CANTING PART 16 / #cantingpart16
Oleh Fissilmi Hamida
Datan serik lamun kataman,
Datan susah lamun kelangan.
Jangan mudah sakit hati saat musibah datang menghampiri,
Jangan terus meletakkan kesedihan di hatimu saat kehilangan sesuatu.
**********
JIH, Jogja International Hospital.
Sekar terus terisak di atas kursi rodanya. Kejadian ini sungguh membuatnya tak berdaya. Ia sendiri terluka, membuatnya menerima beberapa jahitan di bagian kepala dan lengannya. Seharusnya ia beristirahat di kamarnya, tapi ia bersikeras untuk menunggu di dekat ruang operasi di mana belahan jiwanya tengah berjuang antara hidup dan mati. Ada Haryo, sahabat Hadi yang turut menemaninya, juga Kanjeng Ibu yang terus memeluknya, mencoba menenangkannya, meski Kanjeng Ibu sendiri berlinang airmata.
Hadi mengalami cedera parah di kakinya; fraktur femur terbuka derajat III yang diperparah dengan indikasi adanya komplikasi kompartemen karena kedua kakinya terhimpit cukup lama. Membuatnya harus segera dioperasi atau keadaannya, terutama kakinya, bisa jauh lebih buruk dari ini.
"Nyebut, Nduk, nyebut."
Kanjeng Ibu membelai kepala Sekar, mencoba menyalurkan sisa-sisa kekuatan yang ia punya. Sedang Sekar hanya bisa terus menangisi keadaan suaminya. Sungguh, rasanya seperti mimpi bahwa dalam waktu sama, ujian bertubi-tubi ini menghampirinya. Bapak dengan segala sikapnya, terbakarnya gudang utama, lalu kecelakaan fatal yang menimpanya.
Sekar semakin tergugu. Andai bisa, ingin sekali ia ikut menemani Hadi di dalam ruang operasi, menggenggam tangannya, berharap hadirnya akan membuat belahan jiwa berhasil melewati masa kritisnya dan segera membuka matanya kembali.
Demikian pula yang dirasakan Haryo, sahabat karib Hadi. Tak ada airmata di wajahnya, namun raut yang ia tampakkan jelas menggambarkan kekhawatiran. Ia juga ingin sekali berada di sana, ikut membantu menyelamatkan sahabatnya. Sayang, ia bukan dokter Sp. BOT atau dokter Spesialis Bedah Orthopedi dan Traumatologi, ahli dalam menangani pembedahan tulang, otot dan ligamen, serta keadaan yang diakibatkan oleh trauma atau luka akibat kecelakaan yang memang sangat dibutuhkan oleh Hadi.
"Mas Hadi akan baik-baik saja kan, Mas?" Sekar menatap Haryo dengan penuh harap. Haryo mendesah perlahan.
"Tenangkan dirimu, Sekar. Yang aku tahu, dokter Adicandra adalah salah satu dokter spesialis bedah tulang terbaik yang aku kenal. Aku yakin, beliau dan timnya melakukan yang terbaik untuk Hadi," jelasnya. Manik matanya menatap iba pada sosok yang berada tepat di hadapannya.
"Sebaiknya kamu kembali ke kamar saja. Operasi ini akan memakan waktu yang sangat lama. Istirahatlah, demi kebaikanmu sendiri. Aku antar ke kamar, ya?" saran Haryo.
Sekar menggelengkan kepalanya. Benar, ia pun sesungguhnya tidak baik-baik saja sehingga ia harus dibantu kursi roda untuk mobilitasnya karena ia merasa begitu lemas untuk bisa berjalan sendiri. Belum lagi bekas jahitannya yang terasa begitu nyeri. Tapi baginya, semua nyeri dan rasa sakit yang ia rasa tidak lebih sakit dari rasa yang timbul saat melihat sosok yang dicinta belum diketahui nasibnya.
Sekar kian nelangsa. Sekelebat pikiran itu kembali mengganggu pikirannya, bagaimana jika Hadi tak akan lagi bisa membuka mata?
Sejenak hening.
"Mas Haryo? Sedang apa di sini?"
Sebuah suara menghenyakkan mereka dari keheningan yang sejenak tercipta. Suara Ajeng. Sekar memalingkan wajahnya. Ia sangat tak berharap sosok itu muncul di saat seperti ini.
Ajeng terhenyak saat melihat dengan jelas siapa sosok yang tengah berada di kursi roda di hadapan Haryo.
Jika ia penuh luka begini, apa itu berarti....
"Mas, ada apa? Apa Mas Hadi kenapa-kenapa?" tanyanya panik.
Haryo mendengus, kesal sekali. Hadi sudah menceritakan semua padanya, tentang bagaimana Ajeng terus mencoba meraihnya bahkan sejak malam pertama pernikahan Hadi dengan istrinya, hingga Haryo pun merasakan hal yang sama bahwa Ajeng muncul di saat yang sangat tidak tepat.
Kanjeng Ibu melirik Sekar dan Haryo bergantian, ia merasakan ada yang aneh dengan keduanya. Gadis dengan jas putih ini... Kanjeng Ibu ingat pernah beberapa kali melihatnya. Rasa-rasanya gadis ini dulu cukup sering bertandang ke rumahnya.
"Hadi mengalami kecelakaan. Dokter Adicandra dan timnya sedang menanganinya di ruang operasi," jelas Haryo.
Ajeng mendadak lemas. Dadanya sesak seketika.
Bukankah dokter Adicandra itu...
Ajeng mendudukkan dirinya. Napasnya tersengal. Haryo meliriknya. Ingin rasanya ia mengusir Ajeng dari sana, tapi entah mengapa lidahnya tak bisa berkata apa-apa.
"Tidak tahu malu."
Sekar berguman di tengah isak tangisnya yang sekarang kian terdengar.
"Tidak tahu malu," ucapnya lagi, sedikit lebih keras.
Ajeng, Haryo, dan Kanjeng Ibu terhenyak karenanya.
"Nduk, ada apa, Nduk?" Kanjeng Ibu bangkit dari tempat duduknya. Ia semakin merasakan ada hal aneh yang mendadak tercipta di sana. Entah apa.
Sekar menatap Ajeng lekat-lekat. Sedang Ajeng memalingkan wajahnya. Ia berusaha menahan tangisnya.
"Setelah semua yang Mbak lakukan pada kami, Mbak bisa begitu saja duduk di sini?" kata Sekar kemudian. Napasnya tersengal. Kanjeng Ibu semakin tidak mengerti.
Haryo memberi isyarat pada Ajeng untuk pergi, namun Ajeng bergeming.
"Ada apa, Nduk? Apa yang terjadi? Siapa dia? Bukankah dia teman Hadi?" tanya Kanjeng Ibu.
"Jeng, please...." Haryo memohon.
Ajeng tidak peduli. Ia terus bergeming di tempatnya. Ia juga ingin tahu bagaimana keadaan sosok yang sudah bertahun-tahun menghuni hatinya. Airmatanya kini betul-betul menetes. Benar mungkin ia tak tahu malu, tapi bukankah ia juga berhak untuk tahu?
"Perempuan itu... dia terus mengusik kebahagiaan kami, bahkan sejak malam pertama pernikahan kami."
Tangis Sekar betul-betul pecah. Ia sudah tidak tahan lagi. Saat hatinya berwarna cerah ceria, ia memang bisa menyikapinya dengan tenang, dengan biasa-biasa saja. Tapi saat hatinya kelabu seperti ini, apalagi saat suaminya tengah berjuang antara hidup dan mati, hatinya tak lagi mampu untuk menyimpan rasa muak itu lebih lama lagi. Rasanya sungguh sakit melihat perempuan yang terang-terangan mencintai dan menggoda suaminya itu turut berada di sana.
Ajeng sedikit terhenyak, tak menyangka Sekar akan bicara sefrontal itu.
"Jeng!"
Kali ini Haryo meninggikan suaranya. Namun Ajeng masih diam saja. Ia merasa tak sanggup untuk bangkit dari sana. Tubuhnya mendadak terasa lemas tanpa daya.
Kanjeng Ibu merengkuh Sekar, membiarkannya menangis di pelukannya. Ia tak tahu harus berkata apa.
Haryo tidak tahan melihat keadaan ini. Sigap, ia menarik Ajeng, memaksanya untuk menjauh dari sana. Ajeng pasrah mengikutinya dengan tangis yang kian kentara.
*********
Ajeng menundukkan kepala di salah satu meja di sudut restoran Parsley di rumah sakit itu. Beberapa saat kemudian, Haryo datang dengan membawakan segelas teh hangat.
"Minum dulu, Jeng," katanya, sambil menyodorkan secangkir teh yang baru saja dipesannya itu.
Ajeng meraihnya, meneguknya, lalu kembali menundukkan kepalanya. Ia sungguh takut Hadi kenapa-kenapa.
"Hadi sudah menceritakan semuanya padaku, Jeng. Kenapa kamu tega melakukan itu semua?" tanyanya, membuka percakapan setelah melihat Ajeng sedikit lebih tenang.
"Aku tidak tahu, Mas," jawabnya singkat.
"Tidak mungkin kamu tidak tahu, Jeng. Kamu sendiri yang melakukan, kamu pasti punya alasan," tegasnya.
"Aku tahu cintamu padanya sangatlah dalam. Tapi berbuat seperti ini? Come on, Jeng. This is not you. Kamu sedang merendahkan dirimu sendiri," kata Haryo. Ajeng meneguk teh hangatnya kembali.
"Iya, aku memang bukan diriku lagi, Mas. Aku yang dulu tidak begini karena aku masih punya kesempatan untuk bersama Mas Hadi. Tapi sekarang, karena gadis itu sudah menutup kesempatanku, maka aku harus menciptakan dan membuka kesempatanku sendiri," jelasnya.
Haryo mengernyitkan dahinya. Tiba-tiba ia merasakan pening di kepalanya. Ia sungguh mengira Ajeng sudah legowo dengan semuanya, hingga beberapa waktu yang lalu Hadi menemuinya dan menceritakan kegelisahannya lantaran Ajeng masih terus berusaha meraihnya.
"Jeng, dengarkan aku. Kamu boleh menciptakan kesempatanmu kembali, tapi kenapa harus Hadi? Ingat, Jeng. Hadi sudah beristri." Haryo menatap Ajeng dengan begitu tajam. Sebagai teman, ia tak ingin Ajeng terjerumus lebih dalam.
Ajeng hanya diam.
"Apa kamu tidak menyadari kalau perbuatanmu selama ini justru menyakiti Hadi?" tanyanya lagi. Ajeng sedikit terhenyak.
"Cintamu sudah menjadi obsesi, Jeng. Bukan lagi cinta murni yang selama bertahun-tahun ini kamu sembunyikan dari Hadi. Obsesimu akan menyakiti Hadi dan menghancurkan dirimu sendiri," imbuhnya.
Ajeng kembali menundukkan kepalanya. Haryo bisa dengan jelas mendengar isakannya.
"Tapi aku sudah bertahun-tahun mencintai Mas Hadi, Mas. Seharusnya aku aku yang mendampinginya saat ini." Ajeng terus terisak. Beberapa pasang mata sejenak meliriknya.
"Eling, Jeng. Kabeh iki kersane Gusti. Lagipula, jika memang kamu ingin meraih Hadi, seharusnya itu kamu lakukan sejak dulu sekali. Bukan saat Hadi sudah beristri seperti ini. Artinya, ini memang salahmu sendiri." Haryo terus mencoba membuat Ajeng mengerti.
Ajeng memijat-mijat dahinya, dengan airmata yang terus menggenang di wajahnya. Sejujurnya, salah satu ruang di hati kecilnya membenarkan perkataan Haryo. Hanya saja...
"Selama ini kamu tidak mau memberi tahu Hadi kalau kamu mencintainya. Tapi saat Hadi menikah dengan yang lainnya, kamu tidak terima. Maaf, Jeng. Dari kacamataku, tidak ada satupun alasan yang bisa membenarkan pendapatmu bahwa kamu yang lebih berhak untuk bersama Hadi. Dilihat dari sisi manapun, Sekar lah yang lebih berhak karena dia yang dipilih Hadi."
Ajeng menatap Haryo, tanpa sekalipun matanya berkedip.
"Tega sekali Mas Haryo bicara begini," katanya.
Haryo mendesah. Benarlah pepatah antah berantah yang mengatakan bahwa satu dari orang yang paling sulit dinasehati adalah orang yang sedang tergila-gila oleh cinta.
"Ini bukan masalah tega atau tidak, Jeng. Aku bicara fakta. Misalnya pun dahulu kamu punya hubungan cinta dengan Hadi, tetap saja kamu tidak berhak bersamanya jika kemudian Hadi menjatuhkan pada yang lainnya. Apalagi ini yang memang kamu tidak pernah menjalin hubungan cinta dengannya. Berhak dari mananya?" Haryo mulai terlihat kesal, terlihat dari intonasi suaranya yang sedikit meninggi.
Isakan Ajeng semakin menjadi-jadi. Mendengar perkataan Haryo, rasanya seperti ada ratusan pecahan kaca yang sengaja ditancapkan di ulu hatinya.
"Lalu aku harus bagaimana? Rasa cintaku pada Mas Hadi sudah terlanjur mengakar, Mas. Aku tidak bisa mencabutnya," katanya.
Haryo menyandarkan punggung letihnya di kursi yang ia duduki.
"Kita memang tidak bisa memilih akan jatuh cinta pada siapa. Tapi kita bisa memilih apakah rasa cinta itu akan kita salurkan atau tidak. Move on, Jeng. Saatnya kamu membuka lembaran baru. Jangan sakiti dirimu sendiri," kata Haryo, sembari mengambilkan beberapa lembar tissue untuk Ajeng menghapus bulir-bulir beningnya.
"Bagaimana dengan Airlangga? Bukankah orang tuamu menginginkanmu bersamanya?" tanya Haryo kemudian. Ajeng memang menceritakan soal Airlangga pada Haryo. Haryo memang seperti sahabat sekaligus kakak baginya.
Ajeng memejamkan mata sejenak. Sejujurnya, ia tak suka membahas ini.
"Aku... aku tidak bisa mencintainya, Mas," jawabnya, pilu.
"Bukan kamu tidak bisa mencintainya, Jeng. Tapi kamu belum bisa mencintainya." Haryo meralat pernyataan Ajeng.
"Tidak, Mas. Aku memang tidak akan pernah bisa mencintainya. Hatiku sudah tertambat pada Mas Hadi. Tidak akan bisa berpaling pada Airlangga."
Haryo kembali mendesah mendengarnya. Sulit sekali bicara pada Ajeng.
"Jeng, kamu tahu. Aku dan istriku, Kinanthi, kami tidak pernah saling cinta sebelumnya. Kami berdua dijodohkan. Padahal saat itu aku punya kekasih. Begitu juga dengannya."
Meski masih terisak, Ajeng serius mendengarnya. Benar, ia tahu pasti Haryo menjalin hubungan cinta dengan Laksita, teman seangkatannya saat belajar di Fakultas Kedokteran UGM dulu. Seperti yang lainnya, Ajeng juga terkejut saat Haryo membagikan undangan pernikahannya dan nama yang tertera di sana adalah Kinanthi, bukan Laksita.
"Tapi seiring berjalannya waktu, aku dan Kinanthi bisa saling menerima dan mencintai meski berat pada awalnya. Sedangkan Laksita, dia juga dengan legowo menerimanya. Dia berusaha bangkit dan menata hidupnya, bukan malah mengancurkan diri dengan terus mengejarku. Lihatlah Laksita sekarang. Dia berhasil mengukir kebahagiaannya meski tidak bersamaku. Belajarlah darinya, Jeng." Haryo menutup penjelasannya, lalu meneguk air mineral yang sedari tadi ia genggam botolnya.
Ajeng menghapus airmata yang masih terus meleleh. Ia tak yakin apakah ia bisa. Sejujurnya selama ini ia juga sudah mencoba, tapi rasa cintanya yang begitu besar, selalu bisa mengalahkannya, membuat logikanya mati, membuat akal sehatnya terkunci.
"Aku harus kembali menemani istri dan ibunya Hadi. Baik-baiklah. Tolong jangan begini. Sekali lagi, ingat bahwa yang kamu lakukan tidak hanya akan menyakiti Hadi, tapi juga menghancurkan dirimu sendiri," pamit Haryo.
"Tapi, Mas. Aku sangat ingin melihat Mas Hadi. Aku ingin memastikan dia baik-baik saja," pintanya, menghiba.
Haryo yang hampir berdiri, kembali mendudukkan diri.
"Ini bukan waktu yang tepat, Jeng. Hargai perasaan istrinya. Jangan tambah lagi rasa sakitnya. Kamu dengar kan, bagaimana dia tadi sampai bisa menyebutmu sebagai perempuan yang tidak tahu malu? Itu karena rasa sakit di hatinya yang teramat dalam akibat ulahmu," kata Haryo, menegaskan kalimatnya pada bagian 'ulahmu'.
"Cobalah untuk tidak peduli. Sudah ada istri dan ibunya yang bersamanya. Dia akan baik-baik saja," tegasnya lagi.
Ajeng kembali memijat-mijat dahinya. Kepalanya sakit luar biasa.
"Satu lagi, jangan salah gunakan posisimu sebagai dokter di rumah sakit ini agar kamu bisa menemui Hadi."
Ajeng terhenyak. Sepertinya Haryo bisa membaca apa yang tengah terlintas di benaknya.
"Jika kamu nekat melakukan itu, aku akan melaporkanmu," imbuh Haryo, lalu berlalu.
Ajeng kembali tergugu.
Hatinya pilu.
**********
Canting, sebuah alat yang digunakan untuk membuat batik tulis. Alat ini ini memiliki 3 bagian, yaitu gagang atau tangkai canting yang biasanya terbuat dari kayu atau bambu, nyamplung atau tempat menampung cairan malam yang biasanya terbuat dari tembaga, dan cucuk yang merupakan bagian untuk tempat keluarnya cairan malam ketika digoreskan untuk melukis keindahan di atas kain mori.
Canting, dengan 3 bagiannya, tentu saja memiliki makna. Gagang menggambarkan pondasi yang kuat yang dipegang manusia, berupa keimanan pada Gusti Pangeran Yang Maha Esa, sedang nyamplung yang berfungsi sebagai tempat untuk menampung cairan malam, menggambarkan bagaimana seharusnya manusia membesarkan hati dalam menampung segala coba dan uji dalam kehidupan mereka. Dalam menerima ujian kehidupan ini, masing-masing orang bisa saja bersikap berbeda. Inilah yang digambarkan oleh cucuk canting. Mereka yang tak bersabar, mungkin akan mengeluarkan cairan malam dari cucuk tersebut dengan tergesa. Tak peduli bagaimana bentuk corak yang terlukis di sana, yang penting cairan malam habis dengan segera. Namun bagi hamba yang terus bersabar, ia akan berhati-hati mengeluarkan mili demi mili isi cairan malam tersebut melalui cucuknya. Memang, cairan malamnya tak akan habis dengan segera, namun pada akhirnya, akan ada keindahan paripurna yang terlukis di sana.
.........
Hadi mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. Nihil, ia tetap tak bisa melihat apa-apa, semua tampak gelap gulita. Ia coba menggerakkan badannya yang terasa begitu berat dan kaku, namun lagi-lagi, ia tak bisa melakukan itu.
Gusti.... kenapa ini?
Hadi merasa panik sekali.
Namun perlahan, ia bisa mendengar suara-suara di sekitarnya meski samar. Ia terus berusaha sekuat tenaga, hingga kemudian, seberkas cahaya mulai tampak di pandangannya. Kini gelap itu telah sirna, berganti menjadi warna putih di semua sudutnya. Beberapa saat kemudian, warna putih itu juga kian memudar, membuat beberapa obyek kabur yang tertangkap matanya, kini kian jelas bentuknya. Masih belum begitu jelas, namun kini ia tahu bahwa ia berada di sebuah ruangan, bukan di kuburan seperti yang tadi ia pikirkan.
"Mas?"
Ia mendengar sebuah suara memanggilnya, ia juga merasakan adanya sentuhan lembut di lengan yang tadi tak bisa digerakkannya.
"Mas Hadi?"
Suara itu terdengar lagi. Meski ada isak yang mengiringinya, suara itu terdengar begitu lembut di gendang telinganya.
Kini, pandangannya sudah jelas dengan sempurna. Ia bisa melihat siapa saja orang-orang yang tengah mengelilinginya. Ada Kanjeng Ibu, ada Haryo, sahabatnya, ada dokter Adicandra yang kebetulan memang dikenalnya, dua orang berpakaian perawat, dan seorang perempuan cantik yang tengah menatapnya dengan tatapan penuh harap.
"Mas Hadi? Mas Hadi baik-baik saja, kan?"
Sosok bersuara lembut itu kembali bersuara. Meski kedua matanya membengkak, meski tak ada polesan bedak di sana, Hadi tetap bisa melihat rona kecantikan yang dipancarkan sosok yang masih terus menatapnya itu.
"Kamu... kamu siapa?" tanyanya.
Sekar terhenyak. Ia lalu mengedarkan pandangan pada Haryo dan dokter Adicandra, meminta penjelasan atas apa yang baru saja di dengarnya.
"Mas, ini aku, Mas," jawabnya. Hadi menghela napas.
"Kanjeng Ibu, Haryo, dokter Adicandra, siapa dia?" tanya Hadi.
Sekar langsung lemas mendengarnya, bagai tersambar petir di siang bolong rasanya.
Mas Hadi tidak ingat padaku?
Lupakah ia bahwa ia lelakiku?
Sekar lalu terisak, bulir-bulir bening kembali mengaliri wajahnya. Sejenak keheningan tercipta, semua bingung ada apa. Namun kemudian, tiba-tiba Hadi menyunggingkan senyumnya.
"Aku hanya bercanda. Kemarilah, Sayang. Aku merindukanmu," katanya, tanpa rasa berdosa.
Ia lalu menggerakkan jemarinya, mengisyaratkan Sekar untuk mendekat padanya. Hadi memang sangat merindukan istrinya. Rasanya seperti ia baru saja bangun dari tidur yang terlalu lama.
Tangis Sekar pecah. Ia langsung menghambur pada lelaki yang begitu dicintainya. Memeluknya, dan memberikan pukulan pelan di dadanya. Ia kesal, namun juga teramat bahagia.
Tertatih, Hadi menggerakkan tangannya, membelai kepala Sekar yang tersandar di pundak sebelah kirinya.
"Jangan menangis. Hatiku akan teriris jika melihatmu menangis." Begitu katanya, melontarkan kalimat yang memang sering ia katakan acapkali ia melihat Sekar berurai airmata.
Sekar tak peduli. Tangisnya kian jelas terdengar. Namun tangisnya kali ini berbeda. Ada kelegaan luar biasa di tiap tetes air mata yang tengah dikeluarkannya.
Perlahan, Hadi ikut meneteskan airmata.
"Matur sembah nuwun, Gusti," gumamnya.
(Bersambung)
kelanjutannya di part 17 ya.
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=222558208358464&id=211459742801644
**********
NOTES :
• Eling : ingat
• Kabeh iki kersane Gusti : semua ini kehendak ilahi.
**********
●ALL RIGHTS RESERVED. BUKAN UNTUK DIPLAGIAT ATAU DICOPY PASTE.
***********
Emang dasar cengeng, lagi-lagi ikut mewek gara-gara ikut merasakan kelegaan Sekar 😅
0 comments:
Posting Komentar