CERBUNG- HALAL DI UJUNG RINDU(Part 3)

 HALAL_DI_UJUNG_RINDU


#Part_3


Aku meraih gamis hitam dengan variasi abu-abu di bagian ujungnya dan selembar jilbab segi empat warna abu senada dengan variasi gamis itu. Mencoba memantapkan hati untuk memakainya mulai hari ini. Karena sudah lama aku mengoleksi beberapa gamis dan jilbab lebar, namun hanya sekedar koleksi yang menunggu sang pemilik menjemput hidayah. Walau sampai detik ini hidayah itu tak jua kujemput.


Perlahan aku mengenakan gamis dan jilbab yang sudah kupilih. Aku harus memakainya. Demi Amak! Ya, demi Amak!Semalam Amak menangis kepadaku. Berharap aku tak lagi mengumbar aurat. Amak mengingatkanku tentang dosa yang akan aku tanggung. Serta Almarhum Abak yang akan ikut di seret ke neraka jika aku masih membangkang dalam hal menutup aurat.


Tak tahan rasanya melihat Amak tersedu di depanku. Wanita berusia 60 tahun itu sampai memohon dengan tangis yang tak henti. Hingga akhirnya ku peluk tubuh tua yang amat kucintai itu. Menyetujui dan berjanji akan mengenakannya mulai besok. Amak juga meminta agar aku tak lagi memakai pakaian ketatku keluar rumah, jika masih ingin memakainya pakailah di dalam rumah saja.Begitu kata Amak.


Bismillaah. Aku melangkah menuju garasi, begitu nyamannya pakaian ini.Batinku. Terasa bebas untuk bergerak.


Segera ku lajukan mobilku meninggalkan halaman rumahku. Disana ada Amak, Uni Yasmin dan Uda Randy abang iparku yang tersenyum bahagia menatap mobil yang ku kendarai mulai menjauh.


Dengan rasa kikuk aku turun dari mobilku. Kulihat toko sudah buka, ternyata Mely sudah datang duluan. Tak kulihat sosok Uda Yudi diluar tokonya. Biasanya lelaki itu selalu menyambut kedatanganku. Tapi sudahlah, lebih baik dia tidak melihatku. Bergegas aku masuk ke dalam toko. Tapi ada sesosok lelaki yang menghentikan langkahku. Dia berdiri terpaku di hadapanku. Lelaki itu baru saja hendak keluar dari tokoku.


Mata itu menyapu tubuhku dari atas sampai ke bawah dengan tatapan tak percaya.


“Zahra?” Uda Yudi membesarkan matanya. “Ini beneran kamu?”


“Ya iyalah siapa lagi?” sahutku kikuk.


Uda Yudi tak berhenti menatapku. Mely pun ikut-ikutan melotot. Gadis manis yang sudah berhijab sejak lama itu merasa tak percaya melihat aku yang sekarang ada di hadapannya.


Aku melanjutkan langkah masuk ke dalam toko. Membuat Uda Yudi menghindar refleks saat aku lewat. Aku pikir dia akan mengacak kepalaku lagi, ternyata tidak! Dia pun perlahan meninggalkan tempatku masih dalam keadaan bingung. Berkali-kali ia menoleh kebelakang.


“Awas jatuh Da!” teriakku sambil cekikikan.


“Uni Za? Alhamdulillaah...Mely senang lihat kakak seperti ini...cakeeeeeeeep!” Mely jejingkrakan memelukku.


“Nggak aneh kan Mel? Uni belum pe-de!” bisikku.


“Dimana anehnya sih Un, malah aneh penampilan Uni yang kemaren di banding yang sekarang. MaasyaaAllah!” tak henti-hentinya mulut gadis itu menyebut nama Allah.


“Doakan saja Uni betah memakainya ya Mel?”


“Bukan betah Uni cantik, tapi ISTIQAMAH!” sahutnya memeperbaiki kalimatku.


Aku menoyor pelan kepalanya sambil tertawa, “Maksudnya iya itu tadi!” kilahku. Mely ikut tertawa.


{Kamu cantik Za dengan pakaian seperti itu. Itulah pakaian muslimah sebenarnya. Semoga adik Uda ini selalu istiqamah, dan segera bertemu dengan lelaki shalih pilihan Allah.}


Sebaris pesan melalui WA tertera di layar hp-ku siang ini. Dadaku bergemuruh. ‘Sayangnya lelaki itu sudah ada pemilik hatinya Uda.’ Batinku.


Sejak saat itu, sikap Uda Yudi berubah padaku. Dia tak lagi sehangat dulu, bahkan cenderung menjauh dan tak mau menatap mataku. Mungkin dia menghormatiku dengan pakaianku yang sekarang. Tapi ada rasa tak rela ketika dia menjauhiku.Tersiksa rasanya diperlakukan seperti itu.


“Memang seharusnya begitulah pergaulan lelaki dan permpuan Un, ada batas-batasnya.” Begitu kata Mely saat aku menceritakan perubahan sikap Yudi. “Semakin wanita itu tertutup, semakin Allah menjaganya. Semakin lelaki menghargainya.” Tambahnya.


Bicara dengan gadis berusia tiga tahun di bawahku ini membuat hati terasa adem. Dia gadis pintar. Ilmu agamanya banyak. Tak sia-sia kuberikan dia waktu dua kali seminggu untuk libur mengikuti jadwal ta’limnya. Dia bisa menjadi guru bagiku. Untuk menjawab semua tanya yang aku tak faham.


**


Ada yang ganjil beberapa hari ini. Karena sudah tiga hari kulihat toko Uda yudi tidak buka, pun karyawannya tidak satupun yang nongol. Sudah kucoba menghubunginya lewat ponsel namun nihil, nomornya tidak pernah aktif. Ada rasa cemas sekaligus takut di dalam hati. Cemas kalau-kalau dia sakit atau terjadi apa-apa dengannya. Takut kalau aku tak lagi bisa bertemu dengannya.


Ponsel Uni Vira pun sudah tidak aktif, sudah berganti nomor sepertinya. Untuk menghubungi keluarga Uda Yudi pun aku sungkan, karena mereka jauh di Jakarta. Aku tak mau juga membuat keluarganya cemas dengan pertanyaanku. Siapa tahu keluarganya tidak tahu apa-apa.


Hingga sebulan kemudian, ada orang asing yang membuka toko itu. Sekilas kulihat toko itu sudah kosong. Kapan Uda Yudi membereskan barang dagangannya? Kok aku nggak tahu ya?


Kuhampiri bapak-bapak yang sedang bebenah dengan beberapa karyawannya.


“Emmm...maaf pak, kenalkan saya Zahra yang jualan di toko sebelah. Ini sekarang bapak yang menempati toko ini?”


“Oh iya nak, bapak menyewa toko ini dari pemiliknya. Nak Yudi.” Sahutnya ramah.


“Menyewa? Kalau boleh tahu, Uda Yudi nya kemana ya pak?” selidikku.


“Wah, kalau itu saya kurang tahu nak Zahra.” Jawab si bapak sambil tersenyum.


“Oh..ya sudah pak, maaf sudah mengganggu.”


Bapak itu hanya mengangguk dan tersenyum.


Kutinggalkan tempat itu dengan perasaan bingung. Uda Yudi apa-apaan sih! Pergi nggak bilang-bilang! Apa susahnya sih pamit dulu sama aku?


Aku merasakan mataku menghangat.


**


 — bersama Leny Khan.

0 comments:

Posting Komentar