CARTING PART 17

CANTING PART 17 / #cantingpart17

Oleh Fissilmi Hamida
.
Tumraping urip, sabar iku wigati. 
Dalam hidup, sabar itu penting sekali.

**********

Hadi terus membelai istrinya, membiarkannya menumpahkan airmata tanda bahagia dan rasa syukurnya. Kanjeng Ibu juga berlinang airmata. Ia lalu mendekat, memeluk putra dan menantunya. Haryo dan dokter Adicandra merasakan keharuan yang sama, terutama dokter Adicandra yang merasakan sendiri bagaimana proses operasi Hadi. Perlahan, dokter Adicandra menjawil pundak Haryo, memberinya isyarat untuk keluar ruangan, agar ketiganya lebih leluasa menumpahkan gelak bahagia yang tengah mereka rasakan. 

"Sudah, jangan terus menangis. Lihat, bajuku sampai basah begini," goda Hadi. Sekar kembali pelan memukulnya. Ia masih tak bisa berkata apa-apa. Namun airmatanya jelas menggambarkan apa yang dirasakannya. 

Kanjeng Ibu beringsut, bergeser ke sisi kiri ranjang Hadi. 

"Selamat datang kembali, anakku," katanya, sembari membelai kepala putra semata wayangnya, lalu mengecupnya. 

Hadi sempat mengalami Cardiac Arrest ketika operasi, sebuah keadaan di mana kontraksi ventrikel kiri jantung tidak berjalan sebagaimana mestinya sehingga menyebabkan kegagalan sirkulasi, membuat detak jantungnya sejenak berhenti. Beruntung, dokter Adicandra dan timnya sigap dan memang sudah memperhitungkan kemungkinan terjadinya Cardiac Arrest pada Hadi sehingga Sudden Cardiac Death yang mereka takutkan berhasil dihindari. 

"Kanjeng Ibu, gudang kita...."

"Sudah, Nak, sudah. Jangan pikirkan itu. Pikirkan kesehatanmu dulu," potong Kanjeng Ibu sebelum Hadi menyelesaikan kalimatnya. 

"Kamu tidak apa-apa?" Pandangan Hadi kini beralih pada Sekar yang berada di sisi kanan ranjangnya. 

"Tidak apa-apa, Mas. Hanya beberapa jahitan di kepala dan lengan," jawabnya, mencoba menyembunyikan rasa sakitnya karena nyeri di bekas jahitan yang diterimanya. 

"Tidak apa-apa apanya. Lihat dirimu," katanya. 

Sekar tersenyum. Bukan tanpa alasan ia mengatakan dirinya tidak apa-apa. Dokter mengatakan bahwa ia beruntung karena pecahan kaca mobil nyaris saja melukai arteri brachialisnya. Jika saja iya, maka akan cukup fatal akibatnya. Ia bisa saja mengalami ruptur di arteri brachialisnya. Cedera di kepalanya juga digolongkan sebagai cedera ringan. 

"Aku sungguh tidak apa-apa, Mas. Apalagi jika dibanding Mas Hadi yang sampai harus dioperasi. Mas tidak tahu bagaimana rasanya menunggu suami yang sedang berjuang antara hidup dan mati," kata Sekar. 

Suaranya kembali serak, pelupuk matanya kembali menggenang. Ia kembali ingat bagaimana rasa takut menggelayutinya, khawatir ia dan Hadi tak akan pernah lagi bersua. 

"Jangan menangis lagi. Aku sudah di sini, aku sudah kembali," katanya, sembari menggenggam jemari istrinya. Ingin sekali ia berdiri merengkuh Sekar. Sayang, kedua kakinya bahkan belum bisa ia gerakkan. 

Sekar menghapus airmatanya. 

"Maafkan aku, Sayang," imbuh Hadi. Diremasnya jemari sang istri yang sedari tadi digenggamnya. Sekar membalasnya dengan tatapan hangat penuh cinta. 

"Tidak perlu meminta maaf, Mas. Semua ini kersaning Gusti. Sama sekali bukan salah Mas Hadi. Yang terpenting, kita sudah bersama lagi, seperti kata Mas tadi," katanya, lalu membalas remasan tangan suaminya. Keduanya kini saling menatap. Mata keduanya kembali berurai airmata. Kanjeng Ibu sungguh lega melihatnya.

"Gusti..., eratkan dan jagalah ikatan mereka," gumamnya. 

Keharuan kembali menyelimuti ketiganya. Sayang, suasana haru itu harus terganggu saat sejurus kemudian, suara bentakan Haryo terdengar, seiring dengan suara pintu kamar Hadi yang mendadak terbuka. Tiba-tiba saja Ajeng sudah berada di sana. Sekar mendesah melihatnya. Perempuan ini... ia sungguh tak tahu diri. 

"Jeng!" 

Haryo kembali membentaknya, lalu berusaha menariknya. Ajeng bergeming. Ia menangis. 

"Maaf, saya... saya hanya ingin tahu keadaan Mas Hadi," isaknya. 

Ia pun sama, tak sedetikpun ia berhenti memikirkan Hadi selama Hadi berjuang di ruang operasi. Ia juga takut tak akan bisa bertemu penghuni hatinya kembali, hingga ia memilih untuk tetap berada di rumah saki ini meski jam kerjanya sudah berlalu sejak siang tadi. 

Hadi mengeratkan genggamannya pada jemari Sekar, berharap yang dilakukannya mampu memberikan beberapa ampere kekuatan. 

"Mas Hadi baik-baik saja, Mbak. Jika Mbak ingin tahu keadaannya, tanyakan saja pada dokter Adicandra, bukan malah ke sini mengganggu kebersamaan kami,” kata Sekar, tegas sekali. 

Ajeng terhenyak dan tak berani membalas tatapan tajam Sekar.

“Saya sedang berbahagia karena suami saya sudah bangun kembali. Jika Mbak memang punya hati, seharusnya Mbak tahu diri untuk segera pergi dari ruangan ini,” imbuh Sekar lagi. 

Hadi semakin mengeratkan genggamannya. Ia bisa merasakan gemuruh yang muncul di hati istrinya, saat berhadapan dengan perempuan yang terang-terangan mencintai dan mencoba meraih suaminya.

Napas Sekar mulai tersengal. Hatinya sungguh merasa kesal. Sedang Ajeng hanya mampu terdiam.

“Cukup, Jeng! Ayo keluar!” 

Haryo kembali menarik tangannya. Ajeng mengikutinya dengan berurai airmata.

Tangis Sekar kembali pecah. Ia menelungkupkan wajahnya di sisi kanan ranjang Hadi dengan tangisan yang kian menjadi-jadi. Hadi nelangsa. Saat seperti ini, ingin sekali ia merengkuhnya. Apa daya, ia hanya bisa terbaring saja, tak bisa leluasa memeluk, atau menghapus airmata Sekar seperti biasanya. 

Tiba-tiba saja ia merasa begitu tak berguna. 

**********

Tiga purnama berlalu sudah, dan Hadi sudah kembali pulang ke rumah. Namun semua terasa berbeda, sebab ia tak lagi bisa bergerak leluasa. Cedera yang dialaminya membuatnya butuh waktu yang cukup lama untuk bisa pulih seperti sedia kala. Sementara, ia masih harus tergantung pada kursi roda. Sejujurnya, hal ini mempengaruhi emosinya. Entah karena bosan atau karena sebab lainnya, akhir-akhir ini, ia sering didera rasa bahwa ia cacat, bahwa ia tak lagi berguna. Jangankan untuk melanjutkan usaha batiknya kembali, untuk ke kamar mandi saja, ia tak mampu melakukannya sendiri.

Hadi mendesah. 

Keadaannya semakin diperparah dengan ketidakmampuannya untuk mengajak istri tercintanya bermain dalam lautan cinta, meski itu hanya sementara. Bukankah 3 bulan itu cukup lama? Apalagi baginya yang seharusnya masih menikmati manisnya madu pengantin baru. 

Hadi menatap nanar langit mendung yang tampak dari jendela kamarnya. Hatinya sungguh terasa hampa. 

"Mas?" 

Tetiba ada jemari yang menyentuh pundaknya. Ia menoleh. Sekar sudah berada di sebelahnya.

"Sarapan dulu, ya," katanya. 

Sekar menggeser sebuah kursi ke dekat Hadi, mendudukkan diri di sana, lalu bersiap menyuapkan sesendok makanan ke mulut suaminya. Tapi tiba-tiba, Hadi menampik tangan Sekar hingga sendok yang dipegangnya bergoyang, membuat isinya jatuh ke lantai. 

Sekar mendesah perlahan. Sejak semalam, Hadi tidak mau makan.

"Sedikit saja, Mas. Tolonglah," katanya, kembali menyodorkan sesendok makanan untuk suaminya.

Sayang, Hadi kembali menampiknya. Kali ini lebih keras hingga piring berisi makanan itu terlempar, pecah, dan isinya berhamburan. 

Sekar terhenyak. 

"Aku tidak lapar," kata Hadi singkat. Manik matanya kembali menatap nanar ke arah jendela. 

Sekar bersimpuh, memunguti pecahan piring yang berserakan di lantai dengan jemarinya. Sedang Hadi terus bergeming pada posisinya. 

Perlahan, airmata Sekar menetes. Ia sungguh tak mengira suaminya jadi seperti ini. Ia tahu Hadi terpukul dengan keadaannya, yang entah butuh waktu berapa lama hingga ia bisa kembali sembuh seperti sedia kala. Hanya saja, ia tak pernah mengira menjalani ini akan terasa begitu berat bagi Hadi, sampai emosinya terpengaruh seperti ini. 
Lagipula, ia sama sekali tak pernah menganggap keadaan Hadi sebagai beban. Ia ikhlas merawat Hadi, sebagai bukti cinta sekaligus baktinya sebagai istri, mulai dari menyuapinya, memandikannya, memapahnya ke tempat tidur, bahkan membersihkan kotorannya. Sekar sama sekali tak masalah dengan itu semua. Tapi rupanya, Hadi menganggapnya berbeda. 

"Aw!" Sekar mengaduh.

Salah satu pecahan piring rupanya menggores jari telunjuknya. Hadi mengalihkan pandangannya. Melihat istrinya yang tengah terisak sambil membersihkan kekacauan yang disebabkannya, Hadi semakin merasa bahwa ia hanya menyusahkan saja. 

"Maafkan aku, aku hanya bisa menyusahkanmu," katanya, lalu kembali memalingkan wajahnya. 

Sekar mengentikan aktifitasnya, lalu bangkit mendekati suaminya, memeluknya dari belakang, hingga pipi keduanya bersentuhan. Kini keduanya terhanyut dalam tangisan. 

"Jangan pernah bicara begitu, Mas. Mas tidak pernah menyusahkanku," katanya, dengan airmata yang semakin deras membasahi wajahnya. 

"Aku sudah bukan aku yang dulu, Sekar. Aku yang sekarang hanyalah benalu," isak Hadi. Sekar semakin mengeratkan pelukannya. 

"Tidak, Mas. Mas Hadi sama sekali bukan benalu. Tolong jangan bicara begitu," katanya. 

"Aku cacat, Sekar. Suamimu yang dulu bisa leluasa menggendongmu, sekarang tak lebih dari seonggok daging hidup yang tidak bisa apa-apa, hanya mayat hidup yang terus menyusahkan saja!" 

Airmata Sekar semakin tumpah mendengarnya. 

"Mas Hadi tidak cacat. Dokter tidak pernah bilang seperti itu. Mas hanya butuh waktu untuk bisa sembuh seperti semula." 

Sekar sedikit mengubah posisinya, hingga tangan kanannya bisa leluasa membelai kepala suaminya. 

"Kanjeng Ibu pontang-panting sendirian mengurusi pengembalian uang, sedang aku hanya bisa duduk terdiam. Lalu kamu, seharusnya kamu sudah bisa melanjutkan pendidikanmu, tapi kamu justru terjebak untuk merawatku. Selain itu, sudah 3 bulan lebih aku tidak mampu untuk menafkahi batinmu." Hadi menundukkan kepalanya. 

Sekar menghela napas dan menghapus airmatanya. Ia sungguh tak tega melihat keadaan suaminya. Ia beringsut, lalu memosisikan kedua lututnya di lantai hingga posisinya kini tepat menghadap suaminya. 

Sekar meraih jemari Hadi, menggenggamnya erat sekali. 

"Mas Hadi tahu kan, bagaimana rasa sedihku saat aku harap-harap cemas menunggu nasib Mas Hadi yang saat itu ditangani di dalam ruang operasi? Jujur, Mas, ternyata... ternyata lebih sedih melihat Mas Hadi seperti ini." Tangis Sekar kembali pecah. 

Hadi terhenyak mendengarnya. 

"Bagaimana bisa?" tanyanya. 

"Mas Hadi yang sekarang bukan bukanlah Mas Hadi yang kukenal dulu. Bukan soal keadaan fisik, tapi soal sikap Mas Hadi. Aku rindu Mas Hadi yang penuh semangat tinggi, Mas Hadi yang selalu mengajariku tentang kesabaran dan kebesaran hati." Sekar kembali menghela napas sebelum melanjutkan kalimatnya kembali. 

"Raga Mas Hadi memang sudah kembali bersamaku di sini, tapi... aku tidak merasakan kehadiran jiwa Mas Hadi lagi. Aku...." Sekar tak sanggup lagi melanjutkan kalimatnya. Ia terhanyut dalam tangisnya. 

Hati Hadi tersentak melihat tubuh istrinya yang terguncang karena tangisan.

Gusti... apa yang sudah kulakukan?

"Apa yang lebih menyedihkan dibanding melihat sosok yang kita cinta kehilangan semangat hidupnya, Mas? Apa?" Sekar kembali bersuara di tengah tangisnya. 

Hadi memejamkan kedua matanya sejenak. Benar, ia memang tengah kehilangan semangat hidupnya. Ia tahu tak seharusnya ia begitu. Hanya saja...

"Batinku tidak akan tersiksa hanya karena Mas belum bisa lagi memberikan nafkah batin sebagaimana mestinya. Tapi batinku sungguh tersiksa melihat Mas Hadi yang tak lagi sama seperti Mas Hadiku yang sebelumnya." Hati Hadi tersentak untuk kedua kalinya. 

Gusti... sedzalim itu rupanya aku padanya.

"Lalu soal rencanaku kuliah, bagaimana aku bisa dengan tenang menuntut ilmu jika di saat yang sama, sigaraning nyawaku membutuhkanku? Aku lebih memilih menunda rencanaku dari pada aku harus meninggalkanmu, Mas." 

Hadi melepaskan jemarinya dari genggaman Sekar. Sejurus kemudian, posisinya berbalik. Kini jemari Hadi yang menggenggam jemari Sekar. 

"Sakit hatiku mendengar Mas Hadi menganggap keadaan Mas sebagai beban untukku. Padahal, aku... aku ikhlas melakukan semua ini sebagai tanda cinta sekaligus baktiku sebagai istrimu." 

Mendengar tangisan dan curahan hati istrinya, kini Hadi merasa bak suami paling jahat sedunia. Ia terus menggenggam jemari Sekar, sambil lisannya kini tak henti mengucap istighfar. 

Keduanya kini terhanyut dalam keheningan, dengan isakan Sekar yang masih terus terdengar.

"Maafkan aku, Sekar. Aku tidak menyangka ternyata aku pergi sejauh itu," kata Hadi, memecah keheningan. Sekar terkesiap mendengarnya. 

"Aku... aku hanya khawatir kamu tidak bahagia karena waktumu habis untuk merawatku," imbuhnya. Sekar manatap suaminya, lalu menyunggingkan senyuman di tengah tangisnya.

"Dengarkan aku, Mas. Urip rekasa gelem, mukti uga bisa, sabaya mukti sabaya pati. Hidup dalam kesusahan bersedia, hidup makmur pun bisa, sehidup semati dalam suka maupun duka. Itulah aku padamu, Mas," katanya. Kini giliran Hadi yang terkesiap setelah mendengarkan istrinya.

Kini keduanya saling bertatapan, dengan jemari yang masih terus saling menggenggam.

"Tolong jangan pergi lagi, Mas. Kembalilah jadi Mas Hadi yang kukenali," pinta Sekar sambil menciumi jemari suaminya. 

Hadi mengangguk perlahan.

"Maafkan aku, Sayang. Maaf aku baru menyadari bahwa aku sudah terlalu lama pergi. Aku kembali. Ini aku, Hadimu yang kamu rindukan selama ini."

Airmata kembali mengaliri mata keduanya; airmata bahagia, hingga mereka tak sadar ada sepasang mata lainnya yang juga berurai bulir-bulir bening tanda bahagia; airmata Kanjeng Ibu yang sedari tadi memperhatikan di balik pintu kamar mereka yang sedikit terbuka. 

"Jarimu berdarah!" seru Hadi kemudian.

Sekar melihat jemarinya. Ah, ia sampai lupa jika jari telunjuknya terluka. 

"Iya, Mas. Tergores pecahan piring yang kubersihkan tadi," jawabnya. Kini perihnya mulai terasa. 

"Kemarikan jari telunjukmu. Biar aku menghisapnya agar darahnya berhenti dengan segera," kata Hadi sambil meraih jari telunjuk Sekar, lalu meletakkan jari yang terluka itu ke mulutnya. 

Sekar tersenyum. Tetiba ada hujan salju di hatinya. 

Ia bahagia. 
Sangat. 

**********

Sebagaimana langit yang tak selalu biru, atau bunga cantik yang bisa layu, begitu pula dengan hati manusia yang bisa kelabu.

Sekar mendekat ke jendela kamarnya, memastikan jendela itu sudah tertutup dengan sempurna. Ia sungguh bersyukur, lambat laun, Hadi kembali menemukan kepercayaan dirinya, kembali menjadi Hadi yang sangat dikenalnya, meski keadaan fisiknya belum bisa dikatakan pulih sepenuhnya. Namun kini, semangat hidupnya telah kembali. Salah satu buktinya adalah luapan semangatnya acapkali ia akan bertolak untuk terapi. 

"Aku ingin bisa segera menggendongmu lagi." Begitu katanya, lengkap dengan kerlingan manjanya, membuat Sekar selalu geli mendengarnya.

Sekar menoleh saat mendengar derit pintu yang terbuka. Ia terkesiap. Hadi muncul dengan kursi rodanya, dengan sebuah rangkaian bunga melati di pangkuannya. Sekar memang sangat menyukai bunga melati. Selain karena warna dan wanginya, Sekar menyukai bunga ini karena filosofinya. 

Dalam bahasa Jawa, bunga melati disebut sebagai kembang mlathi, yang oleh sebagian orang dipercaya merupakan singkatan dari rasa melat saka njero ati, yang berarti dalam berucap dan berbicara hendaklah selalu tulus dari hati nurani. Lahir dan batin haruslah selalu sam, bukan lisan berkata A, namun hati berkata yang lainnya. 

Inilah yang selalu Sekar pegang dalam menjalani hari-harinya, termasuk kehidupan pernikahannya, sehingga ia lebih memilih untuk selalu berterus terang pada Hadi tentang apapun yang dirasakannya, daripada memendam rasa sendirian, di lisan bilang baik-baik saja, tapi hati gundah gulana. Sekar tidak mau itu, karena ketidakjujuran pada pasangan seringkali hanya akan menciptakan kesalahpahaman. 

Hati Sekar berdegup kencang saat Hadi semakin mendekat padanya. 

"Selamat ulang tahun yang ke-19, Sayang," ucap Hadi, sembari menyodorkan rangkaian melati itu untuk istri tercintanya. 

Sekar terharu. Ia bahkan tak ingat jika hari ini adalah hari ulang tahunnya. 

"Mas Hadi ingat jika hari ini hari ulang tahunku?" tanyanya malu-malu, sembari jemarinya menerima rangkaian melati itu. 

"Tentu saja. Bagaimana aku bisa lupa pada hari paling bersejarah di dunia di mana hari ini, 19 tahun yang lalu, permaisuri hatiku lahir ke dunia?" jawab Hadi. Sekar semakin tersipu mendengarnya. 

"Andai aku sudah pulih seperti sediakala, aku pasti sudah menggendongmu, menghadiahimu dengan siraman cintaku," kata Hadi lagi. Genit sekali.

Sekar meletakkan kembali bunga yang dipegangnya ke pangkuan Hadi. Ia berlutut, lalu menegakkan badannya hingga ia bisa meraih jemari Hadi. 

"Bersabarlah, Mas. Anggap saja ini sebagai puasa. Mas tahu, kan, bagaimana nikmatnya berbuka? Itu yang nanti akan kita rasa," katanya. 

Hadi takjub mendengarnya. Keduanya bertatapan, dengan sorot mata yang dipenuhi gelak cinta dan kesyukuran.

Hadi menyunggingkan senyuman.

"Matur sembah nuwun, Gusti. Kau kirimkan padaku seorang bidadari," gumamnya pelan. 

Bersambung.

Kelanjutannya di part 18. 

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=222560371691581&id=211459742801644

**********

NOTES :

• Cardiac Arrest : kondisi medis di mana jantung berhenti berdetak secara tiba-tiba. 
• Sudden Cardiac Death : kematian yang disebabkan oleh cardiac arrest.
• Ventrikel : salah satu ruang jantung yang bertugas untuk memompa darah. 
• Arteri brachialis : arteri atau pembuluh darah yang terletak di lengan atas, pada siku bagian dalam.
• Ruptur : robek
• Kersaning Gusti : kehendak ilahi.

**********
● ALL RIGHTS RESERVED. BUKAN UNTUK DIPLAGIAT ATAU DICOPY PASTE.

Penulis cengeng mewek lagi 😭

0 comments:

Posting Komentar