Pura-pura miskin #3
-Satu Orang Dua Nasib-
Sebuah notifikasi mesengger masuk, aku tertegun meilihat nama Mas Agam yang mengirimiku pesan.
[Hai, boleh kita kenalan?]
Aku tersenyum kecut. Entah lelaki macam apa yang aku nikahi, baru tadi pagi aku melihatnya bercanda dengan seorang wanita di dalam mobil, dan kini dia mengirimiku pesan hanya karena aku sudah membalas komentarnya.
Lama-lama aku jijik, dia baru menjadi PNS saja sudah berlagak menjadi don juan, menebarkan pesona pada setiap wanita. Pantas saja sudah lima bulan ini, dia tak pernah menyentuhku, ternyata dia sibuk membalas pesan perempuan dalam setiap postingannya.
Jemariku membalas dengan lihai pesan yang akan membuat dia merasa terbang dan bisa kujatuhkan dengan mudah.
[Wah, aku tersanjung dapat pesan dari pria yang banyak penggemarnya seperti kamu.]
Tak lama Mas Agam sudah membalas pesanku lagi.
[Saya juga senang bisa kenalan dengan wanita secantik kamu.]
Aku tergelak, begitu mudahnya lelaki ini tertipu dengan foto profil seorang wanita yang aku ambil dari sebuah aplikasi foto. Tidak sabar menanti saat pria itu melihat wanita yang tengah dia rayu adalah aku-istrinya.
Aku meletakkan lagi ponsel ke dalam tas, bersiap untuk berangkat ke kantor. Membalas pesan Mas Agam hanya membuang waktu yang berharga ini.
Usai menghadiri rapat di salah satu kafe, aku berniat melepas lelah dengan sedikit berbelanja baju. Semua pakaian yang aku beli mahal, tapi sayangnya tak ada yang bisa aku pakai di rumah Mas Agam. Ooh, bukan tidak melainkan belum. Ya, belum saatnya.
Berpura-pura miskin itu menyedihkan, tetapi aku tak mau mereka menerima kehadiranku hanya karena harta. Mereka keluarga gila harta, bisa-bisa mereka hanya memanfaatkan aku untuk kepentingan pribadinya.
Ponselku berdering, panggilan dari kakakku-Rizal.
"Halo, Bang?"
"Gimana meeting-nya lancar?"
"Beres, Bang. Tender itu pasti jatuh ke tangan kita."
"Good job, Dear. Besok abang ke Jakarta, nengok ayah sekalian beresin kerjaan di sana."
"Bagus, Bang. Jangan lupa mampir ke rumahku, ya."
Aku tergelak, teringat satu tahun silam saat Bang Rizal datang ke rumah dan disambut dengan tidak ramah oleh semua anggota keluarga Mas Agam.
"Males banget, abang harus ikut-ikutan sandiwara. Keluarga suami kamu itu parah, abang baru nemu orang kayak mereka."
"Ya, karena itu Abang bantu aku lagi, aku punya rencana besar untuk membuat mereka kena serangan jantung."
Aku tertawa, tapi desahan napas Bang Rizal menghentikan tawaku.
"Tinggalkan Agam, Zia ... kamu itu bisa dapat seribu kali lebih baik dari Agam, ngapain terus bertahan sama dia. Jangan dibodohi cinta, Zi. Kamu itu cerdas, sayang hidup kamu dihabiskan dengan keluarga seperti mereka."
Selalu kalimat ini yang aku dengar, sudah kesekian kalinya Bang Rizal meminta aku untuk meninggalkan Mas Agam. Bukan karena cinta aku bertahan, tapi karena aku ingin mereka merasakan sakit hati yang sulit disembuhkan oleh waktu.
"Aku enggak cinta dia, Bang. Aku begini karena akan terlalu mudah bagi Mas Agam jika menceraikannya begitu saja."
"Lupakan dendammu Ibu CEO ...," goda Bang Rizal lagi.
"Sudah, Abang fokus aja cari jodoh, jangan pikirkan aku. Pokoknya kalau sudah di Jakarta, Abang harus ke rumah!"
"Dasar keras kepala!"
Aku terkekeh sembari menutup panggilan.
Bang Rizal sebenarnya tampan, hanya dia terlalu gila kerja hingga di usianya yang masuk kepala tiga masih belum menikah. Hal itu menambah kata hinaan yang Mas Agam lontarkan untuk kakak iparnya, 'Sudah buruh miskin bujang tua pula. Karena memang tak ada perempuan yang mau dengan laki-laki miskin seperti kamu!'
Rasanya wajar jika Abangku jadi enggan untuk bertandang lagi ke rumah Mas Agam.
Tak hanya baju, aku berbelok menuju supermarket, ada banyak persediaan di rumah yang harus aku isi.
Tentunya bukan rumah Mas Agam melainkan rumahku. Mas Agam mana pernah berbelanja kebutuhan rumah, sampai sabun mandi pun harus aku yang membelikan. Dia pelit dan lebih mementingkan keluarga juga dirinya sendiri.
Saat sedang asik membeli sayuran, seseorang menepuk pundakku. Aku terkejut mendapati Bu Nina berdiri di depan. Aku harus tenang, jangan sampai membuat ibu biang gosip ini curiga.
"Maaf, ada apa?" tanyaku seolah merasa risih dengan tatapannya yang menelisik.
"Zia?" tanya Bu Nina.
"Maaf Ibu salah orang. Permisi."
Aku mengangguk sopan, lalu berjalan melewatinya, berusaha untuk tidak terpengaruh meski jantung berdegup kencang.
"Tunggu. Wajah kamu mirip banget sama tetangga saya, tapi kaian beda, dia babu kamu ...."
"Tolong yang sopan bicara dengan saya. Maksud anda apa mau menyamakan saya dengan babu? Sekali lagi anda salah orang, permisi."
Bu Nina tertegun, dia berkali-kali mengucek matanya untuk memastikan penglihatan yang memang masih berfungsi dengan baik. Ah, bahkan saat di luar rumah pun aku masih harus bersandiwara, padahal dia hanya tetangga, tetapi seluruh rencanaku bisa rusak jika dia tahu semuanya.
Aku pulang ke rumah menjelang petang, sopir mengantarku sampai dengan persimpangan dan aku melanjutkan perjalanan dengan angkot. Melelahkan tapi semua perjuangan pasti akan dapat hasil yang setimpal.
Mas Agam dan Febi belum pulang, hanya ada Mama yang sedang asik bergosip di depan rumah. Tetangga itu lagi, orang sama yang menyapa tadi pagi dan yang aku temui di supermarket. Bu Nina.
"Eh, Zi. Tadi ibu liat orang mirip kamu, loh di supermarket. Tapi beda, sih. Dia kayak wanita sosialita gitu, jauh sama kamu yang kucel kayak begini." Bu Nina menutup mulutnya dengan satu tangan.
"Hebat, dong saya bisa mirip sama orang kaya ya, Bu." Aku menjawabnya dengan santai.
"Mirip wajahnya aja, tapi nasibnya beda ...." Tawa Bu Nina makin kencang disambung dengan tawa Mama. Mereka memang tukang gibah yang serasi.
"Mending perempuan yang mirip itu jadi mantu saya, Jeng. Daripada si Zia, kerjaannya cuma bikin malu sama ramee aja. Pusing saya."
Aku bergegas masuk ke dalam meninggalkan para wanita tua itu melanjutkan acara bergosipnya. Mungkin kalian bilang aku bodoh sehingga rela mereka hina.
Namun, sebenarnya aku hanya sedang bermain dengan cantik dan ingin membuat semua orang yang menghinaku kelak bertekuk lutut.
Usai maghrib Mas Agam pulang, dia tertegun melihat aku yang sedang asik makan malam berdua dengan Neva. Makanan spesial yang tadi aku beli di restoran. Mama dan Febi hanya mengintip di balik pintu kamar, sepertinya mereka gengsi untuk meminta.
"Dapet makanan enak dari mana, tuh?" tanya Mas Agam yang langsung duduk di sampingku.
Tumben, biasanya dia enggan berdekatan, karena katanya aku bau bawang. Ah, penciumannya saja yang bodoh. Tubuhku wangi begini, hanya saja tanpa riasan, wajahku jadi terlihat kucel begini.
"Dari majikan aku, dia sengaja beliin buat aku sama Neva," kataku sambil menyuapi Neva.
"Sini aku minta."
Mas Agam hendak menarik wadah berisi makanan yang tengah aku nikmati.
"Katanya kamu enggak mau makan di rumah, jadi jangan minta, dong." Aku membalikkan ucapannya tadi pagi.
"Kamu itu kalo dapet makanan dari majikan bagi-bagi, jangan pelit! Selama ini biaya hidup kamu juga, kan, anak saya yang tanggung!" Mama tiba-tiba muncul dari balik pintu menimpali pembicaraan kami.
"Saya kerja sendiri, Ma. Jadi anak Mama sama sekali tidak menanggung hidup saya. Lagian, siapa yang pelit, saya itu cuma bilang, tadi Mas Agam sendiri yang enggak mau makan di rumah."
"Alasan kamu, dasar mantu nggak tahu diri! Baru jadi babu di rumah orang kaya aja sombong banget! Sadar diri yang kaya itu majikan, bukan kamu, makanan kayak gini enggak cocok buat lidah kamu yang kampungan!" hardik Mama lagi.
"Sini makanannya aku minta! Cuma makanan kayak gini aja pelit. Aku itu bisa beli makanan yang lebih enak dari ini tau!"
Mas Agam menarik makananku dengan paksa, dia melahapnya seperti orang kelaparan.
"Kalo gitu sini aku minta uang, biar besok bisa beli makanan enak kayak gini."
"Kamu uang-uang mulu! Tidurin Neva sana! Jadi bini setiap hari yang diminta uaaaang terus! Heran, kapan, sih kamu buat aku seneng!"
"Kamu nggak ngasih aku nafkah, Mas. Wajar kalo aku minta!"
"Heh, Zia! Ngapain kamu kerja kalo masih minta uang sama suami?! Udah untung kamu enggak saya usir!"
"Jangan usir dia, Mas. Nanti yang masak sama nyuci baju siapa. Aku mah ogah, udah rajin ke salon tapi masih harus kerja kasar." Febi datang, ikut menikmati dengan paksa makanan yang aku beli.
"Kalo bukan karena kasian sama Mama, udah males Mas liat muka dia!"
"Iya-lah. Kalo orang kota mana ada yang mau kita jadiin babu gratis di rumah."
Mereka tertawa sambil saling mencicipi makanan yang masih bersisa banyak.
Aku geram, dengan cepat makanan itu aku bawa, lalu menggendong Neva masuk ke dalam kamar, menutup pintu kencang. Menikmati sisa makanan ini seorang diri dan tak rela berbagi dengan mereka.
Silahkan hina aku sepuasnya. Tunggu saatnya, sebentar lagi kalian akan lihat pembalasanku.
Tbc
0 comments:
Posting Komentar