pahitan itu pahitnya seperti apa. Pahit sekali. Tapi khasiatnya luar biasa, membuat kita lebih kuat karenanya. Begitu juga dengan segala permasalahan dan ujian hidup yang kita alami," jelas Hadi. Sekar mulai mengerti.
"Aku bangga padamu, Sayang. Lihat dirimu sekarang. Aku masih ingat bagaimana Sekar yang selalu rendah diri, yang selalu merasa tak pantas mendampingi seorang Hadi. Tapi seiring berhasilnya kamu melewati masalah-masalah yang menghampiri, aku bisa melihat kamu sudah tumbuh menjadi Sekar yang jauh lebih kuat, jauh lebih percaya diri. Rasanya tak percaya Sekar yang selalu rendah diri, sekarang bisa menjelaskan mimpi besarnya seperti ini," pujinya, sambil kembali menghadiahkan sebuah kecupan mesra.
Sekar tersenyum mendengarnya. Mendadak hatinya berdesir manja. Sesungguhnya, ia sendiri takjub dengan perubahan positif dirinya, sebuah perubahan yang tentu saja ada andil Hadi di sana, Hadi yang tak pernah lelah saban hari menyemangatinya.
"Aku beruntung memilikimu, Mas. Mas Hadi yang berperan besar dalam mengubahku yang pemalu, menjadi aku yang berani maju," ucap Sekar tulus.
Kini keduanya saling menatap, tanpa ada satu kata yang terucap. Wajah keduanya lalu saling mendekat, terus mendekat, hingga tak ada lagi jarak yang tampak. Perlahan, tangan kanan Hadi bergerak, mencoba menyentuh salah satu bagian tubuh istrinya. Sayang Sekar menghalaunya, karena ia tahu maksud suaminya.
"Sabar, Mas. Mas mau tulang kaki Mas patah lagi karena terlalu memaksa diri untuk ini?"
Hadi tersenyum kecut mendengarnya.
Bersambung.
lanjut di part 19 ya.
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=222561631691455&id=211459742801644
***********
NOTES :
• Mripate ndamar kanginan, idepe tumenga ing tawang : matanya bagai sumbu api yang menyala, bulu matanya lentik cantik sekali.
• Sik sik : sebentar sebentar.
• Brotowali, doro putih, widoro, babakan pule : bahan-bahan tradisional untuk membuat jamu pahitan.
• Gusti paring restu : Tuhan merestui.
**********
● ALL RIGHTS RESERVED. BUKAN UNTUK DIPLAGIAT ATAU DICOPY PASTE.
***********
0 comments:
Posting Komentar