Pura-pura Miskin #2.
-Sandiwara Tanpa Batas-
Pagi hari seperti biasa aku menyiapkan sarapan ala kadarnya. Nasi goreng tanpa kecap dengan sedikit bumbu penyedap. Tak ada tambahan telor atau bakso karena semua bahan di dapur sudah habis. Mas Agam tak memberi uang, maka jangan harap ada masakan lezat terhidang di atas meja makan.
Mas Agam sudah tampan dengan seragam kebanggaannya, Febi juga cantik dengan baju baru dan wajah yang tampak glowing bersiap pergi ke kampus.
Mama tak mau kalah, dia tetap rapi karena tak mau disebut ibu-ibu kere padahal anaknya seorang PNS.
Setiap hari kerjanya duduk nonton tivi di rumah atau nangkring di warung bersama kumpulan tetangga lainnya.
Semua pekerjaan rumah mereka serahkan padaku. Cucian setumpuk yang mereka tinggalkan di dalam mesin cuci. Karena enggan mencuci pakaian mereka semua, aku membeli mesin cuci sendiri dengan beralasan menyicil dari uang gajiku sebagai pembantu.
Bodohnya mereka percaya, tetapi hal itu malah membuat jiwa malas mereka semakin melekat.
Mereka sudah duduk di meja makan, menikmati sarapan pagi yang bagiku sangatlah tidak lezat. Sedangkan aku bergegas memandikan Neva untuk ikut aku pergi bekerja.
"Nasi goreng apa ini, pucat banget? Belom lagi rasanya aneh. Kamu itu bisa masak apa nggak, 'sih?!" keluh Mas Agam seperti biasa dan sudah bisa aku tebak.
"Tau, aku jadi males makan kalo kayak gini!" kata Febi sembari mendorong piring menjauh darinya.
"Punya mantu tapi nggak berguna. Nyusahiin orang aja kerjaannya!" Mama menimpali.
Oke, semua sudah ikut bicara, jadi ini giliranku yang bicara.
"Semua bumbu dapur habis, Mas. Kamu nggak ngasih aku uang tambahan, jadi ya seadanya aja."
"Boros kamu! Itu sebabnya aku nggak percaya kamu ngatur keuangan! Makan, nih nasi goreng! Aku mau makan di warung padang aja!"
Mas Agam melemparkan mangkuk besar, hingga nasi goreng itu berceceran di lantai.
"Mama juga, mau makan di warung nasi depan aja, kamu tambahin uang buat mama makan."
Mama mengadahkan tangannya pada Mas Agam.
"Kalo kayak gini terus aku bisa bobol, Ma."
"Lah, yang bikin boros itu istri kamu! Kalo dia pinter ngatur uang, ngapain juga kita mesti makan di luar!"
"Aku juga minta uang tambahan, Mas. Mau makan di kantin kampus aja." Febi tak mau kalah.
Mas Agam mengumpat dengan bahasa yang bosan aku dengar, sembari mengeluarkan dua lembar uang berwarna merah yang diberikan kepada ibu juga Febi.
Aku berdirii, masih memeluk Neva yang menangis karena terkejut mendengar suara piring pecah.
"Uang belanjaku hari ini mana, Mas? Kalau Mas nggak kasih uang, nanti pulang aku enggak masak buat makan malam, ya."
Mas Agam menajamkan dua bola matanya padaku, mungkin berharap aku akan ciut dan merasa takut.
"Rugi saya ngasih uang belanja ke kamu, masak nggak becus, bisanya ngabisin uang saya aja. Hari ini saya mau makan di restoran, kamu minta makan aja sana sama majikan kamu itu!"
"Susu Neva juga abis ...," kataku lagi menambahkan ucapanku tadi.
"Kamu, kan kerja? Beli, dong! Jangan cuma meres uang suami!"
"Uang gaji aku, kan dipake buat nyicil mesin cuci, Mas."
"Suruh siapa beli mesin cuci? Ngapain punya tangan kalo ngandelin mesin?! Kamu pikir uang saya cuma buat ngasih makan kamu, doang! Pokoknya kebutuhan Neva kamu yang urus, itu, kan janji kamu waktu dulu minta izin buat kerja?!"
Aku diam, tak bisa lagi membantah karena itu hanya akan membuat ricuh suasana rumah dan merusak pagi yang indah.
Mas Agam pergi tanpa membiarkan tangannya untuk kukecup atau memberi ciuman selamat pagi pada putrinya. Mama mendengkus lalu ikut pergi mungkin hendak pergi makan di warung nasi.
Mereka semua sudah pergi, tinggallah aku membereskan nasi goreng yang berjatuhan lalu memberikannya pada ayam tetangga. Setelah itu memandikan Neva dan segera pergi dari rumah ini.
Baju dres panjang dengan warna pudar yang menjadi andalanku saat keluar darii rumah ini. Mengaitkan gendongan pada pinggang dan memasukkan Neva ke dalamnya.
Aku mengunci pintu lalu menyelipkannya di kotak meteran listrik, agar Mama bisa mudah mencari di mana kunci aku simpan saat pergi dari rumah.
Baru beberapa langkah, seorang tetangga memanggil, membuatku menoleh dan sedikit berbasa-basi dengannya.
"Mau berangkat kerja ya, Zi? Kok, anakmu dibawa terus, emang majikannya nggak marah?" tanya Bu Nina yang rumahnya tak jauh dari rumah Mas Agam.
"Majikan saya baik, Bu. Neva juga enggak pernah rewel jadi aman saya bawa kerja."
"Kenapa enggak dititipkan sama mertua kamu saja?" tanya Bu Nina lagi, yang aku tahu memiliki jiwa kepo tinggi.
Aku tersenyum simpul. "Kasian Mama udah tua, pasti capek ngurus Neva. Saya enggak mau membebankan orang tua, Bu."
Sebuah alasan bagus untuk menunjukkan kebaikanku sebagai menantu yang mereka kenal dzalim. Sejak Neva lahir, tak pernah satu kali pun Mama mau
menggendongnya. Dia termasuk seorang nenek yang hanya mementingkan dirinya sendiri.
"Tapi kasian juga Neva kamu bawa setiap hari, Zi. Apalagi kamu, kan kerja jadi pembantu pasti dia enggak ada yang jagain."
"Bu Nina tenang aja, anak majikan saya baik-baik, mereka suka mengajak Neva main."
"Lagian kamu punya suami PNS kenapa mau jadi babu, 'sih?"
Aku menghela napas kesal, perempuan ini membuang waktuku hanya untuk mengorek kehidupan pribadi yang belum saatnya dia ketahui.
"Namanya juga tuntutan hidup, Bu. Maaf ya, Bu. Saya terburu-buru, takut terlambat, enggak enak sama majikan."
Aku berbalik setelah memohon pamit dengan sopan, tetapi jawaban yang Bu Nina berikan membuat hatiku lagi-lagi geram.
"Cuma babu aja, sombong! PNS terlambat dapat potongan, lah jadi babu telat paling cuma diomeli, doang!"
Astagfirullah ... sepertinya memang sulit mencari seseorang yang ber-empati pada hidup kita.
Di depan jalan aku menaiki angkot, tentunya agar para tetangga tak ada yang curiga. Jarak dari rumah Mas Agam ke rumah yang aku tuju cukup jauh, itu memudahkan sandiwara ini berjalan dengan lancar.
Turun di persimpangan, aku menemui sopir yang sudah menunggu dengan sedan mewah berwarna putih.
"Pagi, Bu. Mau langsung ke kantor atau ke rumah dulu?" tanya sopir itu padaku.
"Rumah dulu. Ada bekas yang harus saya bawa."
"Baik, Bu."
"Berhenti di restoran dulu, ya. Saya belum sarapan."
"Siap, Bu."
Neva aku dudukkan di kursi, jarinya tengah sibuk bermain dengan mainan tangan yang sengaja aku bawa dari rumah. Aku bersandar pada jok mobil, menarik napas lalu mengembuskannya perlahan.
Mengambil ponsel yang aku simpan dalam tas, mengecek jadwal kegiatan yang harus aku lakukan hari ini dan membuka akun medsos. Aku tersenyum menang saat melihat notifikasi Mas Agam yang membalas komentarku pada postingannya semalam.
"Kalau kamu yang menemani aku minum kopi, mau?"
Aku tergelak sendiri menyadari betapa suamiku ini temasuk pria penebar pesona. Dengan cepat aku membalas komentarnya. "Beruntungnya aku bisa menemani anda minum kopi."
Cuiih ... aku mulai merasa jijik.
Tak hanya Mas Agam, Febi juga membalas komentarku. "Wah, aku mau berlian, harganya berapa, Mbak?"
Dua perangkap masuk, aku tertawa dalam mobil. Tertawa meski sebenarnya batin ini pedih.
Inilah kehidupan yang aku jalani dua tahun ini, setelah ayah menjual sawah dan ladang pada salah seorang pengusaha rael estate di kota. Ayah membeli sebuah rumah dan sebagian uangnya dia tanamkan pada usaha milik kakakku. Mas Agam tidak pernah tahu kalau sawah dengan luas hektaran yang ayah garap itu adalah milik kami pribadi. Dia selama ini mengira jika ayah hanya petani biasa dan menumpang lahan pada orang lain.
Rumah kami di kampung memang kecil, layaknya rumah-rumah yang lain, tetapi warisan turun temurun dari keluarga ayah membuat hidup kami sangat berkecukupan. Karena kondisi ayah saat aku menikah sedang sakit jadi kami memang tidak mengadakan pesta, hingga kekayaan keluargaku aman dari mata Mas Agam.
Abang-ku kerja di Kalimantan sebagai pengusaha batu bara, dia juga memiliki usaha properti di sini dan itulah yang tengah aku kembangkan.
Setiap hari yang mereka pikir aku kerja sebagai pembantu, di rumah orang kaya padahal itu adalah rumahku sendiri. Neva sengaja aku bawa karena di rumah ada baby sitter yang aku bayar untuk menjaganya.
Entah mengapa aku menikmati sandiwara ini meski ayah dan abang berulang kali meminta aku untuk mengakhirinya. Mungkin karena dendam mendapat hinaan dan perlakuan yang tidak adil selama menikah hingga aku sangat ingin menyakiti mereka sedikit demi sedikit.
Mobil berhenti tepat di depan lampu lalu lintas, aku menengok ke luar jendela dan melihat mobil Mas Agam yang baru dia kredit lima bulan lalu berhenti tepat di samping mobilku. Dalam mobil itu aku melihatnya bersama seorang perempuan, mereka tampak bersenda gurau dan teramat dekat.
Tanganku mengepal, lelaki sombong itu tidak sedang bekerja melainkan berkencan. Bukan hanya perlakuannya yang semena-mena tetapi juga pengkhianatan itu harus aku balas.
Mobil berjalan membelah kota, lalu berbelok masuk ke sebuah rumah besar. Sopir itu membukakan pintu dan salah seorang pelayan menyambut Neva serta meraihnya dari gendonganku.
Aku masuk ke dalam rumah, menyapa ayah yang sedang duduk sembari membaca koran ditemani secangkir kopi.
"Ayah hari ini mau ikut ke kantor?"
"Kamu aja yang urus, Zi. Ayah mau istirahat dulu."
Aku mengangguk. Bergegas masuk ke dalam kamar, mengganti pakaian yang aku kenakan dan merias wajahku dengan deretan make up mahal yang ada di atas meja rias.
Sempurna!
Tak akan ada orang yang menduga jika aku adalah Zia. Istri Mas Agam yang mereka sebut sebagai babu.
Seperti kata ayah, "Di sana kamu jadi upik abu, tapi di sini kamu jadi cinderella."
Tbc
0 comments:
Posting Komentar