Aku memiliki seorang kakak laki-laki, usia kami selisih dua tahun. Hubungan kami tidak begitu dekat layaknya seperti saudara kakak beradik, dikatakan jauh, kami tidak sejauh itu. Bisa dikatakan, biasa saja. Kami hanya tidak pernah bercerita apapun, baik tentang pelajaran, tentang pertemanan, tentang hari yang telah terlewati, kami tidak pernah membicarakan tentang emosi-emosi kami. Kami memilih diam, berbicara seperlunya, lalu melakukan kegiatan masing-masing. Dan kamipun terbiasa dengan hal demikian. Seperti, tidak ada kehangatan diantara kami.
Lalu, ia menikah. Aku dan orangtuaku menyayangkan keputusannya. Usia 23 tahun, tergolong masih muda untuk seorang laki-laki menikah. Apalagi dia masih kuliah memasuk semester 4. Keluarga, juga sahabat sudah menasehati untuk menunda pernikahan dan selesaikan kuliah terlebih dahulu. Memantaskan diri bagi seorang laki-laki adalah hal terpenting, apalagi laki-laki sebagai pemimpin rumah tangga. Tetap saja, dengan egoisnya ia memilih menikah.
Memang, tidak ada yang salah dalam menikah. Tapi bagiku, adiknya, juga bagi ayah dan ibuku, dan juga bagi keluargaku, ia belum pantas dan belum siap untuk membangun sebuah pernikahan, dengan usia yang belum matang, terutama emosi yang belum stabil, dan kurangnya kebijaksanaan dalam mengambil keputusan, tidak, ia belum pantas untuk menikah. Apalagi dia belum bekerja dan berpenghasilan, aku tidak menyukai keputusannya yang egois dan ceroboh.
Singkat cerita, enam bulan pernikahan, kuliah lepas. Satu tahun pernikahan, memiliki anak. Satu tahun setengah pernikahan, mulai konflik-konflik yang selalu merepotkan keluarga, dan dua tahun pernikahan, cerai. "Dimana fikiran mereka?" Emosi meluap seolah tak tertahan lagi. Aku tak mempermasalahkan jika kehidupan mereka seperti itu, seperti apapun aku tidak perduli, yang membuatku tidak terima adalah keputusan mereka itu membuat beban untuk ayah dan ibuku. Aku tidak bisa terima ini.
Setiap hari butuh makan, butuh pakaian, butuh jajan, siapa yang menanggung kalau bukan ayah dan ibu. "Kalau tidak bisa membahagiakan ayah dan ibu, setidaknya tolong, jangan menyusahkan dan menambah beban mereka.. anak ayah dan ibu itu bukan cuma kamu!" teriakku dalam hati.
Perceraian merekapun bukanlah akhir dari permasalahan. Memiliki anak adalah anugerah yang Allah titipkan. Tapi yang disayangkan adalah dititipkan pada orang yang tidak bertanggungjawab. Aku merasa iba pada keponakanku. Usia yang masih kecil, sudah harus dihadapkan oleh kehidupan rumah tangga yang berantakan. Padahal, ia masih harus mendapatkan banyak perhatian dan kasih sayang dari kedua orang tuanya.
Menasihati? Aku tidak pernah bisa menahan emosi saat berbicara dengannya, kakak laki-lakiku. Yang ada, kami hanya bertengkar yang berakhir tanpa berbicara sepanjang hari. Tidak pantas bagiku untuk menasihatinya sebagai seorang adik. Dan saat ini, aku hanya memilih diam, mencoba untuk tidak terlibat apapun dengannya. Bagiku, yang terpenting saat ini adalah ayah dan ibu. Egois? Tidak. Aku hanya mencoba lebih bersabar, aku hanya terus belajar untuk mengendalikan emosi, aku hanya tidak ingin bibirku ini berdosa karena tidak bisa berbicara yang baik. Dan aku, memilih diam.
------------------------------------------------------------------
Menikah?
Karena sudah memasuki usia pernikahan, sudah terlalu banyak pertanyaan pernikahan menghujani hari-hariku. "Kapan menikah?" "Kenapa belum menikah?" "Sudah ada calon belum?" Dan senyuman adalah senjataku dalam menghadapi lontaran-lontaran pertanyaan itu.
Mereka tidak tahu, dan mereka tidak mengerti. Bagaimana rasa dihatiku ini menjadi begitu setebal dan sekeras ini. Memiliki pengalamam keluarga yang tidak menyenangkan, menjadi trauma tersendiri dalam hati.
Bila menikah tujuannya adalah kehidupan yang baik di akhirat. Mengapa kita harus menikah dengan seseorang yang tidak kita yakini mampu membawa kita pada kehidupan yang baik diakhirat?
Bisa dibilang, aku hanya takut. Takut, aku takut salah dalam memilih pasangan. Aku takut salah dalam mengambil keputusan. Aku takut salah dalam memilih.
Aku takut jika pasangan yang kupilih tidak bisa menerimaku, aku takut jika pasangan yang ku pilih meninggalkanku, aku takut pasangan yang ku pilih menaruh hati pada yang lain, aku takut pasangan yang ku pilih tidak bertanggungjawab, aku takut pasangan yang ku pilih tidak bisa memimpin rumah tangga, aku takut pasangan yang ku pilih tidak bisa membawaku dalam kebaikan. Aku sangat takut dengan semua keburukan yang akan terjadi.
Semua ketakutan itu, seolah menggambarkan ketidaksiapan ku dalam berumah tangga. Benar. Tapi, aku hanya ingin tidak salah dalam mengambil keputusan, aku tidak ingin salah dalam mengambil langkah. Lantas, apakah tidak boleh aku menunggu seseorang yang bisa meyakinkan diriku bahwa bersamanya aku akan tenang?
Aku lebih memilih orang lain menceritakan ku karena menjadi seorang pemilih, dari pada harus mengambil pilihan yang salah.
Sendiri, pergi kerja pagi dan pulang sore. Puasa, mengaji, beribadah kepada Allah, olahraga, membaca, bertani, membersihkan rumah, memasak, berteman, jalan-jalan.
Terlalu banyak kegiatanku sehingga tidak sempat digalaukan dengan omongan orang lain.
-----------------------------------------------------------------
Tapi, hal aneh yang ku sayangkan adalah... Aku menemukan laki-laki yang bisa menyakiniku berasamanya membawa ketenangan, tapi... dia sudah menjadi suami wanita lain. Sungguh beruntung!
0 comments:
Posting Komentar