#Mengejar_Cinta_Rianti
#Episode 3
Seraya memeluk bahu Rianti, papa Rianti pun membuka suara.
"Rianti, kamu adalah tumpuan harapan Papa, Mama, dan adik-adikmu. Di pundakmu lah kelak beban dan tanggung jawab meneruskan usaha dan perusahaan keluarga kita ini Papa letakkan. Untuk memimpin sebuah perusahaan itu tidak gampang, Nak. Kamu butuh pengalaman, butuh hati yang bijak dan matang. Untuk itu, Papa hanya minta waktumu satu tahun ini untuk mempelajari semuanya mulai dari bawah," ujar papa Rianti dengan suara yang terdengar berat.
"Apa harus mulai dari cleaning servis juga, Pa?" suara Rianti masih terdengar merajuk. Papa tersenyum dan membelai rambut Rianti penuh kasih.
"Kamu akan mencoba di bidang ini, dua bulan saja. Setelah itu, kamu akan mendapatkan latihan lagi di bidang keuangan, lalu personalia, dan terakhir di bagian lapangan. Agar kamu bisa memahami semua situasi dan kondisi yang ada di setiap bagian perusahaan. Dengan begitu, ketika kelak kamu mengurus perusahaan sendiri, kamu akan paham dan menguasai setiap bidang yang ada di perusahaan kita." suara papa terdengar tegas. Rianti tahu, berarti kali ini Rianti tidak akan bisa membantah papa lagi.
"Hanya dua bulan, Rianti. Percaya pada Papa," ucap sang papa penuh penekanan.
"Oke, Pa. Tapi jika nanti Rianti keenakan di job yang sekarang, jangan salahkan Rianti tidak mau melepas pekerjaan Rianti ini ya, Pa." ucap Rianti dengan nada ancaman. Papa hanya senyum-senyum saja menanggapi ucapan konyol anaknya.
"Ya, ditunggu makan di bawah, malah asyik berduaan di sini," tiba-tiba mama dan si centil Siska, adek Rianti telah nongol di depan pintu kamar.
"Ayo, Pa, Kak. Lapar nih," ucap Siska seraya menarik tangan Rianti.
"Iya, iya. Ga sabaran banget, Dek," Rianti mengikuti langkah adiknya ke ruang bawah. Mama dan papa pun segera menyusul.
*****
Rianti baru saja memasuki ruang cleaning servis ketika Ivo sedang merebut topi warna merahnya dari seorang laki-laki yang berseragam seperti Rianti dan Ivo juga. Ivo dan laki-laki tersebut sontak melihat ke arah Rianti.
"Hai, Rianti. Kenalin nih, Rio. Kemarin Rio ga masuk, makanya lo belum ketemu," ucap Ivo menghilangkan kebingungan di wajah Rianti.
"Oh," ucap Rianti singkat.
"Hai, gw Rio," laki-laki bertubuh tinggi tegap itu tiba-tiba telah berada di hadapan Rianti dan mengulurkan tangannya.
"Rianti," ucap Rianti singkat seraya menerima uluran tangan Rio.
"Ini, gua bawa sarapan, ayo kita makan sama-sama," ajak Rio seraya membuka kantong kresek berwarna putih dan mengeluarkan empat buah wadah styrofoam. Dengan sigap ia menatanya di atas meja. Ivo segera mengambil satu dan membukanya dengan penuh semangat. Rianti hanya melihat aksi keduanya tanpa berniat ikut serta.
"Ya, malah bengong. Ayo, sini. Makan bubur ayamnya. Kapan lagi kita dapat makan gratis," ucap Ivo dengan mulut penuh berisi suapan bubur ayamnya. Mau tidak mau Rianti tersenyum melihat gaya Ivo yang benar-benar semaunya itu. Sementara Rio pun sudah asyik menikmati hidangan bubur ayam di depannya. Rianti ikutan duduk dan mengambil satu bungkusan. Mendadak ia jadi ingin ikutan menikmati bubur ayam melihat gaya makan Ivo yang penuh selera. Rianti pun mulai menyendoknya.
"Mmmhhh .... enak," ucap Rianti tulus. Rio dan Ivo meliriknya. Terlihat Rio senang dengan tanggapan Rio.
"Kalau lo suka, besok gua bawain setiap pagi," ucap Rio bersemangat.
"Eh, jangan. Bukan begitu maksud gua," ucap Rianti merasa tidak enak. Sementara Ivo terbahak melihat tingkah Rianti.
"Bawain aja, Rio. Gua mau kok," ucap Ivo kembali dengan mulut masih penuh berisi makanan.
"Kebiasaan Ivo, habiskan dulu makanannya baru ngomong," ucap Rianti seraya mengulurkan air putih pada Ivo yang tersedak.
"Makasih," ucap Ivo dengan senyum konyolnya. Rio hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah sahabatnya yang satu ini. Tidak lama kemudian, pintu terbuka, lalu Bima rekan sesama cleaning servis pun masuk ke dalam.
"Tumben lo telat," ucap Ivo begitu melihat Bima.
"Iya, nih. Adek gua pake acara ngambek pula tadi pagi. Biasa nagih uang SPP bulanan," ucap Bima seraya ikut duduk dan langsung mengambil satu porsi bubur ayam yang masih tersisa. Ia ikutan makan, terlihat begitu lahap.
"Lo sih, dibilangin dari kemarin. Pake duit gua aja dulu, malah belagu. Kasihan kan Revan. Orang mau ujian juga," ucap Ivo dengan nada kesal. Rianti dan Rio menatap Bima dengan pandangan penuh tanda tanya.
"Ayo, kita lanjut," ajak Rio setelah menyelesaikan sarapannya.
"Kami duluan ya, Bim," pamit Rio dan Ivo pada Bima. Bima hanya mengacungkan jempotlnya seraya mengangguk. mMereka bertiga pun berpencar ke ruangan yang menjadi tanggung jawab masing-masing.
Tiba-tiba serly, sekretaris Afdi, memanggil Rianti yang akan melewati ruangan direktur tersebut.
"Rianti, kopi Pak Afdi belum diantar ya?" tanya Serly.
"Oh,Pak Afdi minum kopi juga ya, mba?" tanya Rianti asal.
"Ya, minum lah Rianti. Gimana sih, kamu. Jangan alasan masih pegawai baru, ya. Lalu bilang kamu ga tahu kebutuhan bos dan karyawan di sini," ucap serly dengan cerewetnya. Rianti menatap perempuan cantik itu sekilas lalu segera balik ke pantri. Di sana, ia tidak menemukan Ivo atau Rio. Rianti ingin bertanya seperti apa takaran kopi buat pimpinan mereka. Akhirnya, Rianti membuat kopi sesuai seleranya sendiri. Lalu segera ia mengantarkan ke ruangan sang direktur.
"Permisi, Pak," ucap Rianti seraya masuk dan menuju meja Afdi. Terlihat direktur muda itu sedang asyik dengan laptop di depannya.
"Ini, kopinya, Pak," ucap Rianti seraya meletakkan kopi tersebut di samping kiri sang direktur. Afdi menoleh sejenak.
"Ya, terima kasih," ucapnya lalu kembali fokus ke layar di depannya. Rianti sudah berniat akan meninggalkan ruangan tersebut, tetapi suara Pak Afdi menghentikan langkahnya.
"Sebelum kamu melakukan apapun di kantor ini, cari tahu dulu segala sesuatunya dengan benar," ucap Afdi dengan suara terdengar kesal. Rianti membalikkan badannya. Terlihat laki-laki di depannya itu sedang meletakkan cangkir kopi dengan raut wajah dingin.
"Memangnya kenapa, Pak? Kopi buatan saya ga enak?" tanya Rianti santai.
"Kamu coba aja sendiri," jawab Afdi dengan ketus. Ih kok laki-laki ada yang ketus ya, Rianti geleng-geleng kepala merasa heran. Lalu tanpa berpikir apa-apa Rianti mengambil cangkir kopi itu. Didekatkannya ke bibirnya dan meminumnya sedikit. Rianti merasa kopi itu enak. Ia kembali mencicipnya. Dua kali, tiga kali. Ia merasa heran.Semenetara sang direktur menatap perempuan di sampingnya itu dengan mata membesar. Merasa takjud. Perempuan itu meminum kopi milik bosnya dnegan santai? Benar-benar gadis sinting, rutuk Afdi dalam hati.
"Enak, kok Pak," ucap Rianti seraya meletakkan kembali cangkir tersebut dengan wajah tanpa dosa. Sementara laki-laki di sampingnya kehabisan kata-kata ga tau harus berkata apa melihat tingkah pegawai barunya ini.
"Udah, kamu bawa aja kopi ini ke belakang. Saya ga mau minum sisa kamu," ucap Afdi makin ketus. Dengan santai Rianti pun membawa cangkir kopi yang telah dicecapnya berkali-kali itu. Dalam hati Rianti tersenyum. Ia merasa senang melihat raut wajah kesal bosnya. Sykur-syukur kalau ia dipecat, ucap Rianti dalam hati.
"Kamu tannya sama yang lain kebiasan saya, lalu antarkan kembali ke sini kopinya," perintah Afdi sebelum Rianti ke luar dari ruangan tersebut. Rianti hanya mengangkat bahu tak acuh. Sesampai di pantri, Rianti melihat Ivo sedang membuat minuman untuk para karyawan.
"Sini, biar aku yang antarin," ucap Rianti. Ivo menatap Rianti dengan bingung.
"Kamu bikinin kopi Pak Bos lalu antarin ke rungannya," ucap Rianti menghalau kebingungan Ivo.
"Oh, ada maunnya ternyata," ucap Ivo dengan alis terangkat.
"Memang cangkir kopi yang kamu bawa punya siapa?" tanya Ivo masih merasa heran.
"Punya bos mu lah. Tapi dia ga suka kopi bikinin aku. Ga enak,katanya," ucap Rianti cuek.
"Kamu kasih gula berapa sendok?" tanya Ivo lagi.
"Dua sendok," jawab Rianti yakin.
"Ya, pantasan. Pak Afdi ga suka kopi yang manis. Dia gulanya cukup satu sednok aja," terang Ivo seraya mengambil cangkir dan segera membuatkan kopi lahi untuk sang pimpinan. Rianti tak peduli dengan ucapan Ivo. Ia segera ke luar membawa napan dengan beberapa gelas yang berisi teh dan kopi pesanan para pegawai. Rianti sudah tahu harus mengantarkan ke ruangan mana saja kopi dan teh tersebut.
*****
Rianti, Ivo, Bima dan Rio berjalan ke arah parkiran. Sementara beberapa pegawai juga terlihat bergegas meningglkan kantor menuju halaman parkir. Semuanya ingin bergegas pulang ke rumah masing-masing. Hari ini Rianti tidak membawa motor. Ia tadi ke kantor naik taksi online. Ivo, Bima dan Rio telah bersiap dengan motornya masing-masing.
"Lo ga bawa motor?" tanya Ivo melihat Rianti yang hanya berdiri melihat mereka bertiga yang telah siap dengan motornya masing-masing.
"Ga, capek aja rasanya tadi pagi mau bawa motor. Jdainya gua naik gojek deh," ucap Rianti dengan senyum manis.
"Lo bareng ama Rio aja. Kalian kan searah," ucap Ivo seraya memakai helmnya.
"Ga usah, gua naik gojek aja," tolak Rianti.
"Naiklah, gua antarin. Mumpung gua lagi baik," ucap Rio seraya menggeser motor besarnya ke samping Rianti. Rianti menatap motor Rio dengan perasaan sedikit heran. OB punya motor sebagus ini? Apa ga salah? Batin Rianti. Lalu Rianti memperhatikan wajah Rio. Wajah yang tampan. Sangat tidak cocok untuk menjadi seorang OB.
"Kenapa, sih? Lo ga percaya ama gua? Takut gua culik?" ucap Rio dengan seraya membuka kembali helmnya. Ivo dan Bima terbahak.
"Udah, ah. Kami duluan. Rianti tanggung jawab lo ya, Rio," ucap Ivo seraya berlalu dengan motor metiknya. Diikuti oleh Bima dengan motor bututnya. Dengan enggan Rianti naik ke boncengan Rio.
"Tapi, gua ga pake helm lho. Kalau lo ditangkap polisi gua ga mau tanggung jawab ya," ucap Rianti. Rio segera menstater motornya dan berlalu dari halaman parkir tanpa menghiraukan ucapan Rianti. Tapi tidak berapa jauh, Rio berhenti di sebuah toko. Ternyata toko helm. Rianti merasa bingung.
"Turun dulu bentar," ucap Rio. Rianti menurut. Rio pun masuk ke toko. Rianti mengikuti dari belakang. Rio pun memilih-milih helm yang terpajang.
"Yang ini, suka ga?" ucap Rio seraya mengambil sebuah helm berwarna ping dengan karakter hello kitty. Kening Rianti berkerut.
"Ga suka?" tanya Rio seraya meletakkan helm tersebut kembali. Lalu Rio kembali mengambil sebuah helm berwarna hitam dengan motif abstrak.
"Ini, suka?" tanya Rio lagi. Rianti hanya mengangguk. Rio pun memakaikan helm tersebut di kepala Rianti. Posisi mereka menjadi begitu dekat. Entah mengapa Rianti merasa kurang nyaman. Reflek Rianti melankah mundur.
"Maaf," ucap Rio ikutan mundur. Lalu Rio menghampiri kasir dan mengeluarkan dompetnya.
"Helm yang itu ya, Mas," ucap Rio seraya menyerahkan tiga lembar uang seratus ribuan. Rianti kembali merasa heran. Sebenarnya berapa sih gaji seorang cleaning servis? Kenapa Rio begitu mudah membeli helm yang harganya lumayan mahal untuk seorang OB.
"Ayo!" ajak Rio setelah membayar di kasir. Rianti mengikuti langkah kaki Rio dengan berbagai tanda tanya di kepalanya.
"Coba masukkan alamat rumah lo di map, biar nanti gua ga tanya-tanya pas lagi jalan," ucap Rio seraya memberikan handponenya. Rianti menerima handpone Rio. Lalu mengetikkan alamat rumahnya. Setelah itu, Rio pun segera membawa Rianti melesat pergi. Tidak berapa lama, terdengar suara azan magrib. Rio membelok masuk ke arah sebuah mesjid.
"Kita sholat magrib dulu, ya," ujar Rio begitu mereka sampai di parkiran. Rianti hanya mengangguk. OB yang satu ini boleh juga, ucap Rianti dalam hati.
bersambung .....
0 comments:
Posting Komentar