CERBUNG - PURA-PURA MISKIS #1

Pura-pura Miskin #1

Oleh : Tania Noer

-Cinderella Menyamar-

"Jadi istri itu jangan kebanyakan gaya! Enggak usah dandan segala, mau dipoles kayak gimana juga, tetep aja muka kamu nggak berubah! Cuma di dapur sama kasur aja, sok-sok an pengen ke salon!"


Ucapan itu bukan hanya satu kali aku dengar, tapi sudah lebih dari seratus kali selama usia pernikahan kami yang ketiga. Aku sudah hapal di luar kepala, semua kata yang akan terlontar ketika aku meminta uang untuk sekedar membeli bedak dan lipstik berharga sepuluh ribuan.


Bagi Mas Agam, aku harus tetap terlihat menarik dengan daster lusuh dan tanpa make up. Aku harus bisa masak enak dengan uang jatah yang dia beri setiap hari. Uang yang hanya cukup membeli satu ikat bayam dan satu papan tempe. Rumah harus selalu bersih, wangi hingga tak boleh ada satu barang pun yang keluar dari tempatnya.


"Iya kamu, tuh, jangan sok kecakepan pengen niru orang kaya! Orang kampung, tetap aja kampungan, enggak bakalan bisa kayak Febi, dia itu gadis kota, wajahnya juga cantik jauuh sama kamu ...." Ibu mertuaku ikut menimpali.


Febi tertawa, dia mengibaskan rambutnya yang panjang dan rapih usai di smoothing. 


"Udah Ma, Mas. Mbak Zia itu cuma iri, jangan dimarahin kayak gitu, aku udah nggak tahan pengen ketawa liat wajahnya menyedihkan kayak gitu."


"Kakak ipar kamu ini, bikin mama keki. Mimpinya ketinggian, udah untung Agam mau nikah sama dia, eeh ini malah minta yang aneh-aneh."


"Namanya juga orang kampung, Ma. Enggak bisa liat orang kota keren dikit langsung sirik."


"Udahlah, aku capek. Baru juga pulang kerja, udah makanan nggak enak ini malah ditambah sama permintaan bodoh!"


Teriak Mas Agam lagi sambil berlalu, dia membanting pintu kamar dengan keras di depan wajahku. Mama dan Febi tertawa, sepertinya mereka bahagia melihat aku yang bersedih.


Baiklah demi menambah kebahagiaan mereka, aku akan berpura-pura terluka lalu menangis.


"Apa salah kalau aku hanya ingin cantik. Toh, nanti kalau aku terlihat cantik Mas Agam juga yang bangga ...," kataku sambil terisak.


"Harusnya ngaca dulu, sebelum mimpi! Emang dari awal juga kamu nggak pantes sama anak saya, dia ganteng, kamu kampungan. Tapi, kamu pake pelet kali, sampe dia lupa diri!"


Bagusnya aku pake ilmu santet buat kalian, enggak guna kalau cuma pelet dong. Aku bergumam dalam hati, semakin muak dengan tuduhan Mama mertua yang terlontar.


"Kasiaan amat kamu Zia. Cuma jadi babu aja, pengen bertingkah. Udah, deh mending yang rajin kerjanya, siapa tau entar ada uang jatoh dari langit buat ke salon. Hahaha ...." Febi masih belum puas menghinaku rupanya.


Aku duduk bersimpuh dengan raut wajah sedih dan penuh penderitaan. Belum saatnya perlakuan mereka yang manis ini kubalas saat ini. Semua harus bertahap satu demi satu ....


Mama dan Febi berjalan melewatiku, mereka masih saja tertawa, seolah aku adalah badut yang sedang berusaha menghibur mereka.


Pintu kamar tertutup, tinggallah aku sendiri duduk di tengah rumah. Segera aku menghapus air mata palsu yang membasahi pipi, sama sekali tak ada kesedihan yang tersisa di hatiku. 


Kejadian ini bermula saat aku iseng bertanya pada Febi yang baru saja melakukan perawatan dari wajah hingga tubuh di salon. Aku tahu gadis itu tidak bekerja dan uang yang dia gunakan untuk membayar semua biaya perawatan itu adalah uang suamiku. 


Merasa tak adil, dengan nada bergurau, aku merajuk layaknya seorang istri pada suaminya. Tentu saja saat Mas Agam tengah duduk santai usai makan hidangan amat sangat sederhana yang aku masak hari ini.


"Mas, aku kapan ke salon? Aku juga, kan pengen cantik kayak Febi."


Jawaban yang aku dapat hanya cemoohan dari Mas Agam dan keluarganya. Seakan gadis kampung sepertiku tak pantas untuk bisa merasakan hidup nikmat seperti orang kota.


Aku memang asli kampung, Mas Agam jatuh cinta padaku saat dia ditugaskan di kantor desa tempat aku tinggal. Entah apa yang membuat laki-laki itu bersikukuh untuk meminang, padahal aku sudah berulang kali menolaknya. Sikapnya yang bijak, dewasa dan rajin beribadah di depan ayah, bisa meiuluhkan hati ayah yang keras.


Ayah yang sudah sakit-sakitan meminta aku untuk cepat menikah, dia ingin ada seseorang yang kelak bisa menjagaku setelah beliau tiada. Dari semua pemuda desa, hanya Mas Agam pemuda kota yang memikat hati ayah dengan kepura-puraannya.


Aku rela menikah dengannya demi baktiku pada ayah. 


Aku menikah dengannya karena percaya siapa pun lelaki yang orang tuaku pilih dia adalah yang terbaik.

Ayah tidak salah karena mengira Mas Agam lelaki baik. 

Sikapnya sungguh menipu dan kalimat yang dia ucapkan bagai memilki magnet yang membuat orang lain terpukau dan percaya.


Di mata masyarakat ... Mas Agam pria sempurna.


Namaku Azila, tetapi orang lebih suka memanggilku dengan Zia. Aku anak kedua dari dua bersaudara. Kakak lelaki usianya terpaut jauh denganku, dia merantau kerja di luar pulau, sedangkan ibu sudah meninggal sejak aku kecil.


Kata Mas Agam, jauh-jauh kerja di luar pulau, tetap saja kakakku  itu buruh alias pekerja kasar dengan uang tak seberapa. Aku diam, membiarkan dia dengan cemoohannya, tanpa harus kuberi tahu kenyataannya. Dia tak perlu tahu seperti apa keluargaku yang dia hina selama ini.


Entahlah, suamiku selalu saja merendahkan orang-orang lain yang berada di bawahnya, termasuk ayah yang di matanya hanya petani biasa dan Bang Rizal yang dia bilang buruh kasar. Mungkin karena dia merasa lebih hebat.


Mas Agam kerja di kantor pemerintahan. Dia pegawai negeri sipil dengan tingkatan cukup tinggi. Namun, berapa uang gajinya aku tak pernah tahu, karena seperti yang ada dalam cerita-cerita, orang pertama yang Mas Agam serahkan gajinya adalah Mama mertua, lalu berpindah tangan ke adik ipar dan aku hanya sisa yang terbilang sangat minim.


Aku tak peduli akan semua itu, cukuplah mereka tahu aku istri teraniaya, miskin dan menjadi babu demi menambah beban hidup dan mencukupi susu anakku. 


Mereka bahkan dengan lihainya menjelaskan pada para tetangga, apa alasan aku bekerja sebagai pembantu di rumah orang lain.


Seperti yang pernah aku dengar beberapa bulan lalu.


"Mantu saya itu, Bu. Orangnya nggak pernah bersyukur, padahal gaji anak saya itu gede, tapi kuraaang aja, permintaannya banyak. Alasannya buat biaya ayah sama kakaknya yang miskin di kampung. Kasian anak saya udah harua nanggung hidup saya sama adiknya, ini malah diporotin terus sama bininya. Makanya si Zia bela-belain jadi pembantu, biar bisa bantu keluarganya di kampung."


"Ya ampun, padahal orangnya kayak yang baik banget, tapi ternyata boros, ya? Kasian dong Agam kalo harus biayain juga bapak sama kakaknya si Zia."


"Lah iya, Bu. Gaji anak saya habis buat cukupin 

kebutuhan mereka. Mana bapaknya si Zia sakit-sakitan lagi, biaya ke dokter, obat, belum makan mereka sehari-hari. Ah, pokoknya saya nggak tega sama Agam, makanya dia izinin istrinya kerja supaya beban dia sedikit berkurang."


"Tapi kenapa harus jadi pembantu, Bu? Aneh aja, suaminya PNS tapi istrinya babu."


Wajah Mama terlihat merah padam, tapi lidahnya masih saja pintar bicara.


"Namanya juga orang kampung, dia enggak bisa kerja apa-apa lagi selain nyuci sama beres-beres."


"Lagian Agam kenapa nikah sama Zia? Gadis di kota, kan banyak.'


"Anak saya kena pelet, Bu. Si Zia pinter main dukun, duh, bahaya mantu saya itu, Bu."


Mereka semua berseru mengucap istigfar. Menyabarkan Mama agar tetap bisa menjadi ibu mertua yang baik untuk menantu dzalim seperti aku.


Akting yang bagus, Ma. Karena kelihaian Mama dan Mas Agam dalam bersandiwara, bakat itu pun kini menurun padaku. Sejak pertama menikah, aku memang sengaja menyembunyikan kenyataan yang jika mereka ketahui akan menyebabkan serangan jantung. Lebih baik diam, tetap menjadi apa yang mereka pikirkan.


Aku berjalan menuju dapur, satu-satunya tempat di rumah ini yang jarang mereka singgahi karena ada aku. Tak perlu cape memasak atau mengambil sesuatu, tinggal berteriak dan tanganku yang akan mengambilnya.


Biarkan saja mereka berbuat semaunya, menunggu hingga roda itu berputar. Aku hanya ingin berbakti dan menikmati peran yang tengah aku mainkan saat ini.


Netraku mengitari setiap sudut, meyakinkan suasana rumah yang sepi karena para penghuninya bersembunyi dalam kamar. Membuka salah satu lemari piring yang berada di atas. Merogoh, mencari benda berharga yang aku simpan di antara tumpukkan piring.


Ponsel itu tak aku matikan, hanya menonaktifkan nada dering serta getar saat aku berada di dalam rumah. Tak ada satu orang pun di rumah ini  yang tahu aku memilki ponsel berharga puluhan juta rupiah.


Ratusan chat masuk, aku membuka satu persatu deretan pesan yang membuatku tersenyum girang.


💬Jeng Zia, aku punya berlian baru, nih. Mau nggak, harganya murah, kok cuma lima puluh juta aja. 💬

Pesan dari Jeng Charlie, dan langsung kujawab singkat. 


💬Aku ambil dua. Nanti aku transfer, barang seperti biasa kirim ke rumah.💬


Aku membuka pesan satu lagi dari salah seorang karyawan. 


💬Bu, ada tender baru nilainya milyaran. Besok pagi saya tunggu di kantor ya, Bu.💬


Pesan itu kujawab lagi. 💬Good job. Besok saya lihat proposalnya.💬


Selain chat-chat itu ada banyak juga chat dari teman sosialitaku. 


Sebelum anakku yang berusia satu tahun terbangun dari tidurnya dan orang-orang di rumah ini melihat, aku segera berselancar di akun medsos yang aku miliki dengan nama dan foto samaran. Membaca deretan status yang suami dan adik ipar yang mereka posting hari ini.


Mereka pikir aku tak punya ponsel apalagi akun medsos, jadi kalau pun ikut berkomentar, mereka tak akan menduga itu adalah aku.


Seperti unggahan Mas Agam siang tadi. Sebuah foto kopi di sebuah kafe dengan caption. 'Semoga besok bukan hanya kopi yang menemani, tetapi ada juga wanita cantik yang menjadi pengisi hari.'


Puluhan komentar masuk dan dengan lihai jariku ikut berkomentar. 'Beruntungnya kopi itu bisa selalu bersama kamu.' Rasanya tak sabar menunggu Mas Agam membalas komentarku.


Beralih pada akun adik iparku Febi Nathasya. Dia mengupload fotonya yang pulang dari salon dengan caption, 'Orang cantik kalau dipoles hasilnya makin cantik.' Aku terkikik geli, lalu iseng ikut berkomentar, 'Kamu cantik, coba kalau ditambah berlian pasti tambah cantik.'


Pasti setelah ini dia akan merajuk pada Mas Agam untuk membeli berlian dan itu bisa kumanfaatkan nantinya.


Duniaku menyenangkan meski penuh dengan sandiwara. Hanya sebagai ibu saja aku menikmati dunia yang sebenarnya.


Aku bersandar pada tembok di dapur, menikmati obrolan hangat tentang dunia kemewahan yang bahkan mungkin Mama, Febi atau Mas Agam belum pernah menikmatinya.


Di depan mereka aku terlihat miskin, tetapi di belakang mereka aku adalah seorang milyuner.

Tbc

1 komentar: