CARTING PART 15

CANTING PART 15 / #cantingpart15

Oleh Fissilmi Hamida

"Sudah, Nduk, abaikan bapakmu. Cepat berkemas. Kanjeng Ibu membutuhkanmu," kata Simbok.

Sekar tak kuasa membendung tangisnya. Perkataan Bapak betul-betul membuat hatinya nelangsa. 

"Kami pamit, Mbok, Pak." 

Sekar dan Hadi mencium tangan Simbok bergantian. Sayang, Bapak mengabaikan mereka saat keduanya hendak mencium tangannya juga. Airmata Sekar kembali menetes karenanya. Hadi merangkulnya, mencoba menguatkannya meski ia sendiri kalut rasanya. Namun, ia tidak boleh kalah oleh keadaan. Ia harus tetap tenang karena Sekar sedang membutuhkan pundak dan rengkuhannya untuk bertahan. 

Sepanjang perjalanan, keduanya lebih banyak diam. Pikiran mereka berkelana ke mana-mana. Sekar sangat terpukul dengan perkataan Bapak tadi. Ia tak menyangka Bapak bisa tega mengucapkan kalimat keji seperti itu di depan Hadi, tanpa menjaga perasaannya sama sekali. Airmatanya kembali menetes. 

Perlahan, diliriknya sosok di sebelahnya yang tampak sesekali memijat dahinya. Meski tampak tenang, Sekar tahu bahwa suaminya tidak baik-baik saja. Sekar mengalihkan pandangan ke jendela. Sungguh, sikap Bapak tadi membuatnya begitu malu di hadapan Hadi. 

"Mas...," panggil Sekar perlahan. 

"Ya," jawab Hadi, sambil sejenak melirik istrinya. Ia masih terlihat dalam ketenangan paripurna.

"Apa Kanjeng Ibu baik-baik saja?" tanya Sekar. 

Ia sangat mengkhawatirkan Kanjeng Ibu. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana Kanjeng Ibu menghadapi musibah ini sendirian, tanpa dirinya dan Hadi di sampingnya. 

"Tenanglah. Kanjeng Ibu baik-baik saja. Beliau di rumah saat musibah itu terjadi. Kejadiannya malam hari. Hubungan arus pendek penyebabnya," jelas Hadi. 

Sekar sedikit lega mendengarnya, setelah tahu bahwa Kanjeng Ibu baik-baik saja. Sungguh, Sekar teramat mengkhawatirkannya lantaran ia menyayanginya layaknya ibunya sendiri. Dahulu saat ia masih teramat belia, Kanjeng Ibu tak keberatan untuk menemani dan menjaganya saat Simbok harus berbelanja. Kanjeng Ibu juga akan ikut panik dan tidak bisa tidur saat tahu Sekar kecil demam. Kanjeng Ibu pula yang pertamakali mengenalkan Sekar pada dunia batik, sesutu yang ternyata ia sangat berbakat untuk melukiskannya. 

Angan Sekar kembali berkelana ke masa itu. 

"Kanjeng Ibu, ini apa?" tanya Sekar kecil yang kala itu masih berusia 7 tahun pada Kanjeng Ibu yang tengah membatik. 

Kanjeng Ibu berhenti sejenak. Ia mengambil sebuah dingklik kecil untuk Sekar.

"Duduk sini, Nduk. Sini Kanjeng Ibu ajari," katanya, dengan kelembutan layaknya seorang Ibu pada putrinya.

Sekar mendekat sambil berjingkrak, hingga rambut kucir duanya bergerak-gerak. Lucu sekali. 

"Ini alat-alat untuk membatik. Sekar ingin tahu apa namanya?" tanya Kanjeng Ibu. Sekar kecil mengangguk antusias. 

"Ini namanya gawangan, gunanya untuk meletakkan kain mori ini agar kita bisa membatik di atasnya." Kanjeng Ibu memulai penjelasannya, sembari memegang gawangan kayu yang berada di hadapannya. Sekar memperhatikan dengan seksama. 

"Seperti meja! Meja khusus untuk membatik!" sahutnya antusias. Kanjeng Ibu tersenyum melihatnya, karena gawangan tidak berbentuk seperti meja, melainkan seperti papan jemuran. 

"Iya, seperti meja, tapi tidak berat. Agar mudah dibawa dan mudah dipindah-pindah," jelasnya lagi. 

"Kalau yang ini, Sekar pasti tahu apa namanya," sambung Kanjeng Ibu lagi. Sekar memperhatikan sebuah benda yang berada di sebelah Kanjeng Ibu. 

"Seperti wajan untuk memasak. Tapi ini kecil. Seperti wajan mainan Sekar," jawab Sekar polos. Kanjeng Ibu tertawa mendengarnya hingga ia mencubit pelan pipi gembil Sekar. 

"Benar. Ini namanya wajan, dibuat dari tanah liat. Gunanya untuk mencairkan malam agar kita bisa menggunakannya untuk membatik," jelasnya sambil membelai rambut Sekar. 

"Malam yang sudah cair, berarti nanti jadi seperti cat air ya?" tanya Sekar. Kanjeng Ibu lagi-lagi tertawa mendengarnya. 

"Iya, jadi seperti cat air untuk menggambar di atas kain mori ini. Nah, kalau yang ini namanya anglo. Gunanya untuk menyalakan api dan memanaskan malam agar malamnya bisa cair. Bahan bakarnya memakai arang, bukan memakai kayu. Begini cara membesarkan apinya," jelas Kanjeng Ibu sambil menggerakkan kipas anyaman bambu untuk membuat api di anglo itu membesar. 

Sekar terus serius mendengarkan penjelasan Kanjeng Ibu. 

"Kalau yang ini namanya canting, alat yang digunakan untuk menggambar, seperti kuas cat air Sekar," jelasnya. Sekar mangut-mangut, ia tampak puas dengan penjelasan Kanjeng Ibu. 

"Sekar mau coba?" tawarnya. 

"Bolehkah?" tanyanya. Kanjeng Ibu mengangguk. 

"Iya, Sekar mau coba!" Ia berjingkrak kegirangan saat Kanjeng Ibu menawarinya untuk mencoba. 

Kanjeng Ibu memangku Sekar, lalu membimbing tangan mungilnya untuk menggerakkan canting itu, hingga gerakannya membentuk sebuah pola cantik. Dan betapa bahagianya Sekar saat keesokan harinya, Kanjeng Ibu menghadiahkan sebuah gawangan kecil yang dibuat khusus untuknya, lengkap dengan kain mori yang sudah dipotong kecil, dan peralatan lainnya yang juga berukuran kecil. Sejak hari itu, Sekar terus belajar membatik, hingga ia berhasil menghasilkan batik pertamanya. Sebuah hasil yang menakjubkan dari goresan anak berusia 7 tahun, sampai-sampai Kanjeng ibu membingkainya, dan mengabadikannya di dinding rumahnya. Sampai sekarang, batik pertama Sekar itu masih ada. 

Airmata Sekar kembali menggenang mengingatnya. Namun, ia berusaha menyembunyikannya agar Hadi tidak khawatir padanya. 

Sementara itu, meski tampak tenang, pikiran Hadi berkecamuk tidak karuan. Terbayang wajah Kanjeng Ibu yang panik sendirian, juga amanah pada pemesan batik-batiknya yang sepertinya akan gagal ia tunaikan. Gudang yang terbakar itu adalah gudang utama untuk penyimpanan barang-barang ekspor, barang siap kirim yang semua pembayaran sudah di tangan. Gudang terbakar, artinya uang pembayaran harus ia kembalikan. Nilainya hampir 2 milyar. Sayang, bangunan gudang tersebut adalah bangunan baru yang memang belum sempat ia asuransikan. 

Tetiba bayangan wajah teduh ibunya datang. Hadi selalu ingat bagaimana wajah teduh itu selalu berlinang airmata saat menceritakan awal mula The House of Sundari berdiri. Orang tua Kanjeng Ibu hanyalah pedagang batik keliling. Sundari kecil turut serta, digendong kesana kemari oleh ibunya sambil menjajakan batiknya ke rumah demi rumah. Meski hidup mereka serba kekurangan, namun mereka selalu percaya bahwa Gusti paring dalan kanggo uwong sing ngelam ndalan, bahwa akan ada jalan bagi mereka yang berada di jalan kebenaran, termasuk jalan dalam mencari rejeki halal. Perlahan, kegigihan mereka berbuah hasil. Dari yang awalnya pedagang keliling, mereka kemudian punya kios sederhana. Semakin hari usahanya semakin jaya, hingga lahirlah The House of Sundari, brand batik mereka sendiri. 

Kepala Hadi mendadak pening, membuat pandangannya sedikit kabur. Sejurus kemudian, ia reflek banting stir ke kiri saat ada motor menyalipnya dari sisi kanan. Hadi oleng. Ia menarik tuas rem, namun terlambat. Kejadiannya begitu cepat. Sebelum kesadarannya hilang, ia sempat mendengar suara Sekar melengking berteriak. Sejurus kemudian, ia merasakan sakit yang teramat sangat di sekujur tubuhnya, dadanya sesak. Rasanya seperti ia tak bisa bernapas lagi. 

Lalu senyap. 
Gelap. 

**********

Sekar berusaha membuka matanya yang terasa begitu berat. Ia merasakan perih di tangan dan kepalanya. Sayup-sayup, terdengar orang-orang berteriak. Pandangannya masih belum begitu jelas, namun ia bisa melihat bahwa ada beberapa tangan yang tengah memukul-mukul kaca mobilnya. Sekar masih terus berusaha membuka matanya. Rasanya seperti mimpi, namun sangat sulit baginya untuk bangun dari mimpi ini.

Gusti... bangunkan aku, tolong bangunkan aku.

Jiwanya terus meronta, berusaha mengembalikan kesadarannya. Ia masih tak sadar ada apa, namun ia bisa merasakan saat ada beberapa tangan kokoh mengangkat tubuhnya. 
Perlahan, manik matanya kian terbuka, kesadarannya kian sempurna, namun perih di tangan dan kepalanya juga semakin terasa. 

Tetiba nafasnya tersengal, saat ingatannya telah sempurna mengingat apa yang terjadi padanya. 

"Mas Hadi... mana Mas Hadi...."

Sekar berusaha bangkit dan mengabaikan rasa sakitnya. Namun seseorang berusaha menahannya.

"Mbak, tenang, Mbak. Ini minum dulu." 

Sosok itu menyodorkan sebotol air mineral padanya. Tangan-tangan kokoh tadi rupanya mengeluarkannya dari dalam mobil dan membawanya ke pinggir jalan. Sekar menampiknya. Ia berusaja sekuat tenaga untuk bangkit. Rasa sakit itu tak lagi dipedulikannya, ia hanya ingin tahu di mana lelaki tercintanya. 

"Mas Hadi mana... Mas Hadi mana...."

Tangisnya meledak. Ia panik luar biasa. Ia terus berusaha bangkit sambil mengedarkan padangannya. Sejurus kemudian tangisnya berubah menjadi jeritan menyayat hati, saat melihat mobil yang ditumpanginya bersama Hadi tak berbentuk lagi. Beberapa orang berada di sana, entah apa yang dilakukannya.

"Mas Hadi!" 

Sekar berteriak sekuat tenaga. Beberapa orang terus berusaha menenangkannya, tapi ia terus meronta. Ingin rasanya ia berlari ke mobil itu, ingin memastikan apakah belahan jiwanya masih di situ, namun ia terlalu lemas untuk melakukan itu. 

"Suami saya... suami saya di mana...." tanyanya pada orang-orang di sekelilingnya. 

Tak ada jawaban, namun sorot mata beberapa orang yang tengah bersamanya menunjukkan sorot mata iba. Beberapa terlihat menitikkan airmata. 

Seorang wanita berusia sekitar 40an tetiba merengkuhnya, membiarkan darah yang mengucur dari kepalanya mengotori jilbab putihnya. 

"Istighfar, Mbak. Istighfar. Suami Mbak masih di dalam mobil. Orang-orang sedang berusaha mengeluarkannya dari sana." 

Sosok itu mengeratkan pelukannya, mencoba menenangkan Sekar, sekaligus mencoba memberinya kekuatan.

"Kenapa suami saya masih di sana? Apa yang terjadi dengannya?" tanyanya, setengah berteriak di antara isak tangisnya.

"Itu... tubuh dan kaki suami Mbak terjepit...."

Tangis Sekar semakin menjadi-jadi mendengarnya. Ia terus meronta, namun sosok itu semakin mengeratkan pelukannya, sambil terus berbisik padanya agar ia beristighfar. 

Gusti... lelakon apalagi ini?

Di tengah tangisnya, ia merasa seperti ada alunan tembang megatruh diperdengarkan untuknya, sebuah tembang tentang fase perjalanan kehidupan manusia. Megat berarti terpisah, ruh berarti jiwa, sebuah tembang yang menggambarkan terpisahnya jiwa dan raga. 

Sekar merasa seperti seluruh tulangnya terlepas satu persatu, saat sekelebat pikiran tiba-tiba datang.

Bagaimana jika jiwa Hadi telah terpisah dari raganya saat orang-orang itu berhasil mengeluarkannya?
Bagaimana jika rengkuhan Hadi saat tadi pagi bersama menikmati terbitnya mentari adalah rengkuhan terakhirnya?
Bagaimana wejangan-wejangan Hadi tak akan pernah lagi didengarnya?
Bagaimana jika takdir kebersamaannya dengan Hadi hanya sampai disini saja?

Erangan Sekar semakin berkurang. Ia kembali hilang kesadaran. 

**********
(Bersambung)
kelanjutannya di part 16

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=222557051691913&id=211459742801644

Maaf part ini cukup pendek. Nggak kuat nulisnya. Aku mewek masa 😭😭

**********

0 comments:

Posting Komentar